BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Soil Transmitted Helminths 2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas Nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur ataupun larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang lembab yang terdapat di negara yang beriklim tropis maupun subtropis (Bethony,et al.2006)
2.1.2 Jenis Soil Transmitted Helminths Menurut Hotez (2006) Soil Transmitted Helminths yang paling sering menginfeksi
adalah
cacing
gilig/roundworm
(Ascaris
lumbricoides),
cacing
cambuk/whipworm (Trichuris trichiura) dan cacing tambang/anthropophilic hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) sedangkan Strongyloides stercoralis jarang ditemukan terutama pada daerah yang beriklim dingin (Gandahusada 2006) a.
Ascaris lumbricoides Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit yang
disebabkan parasit ini disebut askariasis. Prevalensi askariasis di Indonesia termasuk dalam kategori tinggi yaitu memiliki frekuensi antara 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Hal ini akan memudahkan terjadinya reinfeksi. Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. (Gandahusada 2006) Menurut Onggowaluyo (2002), cacing dewasa Ascaris lumbricoides mempunyai ukuran paling besar di antara Nematoda usus lainnya Bentuk cacing ini adalah silindris (bulat panjang) dengan ujung anterior lancip. Cacing betina mempunyai ukuran tubuh lebih besar daripada cacing jantan. Cacing betina berukuran 22-35 cm sedangkan yang jantan berukuran 10-30 cm. Pada cacing betina bagian posteriornya membulat dan lurus. Tubuhnya berwarna putih hingga kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris halus. Pada cacing jantan ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral dilengkapi
Universitas Sumatera Utara
pepil kecil dan dua buah spekulum berukuran 2 mm. Tubuh cacing jantan ini berwarna putih kemerahan (Prasetyo,2003)
b a Gambar 2.1 Cacing Ascaris lumbricoides dewasa. (a) betina, (b) jantan (http://www.sodiycxacun.web.id/2010/01/ascaris-lumbricoides.html) Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi, besarnya ±60x45 mikron, berbentuk oval, berdinding tebal dengan tiga lapisan dan berisi embrio sedangkan yang tidak dibuahi lebih besar yaitu berukuran ±90x40 mikron, berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdapat dua lapisan dan dalamnya bergranula. Selain itu terdapat pula telur decorticated, yaitu telur yang tanpa lapisan albumin atau albuminnya terlepas karena proses mekanik. Dalam lingkungan yang sesuai (tanah liat, kelembaban tinggi, dan suhu yang berkisar antara 25o-30oC), telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infeksius dalam waktu ±3 minggu.
a
b
Gambar 2.2 Telur ini cacing telur yang tidak dibuahi, Bentuk infeksius bila Ascaris tertelan lumbricoides. manusia maka(a) akan menetas di usus halus menjadi (b) telur yang dibuahi larva yang akan menembus dinding usus halus dan (PHIL 411/4821 - CDC/Dr. Maemengikuti Melvin) aliran darah atau saluran limfe hingga ke paru dan terus menuju faring. Apabila sudah mancapai faring, larva ini akan menyebabkan refleks batuk pada penderita sehingga larva pun akan tertelan dan menuju usus halus kembali. Di usus halus larva akan menetap hingga menjadi cacing dewasa. Sejak telur infeksius tertelan hingga cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih dua bulan. (Gandahusada,2006)
Universitas Sumatera Utara
b. Trichuris trichiura Manusia merupakan hospes cacing ini. Penyebab yang disebabkan oleh cacing ini disebut trikuriasis. Cacing ini sering ditemukan bersama dengan Ascaris lumbricoides. Cacing betina memiliki panjang ±5 cm, sedangkan cacing jantan ±4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior lebih gemuk. Pada cacing betina bentuknya membulat tumpul sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spekulum.
a
b
Gambar 2.3 Cacing Trichuris trichiura dewasa. (a) betina, (b) jantan (http://www.An.American.FamilyPhysician) Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 300010.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan pada kedua kutub dan dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Kulit telur bagian luar berwarna kekuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu tanah yang lembab dan tempat yang teduh. (Gandahusada,2006 dan Prasetyo,2003)
Gambar 2.4 Telur cacing Trichuris trichiura (http://i215.photobucket.com/albums/cc182/ovarelac_bucket_photo/Trichurisova.
Universitas Sumatera Utara
Hospes akan terinfeksi apabila hospes menelan telur infeksius kemudian telur akan menetas dan larva akan masuk ke usus halus. Setelah menjadi dewasa, cacing akan turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari
c.
Hookworm Terdapat dua spesies hookworm yang sangat sering menginfeksi manusia yaitu:
“The Old World Hookworm” yaitu Ancylostoma duodenale dan “The New World Hookworm” yaitu Necator americanus (Qadri,2008) Kedua parasit ini diberi nama “cacing tambang” karena pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja pertambangan, yang belum mempunyai fasilitas sanitasi yang memadai (Gandahusada,2006) Hospes parasit ini adalah manusia. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar melekat pada mukosa dinding usus. Cacing ini berbentuk silindris dan berwarna putih keabuan. Cacing dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm sedangkan betina berukuran 10 sampai 13 mm. Cacing N.americanus betina dapat bertelur ±9000 butir/hari sedangkan cacing A.duodenale betina dapat bertelur ±10.000 butir/hari. Bentuk badan N.americanus biasanya menyerupai huruf S sedangkan A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. N.americanus mempunyai benda kitin, sedangkan pada A.duodenale terdapat dua pasang gigi. Cacing jantan kedua spesies ini mempunyai bursa kopulatrik pada bagian ekornya dan cacing betina memiliki ekor yang runcing. (Gandahusada,2006; Prasetyo,2003; Onggowaluyo,2002)
Gambar 2.5 Cacing Ancylostoma duodenale dewasa (http://www.An.American.FamilyPhysician.)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6 Cacing Necator americanus dewasa (http://www.An.American.FamilyPhysician.) Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron, berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu 1-1,5 hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka keluarlah larva rhabditiform. Larva pada stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 600-700 mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan. (Gandahusada 2006; Prasetyo, 2003)
Gambar 2.7 Telur Hookworm (PHIL 5220 – CDC) Infeksi terjadi apabila larva filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform.
Gambar 2.8 Larva Hookworm (PHIL 1513 – CDC/Dr. Mae Melvin) Universitas Sumatera Utara
d. Strongyloides stercoralis Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Parasit ini dapat menyebabkan penyakit strongilodiasis. Nematoda ini terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik sedangkan di daerah yang beriklim dingin jarang ditemukan. Hanya diketahui cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum. Cacing betina berbentuk filiform, halus dan tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cara berkembang biaknya diduga secara parthenogenesis. Telur bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian telur tersebut menetas menjadi larva rabtidiform yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform yang berbentuk langsing dan merupakan bentuk infektif. Larva ini menginfeksi manusia dengan menembus kulit manusia. Cara menginfeksi ini dinamakan siklus langsung. (Gandahusada,2006) Strongyloides stercoralis juga memiliki siklus tidak langsung dimana larva rabtidiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina dalam bentuk bebas. Bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spekulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang akan menetas menjadi larva rabditiform yang beberapa hari kemudian menjadi larva filariform yang infektif. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri-negeri tropik dengan iklim lembab. Siklus langsung sering terjadi di negeri-negeri yang lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut. (Gandahusada,2006)
a
b
Gambar 2.9 Cacing Strongyloides stercoralis dewasa. (a) jantan (memiliki spekulum), (b) betina (http://dpd.cdc.gov/dpdx/html/ImageLibrary/Strongyloidiasis_il.htm)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.10 Larva rabditiform (http://www.wadsworth.org/testing/parasitologyD/Strongyloides.shtml)
2.2. Tanaman Kubis Kubis (Brassica oleracea var capitata) yang dimaksud disini adalah kubis yang membentuk telur yang bentuknya seperti kepala. Tanaman kubis yang dibudidayakan umumnya tumbuh semusim (annual) ataupun dwi musim (biennual) yang berbentuk urdu, sistem perakaran yakni menembus pada kedalaman tanah antara 20-30 cm. Batang tanaman kubis umumnya pendek dan banyak mengandung air. (Pracaya, 1994) Kubis pada umumnya di Indonesia banyak ditanam di dataran tinggi 1000-2000 meter di atas permukaan laut (dpl), tetapi setelah ditemukan kultivar atau varietas yang tahan panas, tanaman kubis dapat diusahakan di dataran rendah 100-200 meter dpl, walaupun hasilnya tidak sebaik yang ditanam di dataran tinggi. (Pracaya, 1994) Keadaan iklim yang cocok untuk tanaman kubis adalah daerah yang relatif lembab dan dingin. Kelembaban yang diperlukan tanaman kubis adalah 80%-90% dengan suhu berkisar antara 15oC-20oC, serta cukup mendapatkan sinar matahari. Kubis yang ditanam di daerah yang bersuhu 25oC terutama varietas-varietas untuk dataran tinggi akan gagal membentuk krop. Demikian pula tempat penanaman yang kurang mendapatkan sinar matahari (terlindung), pertumbuhan tanaman kubis kurang baik dan mudah terserang penyakit dan pada waktu kecil sering terjadi pertumbuhan terhenti. (Pracaya, 1994)
2.3. Air Tanah Air tanah adalah air yang tersimpan atau terperangkap di dalam lapisan batuan yang mengalami pengisian atau penambahan secara terus menerus oleh alam. (Harmayani
Universitas Sumatera Utara
dan Konsukartha, 2007). Air tanah merupakan sumber air yang penting baik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, untuk pertanian maupun untuk industri. (Bediene,Huber,Vieux;2008) Air tanah dapat dibedakan berdasarkan pembagiannya secara vertikal, yaitu (dari permukaan tanah hingga jauh ke dalam tanah): -
Soil-water zone adalah daerah yang berada tepat di bawah permukaan tanah. Airnya berasal dari hujan dan penyerapan lainnya. Air di daerah ini dapat berkurang karena proses evaporasi dan uptake oleh akar tumbuhan
-
Vadose Zone adalah daerah di atas water table dan termasuk soil-water zone bagian bawah
-
Water table didefinisikan sebagai level yang airnya akan naik pada sebuah sumur bor. Ketebalan daerah ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan daerahnya
-
Saturation zone adalah daerah yang paling dalam yang dapat mengeluarkan air tanah
Untuk dapat menggunakan air tanah ini biasanya dibangun sebuah sumur. Sumur adalah lubang galian vertikal yang menuju jauh ke dalam tanah. Sumur yang terletak hingga mencapai saturated zone dinamakan sumur dalam atau sumur artesis Terdapat juga sumur dangkal yang airnya terletak tidak jauh dari permukaan tanah. Dikatakan sumur dangkal apabila memiliki kedalaman maksimal 15 meter dari permukaan tanah. Air sumur artesis memiliki kualitas air yang lebih baik daripada air sumur dangkal karena pada air sumur artesis terdapat penyaringan yang lebih sempurna dan lebih sedikit terkontaminasi oleh mikroorganisme. (Bediene, Huber, Vieux; 2008) Temperatur air tanah pada tempat dan tertentu merupakan hasil dari bermacammacam proses pemanasan yang terjadi di bawah dan/atau di permukaan bumi. Dari perbandingan antara temperatur air pada tubuh air dengan temperatur rata-rata udara lokal saat pengukuran akan diketahui adanya zonasi hipertermal, mesotermal, dan hipotermal (Puradimaja,2006) a.
Zonasi hipertermal : Zona dimana temperatur air pada tubuh air tersebut lebih tinggi dari temperatur rata-rata udara lokal
Universitas Sumatera Utara
b.
Zonasi mesotermal : zona dimana temperatur air pada tubuh air sama dengan temperatur rata-rata udara lokal
c.
Zonasi hipotermal : Zona dimana temperatur air pada tubuh air lebih rendah dari temperatur rata-rata udara lokal
pH air tanah bergantung pada perubahan temperatur dan jenis endapan akifernya karena kadar ion H+ sangat kecil. Air yang bersifat asam (pH <7) terdapat pada daerahdaerah dengan endapan vulkanik, sedangkan air yang bersifat basa (pH >7) terdapat pada daerah-daerah dengan batuan ultramafik. (Puradimaja,2006) Menurut Sutanto (2005) bahwa terdapat hubungan antara kandungan kapur dengan pH tanah, semakin tinggi kandungan kapur akan semakin tinggi nilai pH tanah. Tanah yang berasal dari bahan induk kapur atau kaya dengan kapur (Ca) umumnya terbentuk tanah-tanah netral atau tanah yang bereaksi sedikit alkalis sampai alkalis (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
2.4. Hubungan menyiram dengan air sumur dengan kontaminasi Soil Transmitted Helminths Salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi Soil Transmitted Helminths adalah terkontaminasinya sumber air dengan parasit tersebut. Parasit ini dapat mengontaminasi air karena dekatnya sumber air dengan faeces yang mengandung parasit tersebut. (Soemirat, 2005) Adapun sumber dan cara pengolahan air yang sering digunakan oleh masyarakat, yaitu: a)
Sumber air: air hujan, air permukaan (sungai, danau, mata air, air sungai), air tanah (sumur dangkal dan sumur dalam)
b) Pengolahan air: pengendapan, penyaringan, penyimpanan (Kusnoputranto dan Susanna, 2000)
Universitas Sumatera Utara