BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tuberkulosis Tuberkulosis itu biasanya disingkat menjadi TB adalah penyakit menular
disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) umumnya menyerang paru, tetapi bisa juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, selaput otak, kulit, tulang dan persendian, usus, ginjal dan organ tubuh lainnya (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia, 2010). TB sangat berbahaya karena bisa menyebabkan seseorang meninggal dan sangat mudah ditularkan kepada siapa saja dimana 1 orang pasien TB dengan BTA positif bisa menularkan kepada 10-15 orang disekitarnya setiap tahun (PPTI, 2010).
2.1.1
Penyebab Penyakit TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor dan mycobacterial sulfolipid yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan M.tuberculosis bersifat tahan asam yaitu tersebut dengan larutan asam-alkohol (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002). Suhu optimal untuk tumbuh pada 37°C dan pH 6,4-7,0 jika dipanaskan pada suhu 60°C akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Disamping itu organisme ini agak resisten terhadap bahan-bahan kimia dan tahan pengeringan, sehingga memungkinkan untuk
Universitas Sumatera Utara
tetap hidup dalam periode yang panjang didalam ruangan-ruangan, selimut dan kain yang ada di kamar tidur (Putra, 2010).
2.1.2
Cara Penularan Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut
(Depkes RI, 2008).
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberi kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk Of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1–3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes RI, 2008). Risiko menjadi sakit TB hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif (Depkes RI, 2008). Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan
tubuh
yang
rendah,
diantaranya
infeksi
HIV/AIDS
(Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
Universitas Sumatera Utara
(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula (Depkes RI, 2008). Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut: Gambar 2.1. Faktor Risiko Kejadian TB
transmisi Jumlah kasus TB BTA+ Faktor lingkungan : Ventilasi Kepadatan Dalam ruangan Faktor Perilaku
TERPAJAN
Risiko menjadi TB bila dengan HIV: • 5-10% setiap tahun • >30% lifetime
Pengobatan tepat dan lengkap kondisi kesehatan mendukung
HIV(+)
INFEKSI 10%
Konsentrasi Kuman Lama kontak
Diagnosis tepat dan cepat
Malnutrisi Penyakit DM, immuno-supresan
SEMBUH
TB
MATI
Keterlambatan diagnosis dan pengobatan Tatalaksana tak memadai Kondisi kesehatan
Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati setelah 5 tahun, pasien akan 50% meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular (Depkes RI, 2008).
2.1.3 Tatalaksana Pasien TB Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan menggunakan strategi DOTS. Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit, tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan sembuh tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan petugas terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya (Depkes RI, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4
Penemuan Pasien TB Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan
TB
yang
paling
efektif
di
masyarakat
(Depkes RI, 2007). Strategi penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB; pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya; penemuan secara aktif dari rumah ke rumah dianggap tidak cost efektif (Depkes RI, 2007).
2.1.5 Gejala klinis pasien TB Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.1.6 Pemeriksaan dahak mikroskopis Pemeriksaan
dahak
berfungsi
untuk
menegakkan
diagnosis,
menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi (Depkes RI, 2007).
2.1.7 Pemeriksaan biakan Peran biakan dan identifikasi M.tuberculosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi: a. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis b. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak. c. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda (Depkes RI, 2007).
2.1.8
Pemeriksaan tes resistensi Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu
melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat dicegah (Depkes RI, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.1.9
Diagnosa TB
1. Diagnosa TB paru Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu SewaktuPagi-Sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru. 2. Diagnosis TB ekstra paru Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB Paru Suspek TB Paru
Pemeriksaan dahak mikroskopis - Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)
Hasil BTA +++ ++ -
Hasil BTA
Hasil BTA
+ - -
- - Antibiotik Non-OAT
Tidak ada perbaikan
Ada perbaikan
Foto toraks dan
pemeriksaan dahak mikroskopis
pertimbangan dokter
Hasil BTA
Hasil BTA
+++
- - -
++ + - -
Foto toraks dan pertimbangan dokter
TB
BUKAN TB
Catatan : Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan medis spesialistik, alur tersebut dapat digunakan secara lebih fleksibel.
2.1.10 Indikasi pemeriksaan foto toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif (lihat bagan alur). Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (lihat bagan alur). Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma) (Depkes RI, 2008). 2.1.11 Klasifikasi penyakit dan tipe pasien Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu: 1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru; 2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif; 3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat; 4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati. Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah: 1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai 2. Registrasi kasus secara benar 3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif 4. Analisis kohort hasil pengobatan Beberapa istilah dalam definisi kasus: 1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter. 2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk M. tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
SPS
hasilnya BTA positif.
Universitas Sumatera Utara
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk: 1.
Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya resistensi
2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber daya lebih biaya efektif (cost effective) 3. Mengurangi efek samping Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 1. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru: 1. Tuberkulosis paru BTA positif a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti Tuberkulosis). 2. Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit: 1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2. Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3. Kasus setelah putus berobat (Default ) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4. Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2007).
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) dalam Sihombing (2011) penderita TB paru kategori I adalah TB paru yang tergolong dalam penderita kasus
Universitas Sumatera Utara
baru dengan hasil pemeriksaan dahak pewarnaan langsung BTA positif (+) atau BTA negatif (-) namun dengan lesi yang luas. Berdasarkan WHO pada tahun 1997 dalam Usman (2008) membuat klasifikasi menurut regimen pengobatan yang dibagi atas empat kategori yaitu : 1. Kategori I adalah pasien kasus dengan dahak yang positif dan penderita dengan keadaan yang berat seperti meningitis, tuberkulosis milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis atau spondilitis bilateral dengan gangguan neurologik, penderita dengan dahak negatif tetapi kelainan paru luas, tuberkulosis usus, saluran kemih dan sebagainya. 2. Kategori II adalah kasus relaps atau gagal dengan dahak yang tetap positif. 3. Kategori III adalah kasus dengan dahak yang negatif dan kelainan paru yang tidak luas dan kasus tuberkulosis ekstrapulmoner selain dari yang disebut dalam kategori I. 4. Kategori IV adalah kasus tuberkulosis kronik. Tabel 2.1. Kategori Pengobatan TB Menurut WHO Kategori Pengobatan TB I
II
III
IV
Pasien TB Kasus baru TB paru BTA (+) Kasus baru TB paru BTA (-) dengan kerusakan parenkim yang luas Kasus baru dengan kerusakan yang berat pada TB ekstra pulmoner TB paru BTA (+) dengan riwayat pengobatan sebelumnya: - Kambuh - Kegagalan pengobatan - Pengobatan tidak selesai Kasus baru TB paru dengan BTA (-)(diluar kategori I) Kasus baru yang berat dengan TB ekstra pulmoner Kasus kronis (sputum BTA tetap positif, setelah pengobatan ulang)
Alternatif Panduan Pengobatan TB 2 RHZE
4 R3H3 4 RH 6 HE
2 RHZES + 1RHZE
5 R3H3E3 5 RHE
2 RHZ
4 R3H3 4 HR 6 HE
Rujuk spesialis
ke
dokter
Universitas Sumatera Utara
2.1.12 Tatalaksana TB anak Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis
baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak (Depkes RI, 2008). Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat
OAT
(obat
anti
tuberkulosis).
Bila
skor
kurang
dari
6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal,
pungsi
pleura,
foto
tulang
dan
sendi,
funduskopi,
CT-Scan, dan lain lainnya (Depkes RI, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB Parameter
0
1
Kontak TB
Tidak jelas
Uji tuberkulin
Negatif
Laporan BTA positif keluarga, BTA negatif atau tidak tahu, BTA tidak jelas Positif (≥ 10 mm, atau ≥ 5 mm pada keadaan imunosupresi) Bawah garis Klinis merah (KMS) gizi atau BB/U buruk <80% (BB/U <60%) > 2 minggu
Berat badan/ keadaan gizi
Demam tanpa sebab jelas Batuk * Pembesaran kelenjar limfe koli, aksila, inguinal Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang Foto toraks Normal/ toraks tidak jelas
2
3
Jumlah
≥3 minggu >1 cm, jumlah >1, tidak nyeri Ada pembengkakan
Kesan TB
Jumlah
Universitas Sumatera Utara
Catatan : Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain. Jika dijumpai skrofuloderma** (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan badan. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13) Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut. *Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti asma, sinusitis, refluks gastroesofageal dan lainnya. **Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi infeksi TB, diawali oleh suatu limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk abses dingin dan melibatkan kulit di atasnya, kemudian pecah, dan membentuk sinus di permukaan kulit. Skrofuloderma ditandai oleh massa yang padat atau fluktuatif, sinus yang mengeluarkan cairan, ulkus dengan dasar bergranulasi dan tidak beraturan serta tepi bergaung, serta sikatriks yang menyerupai jembatan. Biasanya ditemukan
di daerah leher atau
wajah, tetapi dapat juga dijumpai di ekstremitas atau trunkus. Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini: 1. Tanda bahaya Kejang, kaku kuduk Penurunan kesadaran Kegawatan lain, misalnya sesak nafas 2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura 3. Gibbus, koksitis Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
Universitas Sumatera Utara
mendapat OAT (obat anti TB). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis dicurigai TB maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT Scan, dan lain-lainnya sesuai indikasi
(Depkes, 2008).
Sumber penularan dan Case Finding TB Anak : Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin. Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin (Depkes RI, 2008).
Gambar 2.3. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan Kesehatan Dasar Skor >6
Beri OAT selama 2 bulan dan dievaluasi
Respons (+)
Terapi TB diteruskan
Respons ( )
Teruskan terapi TB mencari penyebabnya
sambil
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang.
Universitas Sumatera Utara
Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan (Depkes RI, 2008).
2.1.13 Pemberantasan tuberkulosis di Indonesia Menurut Noerolandra (1999) dalam Priyadi (2003), diketahui bahwa Pengobatan tuberkulosis di Puskesmas diberikan secara gratis dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan bantuan teknis dari WHO (World Health Organization). Program tuberkulosis dengan DOTS melalui Puskesmas secara relatif dapat dikatakan berhasil, khususnya dari sudut operasional. Namun masih dipertanyakan dari sudut epidemiologis. Berdasarkan prosedur tetap program pemberantasan tuberkulosis yang sekarang dilaksanakan di Puskesmas yang menempatkan kasus tuberkulosis dengan BTA positif sebagai sasaran utama, dengan diagnosis pemeriksaan mikroskopis sputum, pemeriksaan ulang sputum 3 kali di masa pengobatan, obat direkomendasikan WHO, pencatatan dan pelaporan standard, ditunjuknya Pengawas Minum Obat (PMO), pelacakan penderita, serta distribusi obat yang lancar dan berlanjut, tentu saja merupakan hal yang baru bagi rumah sakit yang menempatkan pendekatan klinis sebagai misi utama. Beberapa kendala yang perlu mendapat perhatian dan perlu diantisipasi untuk keberhasilan program pemberantasan tuberkulosis adalah tersedianya tenaga dan saranan pelayanan kesehatan sebagai pengendali program. Hal ini sangat menentukan karena pengobatan tuberkulosis yang terpantau memerlukan petugas pengendali yang akan melakukan konseling, pencatatan, keperluan pemeriksan ulang sputum, mengurus sarana stok obat dan koordinator PMO.
2.2
Beberapa Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru
2.2.1 Umur Menurut Crofton (1989) dalam Iskandar (2010), daya tahan tubuh untuk melawan infeksi pada hakekatnya sama untuk semua umur akan tetapi pada usia sangat muda awal kelahiran dan pada usia 10 tahun pertama hidupnya memiliki sistem pertahanan tubuh sangat lemah. Kemungkinan anak balita untuk terinfeksi dan menimbulkan sakit sangat tinggi. Sebelum masa pubertas infeksi primer ditemukan di
Universitas Sumatera Utara
paru. Sampai usia 2 tahun dapat mengakibatkan keadaan yang berat seperti Tuberculosis millier dan Meningitis tuberculosis. Selaras dengan Samallo dalam Nurhidayah,dkk (2007), usia anak merupakan usia yang sangat rawan terhadap penularan penyakit tuberkulosis dan angka penularan serta bahaya penularan yang tinggi terdapat pada golongan umur 0-6 tahun dan golongan umur 7-14 tahun. Juga Selaras dengan penelitian Diani, dkk (2011) proporsi infeksi TB pada anak <5 tahun yang
tinggal
dalam
satu
rumah
dengan
85
orang
pasien
TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta Selatan berdasarkan uji tuberkulin 42,4%. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis yaitu usia 15-50 tahun (Depkes RI, 2008). Berdasarkan penelitian Musadad (2006) menyatakan bahwa karakteristik penderita TB paru di rumah tangga sebagian besar merupakan kelompok usia produktif dimana 90,2% usianya di bawah 49 tahun dengan jenis kelamin perempuan sedikit lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Banyaknya penderita kelompok usia tersebut sangat memprihatinkan mengingat itu merupakan kelompok umur produktif yang biasanya secara ekonomi menanggung beban
biaya
kelompok
usia
di
bawah
15 tahun dan di atas 60 tahun. Bahkan terdapat 14,7% penderita TB paru berusia di bawah 20 tahun yang masih merupakan usia sekolah. Hasil penelitian Hariyanto (2013) menyatakan Dari 80 responden didapatkan 11
(13,8%)
dengan
BTA
positif.
Hasil
analisis
dengan uji
Chi square didapatkan x2 = 4,396; p = 0,036 (p< 0,05) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara umur dengan TB paru BTA positif. Selaras dengan penelitian Iskandar (2010) hasil uji Chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur responden
dengan
kejadian
TB
paru
dengan
nilai
p = 0,018 (p< 0,05). Berbeda pendapat dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,361 (p> 0,05) bahwa umur bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Jenis kelamin Menurut Enarson DA ( 2003) dalam Putra (2010) di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Suswati (2007) menyatakan bahwa dari 200 sampel yang diteliti sebanyak 45% terdiri dari laki-laki dan sisanya 55% diderita oleh perempuan. Kondisi ini juga sesuai dengan hasil penelitian WHO yang menyatakan bahwa TB paru banyak menyerang perempuan. Kenyataan ini memang sangat memprihatinkan karena perempuan yang bertugas menjaga kualitas generasi bangsa ternyata sebagian besar banyak menderita penyakit TB paru yang bersifat kronis dan potensial menular ke anggota keluarganya apabila tidak mendapat penanganan dengan baik dan tuntas. Berdasarkan hasil penelitian Retnaningsih, dkk (2010) dari analisa statistik mendapatkan nilai p= 0,96 yang menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak bermakna secara statistik terhadap kejadian infeksi TB paru. Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p=0,609 (p> 0,05) bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru. Berbeda dengan hasil penelitian Iskandar (2010) menyatakan hasil uji Chi square terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin responden dengan kejadian TB paru, dengan nilai p= 0,027 (p< 0,05), artinya bahwa jenis kelamin sangat berdampak terhadap terjadinya TB paru.
2.2.3 Pekerjaan Faktor lingkungan kerja mempengaruhi seseorang untuk terserang suatu penyakit atau tidak. Seseorang yang bekerja pada lingkungan kerja yang buruk seperti supir, tukang becak, orang yang sering terpapar debu, polusi asap lebih gampang
Universitas Sumatera Utara
untuk terkena penyakit TB paru dibandingkan dengan orang yang sehari-hari bekerja di kantor (Sitepu, 2009). LIPI (2000) dalam Iskandar (2010), menyatakan bahwa penurunan tingkat pendapatan menyebabkan banyak rumah tangga mengalami kesulitan untuk membeli pangan, mengakibatkan berubahnya pola pengeluaran konsumsi dengan proforsi yang lebih besar untuk bahan makanan dibandingkan untuk kebutuhan bukan makanan seperti kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Dan
WHO tahun 2007 menyebutkan
90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin (Putra, 2010). Berdasarkan hasil penelitian Retnaningsih, dkk (2010) dari analisa statistik mendapatkan nilai p= 0,610 yang menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tidak bermakna terhadap kejadian infeksi TB paru, sebenarnya dengan bekerja diharapkan dapat mengurangi risiko terinfeksi TB paru, orang yang bekerja di luar rumah, relatif lebih sedikit memiliki waktu berada di dalam rumah dibandingkan kelompok yang tidak bekerja. Jika waktu berada di dalam rumah lebih sedikit, maka intensitas kontak dengan penderita TB paru akan berkurang.
2.2.4 Status ekonomi Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai hasil pembangunan. Perubahan pendapatan akan mempengaruhi pengeluaran. Di negara berkembang tingkat pendapatan penduduk masih rendah dan pengeluaran untuk makan merupakan bagian terbesar dari seluruh pengeluaran rumah tangga. Akan tetapi untuk negara yang sudah maju pengeluaran terbesar bukan untuk makan, melainkan untuk biaya kesehatan, pendidikan, olah raga, pajak dan jasa-jasa atau pengeluaran non makan lainnya (Putra, 2011). Menurut Elvina Karyadi (2002) dalam Putra (2011) menyatakan bahwa ekonomi lemah atau miskin mempengaruhi seseorang mendapatkan penyakit TB paru, disebabkan daya tahan tubuh yang rendah, begitu juga kebutuhan akan rumah yang layak huni tidak di dapatkan, ditambah dengan penghuni yang ramai dan sesak. Keadaan ini akan mempermudah penularan penyakit terutama penyakit saluran pernafasan seperti penyakit TB Paru. Selaras dengan penelitian Kuniarsih (2009)
Universitas Sumatera Utara
menyatakan
bahwa
faktor-faktor
yang
berhubungan
dengan
kejadian
TB paru adalah tingkat pendapatan per kapita. Berbeda pendapat dengan hasil penelitian Sunar (2005) mengatakan tidak ada hubungan pendapatan dengan praktek penemuan tersangka TB paru (p= 0,770 dan p= 0,328). Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,0170 (p> 0,05) bahwa tingkat pendapatan bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru.
2.2.5 Pengetahuan Notoatmodjo (2011) mengatakan pengetahuan merupakan hasil “tahu” setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu know (tahu), memahami (comfrehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis), evaluasi (evaluation). Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dan subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan tersebut di atas Notoatmodjo (2003) dalam Iskandar (2010). Penelitian yang dilakukan di Serbia oleh Vukonic, dkk (2008) menunjukkan bahwa satu-satunya prediktor yang signifikan dari pemahaman yang benar tentang cara penularan TB adalah tingkat pendidikan dan hubungan pribadi yang dekat dengan pasien TB, prediktor terkuat dari kesalahpahaman adalah usia lebih tua. Selaras
dengan
penelitian
Rusnoto,dkk
(2006)
pengetahuan
tentang
TB paru yang rendah akan berisiko 23,021 kali lebih besar dari pengetahuan yang tinggi. Juga selaras dengan hasil penelitian Iskandar (2010) hasil uji Chi square dengan nilai p= 0,003 (p< 0,005) artinya terdapat hubungan signifikan antara
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan dengan kejadian TB paru. Dan juga berdasarkan hasil penelitian Tobing (2009) mengatakan hasil analisis uji Chi square didapat nilai p= 0,024 berati pada α= 5% (0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan potensi penularan TB paru, analisis lebih lanjut diperoleh nilai OR= 2,5 (CI= 1,124–5,918) artinya potensi penularan TB paru 2,5 kali lebih besar pada yang berpengetahuan rendah. Sejalan juga dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,034, OR= 2,622 artinya tingkat pengetahuan yang kurang mempunyai risiko meningkatkan kejadian TB paru sebanyak 2,622 kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat pengetahuan yang baik.
2.2.6 Sanitasi perumahan dan lingkungan Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan kepada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan di dalam maupun di luar rumah yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat dengan timbulnya atau penularan penyakit. Pengawasan lingkungan di sini meliputi pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan. Pentingnya lingkungan rumah yang sehat ini telah dibuktikan
WHO
dengan
penyelidikan-penyelidikan
di seluruh dunia dimana didapatkan hasil bahwa angka kematian, angka perbandingan orang
sakit
yang
tinggi
serta
sering
terjadi
epidemik,
terdapat
di tempat-tempat dimana hygiene dan sanitasi lingkungan buruk (Priyadi, 2003). a. Kepadatan hunian Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasillitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (Lubis, 1989 dalam Juslan 2011).
Universitas Sumatera Utara
Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥10 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 10 m²/orang (Lubis, 1989). Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000), didapatkan data bahwa: 1. Rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita mempunyai risiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan tidur terpisah; 2. Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya; 3. Besar risiko terjadinya penularan dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita TB (Juslan, 2011). Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa kepadatan hunian bisa menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) TB paru seperti penelitian yang dilakukan oleh Daryatno (2000) di Semarang yang menyatakan bahwa kepadatan hunian memiliki hubungan dengan kejadian TB paru. Selanjutnya, Sugiharto (2004) melakukan penelitian tentang hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB paru dan diperoleh hasil adanya hubungan dengan nilai OR= 3,161 dengan nilai p= 0,001. Selanjutnya, Tobing (2009) melaksanakan penelitian dengan salah satu variabel yaitu kepadatan hunian yang memperoleh nilai p sebesar 0,004 yang berarti adanya hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan penyakit TB paru dimana nilai OR sebesar 3,3 (95% CI : 1,45 7,9). Hal ini berarti, potensi kejadian penyakit TB paru sebesar 3,3 kali di bangunan atau rumah yang kepadatan huniannya < 0,5 (Sumampouw, 2012).
b. Ventilasi rumah Menurut Depkes RI (1989) dalam Sumampouw (2012) secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator pengawaan rumah, luas
Universitas Sumatera Utara
ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah ≤ 10% luas lantai rumah. Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar (1990) dan Notoatmodjo (2003), salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri pathogen termasuk kuman tuberkulosis (Sumampouw, 2012). Selain itu menurut Lubis (1989) dalam Sumampouw (2012) luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa ventilasi bisa menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) TB paru seperti yang dilakukan oleh Ratnawati (2001) hasil penelitiannya menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB paru di Kabupaten Jepara (p > 0,05). Selanjutnya penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara memperoleh hasil yaitu adanya hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB paru dengan nilai p sebesar 0,003 dan OR = 6,176. Hal ini berarti individu yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena TB paru sebesar 6,2 kali dibandingkan mereka yang memiliki luas ventilasi yang memenuhi syarat. Selanjutnya, Tobing (2009) menyatakan bahwa dalam penelitian yang dilakukannya diperoleh hasil yaitu nilai p sebesar 0,037 dan nilai OR sebesar 2,4 (9% CI-1,04-5.8). Selanjutnya, Darsoni (2005) yang melaksanakan penelitian di Desa Padang memperoleh hasil yaitu bahwa adanya hubungan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian TB paru dimana nilai p = 0,001 dan OR sebesar 10,8. Selanjutnya,
Universitas Sumatera Utara
penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru ditemukan luas ventilasi berhubungan dengan kejadian TB paru dimana nilai OR sebesar 29,99 dengan 95% CI: 3,39-265,50 (Sumampouw, 2012).
2.2.7
Kebiasaan merokok Kebiasaan merokok meningkatkan risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2
kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan menurut Achmadi (2005) dalam Fidiawati (2011), prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru (Fidiawati, 2011). Menurut Amin (1993) dalam Priyadi (2003) mengatakan terdapat cukup fakta untuk menghubungkan rokok dengan TB paru. Dalam jangka panjang yaitu 10 20 tahun pengaruh risiko merokok terhadap tuberkulosis adalah bila merokok 1 10 batang per hari meningkatkan risiko 15 kali, bila merokok 20 30 batang per hari meningkatkan risiko 40 50 kali dan bila merokok 40 50 batang per hari meningkatkan risiko 70 80 kali. Penghentian kebiasaan merokok, baru akan menunjukkan penurunan risiko setelah 3 tahun. Berdasarkan hasil penelitian Suarni (2009) menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB paru BTA positif (p= 0,298). Selaras dengan penelitian Widyasari (2012) menunjukkan responden yang memiliki kebiasaan merokok (46,7%), dengan hasil analisis Chi square nilai p= 0,606 OR= 0,766, 95% CI= 0,278–2,111 dan responden yang merupakan perokok pasif (53,3%)
dengan
hasil
analisis
Chi square nilai p= 0,438 OR= 1, 495, 95% CI= 0,540 4,136 dapat disimpulkan bahwa status terpapar rokok tidak memiliki hubungan dengan kejadian TB Paru di Wilayah Semarang Utara.
Universitas Sumatera Utara
2.2.8
Penyakit penyerta Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar
30-50 kg atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa. Sementara berat badan yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal kemungkinan mendapat TB adalah 14 kali lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal. Ini yang menjadi pemikiran bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor utama peningkatan risiko TB menjadi aktif. Pola makan orang Indonesia yang hampir 70% karbohidrat dan hanya 10% protein yang pada penyakit kronis selalu disertai dengan tidak selera makan, tidak mau makan, tidak bisa makan atau tidak mampu membeli makanan yang mempunyai kandungan gizi baik (kurang protein), sehingga penderita ini mempunyai status gizi yang buruk. Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes mellitus (DM) dan infeksi HIV merupakan salah satu faktor risiko yang tidak berketergantungan untuk berkembangnya infeksi saluran napas bagian bawah. Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM dan aktivitas kuman tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan. Penderita tuberkulosis menular (dengan sputum BTA positif) yang juga mengidap HIV merupakan penularan kuman
tuberkulosis tertinggi (Putra,2010). Selaras dengan
laporan Maurice (2011) menyatakan bahwa penderita diabetes mempunyai risiko tiga kali lipat untuk menderita tuberkulosis, kami memperkirakan sekitar
8%
berkonstribusi untuk terjadinya kasus TB baru setiap tahunnya. Berdasarkan hasil penelitian Widyasari (2012) menunjukkan responden yang memiliki
riwayat
Diabetes
mellitus
(26,7%),
dengan
hasil
analisis
Chi square nilai p= 0,038 OR= 5,092, 95% CI= 0,981-26,430, dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa riwayat penyakit penyerta memiliki hubungan dengan kejadian TB Paru di Wilayah Semarang Utara.
2.2.9
Riwayat kontak Yulistyaningrum dan Rejeki (2010) menyatakan bahwa sebesar 74,23% dari
seluruh kasus tuberkulosis terdapat pada golongan anak, dimana angka penularan dan bahaya penularan yang tinggi terdapat pada golongan umur 0-6 tahun dan golongan umur 7 14 tahun.
Faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit tuberkulosis
terutama pada anak-anak adalah faktor genetik, malnutrisi, vaksinasi, kemiskinan dan
Universitas Sumatera Utara
kepadatan penduduk. Faktor risiko utama yang dapat menimbulkan penyakit TB paru pada
anak
adalah
kontak
dengan
penderita
TB dewasa. Anak-anak yang sakit TB tidak dapat menularkan kuman TB ke anak lain atau ke orang dewasa. Sebab, pada anak biasanya TB bersifat tertutup. Kasus TB paru anak di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Purwokerto pada tahun 2009 mencapai 26,4%. Hal ini dimungkinkan karena adanya kontak serumah atau sering berinteraksi dengan orang dewasa yang terbukti mengidap TB paru dengan hasil tes Basil Tahan Asam (BTA) positif. Penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto, dkk (2006) menyatakan Riwayat penularan anggota keluarga jika ada yang menderita TB paru akan mampu menularkan 79,781 kali dari keluarga yang tidak ada yang menderita TB paru. Riwayat kontak penderita dalam satu keluarga dengan anggota keluarga yang lain yang sedang menderita TB paru merupakan hal yang sangat penting karena kuman Mycobacterium tuberculosis sebagai etiologi TB paru adalah memiliki ukuran yang sangat kecil, bersifat aerob dan mampu bertahan hidup dalam sputum yang kering atau ekskreta lain dan sangat mudah menular melalui ekskresi inhalasi baik melalui nafas, batuk, bersin ataupun berbicara
(droplet infection). Sehingga adanya anggota keluarga yang
menderita TB paru aktif, maka seluruh anggota keluarga yang lain akan rentan dengan kejadian TB paru termasuk juga anggota keluarga dekat . Riwayat kontak anggota keluarga yang serumah dan terjadi kontak lebih dari atau sama dengan 3 bulan berisiko untuk terjadinya TB paru terutama kontak yang berlebihan melalui penciuman, pelukan, berbicara langsung. Hasil penelitian didapatkan sebesar 63,8% yang terdeteksi menderita TB paru yang berasal dari kontak serumah dengan keluarga atau orang tua yang menderita TB paru.
2.2.10 Status gizi Untuk orang Indonesia pengukuran status gizi dilakukan berdasarkan standard IMT ( Indeks Massa Tubuh) yaitu dengan menggunakan standard Asia atau Depkes RI yang merupakan suatu pengukuran yang menghubungkan (membandingkan) berat badan dengan tinggi badan. Walaupun dinamakan "indeks", BMI (Body Mass Index) sebenarnya adalah rasio yang dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Setelah mendapatkan hasil angka tersebut
Universitas Sumatera Utara
dicocokkan dengan cut off point sehingga kita dapat mengetahui status gizi kita apakah under weight, normal, overweight atau obesitas. Cut Off Point berdasarkan Depkes RI adalah : 1.
Kurus
: <17 18,4
2.
Normal
: 18,5 25
3.
Gemuk
: 25,1 >27
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa yang berusia 18 tahun ke atas. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, ibu hamil dan olahragawan. Disamping itu pula IMT tidak dapat diterapkan dalam keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites dan hepatomegali [http://www.ilmu-gizi.net/2011/09/imtindeks-massa-tubuh-bmi.html (diakses 29 September 2012)]. Sedangkan untuk pengukuran status gizi anak diukur secara antropometri dan dikatagorikan berdasarkan standar baku WHO-NCHS dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB (Kepmenkes, 2002). Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk ,maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi menurun (Rusnoto, dkk, 2006) Rakhmawati, dkk (2009) dalam penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian tuberkulosis pada anak. Perbedaan pada antara status gizi kurang dan baik dapat dilihat pada nilai OR = 0,176 (0,034 0,905) dan 0,235 (0,044 1,267), artinya anak dengan gizi kurang mempunyai peluang untuk terkena tuberkulosis 0,176 kali dibandingkan anak dengan gizi baik, dan anak dengan status gizi sedang mempunyai peluang untuk terkena tuberkulosis 0,235 kali dibandingkan dengan anak yang status gizi baik. Menurut Markum (1991) dalam Rakhmawati, dkk (2009) pada anak yang mengalami kekurangan gizi akan menimbulkan penurunan daya tahan tubuh hal ini disebabkan pada anak dengan kekurangan energi dan protein akan terjadi penurunan sintesis asam amino, selain itu juga akan terjadi perubahan dalam sel mediator imunitas, dalam fungsi bakterisidal netropil dan sistem komplemen dalam respon Ig A. Sekresi Ig A yang rendah
Universitas Sumatera Utara
bersamaan dengan penurunan imunitas makrosa akan memudahkan kolonisasi dan kontak antara mikroorganisme patogen dan sel epitel. TB lebih banyak terjadi pada anak yang kurang gizi sehubungan dengan lemahnya daya tahan tubuh anak yang kurang gizi. TB juga memperburuk status gizi anak dan ini merupakan satu sebab lingkaran setan gizi kurang dan infeksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok TB lebih banyak anak yang berstatus gizi sedang, kurang dan buruk. Hasil uji korelasi menunjukkan terdapat korelasi signifikan antara status gizi anak masa lalu dengan kejadian TB pada murid TK (p=0.01; r=-0.546). Hal ini berarti semakin rendah status gizi anak pada masa lalu, maka semakin besar kemungkinan ia menjadi TB pada usia TK (Madanijah dan Triana, 2007). Berdasarkan penelitian Fatimah (2008) hasil analisis statistik bivariat maupun multivariat menunjukkan bahwa faktor status gizi mempunyai hubungan dengan kejadian TB paru karena p < 0,05 pada analisis bivariat diperoleh hasil p = 0,015 OR = 2,737 dengan CI 95% = 1,272 < OR < 5,887. Artinya status gizi < 18,5 mempunyai risiko meningkatkan kejadian TB paru sebanyak 2,737 kali lebih besar dibanding dengan status gizi ≥ 18,5. Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,005 (p< 0,05) bahwa status gizi merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru. Menurut Alsagaf dan Mukty (2004) dalam Rotua (2013) status gizi yang buruk dapat mempengaruhi tanggapan tubuh berupa pembentukan antibodi dan limfosit terhadap adanya kuman penyakit. Untuk pembentukan ini diperlukan bahan baku protein dan karbohidrat, sehingga pada anak dengan gizi buruk produksi antibodi dan limfosit terhambat. Selain itu gizi yang buruk dapat menyebabkan gangguan imunologis dan mempengaruhi proses penyembuhan penyakit. Selaras juga dengan pendapat Nadesul (2004) dalam Rotua (2013) diet penderita TB harus cukup mengandung protein. Makanan tidak cukup hanya nasi dan sayur saja tetapi perlu lauk pauk seperti ikan, daging telur dan susu. Akibat dari kuman TB, paru-paru menjadi keropos dan terjadi proses pengapuran (kalsifikasi). Sehingga penderita perlu asupan zat kapur lebih banyak. Zat kapur banyak terkandung pada susu, ikan teri atau tablet kalsium. Jadi makanan bergizi dan zat kapur ibarat semen untuk menebalkan bagian tubuh /paru yang berlubang dan keropos akibat digerogoti kuman TB.
Universitas Sumatera Utara
Orang dengan TB aktif sering kekurangan gizi dan menderita defisiensi mikronutrien serta penurunan berat badan dan nafsu makan menurun. Malnutrisi meningkatkan risiko perkembangan dari infeksi TB menjadi penyakit TB aktif. Malnutrisi atau kekurangan nutrisi adalah temuan paling umum yang dialami penderita TB. Diet untuk penderita TB sangat penting karena kebanyakan penderita mengalami kekurangan gizi. Kekurangan (defisiensi) protein menghambat kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Selain pengobatan diet TB yang tepat juga diperlukan untuk memasok tubuh dengan berbagai nutrisi penting. Dengan pengobatan yang tepat dan diet yang sehat, kemungkinan untuk mendapatkan berat badan yang sehat. Penting untuk mempertahankan asupan kalori yang tepat. Mengkonsumsi berbagai buahbuahan dan sayuran, diet untuk pasien TB juga harus memasukkan kacang-kacangan. Hal ini membantu untuk menjaga berat badan dan juga membangun kekebalan terhadap penyakit lebih lanjut. Susu dan produk susu juga harus menjadi bagian diet. Ada juga produk susu rendah lemak dan lemak bebas tersedia saat ini. Selain diet yang tepat, individu juga harus mendapatkan istirahat yang cukup sehingga sistem kekebalan tubuh dapat pulih dan berfungsi dengan baik. Kebutuhan energi pada pasien TB meningkat karena penyakit itu sendiri, kebutuhan energi sekitar 35-40 kkal per kilogram berat badan ideal (Abdurrahman, 2012). Menurut Chandra (1996) dalam Usman (2008) pengamatan epidemiologis telah menyatakan bahwa infeksi dan kekurangan nutrisi saling berpengaruh secara buruk. Untuk beberapa penyakit infeksi seperti tuberkulosis ada banyak bukti menyatakan bahwa masa ketika sakit dan masa penyembuhan dipengaruhi secara buruk oleh kekurangan nutrisi. Bahwa kekurangan nutrisi pada umumnya berkaitan dengan terganggunya respon imun khususnya fungsi fagosit, produksi sitokin, respon sekresi antibodi dan sistem komplemen. Ringkasnya kekurangan nutrisi menyebabkan immunodefisiensi
secara
umum
untuk
berbagai
penyakit
infeksi
termasuk
tuberkulosis. Chan (1996) dalam Usman ( 2008) mengatakan peranan protein pada pengobatan TB selain memenuhi kebutuhan gizi, meningkatkan regenerasi jaringan yang rusak juga mempercepat sterilisasi dari kuman TB. Selain itu menurut Leitch (2000) dalam Usman (2008) kebanyakan penderita TB adalah kelompok usia produkif (15-55 tahun) secara tidak langsung penyakit dan status gizi yang buruk akan mempengaruhi produktivitas. Untuk itu diperlukan dukungan nutrisi yang adekuat
Universitas Sumatera Utara
sehingga akan mempercepat perbaikan status gizi dan meningkatkan sistem imun yang dapat mempercepat proses penyembuhan disamping pemberian obat yang teratur sesuai metode pengobatan TB. Pada orang-orang yang memiliki tubuh sehat karena daya tahan yang tinggi dan gizi yang baik, penyakit TB paru tidak akan muncul dan kuman TB akan tertidur. Namun pada mereka yang mengalami kekurangan gizi, daya tahan tubuh menurun atau buruk, terus menerus menghirup udara yang mengandung kuman TB akibat lingkungan yang buruk akan lebih mudah terinfeksi TB paru (menjadi TB aktif) atau dapat juga mengakibatkan kuman TB yang tertidur di dalam tubuh dapat aktif kembali (Hateyaningsih T, 2009). Samuel (2013) dalam Prawira (2013) menyatakan satu hal penting yang harus diperhatikan saat seseorang terserang TB adalah memperhatikan asupan gizinya. Jika seseorang mengalami infeksi kronis, maka status gizi pada orang tersebut dinyatakan menurun. Karena itu, daya tahan tubuh secara keseluruhan juga menurun. Berikan asupan makanan yang benar supaya tidak tambah kurus. Penderita TB tidak cukup hanya ditangani dengan pengobatan yang terus menerus tanpa henti. Asupan gizi yang masuk pun harus diperhatikan dengan benar. Status gizi penderita TB berbeda dengan orang sehat lainnya, pemberian asupan makanan pun harus beda dan lebih dari yang sehat. Kalau biasanya hitungannya
1
gram per 1 kilogram, maka untuk orang yang sedang terkena TB asupan kalorinya adalah 1,5 gram per 1 kilogram.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini: Variabel independen:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Umur Jenis kelamin Pekerjaan Pengetahuan Kebiasaan merokok Penyakit penyerta Status gizi Riwayat kontak
Variabel dependen:
Penularan TB paru pada keluarga
Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara