BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Kelapa Produksi air kelapa cukup berlimpah di Indonesia yaitu mencapai lebih dari 1 sampai 900 juta liter per tahun. Namun, pemanfaatannya dalam industri pangan belum menonjol, sehingga masih banyak air kelapa terbuang percuma, selain mubazir, buangan air kelapa dapat menimbulkan polusi asam asetat, akibat proses fermentasi dari limbah air kelapa tersebut (Warisno, 2004). Air kelapa sangat baik digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan nata, karena mengandung nutrisi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri Acetobacter xylinum untuk memproduksi selulosa bakteri (Wibowo et al. 2008). Air kelapa yang digunakan dalam pembuatan nata de coco, adalah air kelapa tua yang diperoleh dari kelapa tua. Air kelapa muda atau air kelapa yang terlalu tua atau yang telah keluar bakal tunasnya tidak bisa digunakan. Sebab, air kelapa muda belum cukup mengandung mineral sebagai nutrien pendukung pertumbuhan dan aktifitas bakteri Acetobacter xylinum. Sebaliknya, air kelapa yang berasal dari kelapa yang telah terbentuk tunas mengandung minyak berlebihan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Air kelapa mengandung air 91,5 %; protein 0,14 %; lemak 1,5 %; karbohidrat 1,6 %; serta abu 1,06 %. Selain itu air kelapa mengandung berbagai nutrisi seperti sukrosa, dekstrosa, fruktosa serta vitamin B kompleks yang terdiri dari asam nikotinat, pantotenat, biotin, riboflavin, dan asam folat (tabel 2.1). Nutrisi tersebut sangat berguna untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Perbandingan Komposisi Air Kelapa Muda dengan Air Kelapa Tua Sumber air (dalam 100 g) Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Besi Aktivitas vitamin A Asam askorbat Air Bagian yang dapat dimakan Sumber : Palungkun, 1996
Kelapa Muda % 17,0 kal 0,2 g 1,0 g 3,8 g 15,0 mg 8,0 mg 0,2 mg 0,0 IU 1,0 mg 95,5 g 100,0 g
Kelapa tua % 0,14 g 1,50 g 4,60 g 0,50 g 91,5 g -
2.2 Jeruk Jeruk (Citrus sp) termasuk dalam famili Rutaceae. Buah jeruk yang masak sempurna mengandung air sebesar 77-92 %, gula 2-15 %, protein yang kurang dari 2 % dan asam sitrat sebanyak 1-2 % (Ashari, 1995). Buah jeruk banyak digunakan untuk menghasilkan jus dan produk olahan makanan lainnya sehingga dalam proses produksi jus, sejumlah besar limbah jeruk dihasilkan. Oleh karenanya, limbah jeruk mengandung bahan yang berharga sehingga limbahnya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produk bernilai tinggi (Goto et al. 2010).
Kulit jeruk memiliki kadar selulosa berkisar antara 12,7% sampai 13,6% dan hemiselulosa dari 5,3% sampai 6,15% dan lignin serta abu 2% atau lebih rendah. Kulit jeruk cocok untuk digunakan sebagai bahan tambahan bubur kertas karena dapat meningkatkan ketahanan terhadap proses pembakaran dan menurunkan kekuatan sobek (Ververis et al. 2006).
Jeruk keprok (Citrus Reticulata Blanco syn) tumbuh di Berastagi, Sumatera Utara berasal dari Tiongkok Selatan yang dapat hidup di dataran tinggi dengan sinar matahari dengan curah hujan 1900-2040 mm/tahun. Jeruk keprok tumbuh dengan curah hujan tipe C dimana 5-7 bulan basah dan 4-6 bulan kering (Joesoef, 1993).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Selulosa Selulosa adalah polisakarida yang paling banyak diproduksi di biosfer. Hal ini disintesis oleh tanaman, hewan dan mikroorganisme (Bielecki et al. 2005). Selulosa merupakan polimer linear dari glukosa dengan ikatan β-1,4-glikosida. Selulosa merupakan komponen utama dari dinding sel tanaman (Hardjo et al. 1989). Isomer β tidak membentuk gulungan seperti isomer α, tetapi selaras dalam baris paralel oleh ikatan hydrogen diantara kelompok hidroksil pada rantai yang berdekatan. Hal ini menyebabkan selulosa tidak dapat larut dalam air yang akan memberikan struktur rigis ke dinding sel kayu dan serat yang lebih tahan terhadap hidrolisis dari pati (Timberlake, 2008). Namun akan larut ke beberapa campuran pelarut seperti pereaksi Schweitzer atau tembaga (II) diamin, dimetil sulfoksida-paraformaldehid, amin oksida, dan asam fosfat (Steven, 2001). Pemeriksaan selulosa dengan sinar X menunjukkan bahwa selulosa terdiri atas rantai linear dari unit selobiosa, yang oksigen cincinnya berselang-seling dengan posisi ke depan dan ke belakang. Molekul linear ini, yang mengandung rata-rata 5000 unit glukosa, beragregasi menghasilkan fibril yang terikat bersama oleh ikatan hidrogen diantara hidroksil-hidroksil pada rantai yang bersebelahan. Serat selulosa yang memiliki sifat kekuatan fisis yang tinggi ini dibangun dari fibril-fibril tersebut melilit seperti spiral dengan arah berlawanan pada sumbu pusatnya (Hart, 2003).
Gambar 2.2 Rumus Molekul Selulosa (Poedjadi, 1994)
Universitas Sumatera Utara
Selulosa terdapat dalam tumbuhan sebagai bahan pembentuk dinding sel. Serat kapas boleh dikatakan seluruhnya adalah selulosa. Dalam tubuh kita selulosa tidak dapat dicerna karena tidak mempunyai enzim yang dapat menguraikan selulosa. Dengan asam encer tidak dapat terhidrolisis, tetapi oleh asam dengan konsentrasi tinggi dapat terhidrolisis menjadi selobiosa dan D-glukosa. Selobiosa adalah suatu disakarida yang terdiri atas dua molekul glukosa yang berikatan glikosidik antara atom karbon 1 dengan atom karbon 4 (Poedjadi, 1994). Tabel 2.2 Sumber Selulosa Sumber selulosa
Panjang
Jarak celah
Tunicate Alga Bakteri
100 mn-mikron >1000 nm 100 nm - mikron
10-20 nm 10 to 20 nm 5-10 x 30-50 nm
Kapas 200-350 nm Kayu 100-300 nm Sumber : Beck-Candanedo et al. 2005)
5 nm 3-5 nm
Aspek Perbandingan 5 to > 100 (tinggi) 50to>10nm (tinggi) 2 to > 100 (medium) 20 to 70 (rendah) 20 to 50 (rendah)
Selulosa merupakan unsur yang penting dalam proses pembuatan pulp. Semakin banyak selulosa yang terkandung dalam pulp, maka semakin baik kualitas pulp tersebut. Berdasarkan derajat polimerisasi (DP), maka selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu: a. Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (derajat polimerisasi) berkisar 600-1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat kemurnian selulosa. b. Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP berkisar 15-90, dapat mengendap bila dinetralkan. c. Selulosa (Gamma cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP kurang daripada 15 (Paskawati, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Selulosa Bakteri Banyak strain bakteri memiliki kemampuan untuk memproduksi selulosa pada permukaan media yang mengandung karbon dan nitrogen sebagai makanan sumber antra lain yaitu Sarcina, Agrobacterium, Rhizobium, dan Acetobacter (Deinema dan Zevenhuizen, 1971). Namun, bakteri Acetobacter xylinum yang berbentuk batang dan memiliki Gram-negatif adalah salah satu spesies yang diketahui yang mampu menghasilkan selulosa dalam jumlah komersial. Oleh karena itu, telah dikembangkan beberapa metode memproduksi selulosa bakteri untuk meningkatkan hasil, struktur, dan sifat fisik lainnya yang diinginkan (Yamanaka et al. 2000). Selain itu, media yang digunakan untuk budidaya merupakan hal yang diperhatikan dalam memproduksi selulosa bakteri seperti tingkat pH, sumber nitrogen dan fosfat sebagai sumber makanan utama bagi Acetobacter xylinum, serta beberapa bahan aditif lainnya (Huang et al. 2010). Sumber karbon produksi bakteri selulosa (BC) meliputi antara lain glukosa, fruktosa, sukrosa, manitol. Selulosa bakteri menunjukkan karakteristik unik yang berbeda dari selulosa tanaman lain, seperti kapasitas menahan air yang tinggi (lebih dari 100 kali dari berat), tingkat kristalinitas yang tinggi, elastisitas besar, kekuatan tarik tinggi, biokompatibilitas yang sangat baik dan kemurnian tinggi, karena bebas dari komponen khas dinding sel, yaitu, lignin, hemiselulosa dan bahan ekstraktif serta bahan biopolymer lainnya (Sugano dan Shoda, 2005). Hal ini memungkinkan selulosa bakteri untuk digunakan sebagai pengganti bahan baku kayu dalam industri kertas berkualitas tinggi, makanan rendah kalori membran bahan Ultra filtrasi dan bahan lainnya (Iguchi et al. 2000). Walaupun selulosa bakteri memiliki struktur kimia yang sama dengan seperti selulosa yang berasal dari tumbuhan, selulosa bakteri tersusun oleh serat selulosa yang lebih baik yang dihasilkan oleh bakteri. Panjang seratnya tidak dapat ditentukan karena kumpulan serat-serat tunggal selulosa saling melilit satu sama lain membentuk struktur jaringan. Dan sebagai pembandingnya diameter dari selulosa bentuk kristalin adalah 10-30 nm (Philips, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Serat selulosa bakteri sekitar 100 kali lebih tipis daripada selulosa tanaman, sehingga membuatnya menjadi bahan yang sangat berpori. Selulosa bakteri dengan struktur jaringan pita yang unik memiliki dimensi pita ketebalan 3-4 nm dan lebar 70-130 nm. Jaringan pita ini dibentuk dari rantai agregat menjadi sub-fibril, dimana lebarnya sekitar 1,5 nm yang kemudian dikristalisasi membentuk bundel (bentuk sementara) dari struktur pita (Bielecki et al. 2004 ; Jonas et al. 1998 ; Yamanaka et al. 2000).
2.4 Acetobacter xylinum Acetobacter xylinum memiliki ciri-ciri antara lain sel bulat panjang sampai batang (seperti kapsul), tidak mempunyai endospore, sel-selnya bersifat gram negative, bernafas secara aerob tetapi dalam kadar yang kecil (Pelezar dan Chan , 1988).
Gambar 2.3 Bakteri Acetobacter xylinum Klasifikasi ilmiah dari Acetobacter xylinum : Kerajaan
: Bacteria
Divisio
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Ordo
: Pseudomonadales
Famili
: Pseudomonodaceae
Genus
: Acetobacter
Spesies
: Acetobacter xylinum
Universitas Sumatera Utara
Bakteri pembentuk nata termasuk golongann Acetobacter yang mempunyai ciri-ciri antara lain gram negatif untuk kultur yang masih muda, gram positif untuk kultur yang sudah tua, obligat aerobik, berbentuk batang dalam medium asam, sedangkan dalam medium alkali berbentuk oval, bersifat non mortal dan tidak membentuk spora, tidak mampu mencairkan gelatin, tidak memproduksi H 2 S, tidak mereduksi nitrat dan memiliki termal death point pada suhu 65-70°C (Budiyanto, 2002). Acetobacter xylinum menghasilkan selulosa sebagai produk metabolit sekunder, sedangkan produk metabolit primernya adalah asam asetat. Semakin banyak kadar nutrisi, semakin besar kemampuan menumbuhkan bakteri tersebut maka semakin banyak Acetobacter xylinum dan semakin banyak selulosa yang terbentuk. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan Acetobacter xylinum dalam menghasilkan selulosa yaitu metode kultivasi, sumber karbon, sumber nitrogen, pH, dan temperatur (Çoban dan Biyik, 2011). Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang bersifat aerobik, sehingga ketersediaan oksigen dan agitasi akan berpengaruh terhadap produksi selulosa microbial (Kouda et al.1997). Sebuah sel bakteri Acetobacter xylinum tunggal mampu melakukan polimerisasi molekul glukosa 200.000 per detik menjadi rantai β-1,4-glikosida yang kemudian diekskresikan ke serat yang terbentuk di membrane dengan sintase dan hasilnya dikeluarkan dari baris 50-80 pori-pori seperti lembaran sepanjang sumbu longitudinal sel. Pembentukan ini menghasilkan matriks selulosa yang mengambang pada permukaan, sehingga diperkirakan bakteri Acetobacter xylinum adalah bakteri aerob obligat yang tumbuh dengan adanya oksigen yang tinggi pada permukaan medium (Muthukumarasamy, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.5 Pembuatan Selulosa Bakteri Beberapa tahapan dalam pembuatan selulosa bakteri yaitu 1. Preparasi Tahap preparasi meliputi: a. Penyaringan, bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang tercampur di dalam air kelapa. Sebaiknya penyaringan dilakukan menggunakan saringan kain. b. Penambahan gula pasir dan urea, bertujuan untuk mencukupi nutrien yang dibutuhkan untuk pembentukan selulosa bakteri dengan konsentrasi penambahan gula pasir 10% dan urea 5% dari volume air kelapa tua yang digunakan. c. Perebusan dilakukan sampai mendidih dan dibiarkan sampai 5-10 menit untuk meyakinkan bahwa kontaminan mikroba telah mati dan juga menyempurnakan kelarutan dari gula ataupun urea yang ditambahkan. d. Penambahan asam asetat glasial bertujuan untuk menurunkan pH air kelapa hingga mencapai pH 4,3 yang merupakan kondisi optimal bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. e. Pendinginan dilakukan dengan membiarkan cairan selama satu malam pada suhu kamar. Hal ini bertujuan untuk mengecek ada tidaknya mikroba kontaminan dalam medium bakteri. 2. Inokulasi, fermentasi dan pengendaliannya a. Inokulasi (Pemberian bibit) dilakukan setelah medium bakteri sudah benar-benar dingin. Jika medium bakteri masih dalam keadaan hangat atau panas, maka bibit bakteri Acetobacter xylinum dapat mengalami kematian sehingga proses fermentasi tidak dapat berlangsung. b. Fermentasi dilakukan selama 14 hari setelah penambahan bakteri Acetobacter xylinum sehingga dihasilkan selulosa bakteri (Pambayun, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Selulosa Bakteri 1. Jenis dan konsentrasi medium Pada dasarnya medium bakteri harus banyak mengandung karbohidrat (gula) disamping vitamin dan mineral karena benang-benang halus bakteri yang akan membentuk selulosa diproduksi dari glukosa oleh Acetobacter xylinum. 2.
Jenis dan konsentrasi stater Pada umumnya bakteri Acetobacter xylinum merupakan stater yang lebih
produktif dari jenis stater lainnya, dan konsentrasi 5-10% merupakan konsentrasi yang ideal. 3. Waktu fermentasi Produksi maksimal dari pertumbuhan selulosa bakteri adalah minggu ke-4, kualitas selulosa bakteri akan menurun jika lebih dari 4 minggu. Waktu optimal pertumbuhan selulosa bakteri adalah 14 hari. 4. Temperature fermentasi Temperatur optimal yang digunakan untuk pembuatan selulosa bakteri adalah suhu kamar yaitu sekitar 28 C . Jika suhu terlalu tinggi atau teralu rendah akan mengganggu pertumbuhan bakteri pembentuk selulosa. 5. pH fermentasi Derajat keasaman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan selulosa bakteri adalah bekisar 3-5 atau dalam suasana asam. Pada kedua sisi pH optimum, aktivitas enzim seringkali menurun dengan tajam. 6. Jenis dan konsentrasi suplemen Kandungan karbohidrat dalam medium bakteri merupakan bahan terpenting. Jika kadar karbohidrat rendah dalam medium bakteri maka dapat ditambahkan dengan gula pasir. 7. Tempat Fermentasi Tempat fermentasi sebaiknya jauh dari sinar matahari, sumber panas dan dalam kondisi steril. Selain itu, wadah fermentasi tidak terbuat dari logam yang bersifat korosif sehingga dapat mengganggu pertumbuhan selulosa bakteri.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa hal yang harus juga diperhatikan dalam pembuatan selulosa bakteri yaitu selama proses pertumbuhan berlangsung harus dihindari goncangan tempat fermentasi karena dapat menyebabkan terbentuknya lapisan selulosa yang baru yang terpisah dari selulosa bakteri pertama serta ketebalan selulosa bakteri yang didapat tidak memenuhi standar (Budiyanto, 2002).
2.6 Nanoteknologi Istilah Nanoteknologi diperkenalkan pertama kali oleh Richard Feynman, seorang ahli fisika pada tahun 1959 yang menyajikan visi teknologi miniaturisasi bahan, memanipulasi dan mengendalikan hal-hal dalam skala kecil yang disebut Nanoteknologi (Miyazaki,2007). Nanoteknologi dapat didefinisikan sebagai teknologi yang memiliki skala 10 9
m. Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam penciptaan material, struktur
fungsional, maupun piranti dalam skala nanometer (Stylios, 2005). Nanoteknologi memiliki tiga bagian utama: nanoelektronik, nanomaterial, dan nanobioteknologi (Shea, 2005). Material dalam ukuran nanometer memiliki sifat-sifat yang lebih kaya karena menghasilkan beberapa sifat yang tidak dimiliki oleh material ukuran besar. Hal yang sangat menarik adalah sejumlah sifat tersebut dapat diubah-ubah dengan melalui pengontrolah ukuran material, pengaturan komposisi kimiawi, modifikasi permukaan, dan pengontrolan interaksi antar partikel. Salah satu riset bersakala nanometer yang mempunyai aplikasi yang luas dan banyak yaitu material nanokomposit (Fujiwara et al. 1999). Penggunaan nanoteknologi berbasis biomaterial polimer adalah nanopartikel pembawa obat, partikel miniemulsi, katalis polimer elektroda fuel cell terikat, lapis demi lapis film polimer rakitan, electrospun nanofiber, imprint lithography, polimer campuran dan nanokomposit. Di bidang nanokomposit diaplikasikan dalam komposit penguat, sifat penghalang, tahan api, kosmetik dan sifat bakterisida (Paul dan Robenson, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.6.1 Nanokomposit Komposit merupakan gabungan antara dua material atau lebih yang terdiri dari filler sebagai bahan pengisi atau penguat dan matriks sebagai pengikat sehingga terbentuk material baru yang memiliki sifat yang lebih baik dari material penyusunnya (Astley et al. 2001). Nanokomposit polimer didefinisikan sebagai polimer yang mengandung material dengan ukuran lebih kecil dari 100 nm (Siqueira et al. 2010). Ikatan antar partikel yang terjadi pada material nanokomposit memainkan peranan penting pada peningkatan dan pembatasan sifat material. Partikel-partikel yang berukukuran nano tersebut memiliki luas permukaan interaksi yang tinggi. Semakin banyak partikel yang berinteraksi, semakin kuat pula material. Inilah yang membuat ikatan antar partikel semakin kuat sehingga sifat mekanik material bertambah. Namun, penambahan partikel-partikel nano tidak selamanya akan meningkatkan sifat mekaniknya. Ada batas tertentu dimana saat dilakukan penambahan, kekuatan material justru semakin berkurang. Namun pada umumnya, material nanokomposit menunjukkan perbedaan sifat mekanik, listrik, optik, elektrokimia, katalis, dan struktur dibandingkan dengan material penyusunnya. Nanokomposit dapat digunakan dalam peralatan medis seperti kantong darah, peralatan untuk jantung dan katup sebagai penguat biomaterial. Jaringan –jaringan biologis dapat terbuat dari material nanokomposit dan memberikan hasil yang menarik dalam pembuatan nanokomposit sintetik (Dufresne, 2010).
2.6.2 Nanokertas Pulp adalah hasil pemisahan serat dari bahan baku berserat. Pulp dapat dibuat dari bahan kayu, non kayu, dan kertas bekas (used paper). Pulp merupakan bubur kayu sebagai bahan dasar dalam pembuatan kertas. Bahan baku pulp biasanya mengandung tiga komponen utama, yaitu: selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Secara umum prinsip pembuatan pulp merupakan proses pemisahan selulosa terhadap impurities bahan-bahan dari senyawa yang dikandung oleh kayu di antaranya lignin.
Universitas Sumatera Utara
Proses pembuatan pulp di antaranya dilakukan dengan proses: mekanis, kimia, dan semikimia. Proses pembuatan pulp dengan proses kimia ini akan menghasilkan pulp dengan kekuatan tarik lebih tinggi daripada proses mekanis dan semikimia (Paskawati, 2010). Nanokertas merupakan kertas yang salah satu komponen dasarnya berdimensi nanopartikel. Lembaran nanokertas dapat disiapkan dengan meniru proses pembuatan kertas dimana suspensi selulosa nanoserat disaring sehingga diperoleh gel basah lalu diuapkan kadar airnya. Nanoserat secara mekanik terikat dengan gel basah. Nanokertas yang dihasilkan dari proses ini memiliki kombinasi modulus Young’s dengan kekuatan tarik dan kekerasan yang baik. Selain itu, nanokertas juga memiliki tingkat pemuaian termal yang rendah dan penahan oksigen yang baik. Prosedur penyiapan nanokertas meliputi pengeringan oven, penekan panas gel basah, hot press, mengeringkan kandungan air, dan alat pembentuk lembaran dinamik (Sehaqui et al. 2010).
2.7 Scanning Electron Microscope Suatu berkas insiden electron yang sangat halus di scan menyilang permukaan sampel dalam sikronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi. SEM memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi sekitar 100 Ȧ (Steven, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.8 Termogravimetry Analysis TGA dipakai terutama untuk menetapkan stabilitas panas polimer-polimer. Metode TGA yang paling banyak dipakai didasarkan pada pengukuran berat yang kontinyu terhadap suatu neraca sensitive (disebut neraca panas) ketika suhu sampel dinaikkan dalam udara atau dalam suatu atmosfer yang inert. TGA ini dinyatakan sebagai TGA nonisotermal. Data dicatat sebagai termogram berat versus temperatur. Hilangnya berat bisa timbul dari evaporasi lembap yang tersisa atau pelarut, tetapi pada suhusuhu yang lebih tinggi terjadi akibat terurainya bahan polimer. Selain memberikan informasi mengenai stabilitas panas, TGA bisa dipakai untuk mengkarakterisasi polimer melalui hilangnya suatu entitasyang diketahui (Steven, 2001).
2.9 Differensial Scanning Calorimetry DSC dapat dipakai untuk menentukan transisi termal dalam suatu bahan polimer. Dalam metode DSC, suatu sampel polimer dan refrensi inert dipanaskan, biasanya dalam atmosfer nitrogen, dan kemudian transisi-transisi termal dalam sampel tersebut dideteksi dan diukur. Dengan DSC, sampel dan refrensi keduanya dipanaskan oleh sumber pemanasan yang sama, dan dicatat perbedaan temperature ( T ) antara keduanya. Ketika terjadi suatu transisi dalam sampel tersebut misalnya, transisi gelas atau reaksi ikat silang, temperature sampel tertinggal di belakang temperature refrensi jika transisi tersebut endotermik dan akan mendahului jika transisi tersebut eksotermik. Pada DSC sampel dan refrensi diberikan dengan pemanasnya sendirisendiri, dan energi disuplai untuk menjaga suhu sampel dan referensi tetap konstan. Data dicatat sebagai termogram aliran panas ( dQ / dt ) versus temperature ( T ). Keuntungan utama DSC adalah bahwa area-area peak termogram berkaitan
langsung dengan perubahan entalpi dalam sampel oleh karenanya bisa dipakai untuk pengukuran-pengukuran kapasitas panas, panas fusi, entalpi reaksi, dan sejenisnya. Transisi gelas menimbulkan suatu geseran endotermik pada garis dasar awal karena kapasitas panas sampel yang naik (Steven, 2001).
Universitas Sumatera Utara