BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Busa Poliuretan Poliuretan merupakan bahan polimer yang mempunyai ciri khas adanya gugus fungsi uretan (-NHCOO-) dalam rantai utama polimer. Gugus fungsi uretan dihasilkan dari reaksi antara isosianat dengan senyawa yang mengandung gugus hidroksil (Ashida, 2007). Secara sederhana, reaksi pembentukan poliuretan dapat dituliskan sebagai berikut: O
H
O
R
O
H
O
+ C
N
N
C
diisosianat
poliol
O
R'
R
O
O
H
C
N
R'
poliuretan
H
O
N
C
n
(2.1)
Secara prinsip, poliuretan dapat dibuat dengan cara mereaksikan dua bahan kimia reaktif yaitu poliol dengan diisosianat, dan biasanya ditambahkan sejumlah aditif untuk mengontrol proses reaksi dan memodifikasi produk akhir (Woods, 1987). Jenis isosianat, poliol ataupun pemanjang rantai yang digunakan dalam sintesis poliuretan akan mempengaruhi kecepatan reaksi dan sifat dari produk akhir yang dihasilkan. Poliol memberikan fleksibilitas yang tinggi pada struktur poliuretan sehingga poliol disebut sebagai segmen lunak dari poliuretan. Disisi lain, isosianat dan pemanjang rantai memberikan kekakuan atau rigiditas dalam struktur poliuretan sehingga sering disebut sebagai segmen keras.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, sifat poliuretan (fleksibibilitas, densitas, struktur selular, hidrofilitas dan karakteristik proses) sangat ditentukan oleh struktur molekul. Secara umum, struktur dan sifat poliuretan dipengaruhi oleh: -
Berat molekul; bertambahnya berat moleku, sifat-sifat seperti kuat tarik, titik leleh, elongasi, elastisitas dan temperatur transisi gelas akan meningkat hingga titik tertentu.
-
Gaya antar molekul; termasuk dalam hal ini adalah ikatan hidrogen, momen dipole dan ikatan Van Der Walls.
-
Kekakuan rantai; adanya struktur aromatik dalam struktur poliuretan akan meningkatkan titik leleh, kekerasan dan menurunkan elastisitas.
-
Kristalinitas; linearitas dalam rantai polimer akan meningkatkan kristalinitas yang selanjutnya akan menurunkan solubilitas, elastisitas, elongasi dan fleskibilitas namun serta meningkatkan kuat tarik, titik leleh dan kekerasan.
-
Ikat silang; semakin tinggi tingkat ikat silang, maka poliuretan akan semakin kaku (rigid) yang selanjutnya akan meningkatkan modulus elastisitasnya serta mengurangi elongasi dan swelling terhadap pelarut.
Poliuretan berkembang menjadi suatu material khas yang mempunyai tetapan yang amat luas, tidak hanya digunakan sebagai fiber (serat), tetapi dapat juga digunakan untuk membuat busa (foam), bahan elastomer (karet/ plastik), lem, pelapis (coating) dan lain-lain (Nicholson, 1997). Busa poliuretan adalah jenis yang paling banyak aplikasinya di antara semua produk uretan. Busa didefinisikan sebagai substansi yang dibentuk dengan menjebak gelembung gas di dalam cairan atau padatan. Busa poliuretan (sering disebut sebagai uretan busa) dibuat dengan mereaksikan poliisosianat dan poliol dengan adanya bahan peniup (blowing agent), surfaktan dan katalis tanpa pemanasan eksternal dari sistem foaming. Prinsip penyusunan busa uretan didasarkan pada terjadinya dua
Universitas Sumatera Utara
reaksi yang bersamaan yaitu pembentukan poliuretan dan pembentukan gas dengan adanya katalis dan surfaktan (Landrock, 1995). Terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk membentuk poliuretan yaitu metode one shot dan metode two shot. Metode one shot yaitu semua bahan baku untuk menghasilkan polimer dicampur bersama-sama sebelum dituang kedalam cetakan. Sedangkan, untuk metode two shot, isosianat ditambahkan kedalam campuran pada tahap kedua (Lim dkk, 2008). Sistem one shot umumnya digunakan dalam pembentukan busa poliuretan, sedangkan untuk metode two shot bisanya diaplikasikan pada produksi elastomer. Pada pembentukan busa poliuretan terdapat dua reaksi utama, yaitu reaksi gel dan blow. Reaksi gel terjadi antara isosianat dan gugus hidroksil untuk menghasilkan ikatan uretan dan polimer gel (persamaan reaksi 2.2). Reaksi blow terjadi dalam dua langkah, dimana pada reaksi ini menghabiskan satu molekul air dan dua gugus isosianat. Pertama, air bereaksi dengan isosianat menghasilkan asam karbamat (persamaan reaksi 2.3) yang tidak stabil sehingga cepat terdekomposisi menjadi amina dan melepaskan karbon dioksida (persamaan rekasi 2.4). Karbon dioksida adalah gas peniup yang mengisi sel. Kedua, amina bereaksi dengan isosianat yang belum terkonversi untuk membentuk ikatan urea (persamaan reaksi 2.5). O N
C
+
O
R1
OH
R2
C O
N
R2
R1
H Isosianat
Uretan
Alkohol
O N
C
O
R1
(2.2)
+
R1
O
C N
H O
H
H
H Isosianat
Air
Asam karbamat
(2.3)
Universitas Sumatera Utara
O R1
C
R1
H
N
O
H N
+
O
C
O
H
H Asam karbamat
Amin
CO2
(2.4)
O N
C
O
R1
R1
+
H N
R1
H Isosianat
Amin
C N
N
H
H Urea
R1
(2.5)
Busa poliuretan diklasifikasikan ke dalam 3 tipe yaitu busa fleksibel, busa kaku (rigid) dan busa semi kaku (semi rigid). Perbedaan sifat fisik dari 3 tipe busa poliuretan tersebut berdasarkan pada perbedaan berat molekul, fungsionalitas poliol dan fungsionalitas isosianat. Sedangkan berdasarkan struktur selnya, busa dibedakan menjadi dua yaitu sel terbuka (open cell) dan sel tertutup (closed cell). Busa dengan struktur closed cell merupakan jenis busa kaku sedangkan busa dengan struktur opened cell adalah busa fleksibel (Cheremisinoff, 1989). Busa dengan struktur sel terbuka memiliki pori-pori yang saling terhubung satu sama lain untuk membentuk jaringan interkoneksi. Selain itu, jenis busa ini memiliki kerapatan relatif lebih rendah dan penampilannya seperti spons. Busa struktur sel tertutup tidak memiliki jaringan sel yang terhubung. Busa dengan struktur sel tertutup merupakan bahan busa padat. Biasanya jenis busa ini memiliki kuat tekan yang lebih tinggi karena strukturnya, memiliki stabilitas dimensi yang lebih tinggi, serapan air rendah dan memiliki kekuatan yang lebih tinggi jika dibandingkan busa sel terbuka. Busa-busa yang fleksibel dipakai sebagai isolator, termasuk laminat-laminat tekstil untuk pakaian musim dingin, panel pelindung pada mobil, kain pelapis tempat tidur, karpet dasar, spons sintetis dan berbagai pemakaian lainnya. Busa-busa kaku
Universitas Sumatera Utara
paling umum dipakai dalam panel-panel konstruksi, untuk pengemasan barangbarang yang lunak, furnitur ringan dan perlengkapan flotasi kapal laut (Steven, 2001). 2.1.1 Isosianat Isosianat merupakan gugus fungsi utama yang menjadi dasar dari industri poliuretan modern. Secara komersial, isosianat organik tersedia dalam bentuk alifatik, sikloalifatik, aromatik dan heterosiklik poliisosianat. Isosianat memiliki gugus fungsi (-N=C=O) yang memiliki reaktifitas tinggi terhadap nukleofil yang memiliki proton. Reaksi yang terjadi merupakan adisi nukleofilik melalui ikatan ganda karbon nitrogen. Secara umum, isosianat aromatik lebih reaktif dibandingkan isosianat alifatik dan gugus diisosianat pada atom karbon primer dapat bereaksi lebih cepat dibandingkan gugus diisosianat pada ataom karbon sekunder maupun tersier. Adanya substituen penarik elektron pada cicin aromatik akan meningkatkan reaktifitas gugus isosianat, sedangkan donor elektron akan menurunkan reaktifitas karena pengaruh halogen sterik sebagai tambahan terhadap adanya efek induksi. Poliisosianat aromatik telah digunakan untuk persiapan isosianat berbasis busa. Isosianat alifatik tidak digunakan karena poliisosianat alifatik bereaksi lambat dengan gugus hidroksi, sedangkan untuk reaksi busa membutuhkan reaktivitas tinggi. Poliisosianat utama yang digunakan adalah toluen diisosianat (TDI) dan metilen difenildiisosianat (MDI). CH3
CH3 NCO
OCN
NCO
a) NCO
isomer-2,4
isomer-2,6
Universitas Sumatera Utara
OCN
b)
OCN
CH2
NCO OCN
CH2
isomer-4,4
OCN CH2
isomer-2,4
CH*2
CH2 n
NCO
isomer-2,2
NCO
NCO
NCO
n:0-3
polimer MDI (oligomer MDI)
Gambar 2.1 Struktur isomer a) toluen diisosianat dan b) metilen difenildiisosianat TDI memiliki senyawa dasar toluena, terdiri dari dua jenis isomer 2,4 (80%) dan isomer 2,6 (20%) yang merupakan isosianat biasa untuk pembuatan busa poliuretan. Jenis kedua adalah TDI dengan campuran 65% isomer 2,4 dan 35% isomer 2,6. TDI ini memiliki reaktifitas berbeda yang mana kedudukan 4-isosianat adalah lebih reaktif dari pada 2 atau 6 isosianat atau dapat dinyatakan gugus NCO pada kedudukan 4 adalah sepuluh kali lebih reaktif dari letak 2 atau 6 pada temperature kamar (Frisch, 1974). Pada penelitian ini jenis isosianat yang digunakan dalam pembuatan busa poliuretan yaitu produk komersial toluene diisosianat (TDI) campuran antara 80% isomer 2,4-TDI dan 20% isomer 2,6-TDI.
2.1.2 Poliol Salah satu komponen penting dalam pembuatan poliuretan adalah poliol. Poliol dapat bereaksi dengan isosianat untuk membentuk poliuretan. Poliol yang memiliki dua gugus hidroksi disebut diol dan yang memiliki tiga gugus hidroksi disebut triol dan seterusnya. Poliol yang digunakan untuk produksi busa poliuretan adalah oligomer. Oligomer merupakan polimer berat molekul rendah yang memiliki setidaknya dua
Universitas Sumatera Utara
gugus hidroksil yang dapat bereaksi dengan gugus isosianat. Terdapat banyak sekali jenis poliol, tetapi secara keseluruhan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kategori yaitu: 1. Polieter poliol Polieter poliol diproduksi oleh polimerisasi anionik alkilena oksida, (misalnya: propilena oksida, etilen oksida) dengan adanya inisiator dan katalis. Polieter poliol adalah senyawa utama yang digunakan dalam busa kaku dan busa fleksibel. Polieter poliol diproduksi oleh polimerisasi anionik alkilena oksida (misalnya: propilena oksida, etilen oksida) dengan adanya inisiator dan katalis. Polieter poliol untuk busa poliuretan kaku diproduksi menggunakan inisiator fungsionalitas tinggi
seperti gliserol, sorbitol dan
sukrosa. 2. Poliester poliol Poliester poliol untuk busa poliuretan dapat diproduksi oleh reaksi di-basic acids (misalnya: asam adipat dan asam ftalat) dengan glikol (misalnya: etilena glikol dan propilen glikol) ataupun dibuat dengan pembukaan cincin polimerisasi lakton. Contoh dari jenis poliol ini adalah poli(1,6-heksanadiol) karbonat. Bahan-bahan ini digunakan dalam pembuatan poliuretan yang fleksibel. Namun, untuk busa poliuretan kaku, poliol poliester aromatik adalah tipe poliol yang paling sering digunakan karena dapat meningkatkan ketahanan busa terhadap api dan asap yang dihasilkan sedikit. (Eaves, 2004)
Saat ini pembuatan poliol yang digunakan untuk membuat poliuretan telah dikembangkan agar mempunyai tingkat reaktifitas yang lebih tinggi dengan isosianat untuk memproduksi poliuretan dengan sifat khusus. Selain itu, penggunaan poliol triol dalam pembuatan poliuretan yaitu polipropilen glikol (PPG), gliserol dan lainnya mulai digalakkan. Penggunaan poliol triol ini mulai dikembangkan karena, apabila monomer yang digunakan untuk polimerisasi mempunyai lebih dari dua gugus fungsi
Universitas Sumatera Utara
(Gambar 2.2) akan membentuk ikatan silang (crosslinking) dalam jaringan polimernya sehingga akan dihasilkan poliuretan dengan sifat khusus. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan sintesis busa poliuretan menggunakan polipropilen glikol (PPG) sebagai sumber poliolnya.
HO
CH2CH
O
n
H
CH3
Gambar 2.2 Struktur molekul polipropilen glikol (PPG)
2.1.3 Bahan peniup Bahan atau zat yang menghasilkan struktur sel dalam massa polimer didefinisikan sebagai bahan peniup (blowing agent). Bahan peniup meliputi gas yang mengembang saat tekanan dilepaskan, cairan yang mengembangkan sel-sel ketika berubah menjadi gas dan bahan kimia yang terurai atau bereaksi di bawah pengaruh panas/ katalis untuk membentuk gas (Eaves, 2004). Bahan peniup memainkan peran yang sangat penting baik dalam pembuatan maupun kinerja busa polimer. Bahan peniup merupakan faktor yang paling dominan dalam pengendali kepadatan busa. Selain kepadatan, bahan peniup juga mempengaruhi mikrostruktur dan morfologi sel busa yang nantinya menjadi penentu penggunaan akhir busa. Bahan peniup dalam pembuatan busa poliuretan dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Bahan peniup fisika Contohnya: gas-gas (udara, nitrogen atau karbondioksida) yang oleh tekanan larut dalam polimernya 2. Bahan peniup kimia yang terurai oleh pemanasan untuk melepaskan gas. Contohnya: cairan bertitik didih rendah seperti klorofluorokarbon (CFC), metilen klorida (MC) dan aseton (Steven, 2001)
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Katalis Pembuatan poliuretan biasanya dipercepat oleh adanya katalis berupa senyawa basa (amina), garam logam atau senyawa organo logam. Senyawa amina fungsinya untuk mempercepat reaksi isosianat-air dan reaksi isosianat-poliol. Sedangkan kompleks organo logam sebagai katalis yang kuat untuk reaksi isosianat-poliol (Eaves, 2004). Katalis diperlukan terutama pada pembuatan busa pada temperatur kamar, khususnya bila digunakan senyawa dengan gugus hidroksi sekunder (seperti polipropilen glikol). Contoh katalis busa antara lain Stannous 2-ethylhexanoate, Di-butil tin di-laurat, pentamethyldiethylene triamin, dimethylcyclohexylamine, tris-dimethylaminopropyl hexahydrotriazine, kalium oktoat, kalium asetat dan lainnya.
2.1.5 Surfaktan Surfaktan adalah senyawa yang molekul - molekulnya mempunyai dua ujung yang berbeda interaksinya dan merupakan bahan baku utama untuk pembuatan busa poliuretan. Surfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan antara cair cair atau cair - padat. Selain itu, surfaktan berfungsi untuk mencampur komponen komponen yang tidak saling larut, stabilisasi ekspansi busa saat mengembang, pengontrolan ukuran sel dan menghasilkan tipe struktur sel yang diinginkan seperti sel terbuka atau sel tertutup (Landrock, 1995). Surfaktan yang dapat digunakan merupakan surfaktan berbasis surfaktan silikon. Surfaktan silikon muncul sebagai produk komersial pada sekitar tahun 1958. Penggunaan surfaktan silikon dan katalis amina tersier maupun katalis timah dimungkinkan untuk menghasilkan busa fleksibel berbasis polieter dengan metode one shot.
2.1.6 Pemanjang rantai
Universitas Sumatera Utara
Pemanjang rantai (chain extender) pada busa poliuretan digunakan untuk meningkatkan panjang segmen keras (hard segment) agar diperoleh pemisahan mikrofase yang lebih sempurna. Tanpa penambahan pemanjang rantai, poliuretan yang dihasilkan biasanya memiliki properti mekanis yang kurang baik dan menunjukkan adanya pemisahan mikrofase yang tidak sempurna (Wang, 1998). Pemanjang rantai dapat dikategorikan menjadi dua kelas, yaitu diol dan diamine. Secara umum, pemanjang rantai yang berupa diol atau diamine alifatik akan menghasilkan material yang lebih lembut daripada pemanjang rantai aromatik.
2.2 Karakterisasi Karakterisasi poliemer merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu industri polimer guna menentukan aplikasi dari polimer. Aplikasi polimer ini ditentukan oleh sifat yang dimiliki oleh bahan polimer tersebut. Untuk mengetahui sifat-sifat polimer yang telah disintesis maka dilakukan karakterisasi terhadap sifat fisik dan kimia antara lain morfologi, struktur molekul dan sifat termal. Pada penelitian ini digunakan beberapa metode karakterisasi antara lain: Identifikasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD), analisis struktur molekul dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR), analisa permukaan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dan analisis sifat termal menggunakan Thermogravimetric Analysis (TGA)
2.2.1 Difraksi sinar-X Sinar-X merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yaitu 1 Å (10-10 m). Spektrum sinar-X terletak antara sinar-γ dengan sinar ultraviolet. Sinar-X ditemukan pada tahun 1895 dan digunakan untuk mempelajari struktur kristal hingga tingkat atomik. Difraksi sinar-X adalah metode analisis yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan radiasi sinar elektromagnetik sinar-X (Dann, 2000). Difraksi sinar-X merupakan metode analisis utama dalam identifikasi zat atau material padatan. Hampir setiap Kristal memiliki jarak antar atom atau jarak bidang kristal yang berukuran hamper sama dengan panjang gelombang (λ) sinar-X.
Universitas Sumatera Utara
Metode serbuk difraksi sinar-X (XRD) merupakan salah satu teknik primer yang digunakan ahli mineral dan ahli kimia zat padat untuk mempelajari sifat fisika dan kimia material yang belum dikenal. Teknik ini dilakukan dengan menempatkan sampel materi yang ingin dipelajari pada wadah sampel. Radiasi sinar-X pada panjang gelombang tertentu ditembakkan pada sampel. Intensitas radiasi hasil difraksi dicatat oleh goniometer. Hasil analisis ditunjukkan dalam bentuk 2θ yang dapat dikonversikan ke satuan jarak d. Analisis difraktogram dilakukan untuk menentukan interatom spacing (d) melalui pencocokan dengan database. Perubahan pada lebar puncak atau posisi puncak menentukan ukuran, kemurnian serta tekstur kristal. Sinar-X berinteraksi dengan elektron-elektron pada materi. Tembakan pada suatu materi anorganik akan dihamburkan ke berbagai arah. Sebagai sumber sinar-X pada beberapa analisis difraksi berasal dari Cu. Penembakan elektron berenergi tinggi mengakibatkan elektron pada orbital 1s akan terionisasi, kekosongan ini mengakibatkan elektron pada orbital 2p dan 3p jatuh mengisi kekosongan tersebut dan membebaskan sejumlah energi dalam bentuk radiasi sinar-X. Transisi elektron dari orbital 2p ke 1s disebut radiasi Kα dengan panjang gelombang 1,5418 Å. Sedangkan transisi elektron orbital 3p ke 1s disebut Kβ dengan panjang gelombang 1,3922 Å. Radiasi Kα lebih umum dipakai dari pada Kβ. Pada difraksi sinar-X, cahaya yang dihamburkan jatuh pada bidang paralel dari suatu sampel terlihat pada Gambar 2.3. Agar terjadi interferensi konstruktif antara sinar yang terhambur dan beda jarak lintasannya harus memenuhi pola nλ .
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Difraksi sinar-X pada kristal Hukum Bragg merupakan perumusan matematik tentang persyaratan yang harus dipenuhi agar berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut merupakan berkas difraksi. Hukum Bragg mengemukakan hubungan antara panjang gelombang dan sinar-X pada dua bidang yang paralel sebagai berikut: 2d sin θ = nλ
(2.6)
Keterangan: n = suatu bilangan bulat θ = sudut difraksi λ = panjang gelombang sinar-X d = jarak kisi pada kristal dalam bidang (Masrukan, 2008)
Identifikasi senyawa dapat dilakukan secara cepat dengan membandingkan atom intensitas spektrum sampel dengan intensitas standar, karena intensitas spektrum suatu senyawa sangat spesifik dan berbeda untuk setiap senyawa. Setiap jenis mineal memiliki susunan atom yang spesifik sehingga menghasilkan bidang atom karakteristik yang dapat memantulkan sinar-X. Sinar-X dapat dipantulkan oleh atom-atom yang tersusun dalam bidang kristal dan menghasilkan pola-pola khas dari setiap jenis mineral sewaktu dianalisis. Montmorilonit dicirikan oleh puncak difraksi
Universitas Sumatera Utara
sinar-X tingkat pertama sebesar 12,3 Å yang bergeser ke 17,7 Å setelah contoh mengalami solvasi (Tan, 1998).
2.2.2 Fourier Transform Infrared Spectroscopy Spektroskopi inframerah pada umumnya digunakan untuk melakukan penentuan jenis gugus fungsi suatu senyawa organik dan mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan pada daerah sidik jarinya. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula. Ketika sinar inframerah dilewatkan melalui suatu sampel polimer, maka sejumlah frekuensi diabsorbsi sementara yang lain akan diteruskan (ditransmisikan). Jika persena absorbansi atau persen transmitan digambarkan terhadap frekuensi maka akan dihasilkan suatu spektrum inframerah. Transisi yang terlibat dalam absorbansi sinar inframerah berkaitan dengan perubahan-perubahan vibrasi dalam molekul. Ada dua jenis vibrasi molekul yang umum yaitu: vibrasi ulur (ritme gerakan sepanjang sumbu ikatan sebagai interaksi pertambahan atau pengurangan jarak antar atom) dan vibrasi tekuk (perubahan sudut ikatan antara ikatan-ikatan dengan suatu atom). Penggunaan
spektroskopi
inframerah
dalam
karakterisasi
polimer
menggunakan daerah 4.000 cm - 666 cm (2,5 - 15 μm). Daerah dengan frekuensi -1
-1
700 cm-1 - 200 cm-1 (14,3 - 50 μm) disebut inframerah jauh dan daerah dengan frekuensi 14.290 cm-1 - 4.000 cm-1 (0,7 - 2,5 μm) disebut inframerah dekat. Daerah serapan inframerah beberapa gugus fungsi ditunjukkan dalam Tabel 2.1. Sistem analisa spektroskopi infra merah (IR) telah memberikan keunggulan dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisa infra merah (IR) akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan regangan pada daerah serapan infra merah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas
Universitas Sumatera Utara
ditunjukan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya (Hummel, 1985). Hadirnya sebuah puncak serapan dalam daerah gugus fungsi dalam spektrum inframerah merupakan petunjuk pasti bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat dalam senyawa cuplikan. Demikian pula tidak adanya puncak dalam bagian tertentu dari daerah gugus fungsi sebuah spektrum inframerah berarti bahwa gugus fungsi yang menyerap pada daerah tersebut tidak ada (Pine, 1988).
Tabel 2.1 Daerah serapan inframerah No Gugus fungsi Daerah frekuensi (cm-1) 1
Karbonil (C = O)
2
Alkohol
3
4
5
1.870 – 1.650
ulur
O–H
3.640 – 3.250
ulur
C – OH
1.160 – 1.030
ulur
C – OH
1.440 – 1.260
in-plane bend
C – OH
700 – 600
wag
CH 2
1.470 – 2.450
wag
CH 2
740 – 720
rock
N–H
3.460 – 3.280
ulur
C–N
1.190 – 1.130
ulur
1.290-1.180
asimetri ulur
3.000 – 3.100
ulur aromatik
Alkana
Amina
Ester C–O–C
6
Vibrasi
Aromatik C–H
Universitas Sumatera Utara
C–C
1.400, 1.500, 1.600
ulur pada cincin
2.2.3 Scanning Electron Microscopy Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan sebuah tipe mikroskop elektron yang menggambarkan permukaan sampel melalui proses scan dengan menggunakan pancaran energi yang tinggi dari elektron. Elektron berinteraksi dengan atom-atom yang membentuk sampel dan menghasilkan sinar yang mengandung informasi tentang komposisi topografi permukaan sampel dan sifat lain seperti konduktivitas listrik. Scanning Electron Microscope telah menjadi alat yang berharga dalam perkembangan teori ilmiah dan memberikan andil besar di bidang biologi, obatobatan dan ilmu material. Penggunaan SEM sebagai salah satu mikroskop elektron didasarkan pada fakta bahwa mereka dapat digunakan untuk mengamati dan mengkarakterisasi bahan dengan skala mikrometer (μm) hingga nanometer (nm) (Voutou dan Stefanaki, 2008). Dalam SEM, lensa yang digunakan adalah suatu lensa elektromagnetik, yakni medan magnet dan medan listrik yang dibuat sedemikian rupa sehingga elektron yang melewatinya dibelokkan seperti cahaya oleh lensa eletromagnetik tersebut. Sebagai pengganti sumber cahaya dipergunakan suatu pemicu elektron (electron gun), yang berfungsi sebagai sumber elektron yang dapat menembaki elektron yang berenergi tinggi, biasanya antara 20 KeV-200KeV dan terkadang sampai 1 MeV (Yulizar, 2005).
2.2.4 Thermogravimetry Analysis Termogravimetri analisis merupakan teknik analisa yang digunakan untuk menentukan stabilitas termal dari suatu material dengan memantau perubahan berat yang terjadi pada material yang dipanaskan. Berat sampel secara terus-menerus dipantau saat peningkatan temperatur, baik pada tingkat yang konstan atau melalui
Universitas Sumatera Utara
serangkaian langkah-langkah. Komponen polimer atau formulasi elastomer menguap atau terurai pada temperatur yang berbeda. Hal ini menyebabkan serangkaian langkah penurunan berat komponen dapat diukur secara kuantitatif. Termogravimetri analisis merupakan salah satu teknik analisa termal yang telah banyak digunakan untuk karakterisasi berbagai bahan. TGA mengukur jumlah dan laju (kecepatan) perubahan massa dari sampel sebagai fungsi temperatur atau waktu yang terkontrol. Dalam bidang polimer, tekni TGA terutama dipakai untuk mengevaluasi kestabilan termal suatu polimer, studi kinetika reaksi dekomposisi polimer serta identifikasi polimer. Jika polimer dipanaskan dalam atmosfir inert, maka dapat terjadi dua jenis reaksi yaitu polimerisasi atau depolimerisasi dengan kalor yang menyertainya. Selain itu, teknik ini sangat berguna untuk memperlajari material termoplastik, termoset, elastomer, komposit, film, serat, pelapis dan cat. Pengukuran TGA memberikan informasi berharga yang dapat digunakan untuk memilih material untuk penggunaan aplikasi akhir, memprediksi kinerja produk dan meningkatkan kualitas produk (Sichina, 2010).
2.3 Sungai Belawan Sungai Belawan yang mempunyai luas catchment area dihitung dari garis pantai/ muara sebesar 647 km2, merupakan sungai di wilayah Kabupatan Deli Serdang yang mempunyai luas terbesar setelah Sungai Padang sebesar 684 km2. Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Belawan berada pada daerah Kampung Lalang dengan satu staff gauge seluas 353,20 km2 (Dokumen UKL/UPL, 2002. PDAM Tirtanadi IPA Sunggal). Hulu Sungai Belawan berada di daerah Kecamatan Pancur Batu, melintasi Kecamatan Sunggal, Kecamatan Hamparan Perak dan Kecamatan Labuhan Deli sebelum akhirnya bermuara di Selat Malaka sepanjang 53 km, dengan lebar sungai rata-rata 10-15 meter. Disepanjang aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal terdapat berbagai macam aktivitas manusia, seperti pemukiman penduduk, pertanian, rekreasi, lalu lintas truk, PDAM Tirtanadi Sunggal,
Universitas Sumatera Utara
dan kegiatan industri. Dengan adanya berbagai aktivitas tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas perairan, diantaranya perubahan faktor fisik maupun kimia perairan (Siregar, 2009). Dewasa ini masalah utama sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik terus menurun khususnya untuk air minum. Salah satu kondisi geologis yang mempengaruhi kualitas secara kimia adalah unsur besi dan mangan yang berlebihan dalam lapisan tanah tempat sumber air berada. Pemantauan air Sungai Belawan sebelum Instalasi Pengolahan Air (IPA) pada tahun 2005 bila dibandingkan dengan Baku Mutu Air peruntukan kelas I termasuk Kelas D (buruk/ tercemar berat). Parameter yang melampaui baku mutu air adalah Ammonia, Mn, BOD, COD, total E. coli. Selanjutnya pada tahun 2006, termasuk Kelas B (baik/ pencemaran ringan) dengan parameter yang melampaui baku mutu air yaitu BOD dan COD. Pada tahun 2007, kualitas air Sungai menurun dan tergolong Kelas C (sedang) dengan parameter yang melampaui baku mutu air yaitu amonia, BOD dan COD (Harahap, 2005).
2.4 Kualitas Air Air merupakan kebutuhan dasar bagi semua makhluk hidup. Air selalu digunakan oleh masyarakat dalam berbagai aktivitas seperti dalam rumah tangga, pertanian, industri, peternakan dan sebagainya. Kualitas air yang digunakan sangat penting untuk diketahui dalam mengurangi resiko-resiko buruk yang akan terjadi. Oleh karena itu, kualitas air sangat diperhatikan dan memenuhi syarat-syarat yang terutama baik bagi kesehatan. Ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menguji kualitas air sehingga dapat digunakan dan menjadi air yang murni, yaitu : -
Parameter Fisik
Universitas Sumatera Utara
Air yang berkualitas harus memenuhi persyaratan fisik seperti kondisi air yang jernih atau tidak keruh, warna dari air tersebut, rasa yang ditimbulkan oleh air itu, tidak berbau, temperatur air yang normalnya sekitar (20-26oC) dan tidak mengandung zat padatan -
Parameter Kimia pH air selalu netral (pH=7), tidak mengandung bahan kimia beracun, kesadahan airnya rendah, tidak mengandung bahan organik dan tidak mengandung garam atau ion-ion garam.
-
Parameter Bakteriologi Tidak mengandung bakteri-bakteri patogen dan non patogen yang dapat menimbulkan bau dan rasa yang tidak enak, lendir dan kerak pada pipa.
2.4.1 pH Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan. Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan apakah larutan tersebut bersifat asam atau basa. Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5-7,5. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal akan bersifat asam, sedangkan air yang memiliki pH lebih besar dari pH normal akan bersifat basa. Nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat-zat yang secara kimia dan biokimia tidak stabil. Kondisi perairan yang sangat asam ataupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi. Kondisi pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik. Sedangkan kondisi pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Total padatan terlarut Total padatan terlarut atau Total Dissolved Solid (TDS) adalah padatan-padatan yang mempunyai ukuran lebih kecil daripada padatan tersuspensi. Padatan terlarut terdiri dari senyawa organik dan anorganik yang larut dalam air. Senyawa-senyawa ini umumnya berupa ion positif atau ion negatif. Selain itu, gas-gas yang terlarut misalnya oksigen, karbondioksida, hidrogen sulfida dan lain-lain. Total zat padat terlarut menyatakan jumlah total perpindahan pertukaran ion (mobile charged ions), termasuk mineral-mineral, garam-garam atau logam-logam yang terlarut dalam sejumlah tertentu suatu larutan dinyatakan dalam satuan mg/L atau ppm. TDS bergantung pada kemurnian suatu larutan (sampel air). Secara umum, nilai TDS merupakan jumlah kation dan anion dalam air. Kadar TDS yang cukup tinggi biasanya menggambarkan adanya kandungan ion K+, Na+ dan Cl-, dimana ionion ini hanya akan menimbulkan sedikit bahaya dalam waktu singkat. Akan tetapi, mungkin saja dalam sampel air tersebut terdapat pula beberapa logam berat seperti Pb2+ dan Cd2+ yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
2.4.3 Total padatan tersuspensi Total padatan tersuspensi atau Total Suspended Solid (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air. Kekeruhan air yang meningkat juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme. Menurut Priyono (1994), bahan partikel yang tidak terlarut seperti pasir, lumpur, tanah dan bahan kimia inorganik menjadi bentuk bahan tersuspensi di dalam air sehingga bahan tersebut menjadi penyebab polusi tertinggi di dalam air. Kebanyakan sungai dan daerah aliran sungai selalu membawa endapan lumpur yang
Universitas Sumatera Utara
disebabkan erosi alamiah dari pinggir sungai. Akan tetapi, kandungan sedimen yang terlarut pada hampir semua sungai meningkat terus karena erosi dari tanah pertanian, kehutanan, konstruksi dan pertambangan. Partikel yang tersuspensi menyebabkan kekeruhan dalam air, sehingga mengurangi kemampuan ikan dan organisme air lainnya memperoleh makanan dan mengurangi tanaman air melakukan fotosintesis. Selain itu, air buangan industri mengandung jumlah padatan teruspensi dalam jumlah yang bervariasi tergantung dari jenis industrinya. Air buangan dari industriindustri makanan, terutama industri farmasi dan industri tekstil sering mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah relatif tinggi.
2.4.4 Kekeruhan Kekeruhan (turbiditas) merupakan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabakan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya, lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme. Kekeruhan pada air merupakan satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penyediaan air bagi umum, mengingat bahwa kekeruhan tersebut akan mengurangi segi estetika, menyulitkan dalam usaha penyaringan dan akan mengurangi efektivitas usaha desinfeksi (Sutrisno, 1991). Kekeruhan dinyatakan dalam satuan unit turbiditas, setara dengan 1 mg/liter SiO 2 . Peralatan yang pertama kali digunakan untuk mengukur turbiditas atau kekeruhan adalah Jackson Candler Turbidimeter, yang dikalibrasi dengan menggunakan silika. Kemudian Jackson Candler Turbidimeter dijadikan sebagai alat baku atau standar bagi pengukuran kekeruhan.
2.5 Adsorben Adsorben merupakan bahan padat dengan luas permukaan dalam yang sangat besar. Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyaknya pori yang halus pada padatan
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Adsorben yang digunakan dalam proses pemurnian terdiri dari tipe polar (hidrofilik) dan non polar (hidrofobik). Adsorben polar antara lain silika gel, alumina yang diaktivasi dan beberapa jenis tanah liat (clay). Adsorben tipe ini umumnya digunakan jika zat warna yang akan dihilangkan lebih polar dari cairannya. Adsorben non polar antara lain arang (karbon dan batubara) dan arang aktif, yang biasa digunakan untuk menghilangkan zat warna yang kurang polar.
2.5.1 Bentonit Bentonit merupakan istilah perdagangan untuk lempung mineral yang mengandung montmorillonit sebagai komponen utamanya. Bentonit berwarna dasar putih dengan sedikit kecoklatan atau kemerahan atau atau kehijauan tergantung dari jenis dan jumlah fragmen mineral-mineralnya. Bentonit bersifat sangat lunak, ringan, mudah pecah, dan terasa seperti sabun. Nilai kapasitas tukar kation (KTK) bentonit sekitar 70 meq/100 g, luas permukaan spesifik yaitu sekitar 700-800 m2/g dan oleh karena besarnya nilai ini maka montmorilonit memperlihatkan sifat plastis dan melekat kuat jika basah (Olpen, 1997). Struktur monmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri dari dua silikon oksida tetrahedral dan satu alumunium oksida tetrahedral. Pada tetrahedral, empat atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur. Sedangkan pada oktahedral atom alumunium berikatan dengan enam atom oksigen pada ujung struktur (Soedjoko, 1987).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Struktur molekul mineral monmorillonit
Mineral-mineral bentonit umumnya berupa butiran sangat halus yang mempunyai struktur kristal berlapis dan berpori. Mineral tersebut mempunyai kemampuan mengembang (swellability) karena ruang antar lapis yang dimilikinya, dan dapat mengakomodasi ion-ion atau molekul terhidrat dengan ukuran tertentu. Potensi mengembang-mengerut dan adanya muatan negatif yang tinggi merupakan penyebab mineral ini dapat menerima dan menyerap ion-ion logam dan kation-kation organik menghasilkan senyawa komplek berupa organo-mineral. Kation organik diyakini mampu menggantikan kation-kation anorganik pada posisi antar lapis (Tan, 1993). Proses substitusi isomorfik dianggap sebagai sumber utama muatan negatif dalam mineral liat tipe 2:1. Sebagian dari silikon dalam lapisan tetrahedral dapat diganti oleh ion yang berukuran sama, yang biasanya adalah Al3+. Dengan cara yang sama, sebagian dari Al dalam lembar oktahedral dapat digantikan oleh Mg2+, tanpa mengganggu struktur kristal. Penggantian oleh satu ion bervalensi tiga (Al3+) untuk satu ion bervalensi empat (Si4+) merupakan sebab timbulnya satu muatan negatif pada lempeng silikat yang sebelumnya netral. Banyaknya penggantian menentukan jumlah muatan negatif (Soepardi, 1983). Ada 2 (dua) jenis bentonit yang banyak dijumpai, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Swelling bentonite (bentonit yang dapat mengembang) atau sering juga disebut sebagai bentonit jenis Wyoming atau Na-bentonit. Bentonit jenis ini merupakan mineral montmorilonit yang mempunyai lapisan partikel air tunggal (single water layer particles) yang mengandung kation Na+ yang dapat dipertukarkan. Bentonit ini mempunyai kemampuan mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan kedalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air. Dalam keadaan kering berwarna putih atau kuning gading, sedangkan dalam keadaan basah dan terkena sinar matahari akan berwarna mengkilat. Perbandingan antara kation Na+ dan kation Ca+ yang terdapat didalamnya sangat tinggi, suspensi koloidalnya mempunyai pH 8,5 sampai 9,8. Kandungan Na 2 O dalam bentonit jenis ini, pada umumnya lebih besar dari 2%. 2. Non swelling bentonite (bentonit yang kurang dapat mengembang) atau sering juga disebut Ca-bentonit. Bentonit jenis ini merupakan mineral montmorilonit yang kurang dapat mengembang apabila dicelupkan di dalam air, namun setelah diaktifkan dengan asam memiliki sifat sedikit menyerap air dan mengendap dengan cepat tanpa membentuk suspensi. Bentonit jenis ini memiliki pH sekitar 4,0-7,1, daya tukar ion yang juga cukup besar, mengandung kalsium dan magnesium yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan kandungan natriumnya. Karena sifat-sifat yang dimilikinya, maka bentonit jenis ini dapat digunakan sebagai bahan penyerap warna.
2.5.2 Arang aktif cangkang kelapa sawit Cangkang kelapa sawit merupakan salah satu limbah pengolahan minyak kelapa sawit yang cukup besar yaitu mencapai 30% dari produk minyak. Cangkang kelapa sawit termasuk juga limbah padat hasil pengolahan kelapa sawit. Limbah padat mempunyai ciri khas pada komposisinya. Komponen terbesar dalam limbah padat tersebut adalah selulosa, disamping komponen lain meskipun lebih kecil seperti abu, hemiselulosa dan lignin. Cangkang kelapa sawit mengandung kadar air 7,8%, kadar
Universitas Sumatera Utara
abu 2,2%, zat mudah menguap 69,5% dan kadar karbon 20,5% (Hartanto dan Ratnawati, 2010). Cangkang sawit memiliki banyak kegunaan serta manfaat bagi industri dan rumah tangga. Beberapa diantaranya adalah produk bernilai ekonomis tinggi yaitu arang aktif. Arang aktif adalah senyawa berbahan dasar karbon yang telah diolah sehingga memiliki porositas tinggi dan luas permukaan besar. Dua sifat ini menyebabkan arang aktif dapat digunakan sebagai adsorben yang efektif untuk berbagai senyawa organik pada pengolahan air limbah. Aktifasi merupakan suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan. Arang yang diaktifasi akan mengalami perubahan sifat fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar yang berpengaruh terhadap daya adsorpsi. Sembiring dan Sinaga (2003) menyebutkan bahwa metode aktifasi yang umum digunakan dalam pembuatan arang aktif yaitu: -
Aktifasi kimia Aktifasi kimia adalah proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan pemakian bahan-bahan kimia. Metode ini dilakukan dengan cara merendam bahan baku pada bahan kimia (H 3 PO 4 , ZnCl 2 , CaCl 2 , K 2 S, HCl, H 2 SO 4 , NaCl, Na 2 CO 3 ) dan diaduk dalam jangka waktu tertentu, kemudian dicuci dengan akuades selanjutnya dikeringkan. Proses ini bertujuan untuk membersihkan permukaan pori, membuang senyawa pengganggu dan menata kembali letak atom yang dapat dipertukarkan.
-
Aktifasi fisika ktivasi fisika adalah proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan bantuan panas, uap dan CO 2 . Pemanasan ini bertujuan untuk menguapkan air yang terperangkap dalam pori-pori arang aktif sehingga luas permukaan karbon aktif bertambah besar. Pemanasan dengan uap atau CO 2 pada
Universitas Sumatera Utara
temperatur tinggi merupakan reaksi endoterm, sehingga lebih mudah dikontrol dan paling umum digunakan. Luas permukaan arang aktif berkisar antara 300-3500 m2/gram dan ini berhubungan dengan struktur pori internal, struktur pori ini menjadikan celah-celah dalam arang aktif mampu dilewati oleh molekul pada saat adsorpsi. Arang aktif dapat mengadsorpsi gas, molekul netral, asam atau basa organik tetapi tidak mampu menyerap secara maksimal ion logam atau garam-garam yang terinonisasi dengan kuat. Daya serap arang aktif sangat besar yaitu 25-1000% terhadap berat arang aktif (Sembiring dan Sinaga, 2003). Arang aktif dibagi atas 2 tipe, yaitu arang aktif sebagai pemucat dan sebagai penyerap uap. Arang aktif sebagai pemucat, biasanya berbentuk serbuk (powder) yang sangat halus, diameter pori mencapai 1000Å, digunakan dalam fase cair, berfungsi untuk memindahkan zat-zat penganggu yang menyebabkan warna dan bau yang tidak diharapkan, membebaskan pelarut dari zat-zat penganggu dan kegunaan lain yaitu pada industri kimia Arang aktif sebagai penyerap uap, biasanya berbentuk granular atau pellet yang sangat keras diameter pori berkisar antara 10-200 Å, tipe pori lebih halus, digunakan dalam fase gas, berfungsi untuk memperoleh kembali pelarut, katalis, pemisahan dan pemurnian gas. Arang aktif ini diperoleh dari tempurung kelapa, tulang, batu bata atau bahan baku yang mempunyai bahan baku yang mempunyai struktur keras. Pengujian mutu arang aktif dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan arang aktif agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Syarat mutu arang aktif berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 06-3730 Tahun 1995 ditunukkan pada Tabel 2.2 berikut ini:
Tabel 2.2 Syarat mutu arang aktif berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 06-3730 Tahun 1995
Universitas Sumatera Utara
Uraian
Persyaratan Butiran
Serbuk
Kadar zat terbang (%)
Mask 15
Mask 25
Kadar air (%)
Maks 4.5
Maks 15
Kadar abu (%)
Maks 2.5
Maks 10
Daya jerap I 2 (mg/g)
Min 750
Min 750
Karbon aktif murni (%)
Min 80
Min 65
Daya jerap terhadap benzena (%)
Min 25
-
Daya jerap terhadap biru metilen (mg/g)
Min 60
Min 120
0.45-0.55
0.3-0.35
-
Min 90
min 80
-
Bobot jenis curah (g/ml) Lolos mesh Kekerasan (%)
2.6 Adsorpsi Adsorpsi (penyerapan) adalah suatu proses pemisahan komponen dari suatu fase fluida berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap. Dalam adsorpsi digunakan istilah adsorbat dan adsorban. Adsorbat adalah substansi yang terserap atau substansi yang akan dipisahkan dari pelarutnya, sedangkan adsorban merupakan suatu media penyerap yang dalam hal ini berupa senyawa karbon (Webar, 1972). Proses adsorpsi umumnya dilakukan dengan cara mengontakkan larutan/ gas dengan padatan, sehingga sebagaimana komponen larutan dan gas diserap pada permukaan padatan dan akibatnya akan mengubah komposisi larutan keluar. Proses adsorpsi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia. Adsorpsi fisika terjadi apabila molekul adsorbat ditahan secara fisika yaitu oleh gaya tarik Van Der Walls. Adsorpsi ini terjadi akibat adanya gaya tarik menarik antar molekul adsorben dengan adsorbat. Proses ini merupakan proses dapat balik. Bahan yang terserap tidak mengalami perubahan kimia dan tidak menembus kedalam kristal adsorben, tetapi hanya terserap pada permukaan adsorben. Adsorpsi
Universitas Sumatera Utara
kimia terjadi akibat adanya pertukaran elektron pada permukaan. Adsorpsi ini terjadi akibat adanya interaksi kimia antara adsorben dengan bahan yang terserap dan merupakan reaksi searah. Proses adsorpsi tergantung pada sifat zat padat yang mengadsorpsi, sifat atom/molekul yang diserap, konsentrasi, temperatur dan lain-lain. Pada proses adsorpsi terbagi menjadi beberapa tahap yaitu: -
Transfer molekul-molekul zat terlarut yang teradsorpsi menuju lapisan film yang mengelilingi adsorben.
-
Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui lapisan film (film diffusion process).
-
Difusi zat terlarut yang teradsopsi melalui kapiler/pori dalam adsorben (pore diffusion process).
-
Adsorpsi zat terlarut yang teradsorpsi pada dinding pori atau permukaan adsorben.
Menurut Droste (1997) proses adsorpsi dipengaruhi oleh : -
Bahan penyerap Bahan yang digunakan untuk menyerap mempunyai kemampuan berbeda-beda, tergantung dari bahan asal dan juga metode aktivasi yang digunakan.
-
Ukuran butir Semakin kecil ukuran butir, maka semakin besar permukaan sehingga dapat menyerap kontaminan semakin banyak. Secara umum kecepatan adsorpsi ditujukan oleh kecepatan difusi zat terlarut ke dalam pori-pori partikel adsorben.
-
Derajat keasaman (pH larutan) Pada pH rendah, ion H+ akan berkompetisi dengan kontaminan yang akan diserap, sehingga efisiensi penyerapan turun. Proses penyerapan akan berjalan baik bila pH larutan tinggi. Derajat keasaman mempengaruhi adsorpsi karena pH menentukan tingkat ionisasi larutan, pH yang baik berkisar antara 8-9. Senyawa asam organik dapat diadsorpsi pada pH rendah dan sebaliknya basa organik dapat diadsorpsi pada pH tinggi.
Universitas Sumatera Utara
-
Waktu serap Waktu serap yang lama akan memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul zat terlarut yang terserap berlangsung dengan baik.
-
Konsentrasi Pada konsentrasi larutan rendah jumlah bahan diserap sedikit, sedangkan pada konsentrasi tinggi jumlah bahan yang diserap semakin banyak. Hal ini disebabkan karena kemungkinan frekuensi tumbukan antara partikel semakin besar.
Universitas Sumatera Utara