BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Edible Film
Edible film merupakan istilah ilmiah bagi kemasan yang bisa dimakan. Saat ini gencar dikembangkan bersamaan dengan kemasan yang gampang terurai atau yang diberi nama biodegradable film. Edible film sudah sudah pasti tergolong biodegradable film, namun tidak sebaliknya. Batasan makna kemasan bisa dimakan bergantung pada proses peracikan, proses pengemasan dan segala modifikasi perlakuan yang terkait. Jika bahan baku dan bahan racikannya adalah bahan yang bisa dimakan dan hanya perubahan struktur bahan baku yang terjadi selama proses pemasakan, perubahan pH atau modifikasi enzimatis, maka kemasan tersebut digolongkan kemasan bisa dimakan (Bardant dan Dewi, 2007).
Baldwin (1994) dan Wong et al. (1994) mengatakan bahwa secara teoritis bahan edible film harus memiliki sifat-sifat seperti: 1. Menahan kehilangan air bahan pangan. 2. Memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu. 3. Mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan kualitas bahan pangan. 4. Menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet, dan penambah aroma yang dapat memperbaiki mutu bahan pangan.
Film sebagai pengemasan (edible packaging) pada dasarnya dibagi atas tiga bentuk pengemasan yaitu: 1. Edible film merupakan bahan pengemas yang telah dibentuk terlebih dahulu berupa lapisan tipis (film) sebelum digunakan untuk mengemas produk pangan.
Universitas Sumatera Utara
7
2. Edible coating berupa pengemas yang dibentuk langsung pada produk dan bahan pangan. 3. Enkapsulasi yaitu suatu aplikasi yang ditujukan untuk membawa komponenkomponen bahan tambahan makanan tertentu untuk meningkatkan penanganan terhadap suatu produk pangan sesuai dengan yang diinginkan.
2.1.1. Pembentukan edible film
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan edible film antara lain: a. Suhu Perlakuan panas diperlukan untuk membentuk pati tergelatinasi sehingga terbentuk pasta pati yang merupakan bentuk awal edible film. Suhu pemanasan pati akan menentukan sifat mekanik edible film yang terbentuk. Suhu pemanasan akan menentukan tingkat gelatinisasi yang terjadi yang pada akhirnya menentukan sifat fisik dari pasta yang terbentuk. b. Konsentrasi pati Konsentrasi pati memberikan kontribusi terhadap kadar amilosa dalam larutan pati sehingga berpengaruh terhadap sifat pasta yang dihasilkan. c. Plastisizer dan bahan aditif lain Konsentrasi plastisizer dan bahan aditif lain yang ditambahkan ke dalam formula film akan berpengaruh terhadap sifat film yang terbentuk
bahan-bahan
tersebut akan berinteraksi dengan pati.
2.1.2 Sifat fisiko-kimia-biologi edible film
a. Ketebalan film
Menurut McHugh dan Krochta (1994) ketebalan juga sangat mempengaruhi sifat fisik dan mekanik edible film, seperti tensile strength, elongation, dan water vapor transmission rate (WVTR). Faktor yang dapat mempengaruhi ketebalan edible film
Universitas Sumatera Utara
8
adalah konsentrasi padatan terlarut pada larutan pembentuk film dan ukuran pelat pencetak. Semakin tinggi konsentrasi padatan terlarut, maka ketebalan film akan meningkat. Sebagai kemasan, semakin tebal edible film maka kemampuan penahanannya semakin besar, sehingga umur simpan produk akan semakin panjang.
b. Tensile strength (MPa) / kekuatan renggang putus (%)
Tensile Strength adalah ukuran untuk kekuatan film secara spesifik, merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap bertahan sebelum putus/sobek
(Krochta and Mulder-johnston, 1997).
Pengukuran ini untuk
mengetahui besarnya gaya yang diperlukan untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap luas area film. Sifat tensile strength tergantung pada konsentrasi dan jenis bahan penyusun edible film terutama sifat kohesi struktural.
c. Elongasi / Kemuluran
Xu et al. (2005) menyatakan bahwa film dengan bahan dasar pati bersifat rapuh karena adanya amilosa, sehingga makin tinggi konsentrasi pati akan menurunkan fleksibilitas film yang dihasilkan. Menurut Chick dan Hernandez (2002) bahwa meningkatnya kadar air akan menurunkan tensile strength film yang tidak menggunakan wax, tetapi dengan adanya wax akan meningkatkan tensile strength dan menurunkan elongation. Sedangkan menurut Cheng et. al. (2006) bahwa peningkatan konsentrasi gliserol dan sorbitol tidak memberi pengaruh secara signifikan terhadap tensile strength konjac glucomannan film, tetapi meningkatkan flexibilitas dan ekstensibilitas film.
d. Laju Transmisi Uap Air (WVTR)
Laju transmisi uap air (WVTR) adalah jumlah uap air yang melalui suatu permukaan persatuan luas atau slope jumlah uap air dibagi luas area. Edible film dengan bahan
Universitas Sumatera Utara
9
dasar polisakarida umumnya sifat barrier terhadap uap airnya rendah. Film hidrofilik seringkali memperlihatkan hubungan-hubungan positif antara ketebalan dan permeabilitas uap air. Studi-studi sebelumnya sudah menandai hubungan-hubungan yang serupa antara ketebalan film dan sifat permeabilitas didalam sistem film yang hidrofilik (Liu dan Han, 2005). Nilai laju transmisi uap air suatu bahan dipengaruhi oleh struktur bahan pembentuk dan konsentrasi plasticizer. Penambahan plasticizer seperti gliserol akan meningkatkan permeabilitas film terhadap uap air karena gliserol bersifat hidrofilik (Gontard et al, 1993).
d. Daya larut (%)
Daya larut merupakan salah satu sifat fisik edible film yang menunjukkan persentase berat kering terlarut setelah dicelupkan dalam air selama 24 jam (Gontard et al, 1993). Daya larut film sangat ditentukan oleh sumber bahan dasar pembuatan film. Edible film berbahan dasar pati tingkat kelarutannya dipengaruhi oleh ikatan gugus hidroksi pati. Makin lemah ikatan gugus hidroksil pati, makin tinggi kelarutan film. Edible film dengan daya larut yang tinggi menunjukkan film tersebut mudah dikonsumsi.
e. Anti bakteri
Edible film dapat berfungsi sebagai agen pembawa antimikroba dan antioksidan. Dalam aplikasi yang sama edible film juga dapat digunakan di permukaan makanan untuk mengontrol laju difusi zat pengawet dari permukaan ke bagian dalam makanan (Hui,2006).
Universitas Sumatera Utara
10
2.2. Sukun (Artocarpus altilis)
Taksonomi tanaman Sukun (Artocarpus altilis), gambar 2.1., diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Urticales
Suku
: Moraceae
Marga
: Artocarpus
Jenis
: Artocarpus altilis
Gambar 2.1 Buah Sukun (Artocarpus altilis)
Menurut hasil penelitian tentang komposisi zat gizi dari buah sukun (Artocarpus altilis), yang tertera pada food composition table for Use in East Asia (FAO 1972) diterangkan pada tabel 2.1
Universitas Sumatera Utara
11
Tabel 2.1. Komposisi gizi buah sukun (Artocarpus altilis) Zat gizi per 100 gram
Buah sukun muda
Buah sukun tua
46
108
Air (g)
87,1
69,3
Protein
2,0
1,3
Lemak (g)
0,7
0,3
Karbohidrat (g)
9,2
28,2
Serat (g)
2,2
-
Abu (g)
1,0
0,9
Kalsium (mg)
59
21
Fosfor (mg)
46
59
-
0,4
Vitamin B1 (mg)
0,12
0,12
Vitamin B 2 (mg)
0,06
0,06
21
17
Energy (kalori)
Besi (mg)
Vitamin C (mg)
(Pijoto,1992)
2.3. Pati
Pati merupakan sumber pangan dan mengandung karbohidrat yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Pati memiliki rumus umum (C6H10O5)n, dimana n lebih dari 1000 (Egan,1981). Pati terdiri atas dua macam polisakarida yang kedua-duanya adalah polimer dari glukosa, yaitu amilosa (kira-kira 20-28 %) dan amilopektin (kira-kira 80-72%). Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan α 1,4-glikosidik. Amilopektin juga terdiri atas molekul D-glukosa yang mempunyai ikatan 1,4-glikosidik,dan percabangannya pada ikatan 1,6-glikosidik. Molekul amilopektin lebih besar daripada molekul amilosa karena terdiri atas lebih dari 1000 unit glukosa. Butir-butir pati tidak larut dalam air dingin tetapi apabila air dipanaskan, akan membentuk gel (gelatinisasi). Larutan pati apabila diberi larutan
Universitas Sumatera Utara
12
iodium akan berwarna biru. Amilopektin dengan iodium akan memberikan warna ungu atau merah lembayung (Poedjiadi,1994). Struktur amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur dari amilosa dan amilopektin (http://kimiamanten.blogspot.com/2012/01/karbohidrat.html)
Bila pati mentah dimasukkan kedalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai kadar 30 % . Peningkatan volume granula pati yang terjadi didalam air pada suhu antara 550C sampai 65 0C merupakan pembengkakan pati yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinasi yang dapat dilakukan dengan penambahan air panas.
Pati yang telah mengalami gelatinasi dapat dikeringkan, tetapi molekul molekul tersebut tidak dpat kembali lagi ke sifat-sifatnya sebelum gelatinasi. Bahan yang telah kering tersebut masih mampu menyerap air dalam jumlah yang besar. Suhu gelatinasi tergantung juga pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu tersebut
Universitas Sumatera Utara
13
makin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun. Suhu gelatinasi berbeda-beda bagi tiap jenis pati dan merupakan suatu kisaran. Dengan viskosimeter suhu gelatinasi dapat ditentukan , misalnya pada jagung 62-70 0C, beras 68-78 0C, gandum 54,5- 64 0C (Winarno, 1992).
2.4
Kitosan
Kitosan adalah polisakarida alami hasil dari proses deasetilasi (penghilangan gugusCOCH3) kitin. Kitin merupakan penyusun utama eksoskeleton dari hewan air golongan crustacea seperti kepiting dan udang. Kitin tersusun dari unit-unit N-asetilD-glukosamin (2-acetamido-2-deoxy-Dglucopyranose) yang dihubungkan secara linier melalui ikatan β-(1→ 4). Kitin berwarna putih, keras, tidak elastis, merupakan polisakarida yang mengandung banyak nitrogen, sumber polusi utama di daerah pantai (Goosen, 1997). Proses deasetilasi (penghilangan gugus asetil) kitin menjadi kitosan dapat dilakukan secara kimiawi maupun enzimatis. Secara kimiawi, deasetilasi kitin dilakukan dengan penambahan NaOH (Kolodziesjska et al., 2000 dan Chang et al., 1997), sedangkan secara enzimatis digunakan enzim kitin deasetilase (CDA) (Hekmat et al., 2003). Proses deasetilasi secara termokimiawi, yang saat ini secara komersial banyak dilakukan, dalam banyak hal tidak menguntungkan
karena
tidak
ramah
lingkungan,
prosesnya
tidak
mudah
dikendalikan, dan kitosan yang dihasilkan memiliki berat molekul dan derajat deasetilasi yang tidak seragam (Chang et al., 1997 dan Tsigos et al., 2000). Proses deasetilasi menggunakan kombinasi perlakuan secara kimiawi dan enzimatis seperti yang telah dilaporkan oleh Emmawati, 2004, dan Rochima, 2005, merupakan alternatif proses yang lebih baik. Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga kitosan bersifat polikationik. Adanya gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan C-6 pada kitosan tersebut sangat berperan dalam aplikasinya, antara lain sebagai pengawet dan penstabil warna, sebagai floculant dan membantu proses reserve
Universitas Sumatera Utara
14
osmosis dalam penjernihan air, sebagai aditif untuk produk agrokimia dan pengawet benih (Shahidi et al., 1999). Struktur kitin dan kitosan dapat dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Struktur kimia kitin dan kitosan
Pelarut terbaik yang digunakan dalam proses pembuatan membran polimer berbahan dasar kitosan adalah pelarut asam asetat (Aryanto, 2002). Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1 – 2 % (Knorr, 1982).
Molekul kitosan di dalam larutan asam encer berkekuatan ion rendah bersifat lebih kompak bila dibandingkan dengan larutan polisakarida lainnya. Hal ini disebabkan densitas muatan yang tinggi. Namun, dalam larutan berkekuatan ionik tinggi, ikatan hidrogen, dan gaya elektrostatik pada molekul kitosan terganggu sehingga konformitas menjadi bentuk acak (random coil). Sifat fleksibel molekul ini yang akan menjadikan kitosan dapat membentuk baik konformitas kompak maupun
Universitas Sumatera Utara
15
memanjang (polisakarida lainnya umumnya berbentuk memanjang). Sifat fleksibel kitosan membantu daya gunanya di dalam berbagai produk (Angka, 2000). Selain itu, Lap. Protan (1987) menyatakan bahwa kitosan merupakan poliglukosamin yang dapat larut dalam kebanyakan asam seperti asam asetat, asam laktat atau asam-asam organik (adipat, malat), asam mineral seperti HCl, HNO3 pada konsentrasi 1 % dan mempunyai daya larut terbatas dalam asam fosfat dan tidak larut dalam asam sulfat. Kitosan telah dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri salah satunya adalah Industri Makanan, Seperti tertera pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Aplikasi Kitosan dan turunannya dalam industri makanan Aplikasi
Contoh
Anti Mikroba
Bakterial, Fungsidal, dan menghambat kontaminasi jamur pada komoditi pertanian
Industri Edible film
Mengatur perpindahan uap air antara makanan dan lingkungan sekitar; flavor; mereduksi tekanan parsial oksigen; pengatur suhu; menahan browning enzimatis pada buah; dan mengembalikan tekanan osmosis membrane
Bahan Aditif
Mempertahankan flavor alami; bahan pengontrol tekstur; bahan pengemulsi; bahan pengental dan stabiliser; dan penstabil warna
Sifat Nutrisi
Sebagai serat diet; penurun kolesterol; persediaan dan tambahan makanan ikan;
mereduksi
penyerapan
lemak; memproduksi protein sel tunggal; bahan antigastritis (radang lambung); dan sebagai bahan makanan bayi Pengolah limbah makanan Flokulan dan Pemecah agar padat Pemurnian Air
Memisahkan ion-ion logam, pestisida, dan penjernih (Shahidi et al., 1999)
Universitas Sumatera Utara
16
Akhir-akhir ini, aplikasi kitosan dan turunannya sebagai antimikroba (bahan pengawet) makanan telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Roller et al. (2002) menunjukkan bahwa kitosan bekerja sinergis dengan pengawet seperti asam benzoat, asam asetat, dan sulfit. Penambahan kitosan 0,6 % dalam penggunaan sulfit pada konsentrasi yang rendah (170 ppm) mampu menghambat mikroorganisme perusak lebih efektif (3-4 log CFU/g) dibandingkan penggunaan sulfit secara tunggal dengan konsentrasi yang tinggi (340 ppm).
Kombinasi penggunaan sulfit dan kitosan
tersebut mampu memperpanjang umur simpan sosis daging babi. Perendaman sosis daging babi dalam larutan kitosan 1 % mampu menurunkan jumlah mikroba sebanyak 1-3 log CFU/g selama 18 hari pada suhu 370C. Kitosan juga dapat mengawetkan ikan hering dan kod, yaitu dengan berfungsi sebagai edible film sehingga mampu meningkatkan kualitas produk perikanan selama penyimpanan. Kitosan memiliki reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan kitosan mampu mengikat air dan minyak. Oleh karena itu kitosan dapat digunakan sebagai bahan makro molekul emulsifikasi. Zivanovic et al. (2004) memanfaatkan kitosan dalam produk emulsi. Penambahan 0,1 % kitosan polisakarida dapat menjamin keamanan dari produk emulsi oil-in water. Model emulsi yang digunakan terdiri dari campuran 20 % minyak jagung, 1 % Tween 20, 1,5 % Tripticase soy broth, 0,58 % asam asetat, dan kitosan polisakarida.
2.4.1. Kitosan Sebagai Bahan Edible Film
Kekurangan terbesar dari edible film kitosan adalah kurang mampu menahan uap air karena sifat hidrofilik yang dimilikinya. Menurut Dominic et al. (1994) secara teoritis bahan edible film diharapkan dapat : a). Menjadi penahan kehilangan air yang efisien, b). Mempunyai sifat permeabel terhadap keluar masuknya gas, c). Mengendalikan perpindahan dari air ke larutan untuk mempertahankan warna pigmen alami dan nutrisi serta, d). Membawa zat tambahan yang diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
17
Film dengan bahan kitosan mempunyai sifat yang kuat, elastis, fleksibel, dan sulit untuk dirobek. Kebanyakan dari sifat mekanik sebanding dengan polimer komersial dengan kekuatan sedang (Butler et al., 1996). Hoagland dan Parris (1996) mengemukakan alasan dalam membuat film dengan bahan dasar kitosan : 1. Kitosan merupakan turunan kitin, polisakarida paling banyak di bumi setelah selulosa 2. Kitosan dapat membentuk film dan membran dengan baik 3. Sifat kationik selama pembentukan film merupakan interaksi elektrostatik dengan anionik. Untuk edible film berbasis kitosan, proses produksinya dimulai dengan membuat suspensi kitosan lalu ditambahkan asam laktat atau asetat dan diaduk secara konstan dengan stirrer selama 3 jam pada suhu kamar. Selanjutnya ke dalam larutan ditambahkan surfaktan. Untuk membuat film kombinasi pati-kitosan, pati didispersikan kemudian dipanaskan sampai tergelatinisasi sempurna lalu didinginkan sampai suhu kamar dan dicampurkan pada larutan kitosan dengan pengadukan selama beberapa jam. Rasio antara pati dan kitosan berkisar antara 1:1 dan 1:3 (Stanescu et al. 2011).
2.4.2. Aktivitas Antimikroba Kitosan
Mekanisme aktivitas penghambatan antimikroba menurut Branen dan Davidson (1993) dapat melalui beberapa faktor, antara lain. 1. Mengganggu komponen penyusun dinding sel, 2. Bereaksi dengan membran sel sehingga mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, 3. Menginaktifkan enzim esensial yang berakibatkan terhambatnya sintesis protein dan destruksi atau kerusakan fungsi metarial genetic. Menurut Thatte (2004), aktivitas antibakteri kitosan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: sumber kitosan, unit monomer yang menyusun kitosan, mikroba yang diuji, derajat deasetilasi (DD) kitosan, pH media tumbuh, keberadaan
Universitas Sumatera Utara
18
ion logam bebas, dan kondisi lingkungan (kadar air, nutrisi yang tersedia bagi mikroba). Unit monomer kitosan tidak menghambat bakteri E. Coli dan S. Aureus (Tanigawa et al. 1992). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri kitosan merupakan kerja dari oligomer kitosan. Derajat Deasetilasi Kitosan (DD) menunjukkan keberadaan atau jumlah sisi kationik potensial yang ada di sepanjang rantai polimer, sehingga semakin besar DD semakin banyak pula jumlah sisi kationiknya. Tsai et al, (2004) menunjukkan bahwa kitosan dengan berat molekul (BM) rendah (12 kDa) memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik dibanding bentuk oligomernya. Menurut Thatte (2004), kitosan dengan berat molekul yang sangat besar (lebih besar dari 500 kDa) memiliki aktivitas antibakteri yang kurang efektif dibandingkan kitosan dengan BM yang lebih rendah. Hal ini terkait dengan viskositasnya yang besar pada kitosan ber-BM tinggi sehingga sulit bagi kitosan untuk berdifusi. No et al. (2002) menguji 6 kitosan dan 6 oligomer kitosan dengan berbagai BM terhadap 4 bakteri Gram negatif dan 7 bakteri Gram positif. Berbagai studi telah membuktikan kemampuan kitosan sebagai antimikroba (Tsai et al., 2004). Tsai dan Su (1999) menguji aktivitas penghambatan kitosan udang (DD 98) terhadap E.coli. Kitosan menyebabkan kebocoran glukosa dan laktat dehidrogenase dari sel E. coli.
2.5
Plastisizer
Plastisizer adalah salah satu komponen bahan dasar pembuatan edible film yang berfungsi untuk mengatasi sifat rapuh lapisan film. Menurut Gulbert dan Biquet (1996) ada beberapa jenis plastisizer yang sering digunakan dalam pembuatan edible film yaitu: a) Mono, di-, dan oligosakarida; b) Poliol (seperti gliserol dan turunannya, polyetilen glikol, sorbitol), dan c) Lipid dan turunannya (asam lemak, monogliserida dan esternya, asetogliserida, pospholipida dan emulsifier lain).
Universitas Sumatera Utara
19
Edible film membutuhkan plastisizer dengan berat molekul rendah untuk meningkatkan fleksibilitas dan ketahanannya, dengan cara menginterupsi interaksi rantai polimer dan menurunkan suhu Transition Glass (Brody, 2005).
2.5.1
Gliserol
Menurut Winarno (1992), Gliserol adalah senyawa alkohol polihidrat (polyol) dengan 3 buah gugus hidroksil dalam satu molekul atau disebut alkohol trivalent. Strukturnya dapat dilihat pada gambar 2.4.
OH
HO
OH
Glycerol Gambar 2.4 Gliserol
Rumus kimia gliserol adalah C3H8O 3, Berat molekul gliserol 92,10 massa jenisnya 1,23 g/cm3 dan titik didihnya 2040 C. Gliserol mempunyai sifat mudah larut air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan Aw (Lindsay, 1985). Gliserol merupakan salah satu plastisizer yang banyak digunakan karena cukup efektif mengurangi ikatan hidrogen internal sehingga akan meningkatkan jarak intermolekuler. Secara teoritis plastisizer dapat menurunkan gaya internal diantara rantai polimer, sehingga akan menurunkan tingkat kegetasan dan meningkatkan permeabilitas terhadap uap air (Gontard et al. 1993).
Rodriguez et al. (2006)
menambahkan bahwa gliserol merupakan plastisizer yang bersifat hidrofilik,
Universitas Sumatera Utara
20
sehingga cocok untuk bahan pembentuk film yang bersifat hidrofilik seperti pati. Ia dapat meningkatkan sorpsi molekul polar seperti air. Peran gliserol sebagai plastscizer dan konsentrasinya meningkatkan fleksibilitas film (Gontard et al, 1993; Mali et al, 2005; Bertuzi et al, 2007). Molekul plastisizer akan mengganggu kekompakan pati, menurunkan interaksi intermolekuler dan meningkatkan mobilitas polimer. Selanjutnya mengakibatkan peningkatan elongation dan penurunan tensile strength seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol. Penurunan interaksi intermolekuler dan peningkatan mobilitas molekul akan memfasilitasi migrasi molekul uap air (Rodriguez et al. 2006).
2.6
Karakterisasi Edible Film
Karakterisasi edible film dapat ditentukan dengan menggunakan instrumentasi seperti FT-IR; DTA dan TGA.
2.6.1
Fourier Transform Infrared (FTIR)
Spektrofotometer inframerah pada umumnya digunakan untuk menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik dan mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya.
Cahaya tampak terdiri dari beberapa range frekuensi elektromagnetik yang berbeda. Radiasi inframerah juga mengandung beberapa range frekuensi tetapi tidak dapat dilihat oleh mata. Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2.5-50 µm atau bilangan gelombang 4000 – 200 cm-1. Metoda ini sangat berguna untuk mengidentifikasi senyawa organik dan organometalik (Sagala,2013).
Universitas Sumatera Utara
21
FTIR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar ke penelitianpenelitian struktur polimer.Karena spektrum-spektrum bisa di-scan, disimpan, dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini memudahkan penelitian reaksireaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang.Persyaratan-persyaratan ukuran sampel yang sangat kecil mempermudah kopling instrumen FTIR dengan suatu mikroskop untuk analisis bagian-bagian sampel polimer yang sangat terlokalisasi.Dan kemampuan untuk substraksi digital memungkinkan seseorang untuk melahirkan spektrum-spektrum lainnya yang tersembunyi (Steven, 2001).
2.6.2
Scanning Electron Microscopy (SEM)
Mikroskop elektron adalah sebuah mikroskop yang dapat melakukan pembesaran objek sampai 2 juta kali. Mikroskop ini menggunakan elektrostatik dan elektromagnetik untuk pembesaran objek serta resolusi yang jauh lebih bagus daripada mikroskop cahaya (Sagala, 2013).
SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar x, elektron sekunder, absorbsi elektron.
Teknik SEM pada hakikatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan yang diperoleh merupakan gambar tofografi dengan segala tonjolan, lekukan, dan lubang permukaan (Wirjosentono, 1996).
Universitas Sumatera Utara
22
2.6.3
DTA (Diferential Thermal Analysis) dan TGA ( Thermal Gravimetry Analysis)
TGA merupakan teknik mengukur perubahan berat suatu sistem bila temperaturnya berubah dengan laju tertentu (Khopkar, 2007). Metode TGA yang paling banyak dipakai didasarkan pada pengukuran berat kontinu terhadap suatu neraca sensitif ketika suhu sampel dinaikkan dalam udara atau dalam suatu atmosfer yang inert. Data dicatat sebagai termogram berat versus temperatur. Hilangnya berat bisa timbul dari evaporasi lembab yang tersisa atau pelarut, tetapi pada suhu-suhu yang lebih tinggi terjadi dari terurainya polimer (Stevens, 2000).
Metode ini digolongkan kedalam metoda fisika, dimana sampel secara terus menerus dinyatakan sebagai fungsi temperatur, sampel disubjeksikan kesuatu pengendalian perubahan suhu, penentuan titik lebur dari sampel ang berbentuk solid atau padatan. Bahan yang dikarakterisasi biasanya berupa senyawa organik atau suatu bahan yang murni. Menggunakan proses pemanasan, kemudian sampel akan mengalamai proses dekomposisi dan secara fisika analisisnya ditinjau dari titik lebur yang diperoleh dari sampel atau bahan yang telah mengalami proses pemanasan. Temperatur merupakan kondisi sauatu bahan kepenyaluran panas atau pemanasan yang berasal dari bahan lai. Pengaruh dari proses pemanasan terjadi banyak perubahan dari sampel , perubahan berat didasari dari termogravimetri dan ditentukan perubahan energinya dengan metode Analisis Diferensial Termal (DTA) dan Kalormeter Scanning Diferensial (DSC). Teknik ini penting dlama analisa termal (Dodd, 1987)
Beberapa aplikasi termogravimetri merupakan arti yang istimewa penting bagi si analisis, adalah : 1.
Penetapan Kemurnia dan Kestabilan termal dari standar-standar primer dan skunder
Universitas Sumatera Utara
23
2.
Penyelidikan terhadap temperatur- temperatur penegringan yang tepat, dan kesesuaian dari berbagai bentuk untuk ditimbang untuk analisi gravimetric
3.
Aplikasi langsung pada masalah analisis (analisis termogravimetri otomatis)
4.
Penetapan komposisi campuran kompleks (Vogel, 1994).
2.6.4 Kuat Tarik
Uji tarik mungkin adalah cara pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujian ini sangat sederhana, tidak mahal dan sudah mengalami standarisasi di seluruh dunia, misalnya di Amerika dengan ASTM E8 dan Jepang dengan JIS 2241. Dengan menarik suatu bahan kita akan segera mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material itu bertambah panjang. Alat eksperimen untuk uji tarik ini harus memiliki cengkeraman (grip) yang kuat dan kekakuan yang tinggi (highly stiff). Banyak hal yang dapat kita pelajari dari hasil uji tarik. Bila kita terus menarik suatu bahan (dalam hal ini suatu logam) sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap yang berupa kurva seperti digambarkan pada Gbr. 2.5
Gambar 2.5 . Gambaran singkat uji tarik dan datanya Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang. Profil ini sangat diperlukan dalam desain yang memakai bahan tersebut.. Proses pengujian tarik mempunyai tujuan utama untuk mengetahui kekuatan tarik bahan uji. Bahan uji adalah bahan yang akan digunakan sebagaikonstruksi, agar siap menerima
Universitas Sumatera Utara
24
pembebanan dalam bentuk tarikan.Pembebanan tarik adalah pembebanan yang diberikan pada benda dengan memberikan gaya yang berlawanan pada benda dengan arah menjauh dari titiktengah atau dengan memberikan gaya tarik pada salah satu ujung benda danujung benda yang lain diikat.
Gambar 2.6. Pembebanan tarik
Penarikan gaya terhadap bahan akan mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk (deformasi) bahan tersebut. Hasil yang diperoleh dari proses pengujian tarik adalah grafik tegangan regangan, parameter kekuatan dan keliatan material pengujian dalam prosen perpanjangan, kontraksi atau reduksi penampang patah, dan bentuk permukaan patahannya. Tegangan dapat diperoleh dengan membagi beban dengan luas. Penampang mula-mula benda uji (George J Dieter, 1993) :
σ=
Dimana : σ = Tegangan nominal (kg/mm2) P = Gaya tarik aksial (kg) A0 = Luas penampang normal (mm2 ) (Dieter, 2000)
Universitas Sumatera Utara