10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1
Persepsi Menurut (Robbins, 2001) persepsi adalah suatu proses dimana
individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Adapun faktor-faktor yang berperan dalam membentuk persepsi seseorang dapat berada pada pihak pelaku persepsi (perceiver), dalam obyeknya atau target yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan. 1. Pelaku persepsi Bila seorang individu memandang pada suatu objek dan mencoba apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individu itu. Faktor-faktor yang dikaitkan pada pelaku persepsi mempengaruhi apa yang dipersepsikannya. Diantara karakteristik pribadi yang relevan yang mempengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan pengharapan (ekspetasi).
10 Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
11
2. Target/objek persepsi Karakteristik-karakteristik dari target yang akan diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, dan atribut-atribut lain dari target membentuk cara kita memandangnya. 3. Situasi Situasi yang meliputi waktu, keadaan/tempat kerja, keadaan sosial dapat mempengaruhi persepsi kita. 2.1.2
Teori Etika Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis
tentang adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan. Berikut ini beberapa teori etika yaitu sebagai berikut : 1. Egoisme Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme. Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self service). Menurut teori ini, orang bolah saja yakin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan yang terkesan luhur dan/ atau tindakan yang suka berkorban
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
12
tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu suatu tindakan yang peduli pada orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya. Kedua, egoisme etis, adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri sendiri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. Berikut adalah pokokpokok pandangan egoisme etis: a. Egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang harus membela kepentingannya sendiri maupun kepentingan orang lain. b. Egoisme etis hanya berkeyakinan bahwa satu-satunya tuga adalah kepentingan diri. c. Meski egois etis berkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela kepentingan diri, tetapi egoisme etis juga tidak mengatakan bahwa anda harus menghindari tindakan menolong orang lain d. Menurut paham egoisme etis, tindakan menolong orang lain dianggap sebagai tindakan untuk menolong diri sendiri karena mungkin saja kepentingan orang lain tersebut bertautan dengan kepentingan diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya juga dalam rangka memenuhi kepentingan diri.
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
13
e. Inti dari paham egoisme etis adalah apabila ada tindakan yang menguntungkan orang lain, maka keuntungan bagi orang lain ini bukanlah alasan yang membuat tindakan itu benar. yang membuat tindakan
itu
benar
adalah
kenyataan
bahwa
tindakan
itu
menguntungkan diri sendiri. 2. Utilitarianisme Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the happiness
of
the
greatest
greatest
number). Paham utilitarianisme sebagai
berikut: a) Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak. b) Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan. c) Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya. Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
14
melihat
dari
sudut
pandang
kepentingan
orang
banyak
(kepentingan orang banyak). Kritik terhadap teori utilitarianisme: a. Utilitarianisme hanya menekankan tujuan/mnfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek rohani. b. Utilitarianisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu minoritas demi keuntungan mayoritas orang banyak. 3. Deontologi Paradigma teori deontologi saham berbeda dengan paham egoisme dan utilitarianisme, yang keduanya sama-sama menilai baik buruknya suatu tindakan memberikan manfaat entah untuk individu (egoisme) atau untuk banyak orang/kelompok masyarakat (utilitarianisme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu tindakan merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat, maka tindakan tersebut dikatakan tidak etis. Teori yang menilai suatu tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut disebut teori teleologi Sangat berbeda dengan paham teleologi yang menilai etis atau tidaknya suatu tindakan berdasarkan hasil, tujuan, atau konsekuensi dari tindakan tersebut, paham deontologi justru mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
15
akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjdi pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. 2.2 Telaah Pustaka 2.2.1
Etika Profesi Dalam etika profesi, sebuah profesi memiliki komitmen moral
yang tinggi biasanya dituangkan dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengemban profesi yang bersangkutan. Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut yang biasanya disebut sebagai kode etik yang harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi. Menurut Chua dkk (1994) dalam Wirdayanti (2007) menyatakan bahwa etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral yang lebih terbatas pada kekhasan pola etika yang diharapkan untuk profesi tertentu. Etika profesional dikeluarkan oleh organisasi untuk mengatur perilaku anggotanya dalam menjalankan praktek profesinya bagi masyarakat. Etika professional bagi praktek akuntan di Indonesia disebut dengan istilah kode etik dan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia sebagai organisasi profesi akuntan. Etika profesi merupakan karakteristik suatu profesi
yang
membedakannya dengan profesi lain dan berfungsi mengatur tingkah laku para anggotanya. Kepribadian akuntan yang profesional akan selalu dihubungkan dengan sikap dan tindakan etis yang pada akhirnya merupakan penentu posisi akuntan dalam masyarakat sebagai pemakai jasa
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
16
profesionalnya. (Boynton, Johnson dan Kell, 2002 dalam Anton, 2012). Menurut Sihwahjoeni dan Gudono (2000) dalam Anton (2012) dengan adanya etika profesi, maka tiap profesi memiliki aturan-aturan khusus yang harus ditaati oleh pihak yang menjalankan profesi tersebut. Etika profesi diperlukan, agar apa yang dilakukan oleh suatu profesi tidak melanggar batas-batas tertentu yang dapat merugikan suatu pribadi atau masyarakat luas. Etika tersebut akan memberi batasan-batasan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang harus dihindari oleh suatu profesi. Etika profesi juga berkaitan perilaku moral yang meliputi kekhasan pola etis yang diharapkan untuk profesi tertentu. 2.2.2
Pendidikan Etika Profesi Modal awal dalam sebuah pemahaman yang benar tentang
pendidikan, harus didasarkan pada suatu pengertian yang benar tentang pendidikan itu sendiri. Pendidikan merupakan sebuah proses yang dapat terjadi secara terus-menerus dalam kehidupan seseorang melalui pengajaran sehingga kemampuan, bakat, kecakapan dan minatnya dapat dikembangkan. Di bawah ini, beberapa pengertian tentang pendidikan yaitu: 1. “Education is the process by which the human mind is disciplined and developed.” (Pendidikan adalah suatu proses dengan mana pemikiran, rasio, mental manusia didisiplin dan dikembangkan). Hal ini didasarkan pada sebuah pemikiran bahwa manusia itu adalah
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
17
“Homosapiens” artinya jenis makhluk yang dapat berpikir dengan menggunakan logika. 2. “Education is the process by which the individual is thought loyalty and conformity to the group and to social institutions.” (Pendidikan adalah kegiatan atau proses dengan mana individual dibina agar loyal setia tanpa syarat dan penyesuaian membuat pada kelompok atau lembaga sosial). 3. “Education is a process of growth in which the individual is helped to developed his powers, his talent, his abilities, and his interest.” (Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan dalam mana individu dibantu
mengembangkan
daya-daya
kemampuannya,
bakatnya,
kecakapannya dan minatnya). Tiga pengertian pendidikan di atas mengacu kepada pendekatan antropologis, sosiologis dan psikologis. Dalam konteksnya, pendekatan sosiologis meninjau proses pendidikan dalam kaitannya dengan kehidupan dan lembaga sosial di luar individu, sedangkan pendekatan psikologis meninjau proses pendidikan dari sudut proses internal dalam diri manusia, sehingga lebih mengarah kepada peninjauan tentang konsep hakikat psikologis bukan filosofis. Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyesuaian diri ke arah pendewasaan untuk mencapai suatu kesuksesan dalam hidup (Maidiantius, 2014).
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
18
Terdapat banyak perdebatan dimana pendidik mengenai apakah etika harus atau bahkan dapat diajarkan. Ada yang mengemukakan pendapat bahwa pendidikan etika di perguruan tinggi dapat diajarkan dengan mengintegrasikan hal tersebut ke dalam mata kuliah tertentu, sementara pendapat lainnya mengatakan bahwa pendidikan etika harus disajikan sebagai mata kuliah tersendiri (Black et al., 2010). Dalam pendidikan etika akuntansi, terdapat dua (2) pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan rules-based dan pendekatan principles-based. 1. Pendekatan Rules-Based berfokus pada mengingat apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan berdasarkan kode etik, pendekatan ini merupakan pendekatan pengajaran yang banyak digunakan di Amerika Serikat. 2. Pendekatan Principles-Based, prinsip ini lebih menekankan pada prinsip-prinsip fundamental. Pendekatan ini bertujuan untuk melatih akuntan profesional untuk menyadari situasi dan dilema etis lalu menggunakan pertimbangan etika yang semestinya untuk menghadapi masalah dam tantangan yang ada (Black et all., 2010). Pendidikan etika sangat bergantung pada dasar etika yang dimiliki seseorang, dasar etika dalam setiap individu berbeda-beda tergantung dari latang belakang, pengalaman, budaya, dan standar moral yang dimiliki seseorang, oleh karena itu titik awal pendidikan etika
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
19
seharusnya berbeda tiap individu, hal ini juga berlaku dalam pendidikan etika profesi akuntan. Pendidikan etika profesi akuntan pada tinggat minimal adalah memperkenalkan mahasiswa akuntansi sebagai calon akuntan dengan kode etik yang mengatur perilaku akuntan (Rustiana, 2006). Tujuan dari diberikannya pendidikan etika profesi akuntansi kepada mahasiswa adalah (Loeb, 1988 dalam Adkins dan Radtke, 2004): 1. Menghubungkan pendidikan akuntansi kepada persoalan-persoalan moral. 2. Mengenalkan persoalan-persoalan moral dalam akuntansi yang memiliki implikasi etis. 3. Mengembangkan suatu perasaan bertanggung jawab moral. 4. Mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan dalam menghadapi konflik atau dilema etis. 5. Belajar menghadapi ketidakpastian dalam profesi akuntansi. 6. Sebagai tahapan untuk menapai suatu perubahan dalam perilaku etis. 7. Mengapresiasikan dan memahami sejarah dan komposisi seluruh aspek etika profesi akuntan dan hubungannya terhadap etika secara umum.
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
20
Loeb (1988) dan Rustiana (2006) menyatakan bahwa terdapat 5 tujuan yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan etika akuntan bila dikatkan dengan independensi, yaitu: 1. Menstimulasi imajinasi mahasiswa terhadap isu-isu independensi. 2. Membantu mahasiswa dalam mengenali isu-isu independensi. 3. Memperoleh rasa tanggung jawab personal dalam diri mahasiswa tentang independensi. 4. Mengembangkan
keahlian
analitis
mahasiswa
agar
dapat
mengevaluasi isu-isu independensi. 5. Mengajari mahasiswa supaya dapat bertoleransi yang baik dengan pihak lain. 2.2.3
Gender Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk
menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering sekali mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati (gender). Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia perempuan
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
21
dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Kata “gender‟ dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat kodrati. Oleh karenanya gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya. Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya tergantung waktu dan budaya setempat. Definisi gender menurut berbagai pustaka adalah sebagai berikut: 1. “Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat. 2. “Gender refers to the economic, social, political, and cultural attributes and opportunities associated with being female and male. The social definitions of what it means to be female or male vary among cultures
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
22
and changes over time.” (gender merujuk pada atribut ekonomi, sosial, politik dan budaya serta kesempatan yang dikaitkan dengan menjadi seorang perempuan dan laki-laki. Definisi sosial tentang bagaimana artinya menjadi perempuan dan laki-laki beragam menurut budaya dan berubah sepanjang jaman). 3. “Gender should be conceptualized as a set of relations, existing in social institutions and reproduced in interpersonal interaction“ (Smith 1987; West & Zimmerman 1987 dalam Lloyd et al. 2009) (gender diartikan sebagai suatu set hubungan yang nyata di institusi sosial dan dihasilkan kembali dari interaksi antar personal). 4. “Gender is not a property of individuals but an ongoing interaction between actors and structures with tremendous variation across men‟s and women‟s lives “individually over the life course and structurally in the historical context of race and class” (Ferree 1990 dalam Lloyd et al. 2009: p.8) (Gender bukan merupakan property individual namun merupakan interaksi yang sedang berlangsung antar aktor dan struktur dengan variasi yang sangat besar antara kehidupan laki-laki dan perempuan „secara individual‟ sepanjang siklus hidupnya dan secara struktural dalam sejarah ras dan kelas). 5. “At the ideological level, gender is performatively produced” (Butler 1990 dalam Lloyd et al. 2009: p.8) (Pada tingkat ideologi, gender dihasilkan).
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
23
6. “Gender is not a noun- a „being‟–but a „doing‟. Gender is created and reinforced discursively, through talk and behavior, where individuals claim a gender identity and reveal it to others” (Lloyd et al. 2009: p.8) (Gender bukan sebagai suatu kata benda–„menjadi seseorang‟, namun suatu „perlakuan‟. Gender diciptakan dan diperkuat melalui diskusi dan perilaku, dimana individu menyatakan suatu identitas gender dan mengumumkan pada yang lainnya). 7. “Gender theory is a social constructionist perspective that simultaneously examines the ideological and the material levels of analysis” (Lloyd et al. 2009: p.8) (Teori gender merupakan suatu pandangan tentang konstruksi sosial yang sekaligus mengetahui ideologi dan tingkatan analisis material). Dengan demikian gender menyangkut aturan sosial yang berkaitan dengan jenis kelamin manusia laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis dalam hal alat reproduksi antara laki-laki dan perempuan memang membawa konsekuensi fungsi reproduksi yang berbeda (perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui; laki-laki membuahi dengan spermatozoa). Jenis kelamin biologis inilah merupakan ciptaan Tuhan, bersifat kodrat, tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan dan berlaku sepanjang zaman (Puspitawati, 2013).
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
24
2.2.4
Manajemen Laba 2.2.4.1 Definisi Manajemen Laba Pengertian manajemen laba itu sendiri memiliki arti yang berbeda-beda, manajemen laba dapat diartikan sebagai tindakan manajemen untuk mempengaruhi income yang dilaporkan dan laporan tersebut akan memberikan informasi keuntungan ekonomis yang tidak benar karena melaporkan earnings management pada tingkat yang diinginkan manajer, tetapi tindakan tersebut dalam batas-batas prinsip akuntansi yang berterima umum (Sholihin dan Na’im, 2004 dalam Purbandari, 2012). Copeland (1968) dalam Utami (2005) mendefinisikan manajemen laba sebagai, “some ability to increase or decrease reported net income at will”. Ini berarti bahwa manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk
memaksimumkan atau
meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajer. Scott (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. 1. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic earnings management).
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
25
2. Kedua,
dengan
perspektif efficient
memandang manajemen
laba dari
contracting
earnings
(efficient
management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam
kontrak.
mempengaruhi
Dengan nilai
demikian,
pasar
manajer
perusahaannya
dapat melalui
manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu. Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan
keuangan
eksternal
dengan
tujuan
untuk
menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba adalah salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat
mengganggu
pemakai
laporan
keuangan
yang
mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa. Manajemen laba merupakan area yang kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Manajemen laba tidak selalu diartikan sebagai suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
26
manipulasi laba. Manajemen laba tidak selalu dikaitkan dengan upaya untuk memanipulasi data atau informasi akuntansi, tetapi lebih condong dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dalam batasan GAAP. Pihak-pihak yang kontra terhadap manajemen laba, menganggap bahwa manajemen laba merupakan pengurangan dalam keandalan informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk mengevaluasi return dan resiko portofolionya (http://ilmuakuntansi.web.id/pengertianmanajemen-laba/). 2.2.4.2 Motivasi Manajemen Laba (Earnings Management) Scott (2006) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi
dua. Pertama,
melihatnya
sebagai
perilaku
oportunis manajer untuk memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (oportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang contracting
manajemen (Efficient
laba
Earnings
dari
perspektif efficient
Management),
dimana
manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihakpihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
27
manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu. Beberapa terjadinya motivasi manajemen laba, yaitu: 1. Bonus Purposes ; Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini. 2. Political Motivation ; Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat. 3. Taxation Motivation ; Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode
akuntansi
digunakan
dengan
tujuan
untuk
penghematan pajak pendapatan. 4. Pergantian CEO ; CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
28
5. Initial Public Offering (IPO) ; Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan. 6. Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor ; Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik. 2.2.4.3. Teknik dan Pola Manajemen Laba 2.2.4.3.1. Teknik dan pola manajemen laba dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu: 1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain. 2. Mengubah metode akuntansi perubahan metode akunatansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh :
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
29
merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus 3. Menggeser periode biaya atau pendapatan. Contoh rekayasa periode
biaya
atau
pendapatan
antara
lain
:
mempercepat/menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat/menunda pengeluaran promosi sampai periode 9 berikutnya, mempercepat/menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai. 2.2.4.3.2. Pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara: 1. Taking a bath Pola
ini
terjadi
pada
saat
reorganisasi
termasuk
pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa datang. 2. Income Minimization Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
30
mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. 3. Income Maximization Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang. 4. Income Smoothing Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu. 2.2.4.4. Faktor-faktor Situasional Praktik Manajemen Laba Faktor-faktor situasional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang semata-mata berasal dari sifat fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Faktor-faktor yang ada dalam situasi lingkungan kerja dimana muncul problem etis earnings management (dalam hal ini adalah beberapa skenario yang digunakan dalam penelitian) yang dapat memengaruhi persepsi seseorang menilai etis tidaknya suatu praktik earnings management. Menurut Merchant dan Rockness
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
31
(1994) dalam Clikeman et.al (2000) menemukan bahwa akuntan professional berpendapat tentang penerimaan etika dari earnings management tergantung dari beberapa faktor yaitu: 1. Jenis Manipulasi (Type of Manipulation), adalah upaya earnings management dengan mempergunakan manipulasi akuntansi yaitu dengan mengubah catatan dari transaksi yang ada atau menggunakan manipulasi akuntansi yaitu dengan penentuan pendapatan
transaksi dan
akhir
biaya
tahun
dalam
untuk
periode
memindahkan
pelaporan
yang
diinginkan. 2. Arah Manipulasi (Direction of Manipulation), adalah upaya untuk menaikkan atau menurunkan jumlah laba dengan mempercepat (menunda) pengeluaran akrual. 3. Materialitas (Materiality), adalah upaya melakukan earnings management dalam jumlah yang dianggap material. 4. Kecenderungan Manipulasi (Intentions), adalah tujuan atau maksud tertentu.
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
32
2.3 Penelitian Terdahulu Penelitian empiris terdahaulu terkait dengan topik adalah : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian
Variabel
Hasil
M. Wahyudin (2003)
.Persepsi Akuntan Publik Terdapat perbedaan marginal yang signifikan dan Mahasiswa, Praktik antara persepsi akuntan publik dan mahasiswa yang terdiri dari mahasiswa magister akuntansi Manajemen Laba. dan mahsiswa magister manajemen tentang penerimaan etika terhadap praktik manajemen laba, serta keseluruhan faktor penerimaan etika terhadap praktik manajemen laba mempengaruhi ke 3 kelompok responden tersebut. Sedangkan, mahasiswa magister akuntansi dan mahasiswa magister manajemen tidak memiliki perbedaan persepsi yang signifikan tentang penerimaan etika terhadap praktik manajemen laba.
Komala Inggarwati dan Arnold Kaudin (2010)
Persepsi etis pelaku akuntansi, Praktik Manajemen Laba (Profesi Akuntansi dan Gender)
Menunjukkan hasil tentang persepsi etis para pelaku akuntansi (praktisi dan akademisi) terhadap praktik manajemen laba. Secara keseluruhan, akademisi memandang manajemen laba lebih etis dibanding praktisi. Dari sisi gender, tidak ditemukan adanya perbedaan nyata antara persepsi etis pelaku akuntansi perempuan dan laki-laki.
Winda Astuti, Wiwik Persepsi Etis Mahasiswa Tiswiyanti, dan Reka yang Bekerja dan Belum Bekerja, Praktik Mayarni (2011) Manajemen Laba.
Menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan etis antara mahasiswa akuntansi yang sudah bekerja dan yang belum bekerja terhadap praktik earnings management.
Theresia (2012)
Purbandari Persepsi etis mahasiswa Menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi akuntansi, praktik etis mahasiswa akuntansi se-Eks Karesidenan Madiun terhadap praktik manajemen laba yang manajemen laba. dilihat dari tipe manajemen laba, kosistensi dengan PABU, arah manajemen laba, materialitas manajemen laba. Tetapi pada periode akibat manajemen laba, dan tujuan laba tidak terdapat perbedaan persepsi etis mahasiwa akuntansi.
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
33
2.4
Kerangka Pemikiran Teoritis Hubungan antara variabel gender dan strata pendidikan yang mempengaruhi pendidikan etika profesi akuntansi atas praktik manajemen laba dapat dilihat pada gambar dibawah ini : Praktik Manajemen Laba 1. Jenis Manipulasi 2. Arah Manipulasi
Mahasiswa Akuntansi Lakilaki
3. Material Manipulasi
Mahasiswa Akuntansi Perempuan
4. Kecenderungan Manipulasi
Gambar 2.1. Model Penelitian 2.5 Hipotesis 2.5.1 Persepsi Etis Mahasiswa Laki-laki dan Mahasiswa Perempuan Akuntansi dan Jenis Manipulasi. Pada hasil yang ditunjukkan oleh Inggarwati dan Kaudin (2010) bahwa tidak ditemukan perbedaan yang nyata antara persepsi etis mahasiswa dan mahasiswi. Untuk hasil penelitian yang dilakukan oleh Purbandari (2012), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi etis mahasiswa terhadap praktik manajemen laba ditinjau dari jenis manipulasi.
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
34
H1 : Terdapat perbedaan etis antara mahasiswa akuntansi laki-laki dan perempuan terhadap praktik manajemen laba ditinjau dari jenis manipulasi 2.5.2 Persepsi Etis Mahasiswa Laki-laki dan Mahasiswa Perempuan Akuntansi dan Arah Manipulasi Purbandari (2012) menunjukkan bahwa hasil penelitiannya terdapat perbedaan persepsi etis mahasiswa terhadap praktik manajemen laba ditinjau dari arah manipulasi. Astuti dkk. (2011) menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan persepsi etis mahasiswa yang belum bekerja dan sudah bekerja tentang praktik manajemen laba. H2 : Terdapat perbedaan persepsi etis antara mahasiswa akuntansi lakilaki dan perempuan terhadap praktik manajemen laba ditinjau dari arah manipulasi. 2.5.3 Persepsi Etis Mahasiswa Laki-laki dan Mahasiswa Perempuan Akuntansi dan Materialitas Manipulasi. Purbandari (2012) menunjukkan bahwa hasil penelitiannya terdapat perbedaan persepsi etis mahasiswa terhadap praktik manajemen laba ditinjau dari material atau tidak material manipulasi. Mahasiswa akuntansi yang belum bekerja melihat etis tidaknya praktik manajemen laba
dengan
mempertimbangkan
terlebih
dahulu
materialitas,
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016
35
kemudian berturut-turut kecenderungan, arah manipulasi dan jenis manipulasi (Astuti dkk, 2011). H3 : Terdapat perbedaan persepsi etis antara mahasiswa akuntansi lakilaki dan perempuan terhadap praktik manajemen laba ditinjau dari materialitas manipulasi. 2.5.4 Persepsi Etis Mahasiswa Laki-laki dan Mahasiswa Perempuan Akuntansi dan Kecenderungan Manipulasi. Pada mahasiswa akuntansi pria dan wanita dan didapat bahwa mahasiswa akuntansi pria melihat etis tidaknya praktik earning management dengan
mempertimbangkan
terlebih dulu
arah
manipulasi kemudian berturut-turut materialitas, kecenderungan dan jenis manipulasi. Sedangkan mahasiswa akuntansi wanita sebaliknya menilai etis tidaknya praktik earnings management dengan melihat terlebih dulu jenis manipulasi kemudian berturut-turut kecenderungan, materialitas dan arah manipulasi (Nurmala dan Martin, 2007). H4 : Terdapat perbedaan persepsi etis antara mahasiswa akuntansi lakilaki dan perempuan terhadap praktik manajemen laba ditinjau dari kecenderungan manipulasi.
Perbedaan Persepsi Etis..., Wulan Rizky Oktafuri, FEB UMP 2016