BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani Solanum betaceum Cav. Terung belanda pertama kali dikenal dengan nama Cyphomondra betacea, tanaman ini termasuk ke dalam famili Solanaceae. Tanaman ini memiliki akar yang dangkal, pohonnya perdu setengah berkayu, dapat tumbuh di daerah dataran sedang dan tinggi yang memiliki iklim dingin, serta tumbuh liar (Kumalaningsih, 2006). Menurut Tjitrosoepomo (2000), bahwa klasifikasi dari Solanum betaceum adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae
Genus
: Solanum
Spesies
: Solanum betaceum Cav.
Terung belanda merupakan tanaman perdu dengan tinggi 2-8 m, memiliki pangkal batang pendek, daun tunggal, berselang-seling, bentuknya bulat telur sampai bentuk jantung, berukuran (10-35) cm x (4-20) cm, berpinggiran rata, berbulu halus, berujung lancip dan pendek. Bunga berada dalam rangkaian kecil di ketiak daun dekat ujung cabang, berwarna merah jambu sampai biru muda, berdiameter kira-kira 1 cm, bagian bunga berbilang lima, daun mahkota berbentuk genta, benang sari 5 utas, berada di depan daun mahkota. Buahnya berupa buah buni yang berbentuk bulat telur, berukuran (3-10) cm x (3-5) cm, meruncing kedua ujungnya, tumbuh bergelantungan,
Universitas Sumatera Utara
bertangkai panjang, kulit buah tipis, licin, berwarna lembayung kemerah-merahan, daging buahnya mengandung banyak sari buah, agak asam sampai manis. Bijinya bulat pipih, tipis, dan keras. Setiap 100 g bagian buah yang dapat dimakan mengandung air 85 g, protein 1,5 g, lemak 0,06-1,28 g, karbohidrat 10g, serat 1,44,2g,
abu
0,7g,
vitamin
A
150-500
SI,
dan
vitamin
C
25
mg
(http://www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan.diakses tanggal 3 Maret 2008). Terung belanda merupakan tanaman yang sudah banyak dikembangkan terutama di Negara Chili. Buah dari tanaman ini sudah dijadikan komoditi ekspor yang dapat memberikan devisa bagi negara tersebut (Faucon, 1998). Buah Terung belanda biasanya gampang rusak sehingga harus disimpan pada suhu < 0oC (Bohs, 2001).
2.2 Budidaya Terung belanda Secara In Vitro Suatu kendala yang sering dihadapi dalam pengadaan bibit unggul secara konvensional adalah sulitnya mendapatkan bibit yang berkualitas dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Salah satu keunggulan perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan adalah sangat dimungkinkan mendapatkan bahan tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat (Priyono et al., 2000) Teknik kultur jaringan memiliki dua kegunaan yaitu sebagai perbanyakan klon yang menghasilkan propagul yang bermutu, dan sebagai perbaikan tanaman untuk menghasilkan kultivar baru yang lebih unggul dan lebih mantap sesuai dengan program perbaikan sifat-sifat genetik yang dikehendaki (Priyono et al., 2000). Klon adalah individu-individu yang secara genetik sama atau identik. Klon dapat diperoleh dengan perbanyakan vegetatif dari satu tanaman induk atau dari beberapa individu yang berasal dari klon yang sama dengan yang telah ada (Suryowinoto, 1996). Keunggulan dari perbanyakan secara in vitro ini selain menghemat biaya, tempat maupun waktu, adalah memperoleh tanaman baru yang toleran terhadap virus. Manfaat ini yang membuat budidaya dengan menggunakan teknik kultur jaringan ini
Universitas Sumatera Utara
banyak diminati dalam bidang pertanian, perkebunan, dan bidang-bidang lainnya (Suryowinoto, 1996). Kultur jaringan tanaman adalah suatu teknik budidaya sel, jaringan, dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas mikroorganisme (Santoso & Nursandi, 2004). Perbanyakan dengan kultur jaringan tidak mengenal musim karena kondisi lingkungan yang diatur sesuai dengan kebutuhan. Biji yang memegang peranan penting dalam mempertahankan kondisi yang seperti ini. Keadaan seperti ini dapat diterapkan pada kultur biji. Kegunaan kultur biji adalah menghilangkan kontaminasi eksternal seperti jamur, bakteri, dan mikroorganisme lainnya (Katuuk, 1989). Teori totipotensi sel merupakan prinsip dasar dari metode kultur jaringan. Sel memiliki kemampuan autonom yang ada di dalammya mengandung material genetik lengkap, sehingga apabila ditumbuhkan pada lingkungan tumbuh yang sesuai, sel tersebut akan dapat tumbuh dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Pierik, 1987). Kegiatan awal yang harus dilakukan sebelum melakukan kultur jaringan suatu tanaman adalah memilih tanaman induk yang akan diperbanyak. Tanaman tersebut harus jelas jenisnya dan varietasnya serta harus sehat. Umumnya bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif (meristematis). Jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi yang lebih tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri dan relatif lebih bersih (mengandung lebih sedikit kontaminan). Sementara itu tanaman yang lebih tua akan lebih sulit beregenerasi, dan biasanya mengandung lebih banyak kontaminan (Yusnita, 2003). Dalam perbanyakan dengan kultur jaringan, eksplan merupakan faktor yang penting menentukan keberhasilan. Eksplan adalah bagian tanaman yang dijadikan bahan inokulum awal yang ditanam dalam media, yang akan menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan tertentu. Eksplan menjadi dasar pembentukan kalus yaitu bentuk awal calon tunas yang kemudian mengalami proses pembentukkan
Universitas Sumatera Utara
tanaman seperti daun, batang dan akar (Nugroho & Sugito, 2004). Langkah selanjutnya untuk menentukan bagian tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan adalah melihat potensi genetik yang ada pada tanaman di lapangan.
2.3 Media Kultur Jaringan Media kultur merupakan faktor penentu keberhasilan dalam perbanyakan tanaman dengan menggunakan kultur jaringan. Berbagai komposisi media telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan. Sebagai contoh media yang sering digunakan adalah komposisi Knudson C (1946), Heller (1953), Nitsch dan Nitsch (1972), Gamborg (1976), Murashige dan Skoog-MS (1962). Media yang sering kali digunakan berbentuk padat menggunakan agar-agar atau gelrite (Yusnita, 2003). Medium MS merupakan media yang paling banyak digunakan karena memiliki komposisi yang lebih lengkap (George & Sherrington, 1984). Media ini digunakan secara luas untuk kultivasi kalus pada agar demikian juga kultur suspensi sel dalam media yang cair. Keistimewaan media ini adalah memiliki kandungan nitrat, kalium dan amoniumnya yang tinggi (Wetter & Constabel, 1991). Dari banyak jenis media dasar yang digunakan dalam teknik kultur jaringan, media MS (Murashige dan Skoog) mengandung jumlah hara organik yang memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur (Gunawan, 1990).
2.4 Kalus Tanaman dapat diperbanyak secara vegetatif menggunakan teknik kultur in vitro. Jika suatu eksplan ditanam pada media padat ataupun cair yang sesuai dalam waktu 2-4 minggu, akan membentuk kalus yaitu suatu massa amorf yang tersusun atas sel-sel parenkim berdinding tipis yang berkembang dari hasil proliferasi sel-sel jaringan induknya (Yuwono, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa jaringan tanaman dapat digunakan untuk membentuk biakan kalus seperti akar, batang, dan daun, Untuk membentuk kalus, jaringan dipisahkan dari tanaman dan permukaan sayatan disterilkan untuk membunuh pengkontaminasi biakan. Beberapa biakan yang membentuk kalus dari tanaman yang tumbuh dalam kondisi aseptik dengan permukaan biji yang disterilkan untuk mengurangi kontaminasi (Nasir, 2002).
2.5 Kolkisin Kolkisin merupakan suatu alkaloid yang berasal dari umbi dan biji dari tanaman Autumn crocus (Colchicum autumnale Linn.) yang termasuk dalam famili Liliaceae. Nama Colchicum berasal dari nama Colchis yaitu seorang raja yang menguasai daerah tepi Laut Hitam, dan karena di daerah tersebut ditemukan banyak sekali tanaman itu. Pada musim semi tanaman ini memiliki daun, buah dan biji (Suryo, 1995). Kolkisin atau Colchicine merupakan suatu senyawa alkaloid yang berasal dari tanaman Colchicum autumnale Linn. Yang memiliki sifat sangat toksik. Nama kimia Colchicine
adalah
5,6,7,9-tetrahidro
1,2,3,10-tetramethoxy-9-oxobenzo
(alpha)
hepthalene-7-acetamida (Rn-List, 2005). Larutan kolkisin dengan konsentrasi yang tepat dapat mencegah terbentuknya benang-benang spindel sehingga pemisahan kromosom pada anaphase tidak terjadi, akibatnya terjadi penggandaan kromosom tanpa pembentukkan dinding sel. Kolkisin adalah senyawa kimia yang dapat mengganggu depolimerisasi protein mikrotubulus sehingga mencegah pembentukan benang-benang spindel (Griffith, 2000). Konsentrasi kolkisin yang digunakan bervariasi dari 0,0005-1% dengan perendaman 1-6 hari, tergantung jenis benih yang digunakan. Umumnya, benih yang lama berkecambah memerlukan waktu perendaman yang lebih lama. Jauhariana (1995) menyatakan bahwa pada umumnya kolkisin efektif pada konsentrasi 0,01-1%. Penelitian Herawati (1989) dalam Sulistianingsih, menunjukkan bahwa pada tembakau (Nicotiana tabacum L.) terjadi peningkatan jumlah daun, lebar dan panjang serta luas daun semakin besar. Pada konsentrasi 0,1% menghasilkan tanaman triploid dan konsentrasi 0,25% menghasilkan tanaman yang albino.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Mariska (1996), masih rendahnya kalus yang beregenerasi pada perlakuan pemberian kolkisin diduga karena pemberian kolkisin dengan konsentrasi yang tinggi pada awal perlakuan akan mengakibatkan kerusakan fisiologis tanaman. Pemberian kolkisin juga mengakibatkan penundaan pertumbuhan akibat jaringan yang rusak dan memerlukan waktu yang lama untuk tumbuh. Menurut Eigisti dan Dustin (1995), bahwa kolkisin merupakan senyawa kimia yang bersifat toksik yang pada konsentrasi yang tepat dapat mencegah terbentuknya benang-benang spindel, kolkisin dengan konsentrasi yang beragam dapat menyebabkan pengaruh yang beragam pula. Berbagai konsentrasi kolkisin jika tidak sesuai akan memberikan pengaruh yang berbeda pada pertumbuhan tanaman seperti jumlah daun, berat basah tunas, berat basah akar, berat kering tunas dan berat kering akar.
2.6 Poliploidi Poliploidi adalah suatu kondisi dimana susunan kromosom menjadi lebih dari dua set kromosom. Tanaman poliploidi mempunyai keunggulan yaitu sel-selnya menjadi lebih besar sehingga tanaman menjadi lebih besar. Hal ini tentunya menguntungkan karena memberikan nilai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak mengalami poliploidi. Selain itu tanaman poliploidi lebih subur dan pertumbuhannya lebih cepat (Griffith, 2000). Manipulasi poliploidi merupakan suatu cara yang banyak digunakan untuk peningkatan produktivitas pada banyak tanaman seperti Solanum, Citrus, Scutelia baicalansis, Alocasia, Allium cepa dan Azalea. Poliploidi dilakukan pada tanaman untuk berbagai alasan, yaitu (1) menghasilkan tanaman tanpa biji, (2) meningkatkan senyawa metabolit sekunder, (3) untuk mendapatkan varietas baru dan (4) meningkatkan plasma nutfah guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat (Madon, et al., 2006). Tanaman poliploidi juga akan menghasilkan daun yang lebih besar, batangnya lebih tebal, bunga dan buahnya juga lebih besar dibandingkkan dengan tanaman asalnya yang diploid (Dermen dan Bain, 1994). Selanjutnya Stebbins (1984) dan
Universitas Sumatera Utara
Segraves et al., (1999) menyatakan bahwa tanaman yang poliploid berbeda dibandingkan dengan tanaman yang diploid, yaitu : a. Individu maupun populasinya lebih terjaga sifat heterozigositasnya b. Pada saat terjadi inbreeding akan lebih menguntungkan karena tekanan yang dialami akan lebih kecil dibandingkan dengan yang diploid c. Pada umumnya, spesies yang poliploid bersifat polipheletic Poliploid dapat terjadi melalui pembentukan sel-sel gamet yang terbentuk dari proses mitosis. Bila sel-sel tersebut mengalami penggandaan kromosom, phase S tidak akan dilewati pada siklus sel, maka gamet yang diploid akan terbentuk (Stebbins, 1984 dan Segraves et al., 1999). Secara laboratorium poliploidi dapat dilakukan yaitu dengan menginduksi sel yang akan membelah dengan berbagai zat kimia.
2.7 Enzim Enzim merupakan protein biokatalisator untuk proses-proses fisiologi tanaman yang pengadaan dan pengaturannya dikontrol secara genetik (Shannon, 1968). Penggunaan penandaan isozim mempunyai kelebihan karena isozim diatur oleh gen tunggal dan bersifat kodominan dalam pewarisan dan bersegregasi secara normal. Penanda ini bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, lebih cepat dan akurat karena tidak menunggu tanaman ini sampai bereproduksi (Hadiati et al., 2002). Suatu reaksi kimia khususnya antara senyawa organik yang dilakukan di laboratorium memerlukan suatu kondisi yang ditentukan oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan, waktu dan lain-lain. Reaksi atau proses kimia yang berlangsung dengan baik di dalam tubuh dimungkinkan karena adanya katalis yang disebut enzim (Poedjiadi, 2004). Salah satu fungsi dari protein adalah sebagai enzim.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Gaman & Sherrington (1992), bahwa sifat-sifat enzim adalah sebagai berikut: a. Aktivitas enzim sangat spesifik Pada umumnya enzim tertentu hanya akan mengkatalis satu reaksi. Sebagai contoh laktase menghidrolisis gula laktosa tetapi tidak berpengaruh terhadap disakarida lain. Hanya molekul laktosa saja yang sesuai dalam sisi aktif pada enzim. b. Pengaruh suhu Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim pada hewan suhu optimalnya 35-40o C. Pada suhu di atas dan di bawah suhu optimal maka aktivitas enzim akan menurun. Di atas suhu 50o C enzim secara bertahap menjadi inakstif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100o C semua enzim rusak. Pada suhu sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang. c. Pengaruh pH Setiap reaksi yang dikatalisatori oleh enzim menunjukkan laju reaksi yang cepat pada pH tertentu. pH optimal dari enzim berkisar 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim mengalami inaktifasi. Akan tetapi beberapa enzim akan bekerja dalam kondisi asam atau alkalis. d. Koenzim dan Aktifator Enzim seringkali memerlukan bantuan substansi lain agar berfungsi secara efektif. Koenzim adalah substansi bukan protein yang mengaktifkan enzim. Beberapa vitamin berfungsi sebagai enzim. Beberapa ion anorganik, misalnya ion kalsium dan ion klorida dapat meningkatkan aktivitas beberapa enzim. Senyawa ini dikenal sebagai kofaktor. e. Konsentrasi substrat Kompleks enzim dan substrat terjadi karena adanya kontak. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa dengan konsentrasi enzim yang tetap, maka pertambahan konsentrasi substrat akan meningkatkan laju reaksi. Akan tetapi pada batas konsentrasi tertentu, tidak terjadi kenaikan kecepatan reaksi walaupun konsentrasi substrat diperbesar. Pada konsentrasi substrat rendah, pada sisi aktif enzim hanya menampung sedikit substrat.
Universitas Sumatera Utara
2.8 Enzim Peroksidase (PO) Peroksidase pada tanaman (Hydrogen peroxidase oxidoreductase; EC 1.11.1.1) terdiri dari monomer-monomer glycoprotein (Cassab and Varner, 1988; Valpuesata et al., 1989). Enzim ini menggunakan hydrogen peroxida (H 2 O 2 ) atau oksigen bebas (O 2 ) untuk mengoksidasi suatu variasi yang lebih luas dari penerima hidrogen. Dengan adanya penambahan dari H 2 O 2 , dapat mengkatalisis reaksi oksidasi dari berbagai bentuk substrat, termasuk phenolik, nitrit, sitokrom c, asam askorbat, atau gugus amin (Kerby and Somerville, 1989; Mäder and Fűssl, 1982; Scandalios, 1974). Reaksi oksidasi terjadi dibawah kondisi aerobik dengan menggunakan oksigen bebas dan tanpa peroksidase eksogen (Mäder and Amberg-Fisher, 1982 Peroksidase (PO) didistribusikan cukup luas pada setiap organ tanaman. Peroksidase dihasilkan dalam organ, jaringan, sel, dan variasi komponen subseluler. PO adalah enzim yang larut di dalam sitoplasma atau tempat intraseluler. PO dapat dideteksi di dalam organel-organel dan pada dinding sel atau membran sel (Birecka et al., 1975a; Bireck et al., 1975b; Catesson et al., 1986; Meudt and Stecher, 1972). Pada umumnya, PO merupakan isozim. Isozim ini memiliki kekuatan yang berbeda dalam bahan biokimianya seperti dalam aktifitas yang lebih spesifik, pH optimal, afinitasnya terhadap substrat dan sensitivitasnya terhadap inhibitor (Bakardjieva, 1986; Fry, 1986; Mäder et al., 1980; Siegel and Siegel, 1986). PO berbeda dalam struktur biokimianya maupun respon terhadap rangsangannya juga berbeda (Hu et al., 1990). Beberapa penelitian menyatakan bahwa PO pada suatu jaringan berbeda dalam jumlah yang sangat besar pada spesies tanaman. Kenyataannya, PO diidentifikasi lebih sering terdapat pada tanaman untuk jumlah yang lebih besar (Chiu and Teng, 1977; Lee, 1973; Maldonado and van Huystee, 1980; Sesto and van Huystee, 1989; Wijsman and Hendriks, 1986).
Universitas Sumatera Utara
2.9 Enzim Polifenol Oksidase Polifenol Oksidase (PPO) tidak terbatas pada beberapa bagian organ tanaman. Keberadaannya dapat dilihat pada setiap jenis organ. Jaringan, sel, dan ditempat yang sama dalam suatu varietas dari fraksi sel, keduanya terdapat di dalam organelaorganela dan dalam cairan sel (Kar and Mishra, 1976; Sato and Hasegawa, 1976). Pada tingkat dari aktivitas PPO sering terjadi kesalahan selama proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Fric, 1976; Scandalios, 1974). Aktivitas PPO akan meningkat apabila terjadi luka pada jaringan tanaman, penyebabnya antara lain terjadinya perubahan bentuk isozim yang akan mempengaruhi aktivitas PPO (Bashan et al., 1987; Maraite, 1973; Sato and Hasegawa, 1976). Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang sangat dekat antara peningkatan aktivitas PPO dan aktivitas metabolik lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas PPO berhubungan dengan komposisi senyawa fenolat dan aktivitas peroksidase (PO) (Bashan et al., 1987; CzechKozlowska and Krzywanski, 1984; Srivastava and van Huystee, 1977b). Para ahli menemukan bahwa PPO dan PO sangat signifikan di dalam reaksi pertahanan (Arora and Wagle, 1985; Bashan et al., 1987; Maraite, 1973; Retig, 1974), enzim PO dapat terinduksi oleh beberapa senyawa kimia yang akan mempengaruhi ekspresi dari gen yang mengkodenya. Pada tanaman Padi, gen yang terganggu akibat induksi tersebut akan mempengaruhi gen no.3. Pengaruh PO dan PPO pada tanaman adalah meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit (Bell, 1981; Farkas and Kiraly, 1962; Kosuge, 1969; Tomiyama, 1963). Mereka mengindikasikan bahwa PPO dan PO terlibat dalam proses reaksi dari jaringan tanaman setelah terjadi pelukaan dan infeksi. Reaksi ini terjadi sebagai hasil dari oksidasi fenol yang selalu berhubungan dengan biosintesis dari fitoaleksin atau substansi-substansi lain yang toksik yang berasal dari patogen (Batra and Kuhn, 1975; Czech-Kozlowska and Krzywanski, 1984; Lazarovits and Ward, 1982).
Universitas Sumatera Utara
Meskipun begitu, peneliti harus berhati-hati dalam membedakan antara PPO dan PO, karena kadang-kadang oksidasi peroksidatif dari senyawa fenol sering terjadi kesalahan selama penentuan aktivitas PPO. Metode umum untuk membedakan aktivitas PPO dan PO adalah metode Kar dan Mishra (1976). Metode ini spesifik dalam mengidentifikasi perbedaan antara PPO dan PO di dalam gel setelah pemisahan dengan elektroforesis (Srivastava and van Huystee, 1973; Srivastava dan van Huystee, 1977a).
Universitas Sumatera Utara