BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep HIV/AIDS 2.1.1. Pengertian HIV/AIDS HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh atau perlindungan tubuh manusia. Virus inilah yang menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) (Brooks, 2004). 2.1.2. Perbedaan Antara HIV dengan AIDS Seorang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat bertahun-tahun tanpa ada tanda fisik atau gejala infeksi. Orang yang terinfeksi virus tersebut tetapi tanpa gejala adalah ‘HIV-positif’ atau mempunyai ‘penyakit HIV tanpa gejala.’ Apabila gejala mulai muncul, orang disebut mempunyai ‘infeksi HIV bergejala’ atau ‘penyakit HIV lanjutan.’ Pada stadium ini seseorang kemungkinan besar akan mengembangkan infeksi oportunistik. ‘AIDS’ merupakan definisi yang diberikan kepada orang terinfeksi HIV yang masuk pada stadium infeksi berat. AIDS didefinisi sebagai jumlah sel CD4 di bawah 200; dan/atau terjadinya satu atau lebih infeksi oportunistik tertentu. Istilah AIDS terutama dipakai untuk kepentingan kesehatan masyarakat, sebagai patokan untuk laporan kasus. Sekali kita dianggap AIDS, berdasarkan gejala dan/atau status kekebalan, kita dimasukkan pada statistik sebagai kasus, dan status ini tidak diubah walau kita menjadi sehat kembali. Oleh karena itu, istilah AIDS tidak penting buat kita sebagai individu. Orang terinfeksi HIV yang mempunyai semakin banyak informasi, dukungan dan perawatan medis yang baik dari tahap awal penyakitnya akan lebih berhasil menangani infeksinya. Terapi antiretroviral (ART) yang sekarang semakin terjangkau dapat memperlambat kecepatan penggandaan HIV; obat lain dapat mencegah atau mengobati infeksi yang disebabkan HIV (Kannabus, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Definisi AIDS Pada 18 Desember 1992,
CDC (Centers for Disease Control and
Prevention) telah menerbitkan suatu sistem klasifikasi untuk infeksi HIV dan mengembangkan definisi AIDS di kalangan remaja dan dewasa di Amerika Syarikat. Mengikut standar klinis untuk pemantauan secara immunologis pada pasien yang terinfeksi dengan HIV, sistem klasifikasi tersebut meliputi pengukuran limfosit T CD4+ dalam kategorisasi kondisi klinis yang berhubungan dengan HIV dan ini telah menggantikan sistem klasifikasi HIV yang diterbitkan pada tahun 1986. Semua pengidap AIDS mempunyai limfosit T CD4+/uL kurang dari 200 atau kurang 14 persen limfosit T CD4+ dari jumlah limfosit, atau yang didiagnosa dengan tuberkulosis pulmoner, kanker servikal invasif, atau pneumonia rekuren. Objektif dari pengembangan definisi AIDS ini adalah untuk menunjukkan jumlah morbiditi pengidap AIDS dan pasien yang imunosupresi, dan juga untuk memudahkan proses pelaporan kasus. Bermula dari tahun 1993, definisi AIDS ini telah digunakan oleh semua negara untuk pelaporan kasus AIDS (CDC, 1993). 2.1.4. Epidemiologi HIV/AIDS 2.1.4.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila dilihat jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat meningkat secara signifikan. Di Papua epidemi HIV sudah masuk ke dalam masyarakat (generalized epidemic) dengan prevalensi HIV di populasi dewasa sebesar 2,4%. Sedangkan di banyak tempat lainnya dalam kategori terkonsentrasi, dengan prevalensi HIV >5% pada populasi kunci. Namun, saat ini sudah diwaspadai telah terjadi penularan HIV yang meningkat melalui jalur parental (ibu kepada anaknya), terutama di beberapa ibu kota provinsi.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1: Tren Kasus AIDS di 33 Provinsi dari Tahiun 2000-2009
Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin, kasus AIDS dilaporkan banyak ditemukan pada laki-laki yaitu 74,5%, sedangkan pada perempuan 25% (Depkes, 2009).
2.1.4.2. Populasi rawan tertular HIV Penyebaran HIV saat ini masih terkonsentrasi pada populasi kunci dimana penularan terjadi melalui perilaku yang berisiko seperti penggunaan jarum suntik yang tidak steril pada kelompok penasun dan perilaku seks yang tidak aman baik pada hubungan heteroseksual maupun homoseksual. Namun, jika tidak ditangani dengan cepat maka tidak mustahil penularan HIV akan menyebar secara luas kepada masyarakat seperti yang telah terjadi di Tanah Papua (Depkes RI, 2009). Jika dilihat cara penularannya, proporsi penularan HIV melalui hubungan seksual (baik heteroseksual maupun homoseksual) sangat mendominasi yaitu mencapai 60%. Sedangkan melalui jarum suntik sebesar 30%, dan ada sebagian kecil lainnya tertular melalui melalui ibu dan anak (kehamilan), transfusi darah dan melalui pajanan saat bekerja (Depkes RI, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2: Populasi rawan tertular HIV.
Kecenderungan penularan infeksi HIV di seluruh provinsi prioritas hampir sama kecuali di Tanah Papua dimana mayoritas di akibatkan karena hubungan seksual beresiko tanpa kondom yang dilakukan kepada pasangan tetap maupun tidak tetap. Penularan HIV saat ini sudah terjadi lebih awal, dimana kelompok usia produktif (15-29 tahun) banyak dilaporkan telah terinfeksi dan menderita AIDS. Berdasarkan laporan Depkes, lebih dari 50% kasus AIDS dilaporkan pada usia 15-29 tahun (Depkes RI, 2009).
Tabel 2.1: Persentase kumulatif Kasus AIDS di Indonesia berdasarkan kelompok umur s.d Maret 2009.
Universitas Sumatera Utara
Buat masa sekarang di Indonesia, jumlah kasus AIDS yang dilaporkan 1 Januari s.d. 31 Desember 2009 adalah sebanyak 3863 orang; secara kumulatif kasus AIDS 1 Januari 1987 s.d. 31 Desember 2009 adalah sebanyak 19973 orang (Depkes RI, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4.3. Tren HIV dan AIDS dimasa yang akan dating Dengan memperhitungkan faktor-faktor pemicu dalam penularan HIV, maka dapat dilakukanproyeksi perkembangan HIV pada masa yang akan datang. Berikut ini adalah proyeksi situasi HIV yang dihasilkan melalui Asian Epidemic Modeling (AEM) (Depkes RI, 2009).
Gambar 2.3: Projeksi HIV ke depan
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Transmisi HIV/AIDS HIV terdapat di darah seseorang yang terinfeksi (termasuk darah haid), air susu ibu, air mani dan cairan vagina. Pada saat berhubungan seks tanpa kondom, HIV dapat menular dari darah, air mani atau cairan vagina orang yang terinfeksi langsung ke aliran darah orang lain, atau melalui selaput lendir (mukosa) yang berada di vagina, penis, dubur atau mulut. HIV dapat menular melalui transfusi darah yang mengandung HIV; saat ini darah donor seharusnya diskrining oleh Palang Merah Indonesia (PMI), sehingga risiko terinfeksi HIV melalui transfusi darah seharusnya rendah, walau tidak nol. HIV dapat menular melalui alat suntik (misalnya yang dipakai secara pergantian oleh pengguna narkoba suntikan), melalui alat tindakan medis, atau oleh jarum tindik yang dipakai untuk tato, bila alat ini mengandung darah dari orang yang terinfeksi HIV. HIV dapat menular pada bayi saat kehamilan, kelahiran, dan menyusui. Bila tidak ada intervensi, kurang lebih sepertiga bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu dengan HIV akan tertular. HIV agak sulit menular, dan tidak menular setiap kali terjadi peristiwa berisiko yang melibatkan orang terinfeksi HIV. Misalnya, walau sangat berbedabeda, rata-rata hanya akan terjadi satu penularan HIV dari laki-laki yang terinfeksi pada perempuan yang tidak terinfeksi dalam 500 kali berhubungan seks vagina. Namun penularan satu kali itu dapat terjadi pada kali pertama. Risiko penularan HIV dari seks melalui dubur adalah lebih tinggi, dan penularan melalui penggunaanjarum suntik bergantian lebih tinggi lagi. Risiko penularan dari seks oral lebih rendah, tetapi tetap ada (Kannabus, 2008). HIV hanya dapat hidup di dalam tubuh manusia yang hidup dan hanya bertahan beberapa jam saja di luar tubuh. HIV tidak dapat menular melalui air ludah, air mata, muntahan, kotoran manusia dan air kencing, walaupun jumlah virus yang sangat kecil terdapat di cairan ini. HIV tidak ditemukan di keringat. HIV tidak dapat menembus kulit yang utuh dan tidak menyebar melalui sentuhan dengan orang yang terinfeksi HIV, atau sesuatu yang dipakai oleh orang terinfeksi HIV; saling penggunaan perabot makan atau minum; atau penggunaan toilet atau air mandi bergantian. Perawatan seseorang dengan HIV tidak membawa risiko apabila tindakan pencegahan diikuti seperti membuang jarum suntik secara aman
Universitas Sumatera Utara
dan menutupi luka. HIV tidak menular melalui gigitan nyamuk atau serangga pengisap darah yang lain. Kebanyakan serangga tidak membawa darah dari satu orang ke orang lain ketika mereka menggigit manusia. Parasit malaria memasuki aliran darah dalam air ludah nyamuk, bukan darahnya (Kannabus, 2008). 2.1.6. Patogenesis HIV/AIDS Bila masuk ke dalam tubuh, HIV akan menyerang sel darah putih, yakni limfosit T4 yang mempunyai peranan penting sebagai pengatur sistem imunitas. HIV mengadakan ikatan dengan CD4 receptor yang terdapat pada permukaan limfosit T4. Kini diketahui bahwa virus ini juga dapat langsung merusak sel-sel tubuh lainnya yang mempunyai CD4 sel glia yang terdapat di otak, makrofag dan sel Langerhans di kulit, saluran pencemaan dan saluran pernapasan. Suatu enzim, reverse transcriptase mengubah bahan genetik virus (RNA) menjadi DNA yang bisa berintegrasi dengan sel dari hospes. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi oleh HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Di Afrika Barat dan Eropa Barat telah ditemukan pula suatu retrovirus lain, yakni HIV-2 yang juga dapat menyebabkan AIDS. Virus ini mempunyai perbedaan cukup banyak dengan HIV1, batik genetik maupun antigenetik, sehingga tidak bias dideteksi dengan tes serologik yang biasa dipakai. HIV-2 ter nyata mempunyai banyak persamaan dengan SIV (Simian Immunodeficiency Virus) yang terdapat pada kera, termasuk kera Macacus di Indonesia dan kera hijau Afrika. Ditemukannya HIV-2 akan mempersulit penanggulangan AIDS karena mempunyai implikasi tmtuk diagnostik, staining donor dan pengembangan vaksin (Gunawan, 1992).
2.1.7. Perjalanan Penyakit AIDS Perjalanan penyakit AIDS belum diketahui dengan pasti. Masa inkubasi diperkirakan 5 tahun atau lebih. Diperkirakan bahwa sekitar 25% dari orang yang terinfeksi akan menunjukkan gejala AIDS dalarn 5 tahun pertama. Sekitar 50% dari yang terinfeksi dalam 10 tahun pertama akan mendapat AIDS. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya AIDS pada orang yang seropositif belum
Universitas Sumatera Utara
diketahui dengan jelas. Menurunnya limfosit T4 di bawah 200 per ml. berarti prognosis yang buruk. Diperkirakan bahwa infeksi HIV yang berulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempunyai peranan penting. Mortalitas pada penderita AIDS yang sudah sakit lebih dari 5 tahun mendekati 100%. Survival penderita AIDS rata-rata ialah 1 2 tahun. CDC Atlanta menetapkan klasifikasi infeksi pada orang dewasa sebagai berikut : group I Acute Infection (flu-like disease) group II Symptomatic infection group III Persistent generalized lymphadenopathy group IV Other disease subgroup A Constitutional disease (fever, diarrhoea,weight loss) subgroup B Neurologic disease (encephalitis/dementic) subgroup C Secondary infectious diseases (Pneumocystis carinii, Cytomegalovirus, Salmonella, etc). subgroup D Secondary cancers (Kaposi sarcoma, Non-Hodgkin lymphoma) subgroup E Other conditions Hingga saat ini belum ditemukan obat atau vaksin yang efektif terhadap AIDS. Berbagai obat anti-virus dan immunomodulator sedang diteliti dan obat yang memberi harapan ialah Zidovudine (dulu disebut Azidothymidine atau AZT) dan DDI (Dedioxyinosine) yang ternyata dapat memperpanjang hidup penderita, sekalipun ada efek sampingnya. Baik AZT maupun DDI menghambat replikasi virus (arena inhibisi dari ensim reverse transcriptase Penyakit oportunistik dapat diobati sesuai dengan etiologinya dengan kemoterapi, antibiotika, dan sebagainya. Pneumonia Pneumocystis carinii yang sering menyerang penderita AIDS dapat diobati dengan Pentamidine atau Cotrimoxazole. Salah satu hambatan untuk menghasilkan vaksin AIDS ialah seringnya terjadi mutasi path HIV yang mengakibatkan perubahan pada struktur molekular lapisan protein luar dari virus. Pengembangan vaksin AIDS sedang dilaksanakan dengan intensif, namun para ahli memperkirakan bahwa dalam lima tahun mendatang belum akan ada vaksin yang efektif (Gunawan, 1992).
Universitas Sumatera Utara
2.1.8. Gejala Infeksi HIV/AIDS
Beberapa penderita menampakkan gejala yang menyerupai mononucleosis infeksiosa dalam waktu beberapa minggu setelah terinfeksi. Gejalanya berupa demam, ruam-ruam, pembengkakan kelenjar getah bening dan rasa tidak enak badan yang berlangsung selama 3-14 hari. Sebagian besar gejala akan menghilang, meskipun kelenjar getah bening tetap membesar (Gunawan S., 1992). Selama beberapa tahun, gejala lainnya tidak muncul. Tetapi sejumlah besar virus segera akan ditemukan di dalam darah dan cairan tubuh lainnya, sehingga penderita bisa menularkan penyakitnya. Dalam waktu beberapa bulan setelah terinfeksi, penderita bisa mengalami gejala-gejala yang ringn secara berulang yang belum benar-benar menunjukkan suatu AIDS (Gunawan S., 1992). Penderita bisa menunjukkan gejala-gejala infeksi HIV dalam waktu beberapa tahun sebelum terjadinya infeksi atau tumor yang khas untuk AIDS. Gejala: - pembengkakan kelenjar getah bening - penurunan berat badan - demam yang hilang-timbul - perasaan tidak enak badan - lelah - diare berulang - anemia - thrush (infeksi jamur di mulut). Secara definisi, AIDS dimulai dengan rendahnya jumlah limfosit CD4+ (kurang dari 200 sel/mL darah) atau terjadinya infeksi oportunistik (infeksi oleh organisme yang pada orang dengan sistem kekebalan yang baik tidak menimbulkan penyakit). Juga bisa terjadi kanker, seperti sarkoma Kaposi dan limfoma non-Hodgkin. Gejala-gejala dari AIDS berasal dari infeksi HIVnya sendiri serta infeksi oportunistik dan kanker. Tetapi hanya sedikit penderita AIDS yang meninggal karena efek langsung dari infeksi HIV. Biasanya kematian terjadi karena efek
Universitas Sumatera Utara
kumulatif dari berbagai infeksi oportunistik atau tumor. Organisme dan penyakit yang dalam keadaan normal hanya menimbulkan pengaruh yang kecil terhadap orang yang sehat, pada penderita AIDS bisa dengan segera menyebabkan kematian, terutama jika jumlah limfosit CD4+ mencapai 50 sel/mL darah (Gunawan, 1992). Beberapa infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS: 1. Thrush. Pertumbuhan berlebihan jamur Candida di dalam mulut, vagina atau kerongkongan, biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul. Infeksi jamur vagina berulang yang sulit diobati seringkali merupakan gejala dini HIV pada wanita. Tapi infeksi seperti ini juga bisa terjadi pada wanita sehat akibat berbagai faktor seperti pil KB, antibiotik dan perubahan hormonal. 2. Pneumonia pneumokistik. Pneumonia
karena
jamur Pneumocystis
carinii merupakan
infeksi
oportunistik yang sering berulang pada penderita AIDS. Infeksi ini seringkali merupakan infeksi oportunistik serius yang pertama kali muncul dan sebelum ditemukan cara pengobatan dan pencegahannya, merupakan penyebab tersering dari kematian pada penderita infeksi HIV 3. Toksoplasmosis. Infeksi kronis oleh Toxoplasma sering terjadi sejak masa kanak-kanak, tapi gejala hanya timbul pada sekelompok kecil penderita AIDS. Jika terjadi pengaktivan kembali, maka Toxoplasma bisa menyebabkan infeksi hebat, terutama di otak. 4. Tuberkulosis. Tuberkulosis pada penderita infeksi HIV, lebih sering terjadi dan bersifat lebih mematikan. Mikobakterium jenis lain yaitu Mycobacterium avium, merupakan penyebab dari timbulnya demam, penurunan berat badan dan diare pada penderita tuberkulosa stadium lanjut. Tuberkulosis bisa diobati dan dicegah dengan obat-obat anti tuberkulosa yang biasa digunakan.
Universitas Sumatera Utara
5. Infeksi saluran pencernaan. Infeksi saluran pencernaan oleh parasit Cryptosporidium sering ditemukan pada penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang tercemar. Gejalanya berupa diare hebat, nyeri perut dan penurunan berat badan. 6. Leukoensefalopati multifokal progresif. Leukoensefalopati multifokal progresif merupakan suatu infeksi virus di otak yang bisa mempengaruhi fungsi neurologis penderita. Gejala awal biasanya berupa hilangnya kekuatan lengan atau tungkai dan hilangnya koordinasi atau keseimbangan. Dalam beberapa hari atau minggu, penderita tidak mampu berjalan dan berdiri dan biasanya beberapa bulan kemudian penderita akan meninggal. 7. Infeksi oleh sitomegalovirus. Infeksi ulangan cenderung terjadi pada stadium lanjut dan seringkali menyerang retinamata, menyebabkan kebutaan. Pengobatan dengan obat anti-virus bisa mengendalikan sitomegalovirus. 8. Sarkoma Kaposi. Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa bercak-bercak yang menonjol di kulit. Tumor ini terutama sering ditemukan pada pria homoseksual. 9. Kanker. Bisa juga terjadi kanker kelenjar getah bening (limfoma) yang mula-mula muncul di otak atau organ-organ dalam. Wanita penderita AIDS cenderung terkena kanker serviks. Pria homoseksual juga mudah terkena kanker rectum (Gunawan, 1992).
Universitas Sumatera Utara
2.1.9. Stadium Infeksi
WHO Stadium I Tanpa gejala; Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh yang menetap. Tingkat aktivitas 1: tanpa gejala, aktivitas normal. Stadium II Kehilangan berat badan, kurang dari 10%; Gejala pada mukosa dan kulit yang ringan (dermatitis seboroik, infeksi jamur pada kuku, perlukaan pada mukosa mulut yang sering kambuh, radang pada sudut bibir); Herpes zoster terjadi dalam 5 tahun terakhir; ISPA (infeksi saluran nafas bagian atas) yang berulang, misalnya sinusitis karena infeksi bakteri. Tingkat aktivitas 2: dengan gejala, aktivitas normal. Stadium III Penurunan berat badan lebih dari 10%; Diare kronik yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan; Demam berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan; Candidiasis pada mulut; Bercak putih pada mulut berambut; TB paru dalam 1 tahun terakhir; Infeksi bakteri yang berat, misalnya: pneumonia, bisul pada otot. Tingkat aktivitas 3: terbaring di tempat tidur, kurang dari 15 hari dalam satu bulan terakhir. Stadium IV •
Kehilangan berat badan lebih dari 10% ditambah salah satu dari : diare kronik yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan. Kelemahan kronik dan demam berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan.
•
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).
•
Toksoplasmosis pada otak.
•
Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari 1 bulan.
•
Kriptokokosis di luar paru.
•
Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa dan kelenjar getah bening.
•
Infeksi virus Herpes simpleks pada kulit atau mukosa lebih dari 1 bulan atau dalam rongga perut tanpa memperhatikan lamanya.
Universitas Sumatera Utara
•
PML(progressivemultifocalencephalopathy) atau infeksi virus dalam otak.
•
Setiap
infeksi
jamur
yang
menyeluruh,
misalnya:histoplasmosis,kokidioidomikosis. •
Candidiasis pada kerongkongan, tenggorokan, saluran paru dan paru.
•
Mikobakteriosis tidak spesifik yang menyeluruh.
•
Septikemia salmonela bukan tifoid.
•
TB di luar paru.
•
Limfoma.
•
Kaposi’s sarkoma.
•
Ensefalopati HIV sesuai definisi CDC.
Tingkat aktivitas 4: terbaring di tempat tidur, lebih dari 15 hari dalam 1 bulan terakhir ( WHO, 2006 ).
Universitas Sumatera Utara
2.2. Infeksi Oportunistik 2.2.1. Pengertian Infeksi Oportunistik Dalam tubuh, kita membawa banyak kuman – bakteri, protozoa (binatang bersel satu), jamur dan virus. Sistem kekebalan yang sehat mampu mengendalikan kuman ini. Tetapi bila system kekebalan dilemahkan oleh penyakit HIV atau beberapa obat, kuman ini mungkin tidak terkendali lagi dan menyebabkan masalah kesehatan. Infeksi yang mengambil kesempatan dari kelemahan dalam pertahanan kekebalan disebut “oportunistik”. Kata “infeksi oportunistik” sering kali disingkat menjadi “IO” (New Mexico AIDS Education and Training Center, 2009).
2.2.1. Infeksi Oportunistik dan HIV/AIDS Orang yang tidak terinfeksi HIV dapat mengembangkan IO jika sistem kekebalannya rusak. Misalnya, banyak obat yang dipakai untuk mengobati kanker menekan sistem kekebalan. Beberapa orang yang menjalani pengobatan kanker dapat mengembangkan IO. HIV memperlemah sistem kekebalan, sehingga IO dapat berkembang. Jika kita terinfeksi HIV dan mengalami IO, kita mungkin AIDS. Di Indonesia, Depkes bertanggung
jawab
untuk
memutuskan
siapa
yang
AIDS.
Depkes
mengembangkan pedoman untuk menentukan IO yang mana mendefinisikan AIDS. Jika kita HIV, dan mengalami satu atau lebih IO “resmi” ini, maka kita AIDS (New Mexico AIDS Education and Training Center, 2009).
2.2.3. Infeksi Oportunistik Paling Umum Pada tahun-tahun pertama epidemic AIDS, IO menyebabkan banyak kesakitan dan kematian. Namun, setelah orang mulai memakai terapi antiretroviral (ART), lebih sedikit orang yang menimbulkan penyakit akibat IO. Tidak jelas berapa banyak orang dengan HIV akan jatuh sakit dengan IO tertentu. Pada perempuan, penyakit pada vagina dapat menjadi tanda awal infeksi HIV. Masalah ini, antara lain, termasuk penyakit radang panggul dan vaginosis bakteri.
Universitas Sumatera Utara
IO yang paling umum terlampir di sini, berbarengan dengan penyakit yang biasa disebabkannya, dan jumlah CD4 waktu penyakit menjadi aktif: •
Kandidiasis (thrush) adalah infeksi jamur pada mulut, tenggorokan, atau vagina. Rentang CD4: dapat terjadi bahkan dengan CD4 yang agak tinggi.
•
Virus sitomegalo (CMV) adalah infeksi virus yang menyebabkan penyakit mata yang dapat menimbulkan kebutaan. Rentang CD4: di bawah 50.
•
Dua macam virus herpes simpleks dapat menyebabkan herpes pada mulut atau kelamin. Ini adalah infeksi yang agak umum, tetapi jika kita terinfeksi HIV, perjangkitannya dapat jauh lebih sering dan lebih berat. Penyakit ini dapat terjadi pada jumlah CD4 berapa pun.
•
Malaria adalah umum di beberapa daerah di Indonesia. Penyakit ini lebih umum dan lebih berat pada orang terinfeksi HIV.
•
Mycobacterium avium complex (MAC atau MAI) adalah infeksi bakteri yang dapat menyebabkan demam kambuhan, rasa sakit yang umum, masalah pada pencernaan, dan kehilangan berat badan yang parah. Rentang CD4: di bawah 75.
•
Pneumonia
Pneumocystis (PCP) adalah infeksi jamur
yang dapat
menyebabkan pneumonia (radang paru) yang berbahaya. Rentang CD4: di bawah 200. Sayangnya, IO ini masih agak umum pada orang yang belum mengetahui dirinya terinfeksi HIV. •
Toksoplasmosis (tokso) adalah infeksi otak oleh semacam protozoa. Rentang CD4: di bawah 100.
•
Tuberkulosis (TB) adalah infeksi bakteri yang menyerang paru, dan dapat menyebabkan meningitis (radang selaput otak). Rentang CD4: Setiap orang dengan HIV yang dites positif terpajan TB sebaiknya diobati (New Mexico AIDS Education and Training Center, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Infeksi Oportunistik Pada Pasien HIV/AIDS di Indonesia
Tabel 2.2 : Infeksi Oportunistik yang dilaporkan sd 31 September 2009 No.
Infeksi Oportunistik
Jumlah(orang)
1.
Tuberkulosis (TBC)
10359
2.
Diare
5691
3.
Kandidiasis
5604
4.
Dermatitis
1448
5.
Limfadenopati Generalisata Persisten
709
6.
Pneumonia Pneumocystis (PCP)
626
7.
Ensephalopati
386
8.
Herpes Zoster
358
9.
Herpes Simplex
185
10.
Toxoplasmosis
114
11.
Sarkoma Kaposi
80
12.
Wasting Syndrome
59
13.
Koksidiomikosis
34
14.
Histoplasmosis
14
15.
Prgresif Multifokal Lekoencephalopati
6
16.
Cyto Megalo Virus (CMV)
4
17.
Kriptosporidiosis
1 Jumlah orang
25678
(Sumber: Laporan Surveilans AIDS Depkes RI tahun 1987 – Des 2009)
2.2.5. Pencegahan Infeksi Oportunistik Sebagian besar kuman yang menyebabkan IO sangat umum, dan mungkin kita telah terinfeksi beberapa infeksi ini. Kita dapat mengurangi risiko infeksi baru dengan tetap menjaga kebersihan dan menghindari sumber kuman yang diketahui yang menyebabkan IO yang diketahui. Meskipun kita terinfeksi beberapa IO, kita dapat memakai obat yang akan mencegah pengembangan
Universitas Sumatera Utara
penyakit aktif. Pencegahan ini disebut profilaksis. Cara terbaik untuk mencegah IO adalah untuk memakai ART (New Mexico AIDS Education and Training Center, 2009).
2.2.6. Protozoa yang Terlibat Dalam Infeksi Oportunistik HIV/AIDS Sejak tahun keenam puluhan, infeksi oportunistik sering muncul pada pasien yang immunokompresi dan telah menjadi praktis klinis yang biasa. Imunosuppr esi yang secara humoral maupun selular masing-masing berbeda, tergantung pada magnitud, fasilitasi untuk timbulnya infeksi, peningkatan kadar infeksi, dan alterasi manifestasi klinis oleh infeksi. HIV/AIDS menyebabkan keadaan imunokompresi yang paling berat dan lebih dari seratus mikroorganisme yang
menyebabkan
infeksi
oportunistik
pada
pasien
HIV/AIDS
telah
diidentifikasikan dan kebanyakkannya merupakan protozoa intraseluler. Protozoa yang
paling
sering
immunocompromised
menyebabkan adalah
infeksi
oportunistik
Cryptosporidium
pada
parvum,
penderita Cyclospora
cayetanensis,Isospora belli and Microsporidia spp (Ferreira, 2002).
2.3.6.1. Cryptosporidium sp. Cryptosporidium spesis, terutamanya C. parvum dapat menginfeksi usus halus pasien immunocompromised (Contoh: pasien AIDS) dan menyebabkan diare yang severe. Parasit ini dikenali untuk menginfeksi tikus, momyet rhesus, lembu dan menyebabkan gastroenteritis ringan dan diare pada manusia. Parasit ini adalah merupakan sfera intraselluler kecil (2-5 µm) yang melapisi gaster atau usus kecil. Jadi, parasit ini bersifat intraseluler tetapi ekstrasitoplasmik. Trofozoite yang matang(schizont) akan membahagi kepada lapan merozote yang akan dilepaskan oleh sel induk untuk memulakan siklus kehidupan baru. Oocyst yang berukuran 45 µm dan mengandungi empat sporozoite dapat dilihat, tetapi sporocyst tidak dapt dilihat. Oocyst akan ke feces dalam jumlah yang besar, dan merupakan agen infektif. Cryptosporidium akan berhabitasi di permukaan (brush border) mukosa sel epithelial traktus gastrointestinal, terutamanya pada permukaan villi bagian
Universitas Sumatera Utara
bawah usus besar. Gejala klinis yang paling sering adalah diare yang bersifat ringan dan self-limited (1-2 minggu) pada individu normal tetapi menjadi berat dan berpanjangan pada individu yang immunocompromised. Diagnosis bergantung pada deteksi oocyst dalam sampel feses. Teknik konsentrasi feses menggunakan acid-fast stain perlu dilakukan. Antibodi monoclonal akan dapat mendeteksi infeksi ringan dan mikrskop fluorescent dengan menggunakan stain auramine adalah berguna. Tes ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) kini dapat mendeteksi antigen fecal (Brooks, 2004).
2.3.6.2. Cyclospora cayetanesis Cyclospora cayetanesis merupakan coccidian intraseluler usus yang kecil dan memproduksi dua sporocysts dalam epithelium usus. Infeksi adalah oleh oocyst, 8-10 µm dalam makanan maupun air. Infeksi campuran dengan cryptosporidium adalah sering. Patogenesis dan gejala klinis akibat infeksi protozoa ini adalah sama dengan Isospora belli karena digolongkan di bawah family yang sama (Brooks, 2004).
2.3.6.3. Isospora belli Isospora belli merupakan sporozoan usus manusia yang menyebabkan coccidiosis. Banyak spesis sporozoa atau coccidian usus didapati pada hewan dan menyebabkan penyakit yang penting secara ekonomis pada hewan domestik. Isospora belli merupakan antara beberapa coccidian yang membahagi secara seksual dalam usus manusia, di mana manusia merupakan host definitif. Biopsi usus pasien dengan isosporosis kronik menunjukkan schizogonik aseksual dan fase produksi oocyst seksual. Oocyst I. belli berukuran 12-16 µm dan mempunyai dinding cyst yang asimetris. I. belli berhabitasi dalam usus kecil. Gejala coccidiosis disebabkan oleh invasi dan multiplikasi parasit di mukosa usus. Oocyst akan dilepaskan ke lumen traktus intestinal dan dikeluarkan melalui feces. Dalam seminggu setelah tertelan cyst, low grade fever, lassitude, dan malaise diikuti dengan diare ringan dan nyeri
Universitas Sumatera Utara
ringan abdomen. Infeksi ini biasanya bersifat self-limited setelah 1-2 minggu, tetapi diare, penurunan berat badan dan demam akan berlangsung selama 6 minggu sehingga 6 bulan (Brooks, 2004).
2.3.6.4. Microsporidia Sp. Microsporida, yang biasanya disebut Microsporidia, yang berada dalam Filum Microspora, merupakan spora parasit intrasellular dan mempunyai filamen yang berbentuk spiral serta berpolar supaya sporoplasm tersebut dapat masuk ke sel host. Parasit yand sudah menginvasi ke dalam badan host akan berkembang menjadi schizont yang berbentuk bulat atau oblong, dengan dua hingga empat atau lebih nuclei yang seterusnya akan menjadi merozoites yang berpisah serta diikuti dengan proses pembagian kompleks seksual dan aseksual untuk memproduksi lebih spora. Identifikasi sepsis dan genera adalah berdasarkan morfologi spora, nuclei dan filament yang berbentuk spiral. Trichome-blue stain dapat mendeteksi microsporidia dalam urin, feces, dan specimen nasofaringeal. Semua kelas vertebra, terutamanya ikan dan banyak invertebra, terutamanya serangga diinfeksi di semua tisu. Transmisi dilakukan dengan inges spora ke dalam makanan atau air. Transmisi transplasenta adalah biasa. Ada beberapa kasus yang terdapat di kalangan manusia yang menginfeksi bagian intestinal, optalmik, dan juga pasien AIDS. Microsporidia kini dikenali sebagai satu kumpulan parasit oportunistik, yang berkemungkinan telah menyebar dengan luas, banyak, dan bersifat nonpatogenik pada pasien yang system imunologi masih utuh tetapi tetap mengancam pasien yang immunocompromised. Parasit ini selalu didapati bersama dengan infeksi cryptosporidium dalam pasien AIDS (Brooks, 2004).
Universitas Sumatera Utara