BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Kepala 2.1.1. Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan perikranium (Japardi, I., 2002).
2.1.2 Tulang Tengkorak Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah (Pearce, EC.,2008).
2.1.3. Meningia Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang. Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran terdiri atas 3 lapisan, yaitu: a.
Durameter (Lapisan sebelah luar) Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan dura meter propia di bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Durameter pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer otak
b.
Selaput Arakhnoid (Lapisan tengah)
Universitas Sumatera Utara
Selaput arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter yang membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral. c.
Piameter (Lapisan sebelah dalam) Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trebekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari flaks serebri. Tentorium memisahkan cerebrum dengan serebellum (Pearce, EC.,2008).
Gambar 2.1 Lapisan Meningea 2.2. Definisi Cedera Kepala Cedera kepala adalah suatu ruda paksa yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan structural dan gangguan fungsional jaringan otak. Cedera kepala melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari bagian terluar (kulit kepala) hingga bagian terdalam (otak). Setiap komponen yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan mekanisme cedera kepala yang terjadi. Cedera kepala merupakan hantaran energi luar seperti tenaga mekanik yang menyebabkan rusaknya jaringan kepala sehingga timbul reaksi jaringan (Fearnside, 1997) Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cedera baik yang trauma tertutup ataupun trauma tertembus (Satya Negara, 1998 : 59). Kontusio cerebri adalah sindrom
Universitas Sumatera Utara
yang melibatkan bentuk ringan dari cedera otak yang menyebar. Terjadi disfungsi neurologis sementara dan bersifat dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Jika ada penurunan kesadaran mungkin pasien mengalami disorientasi dan binggung hanya dalam waktu singkat (Hudak dan Gallo, 1996 : 227) Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan bersifat degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar, yang menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif, dan psikososial. Gangguan ini dapat bersifat menetap atau sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran(Valadka,1996).Berdasarkan mekanismenya cedera otak di bagi atas cedera otak tumpul dan cedera otak tembus/tajam (penetrating head injury) (Valadka, 1996). Kontusio serebri yang dimaksud dalam penelitian ini didasarkan pada penilaian klinis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dan CT-scan kepala dimana didapati adanya intracerebral hemorrhage yang tidak ada indikasi operasi. Cedera kepala kami bagi atas:cedera kepalasedang (CKS) dengan GCS 9-13 dan cedera kepala berat (CKB) dengan GCS 3-8.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. stratifikasi resiko pada penderita dengan cedera kepala Kategori resiko Ringan
Karakteristik Pemeriksaan neurologi normal Tidak ada kontusio Tidak ada intoksikasi obat atau alcohol Dapat mengeluh nyeri kepala atau dizziness Dapat dijumpai abrasi scalp, laserasi atau hematoma Tidak ada kriteria trauma sedang atau berat
Sedang
SKG 9-14 (bingung, lethargi,stupor) Concussion Posttraumatic amnesia Muntah Seizure Kemungkinan tanda basiler atau fraktur tengkorak yang menekan atau cedera wajah yang serius Intoksikasi obat atau alcohol Tidak ada riwayat cedera atau riwayat tidak jelas Usia < 2 tahun atau kemungkinan child abuse
Berat
SKG 3-8 (koma) Penurunan progressif tingkat kesadaran Tanda neurologic fokal Cedera penetrasi tengkorak atau fraktur tengkorak
Dikutip dari : Mayer SA, Rowland LP . Head Injury . In : Rowland LP , editor. Merritt’s Neurology. 10th ed.Philadelphia : Lippincott Williams & Wikkins; 2000. P401-6.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Epidemiologi Insiden trauma kapitis di negara-negara berkembang adalah 200/100.000 populasi per tahun. Dalam satu studi yang berdasarkan populasi menunjukkan bahwa insiden trauma kapitis sekitar 180-250/100.000 populasi per tahun di Amerika Serikat. Insiden lebih di Eropa dari 91/100.000 populasi per tahun di Spanyol hingga 546/100.000 di Swedia, di Southern Australia 322/100.000 dan di Afrika Selatan 316/100.000 (Bondanelli dkk, 2005). Di Indonesia data epidemiologi secara nasional belum ada. Di ruang rawat neurologi RSCM Jakarta, dari tahun ketahun terdapat peningkatan. Pada tahun 1994 jumlah penderita dirawat 1002 orang. (Musridharta dkk, 2006). Insiden tertinggi penderita trauma kapitis ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun atau 75 tahun lebih, sedangkan pada anak insiden puncaknya pada usia kurang dari 5 tahun. Angka insiden untuk pria dua kali lebih sering dibanding wanita dengan ratio tertinggi pada remaja dan dewasa muda, dan range dari 1,2 : 1 sampai 4,4 : 1 dalam populasi yang berbeda (Bondanelli dkk ,2005 ).
2.4 Patofisiologi Patofisiologi menurut Markum (1999), trauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetak, kerusan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal ini menyebabkan pembuluh darah robek sehingga menyebabkan hematoma epidural, subdural, maupun intrakranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringa akan menyebabkan odema serebral. Akibat dari hematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan tekanan intrakranial merangsang kelenjar dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah sehingga masukan nutrisi kurang ( Satyanegara, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Patofisiologi kerusakan diotak akibat trauma kapitis dapat dikelompokkan dengan dua stadium yaitu cedera kepala primer dan sekunder (Gilroy, 2000; Marik dkk, 2002; Hemphill,2005).
Gambar 2.2 Trauma kepala tertutup 2.4.1 Cedera kepala primer ( Primary Brain Injury) Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus (Valadka, 1996). Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan / atau pembuluh darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau diffuse axonal injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral (Graham,1995), yang dapat dilihat pada CT-scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskhemik baik fokal maupun global (Valadka, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan mikrovaskularpada fase lanjut (late phase), dimana terjadi vasospasme (Vazquez-Barquero,1992; Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi: 1. Fase awal (fase 1, segera, dengan hipoperfusi), 2. Fase intermediate (fase 2, hari 1-3, tampak hyperemia) dan 3. Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah (Ingebrigtsen, et al. 1998). Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic core) yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) (Andersson, 2003).
2.4.2 Kontusio Serebri (memar otak) Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling sering terjadi.Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami kontusio serebri (Cooper, 1982).Depreitere et al melaporkan bahwa kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere B, 1982).Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak.Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid (Hardman, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Freytag dan Lindenberg (1957) mengemukakan bahwa padadaerah kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai pericontusional zone yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hail ini disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan mean arterial pressure (MAP) atau peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7 hari. Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi kecacatan dan kejang di kemudian hari (Davis G, 2009 ).
Gambar 2.3. Mekanisme Terjadinya Kontusio Kepala (Mesiano, 2010) Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan menyebabkan hiperekstensi kepala.Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularisdifus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung (Liau et al, 1996).
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Diffuse Axonal Injury Diffuse axonal injury merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini bukan merupakan cedera difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang terjadi lebih dominan pada area otak tertentu yang mengalami percepatan yang tinggi dan cedera deselerasi dengan durasi yang panjang. DAI merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu. Gambaran patologi secara histologi dari DAI pada manusia adalah terdapat kerusakan yang luas pada akson dari batang otak, parasagittal white matter dari korteks serebri, korpus kallosum dan gray-white matter junction dari korteks serebri(Smith et al, 1999). Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang membengkak dan putus. Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan rotasional dari otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas dari jaringan otak yaitu jaringan white matter lebih berat dibandingkan grey matter. Pada saat otak mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi, jaringan dengan densitas lebih rendah bergerak lebih cepat dibandingkan dengan jaringan dengan densitas lebih besar. Perbedaan kecepatan inilah yang menyebabkan robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey matter dan white matter(Smith et al, 1999). Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekkan akson terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan pembengkakan dan putusnya akson-akson. Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan influks natrium yang juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan aktifnya calsium-mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan kerusakan dari pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang membengkak. Kerusakan akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang dapat menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah vegetative state (Blumbergs, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Cedera kepala sekunder ( Secondary Brain Injury) Cedera kepala sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan kerusakan neuron-neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera awal (Marik dkk,2002). Faktor sekunder akan memperberat cedera kepala dikarenakan hasil shearing pada laserasi otak, robekan pembuluh darah, spasme vaskuler, oedem serebral, hipertensi intrakranial, pengurangan cerebral blood flow (CBF), iskemik,hipoksia dan lainnya yang dapat menimbulkan kerusakan dan kematian neuron (Gilroy, 2000). Sejumlah substans biokemikal telah terbukti memiliki peranan dalam perkembangan cedera neural setelah cedera kranioserebral. Substan ini meliputi asam amino eksitatori glutamat dan aspartate, sitokin dan radikal bebas (Marik dkk,2002). 2.5 Mekanisme terjadinya fraktur pada cedera kepala 2.5.1 Perubahan pada tengkorak Bila suatu benda bergerak memukul kepala atau bergerak mengenai suatu benda, maka pada waktu kontak antara keduanya akan terbentuk energi yang besarnya bergantung pada massa, densitas, bentuk dan kecepatan benda yang memukul. Sebagian dari energi benda akan diserap oleh kepala dan menyebabkan terjadinya deformitas berupa pelekukan ke dalam (inbending) tulang pada lokasi benturan (impak). Jika energi yang terserap melewati suatu ambang tertentu maka terjadilah fraktur tengkorak. Banyaknya serta karakteristik deformitas tengkorak terutama ditentukan oleh kecepatan obyek yang memukul dan lamanya energi bekerja pada tengkorak (lamanya penyerapan energi). Selain itu ukuran dan bentuk obyek serta ketebalan tulang turut pula berpengaruh pada hal tersebut. Pada saat terjadi kekerasan pada kepala, tulang tengkorak pada daerah pukulan akan melekuk ke dalam ( deformitas lokal), sedangkan daerah-daerah tertentu yang berjauhan dari lokasi pukulan akan melekuk ke luar ( deformitas umum). Jika pelekukan pada daerah impak tidak terlalu besar, maka tulang akan kembali ke kedudukannya semula (rebound) dan di daerah tersebut tidak akan terjadi fraktur depresi. Pada keadaan ini biasanya terjadi pelekukan ke luar (outbending) yang bermakna pada daerah yang justru berjauhan dari daerah impak.
Universitas Sumatera Utara
Pelekukan keluar ini akan menimbulkan kekuatan robekan pada permukaan luar tengkorak sehingga di sini bermula suatu fraktur linier yang menjalar dalam dua arah yang berlawanan, yaitu satu patahan berjalan menuju impak dan yang lainnya menjauhi impak. Jika pelekukan ke dalam daerah impak cukup hebat, maka pada daerah impak akan terjadi fraktur depresi. Pada keadaan ini ada tidaknya pelekukan ke luar pada daerah yang berjauhan dari impak bergantung pada kecepatan penyerapan energi di titik impak (kecepatan impak). Semakin cepat pukulan, maka semakin kurang pelekukan ke luar pada daerah yang berjauhan dari impak dan bertambah terlokalisasi di daerah depresi yang terjadi. Dengan demikian, pada keadaan ini kita dapat menjumpai adanya 3 kemungkinan pola fraktur, yaitu fraktur linier saja yang berjalan dari perifer menuju impak, fraktur depresi saja di daerah impak atau fraktur depresi dan satu atau lebih fraktur linier yang berjalan dari perifer menuju ke daerah depresi (Soemarmo Markam, 1999). 2.6 Pemeriksaan Klinis pada Cedera Kepala 2.6.1 Anamnesis Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, bila terjadinya kecelakaan yang dialami oleh pasien. Selain itu perlu ditanyakan pula tentang kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah apa tidak, adanya kejang. Bila pasien sadar, tanyakan apa yang terjadi, apa keluhan yang dirasakannya. Kalau pasien tidak ingat apa yang terjadi, tanyakan apa yang terakhir diingatnya sebelum kecelakaan. 2.6.2 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital: kesadaran, nadi, tensi darah, frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu badan. Tingkat kesadaran dicatat yaitu kompos mentis,apatis, somnolen, spoor, soporokoma atau koma. Selain itu ditentukan dengan menilai Skala Koma Glasgow
Universitas Sumatera Utara
Table 2.2 Glasgow Coma Scale (Teasdale dan Jennett, 1974) Assesment area
Score
*Eye Opening (E)
Spontaneous
4
To speech
3
To pain
2
None
1
*Motor Respon (M)
Obey command
6
Localize pain
5
Normal flexion ( withdrawal to pain )
4
Abnormal flexion (decorticate )
3
Abnormal extension ( decerebrate )
2
Universitas Sumatera Utara
None ( flaccid )
1
*Verbal Respon (V)
Oriented
5
Confused conversation
4
Inappropriate word
3
Incomprehensible sounds
2
None
1
Skala 5
: Recovery baik. Pasien dapat kembali ke pekerjaan semula, terdapat sedikit gangguan neurologis atau psikis.
Skala 4
: Keterbatasan moderat. Pasien tidak dapat kembali kepada pekerjaan semula tetapi dapat menjalankan aktivitas harian secara mandiri.
Skala 3
: Keterbatasan berat. Pasien perlu bantuan untuk aktivitas harian dan tidak dapat hidup mandiri.
Skala 2
: Status vegetatif persisten. Tidak adanya fungsi wicara dan fungsi mental pada pasien yang tampak bangun dengan respon buka mata spontan.
Skala 1
: Mati
Skala 5 dan 4 dinilai baik. Skala 3, 2, dan 1 dinilai buruk. (WB Saunders Co, 1996)
Universitas Sumatera Utara
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap seperti biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan obyektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningens, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik (nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12, yaitu : nervus I (nervus olfaktoris), nervus II (nervus optikus), nervus III (nervus okulomotoris), nervus IV (troklearis), nervus V (trigeminus), nervus VI (Abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII (oktavus), nervus IX (glosofaringeus) dan nervus X (vagus), nervus XI (spinalis) dan nervus XII (hipoglosus), nervus spinalis (pada otot lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan saraf motorik (Markam,S dkk., 1999). 2.7 Pemeriksaan Laboratorium 2.7.1 Glukosa Bukti yang paling kuat dari nilai prognostic dari parameter laboratorium terdapat pada glukosa, dengan kadar yang tinggi dikaitkan dengan outcome yang jelek. Peranan kadar glukosa darah pada patofisiologi kerusakan neuronal setelah trauma kapitis belum jelas (Kinoshita dkk, 2002). Mekanisme yang mendasari perburukan kerusakan adalah multifactorial. Peningkatan pembentukan laktat dan H+ mengakibatkan penurunan pH intraseluler dan ekstraseluler sebagai konsekuensi dari iskemia. Kadar laktat yang meningkat juga akan mempengaruhi glial dan endotel kapiler, menyebabkan gangguan vaskular (Kinoshita dkk, 2002). Hiperglikemia dikaitkan dengan laktat serebral yang meningkat dan mengakibatkan asidosis pada jaringan otak lokal. Asidosis jaringan otak memperburuk fungsi mitokondria pada penumbra, jaringan otak yang mengalami iskemi sedang yang terletak di sekitar pusat trauma, dan meningkatkan ukuran infark serebral (Paolino dan Garner, 2005). Rosner dkk telah berspekulasi bahwa hiperglikemi dan peningkatan katekolamin darah dikaitkan secara sebab-akibat. Katekolamin dan glucagon menstimulasi pecahnya glikogen yang tersimpan di hati menjadi glukosa. Bessey dkk telah menunjukkan pada manusia normal terdapat
Universitas Sumatera Utara
tiga hormon infus (glukagon, katekolamin dan kortisol) yang menyebabkan hiperglikemi seperti yang terlihat pada stress sedang atau berat. Katekolamin meningkatkan sekresi glukagon dan menginhibisi sekresi insulin setelah trauma dan stress ( cit.Young dkk 1989). Proses inflamasi dipercaya berperan dalam pathogenesis trauma kepala melalui mekanisme sekunder (Kinoshita dkk, 2002). Charian dkk dengan yakin menunjukkan pada hewan percobaan bahwa dampak trauma pada kortikal diikuti oleh iskemik dengan adanya hiperglikemi yang secara signifikan meningkatkan volume otak iskemik, volume kontusio dan mortalitas dan penurunan hasil fungsional pada penderita (cit Atkinson,2000). 2.7.2 Hematokrit Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser ke kanan pada pasien hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi. Peninggian tekanan intrakranial (TIK) mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50ml/100gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolic serta distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri. Edema otak yang telah terjadi oleh sebab apapun akan meningkatkan TIK yang berakibat gangguan ADO yang memperberatkan edema ( Chesnut, RM, 1996) Pada saat autoregulasi cairan darah otak intak, viskositas hanya berpengaruh sedikit terhadap Aliran Darah Otak (ADO), yang secara primer dipengaruhi oleh diameter pembuluh darah. Pada saat autoregulasi hilang ( saat cedera kepala), pembuluh darah dilatasi maksimal, dan viskositas menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap ADO. Fungsi autoregulasi cairan darah otak disesuaikan oleh radius pembuluh darah untuk mengkompensasi perubahan tekanan
Universitas Sumatera Utara
dan viskositas darah, pada situasi dimana fungsi autoregulasi hilang dan radius pembuluh darah maksimal, viskositas menjadi sangat penting dalam menentukan cairan darah otak, sehingga hematokrit menjadi sangat menentukan viskositas darah. (Deutsch H,Ulman JS.2005) Banyak studi hewan membuktikan peningkatan Aliran Darah Otak dan penurunan iskemik sebagai hasil dari hemodilusi dan pengurangan hematokrit. Hematokrit adalah perbandingan sel darah merah terhadap volume darah. Nilai normal beragam tetapi secara umum untuk lelaki adalah diantara 40,7% hingga 50,3% manakala untuk wanita adalah 36,1% hingga 44,3%. ( Carlson AP,Schemer CR, Lu SW.Retrospective evaluation of anemia and transfusion in traumatic brain injury. J trauma, 2006 September; 61(3):571). Hematokrit meninggi pada keadaan :
Dehidrasi
Eritrositosis
Polisitemia vera
Anemia
Hancurnya sel darah merah
Leukemia
Multiple myeloma
Rheumatoid arthiritis
Gangguan sumsum tulang
Malnutrisi
Hematokrit menurun pada keadaan :
( Pherson RA, Pincus MR. 2007) Hematokrit darah diantara 30-35% secara luas diterima sebagai kadar optimal pada penderita cedera kepala. Angka ini didapat dari beberapa studi eksperimental terhadap viskositas darah dan kapasitas pengangkutan oksigen. ( Saustiel JF, Levy E.2002)
Universitas Sumatera Utara
2.8 Pemeriksaan Radiologis 2.8.1 Foto Rongen Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di daerah frontal buatkan foto posterioranterior. Bila lesi terdapat pada daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae (Markam,S dkk. 1999) 2.8.2 CT scan kepala CT scan kepala merupakan pemeriksaan yang mendasar dalam mengevaluasi penderita trauma kapitis. Literatur secara umum menyarankan pemeriksaan CT scan pada semua kasus trauma kapitis termasuk derajat ringan yang paling kurang dijumpai minimal satu kriteria berikut: kehilangan kesadaran, post traumatic amnesia, konfusion atau gangguan kewaspadaan (akertness) ( Cushman dkk, 2001). Marshall dkk telah mengembangkan klasifikasi trauma kapitis berdasarkan tingkat keparahan dari trauma kapitis berdasarkan gambaran CT-Scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Lovasik dkk,2001). Klasifikasi ini berdasarkan adanya lesi fokal atau diffuse pada gambaran CT-Scan. Beberapa studi menyatakan bahwa gambaran Head CT-Scan merupakan salah satu predicator terpenting pada trauma kapitis (Tateno dkk, 2003). Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada penderita trauma kapitis : 1. SKG < 15 atau terdapat penurunan kesadaran 2. Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
Universitas Sumatera Utara
3. Adanya tanda klinis fraktur basis kranii .4. Adanya kejang 5. Adanya tanda neurologis fokal. 6. Sakit kepala yang menetap (Japardi, I., 2002). 2.8.3 MRI (Magnetic Resonance Imaging) MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih jelas.Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik dalam menilai cedera subakut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural hematoma, lebih baik dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan hematoma secara lebih akurat karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa posisi, dan lebih baik dalam pencitraan cedera batang otak. Sedangkan kerugian MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : membutuhkan waktu pemeriksaan lama sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien trauma kapitis berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam penilaian fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan (Japardi, I.2002). 2.8.4 Glasgow Outcome Scale (GOS) Glasgow Outcome Scale adalah skala tertua yang digunakan untuk mengukur hasil setelah terjadinya trauma kapitis dan juga digunakan secara luas sebelum timbul skala baru. Glasgow Outcome Scale diciptakan oleh Jennet dkk pada tahun 1975 dan extended version diperkenalkan pada tahun 1998 oleh Wilson dkk. Glasgow Outcome Scale dan Glasgow Outcome Scale Extended (GOSE) dipakai untuk mengalokasikan pasien yang menderita cedera otak akut dari cedera otak traumatik dan non-traumatik ke dalam kategori hasil yang lebih luas. Skala ini mengambarkan disabilitas dan kecacatan dibandingkan gangguan; yang difokuskan pada bagaiman trauma mempengaruhi fungsi pada kehidupan dibanding hanya defisit dan gejala yang ditimbulkan oleh trauma (Leon-Carrion, 2006). Skala yang asli terdiri dari 5 tingkatan sebagai berikut: (Leon-Carrion, 2006; Capruso dan Levin, 1996) 1. Meniggal
Universitas Sumatera Utara
2. Vegetative state : tanda dari vegetative state adalah ketiadaan fungsi kognitif yang ditunjukkan oleh hilangnya komunikasi total; yang menyatakan bahwa korteks serebri tidak berfungsi lagi. Tidak seperti pada pasien koma, pasien pada vegetative state memiliki respon buka mata, gerakan bola mata, dan siklus tidur/bangun. Meskipun pasien pada vegetative state dapat menunjukkan berbagai aksi motorik yang refleksif, kebiasaan ini tidak dapat menunjukkan kesadaran. Meskipun pasien bangun tetapi mereka tidak waspada 3. Disabilitas berat : sadar tetapi pasien yang membutuhkan pertolongan termasuk dalam kategori ini. Meskipun tingkat ketergantungan bervariasi, yang termasuk dalam kategori ini adalah pasien yang tergantung pada seorang caregiver pada seluruh aktifitas sepanjang hari. Pada beberapa pasien, fungsi kognitif dan fisik masih relatif utuh, tetapi pasien sangat disinhibisi atau apatis sehingga mereka tidak meninggalkan perlengkapan peribadi mereka. Pasien yang tidak dapat ditinggal sendiri dan merawat diri mereka sendiri selama interval 24 jam termasuk dalam kategori ini. 4. Disabilitas sedang : pasien yang tidak membutuhkan pertolongan tetapi tidak mampu termasuk dalam kategori ini. Meskipun mereka dapat tinggal sendiri, tetapi pasien ini memiliki tingkat kecacatan fisik dan kognitif yang membatasi mereka dibandingkan tingkat kehidupan sebelum trauma. Banyak pasien pada kategori ini kembali bekerja, meskipun dalam pekerjaan mereka diberikan kelonggaran khusus dan asisten untuk mereka, dan mereka tidak dapat memikul pekerjaan sebesar tanggung jawab mereka sebelum sakit. 5. Perbaikan baik : pasien tidak bergantung dimana mereka dapat kembali ke pekerjaan atau aktifitas mereka sebelum sakit tanpa adanya keterbatasan mayor masuk dalam kategori ini. Pasien ini dapat memiliki defisit neurologi atau kognitif yang menetap sampai tingkat ringan, tetapi defisit ini tidak mengganggu keseluruhan fungsi mereka. Pasien ini kompeten bersosialisasi dan mampu membawa diri mereka secara adekuat dan tanpa perubahan kepribadian yang berarti.
Universitas Sumatera Utara