8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lansia 2.1.1 Definisi Lansia adalah kelompok lanjut usia yang mengalami proses menua yang terjadi secara bertahap dan merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari. Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1 dinyatakan : “Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain”. Saat ini berlaku UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang berbunyi : lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Menurut WHO, lansia dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu : a) Middle-aged
: (45–59 tahun)
b) Elderly
: (60-74 tahun)
c) Older
: (≥75 tahun)
Orang yang berusia ≥ 90 tahun dikategorikan sebagai “very old”.23-25
2.1.2 Proses Aging Proses aging adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lebih lambat tergantung kesehatan masing-masing individu.26
Universitas Sumatera Utara
9
2.1.3 Manifestasi Oral Akibat Proses Aging Pengaruh aging terhadap kondisi rongga mulut dapat berpengaruh pada kondisi gigi, struktur pendukung (periodonsium), mukosa mulut, kelenjar saliva, dan sendi temporomandibula (STM).27-31
2.1.3.1 Gigi Dengan pertambahan umur, resesi gingiva, kehilangan perlekatan dan resorpsi dari tulang alveolar, umumnya para lansia akan mengalami pengurangan jumlah gigi. Berkurangnya gigi, terutama gigi posterior telah diindikasikan sebagai penyebab gangguan STM karena kondilus mandibula akan mencari posisi yang nyaman pada saat menutup mulut. Hal ini memicu perubahan letak kondilus pada fosa glenoidalis dan menyebabkan gangguan STM.18 Pada gigi lansia terjadi perubahan pada enamel, dentin, dan pulpa. Pada enamel akan terjadi atrisi, abrasi, erosi, dan penipisan. Hal ini mengakibatkan warna gelap (coklat kekuningan) pada gigi akibat warna dentin yang terlihat. Selanjutnya dentin akan berkurang, terjadi dentin sklerotik, aktivitas odontoblas akan menurun dan kemudian dentin menjadi keruh dan hipohidrasi. Pada pulpa akan terjadi penyempitan ruang pulpa karena berbagai faktor, seperti pembentukan dentin sekunder, kalsifikasi pada pulpa, resorpsi akar gigi bagian eksternal, bertambahnya kepadatan dan volume dari serat kolagen pada pulpa, berkurangnya aliran saraf.2,28,30,31
2.1.3.2 Periodonsium Jaringan periodonsium merupakan jaringan yang mendukung gigi dan mempertahankan gigi pada soket alveolar. Jaringan periodonsium terdiri dari gingiva, ligamen periodontal, sementum dan tulang alveolar. Proses aging akan mengubah struktur jaringan periodontal secara anatomis dan fungsional.27,29 Gingiva merupakan jaringan yang melapisi kavitas oral dan terdiri dari epitelium dan jaringan ikat. Penipisan epitelium, penambahan jaringan ikat pada
Universitas Sumatera Utara
10
papila, berkurangnya keratinisasi, dan resesi akan terjadi pada gingiva dikarenakan proses aging.29,31,32 Ligamen periodontal merupakan jaringan ikat yang tipis, mengikat gigi pada tulang alveolar dan berfungsi sebagai bantalan antara jaringan keras untuk mengurangi kekuatan oklusal yang ditimbulkan sewaktu pergerakan mandibula. Ligamen periodontal terdiri dari fibroblas, sementoblas, osteoblas, osteoklas, epitel malassez dan serat sharpey. Sel pada ligamen periodontal berperan dalam perbaikan tulang alveolar, sementum, dan ligamen periodontal itu sendiri. Seiring bertambahnya usia, jumlah sel dan serat pada ligamen periodontal akan berkurang dan struktur ligamen periodontal akan menjadi iregular.31 Sementum terdiri dari jaringan ikat yang melapisi akar dari gigi. Ketebalan sementum akan bertambah karena adanya deposisi sementum, bentuknya menjadi iregular dan aselular seiring bertambahnya usia.28 Tulang merupakan tempat penyimpanan kalsium. Apabila asupan kalsium berkurang pada masa lansia, maka akan terjadi resorpsi tulang. Tulang alveolar memiliki fungsi yang sama dengan ligamen periodontal yaitu untuk mendukung gigi. Formasi tulang akan berkurang seiring bertambahnya usia.28,29 Struktur periodontal akan menjadi iskemi dan mengalami perubahan fibrotik yang khas. Beberapa sel pada jaringan periodontal akan menjadi kurang aktif sehingga terjadi gangguan pada fungsi osteoblas dan fibroblas. Akibat yang terjadi adalah jaringan periodonsium akan menjadi atrofi dan rusak. Perubahan degeneratif pada jaringan periodonsium akan berdampak pada kehilangan perlekatan dari gigi dan kehilangan gigi yang menyebabkan dukungan oklusal berkurang sehingga terjadi gangguan STM.29
2.1.3.3 Mukosa Mulut Mukosa mulut manusia dilapisi oleh lapisan epitel yang berfungsi terutama sebagai suatu barier terhadap pengaruh lingkungan dalam dan luar mulut. Dengan bertambahnya usia, lapisan epitel yang menutupi mukosa mulut cenderung mengalami penipisan, berkurangnya keratinisasi, berkurangnya pembuluh darah
Universitas Sumatera Utara
11
kapiler dan suplai darah, serta serabut kolagen yang terdapat pada lamina propria akan mengalami penebalan. Akibat perubahan tersebut, mukosa akan terlihat lebih pucat, tipis, dan kering secara klinis. Proses penyembuhan menjadi lebih lambat, mukosa mulut lebih mudah mengalami iritasi terhadap gesekan dan hal ini diperberat karena berkurangnya aliran saliva pada lansia.28,29,31,32
2.1.3.4 Kelenjar Saliva Saliva berperan dalam pertahanan rongga mulut dengan cara mengurangi jumlah karies, infeksi mukosa mulut, gangguan sensori, kesulitan bicara, kekurangan asupan nutrisi dikarenakan sulitnya proses mastikasi dan menelan, serta menambah retensi dari gigitiruan. Pada lansia terjadi perubahan kelenjar saliva yaitu meningkatnya jaringan ikat, deposisi dari jaringan adiposa dan berkurangnya sel asinar. Dengan adanya perubahan pada kelenjar saliva maka akan mempengaruhi kualitatif dan kuantitatif pada saliva, seperti Xerosotomia yang sering terjadi pada lansia diakibatkan berkurangnya aliran saliva.29,31
2.1.3.5 Sendi Temporomandibula Proses menua menyebabkan terjadi kemunduran banyak fungsi tubuh. Salah satu di antaranya adalah fungsi STM untuk mengunyah. Adanya gangguan pada fungsi STM untuk mengunyah mengakibatkan berkurangnya asupan makanan sebagai sumber gizi. Perubahan yang dapat terjadi pada STM seiring bertambahnya usia adalah perubahan pada kondilus dan fosa agar sesuai satu sama lain, fosa menjadi lebih dangkal, pengurangan inklinasi dari dinding fosa bagian anterior dan kondilus, eminensia artikularis menjadi rata, penipisan pada diskus artikularis, perubahan pada jaringan tulang rawan sendi yaitu pengurangan ketebalan lapisan fibrokartilago pada permukaan kondilus sendi, konsistensi dari cairan sinovial menjadi kental dan jumlahnya berkurang sehingga akan mempengaruhi kelancaran pergerakan dari diskus artikularis.27-29,33,34
Universitas Sumatera Utara
12
2.2 Anatomi Sendi Temporomandibula Sendi adalah hubungan antara dua tulang. Sendi temporomandibula adalah persendian dari kondilus mandibula dengan fosa gleinodalis dari tulang temporal. Sendi temporomandibula dapat melakukan gerakan rotasi seperti suatu sendi ginglymoid, namun pada saat yang sama dapat melakukan gerakan meluncur seperti suatu sendi arthroidal. Dengan demikian secara teknis sendi temporomandibula adalah suatu ginglymoarthrodial. Sendi temporomandibula merupakan satu-satunya sendi yang ada di kepala yang bertanggung jawab terhadap pergerakan membuka dan menutup rahang, mengunyah serta berbicara yang letaknya di depan telinga. Apabila terjadi sesuatu kelainan pada salah satu sendi ini, maka seseorang akan mengalami masalah yang serius yaitu terasa nyeri saat membuka mulut, menutup mulut, makan, mengunyah, berbicara, bahkan dapat menyebabkan mulut terkunci. Lokasi dari persendian temporomandibula berada tepat di bawah telinga kiri dan kanan. Sendi temporomandibula merupakan sendi yang paling kompleks dan berfungsi menghubungkan rahang atas dan rahang bawah.19,35-40 Sendi temporomandibula terdiri dari jaringan keras, jaringan lunak, otot, saraf, dan pembuluh darah.35,38
Gambar 1. Sendi temporomandibula 36
Universitas Sumatera Utara
13
2.2.1 Jaringan Keras 2.2.1.1 Prosesus Kondilus Mandibula Kondilus mandibula mempunyai letak dan posisi yang paling baik untuk bekerja sebagai poros dari pergerakan mandibula. Bagian dari tonjol kondilus mandibula, meluas kearah superior dan posterior dan sedikit ke medial dari ramus mandibula. Kondilus mandibula mempunyai ukuran dan bentuk yang bervariasi. Pada permukaan artikulasi antara kondilus dengan fosa terdapat diskus. Kondilus biasanya berbentuk cembung dan berbentuk elips pada orang dewasa. Kondilus mempunyai panjang 15-20 mm medio–lateralis dan lebar sebesar 8-10 mm antero-posterior. Pada saat relasi sentrik, kondilus terletak di bagian paling posterior dengan kondisi unstrained pada fosa glenoidalis.19,36-38,40-42
2.2.1.2 Eminensia Artikularis Eminensia artikularis membentuk batas anterior dari fosa mandibularis yang meluas ke posterior dan dibatasi oleh linggir meatus akustikus eksternus. Eminensia artikularis mempunyai bentuk yang cembung dalam arah antero-posterior dan lurus atau sedikit cekung ke arah mesiolateral. Fosa dan eminensia membentuk huruf S dalam arah anteroposterior. Bentuk S tersebut muncul dan berkembang ketika seseorang berumur 6 tahun.35,38,40
2.2.1.3 Fosa Glenoidalis Kondilus mandibula membentuk persendian dengan bagian tulang temporal pada dasar kranium. Bagian dari tulang temporal ini berbentuk cekungan yang ditempati kondilus mandibula. Bagian inilah yang disebut fosa glenoidalis. Fosa glenoidalis berbentuk cekung dalam dua arah, yaitu antero-posterior dan mediolateral. Fosa ini lebih sempit pada arah antero-posterior dibandingkan dari arah medio–lateral. Sebelah anterior fosa terdapat eminensia artikularis dan di sebelah posterior terdapat kanalis auditorius. Fosa ini memiliki tulang yang sangat tipis pada bagian dalam dan tidak dapat mendukung mandibula. Hal ini didukung oleh pernyataan Solberg, fosa glenoidalis padat tetapi tipis dan tertutup oleh jaringan lunak
Universitas Sumatera Utara
14
yang tipis (periosteum) sehingga struktur ini tidak dapat menahan beban yang besar.19,35
Gambar 2. Jaringan keras sendi temporomandibula 38 2.2.2 Jaringan Lunak 2.2.2.1 Diskus Artikularis Ruang antara kondilus dan fosa glenoidalis ditempati oleh jaringan fibrosa kolagen dengan ketebalan yang bervariasi yang disebut diskus artikularis. Diskus artikularis merupakan jaringan ikat fibrosa avaskular yang berbentuk bikonkav. Diskus artikularis terdiri dari serat kolagen, tulang rawan seperti proteoglikan dan serat elastis Diskus ini juga terdiri dari beberapa sel tulang rawan dan disebut sebagai fibrocartilage.35,37,38,41 Diskus artikularis terbagi dalam 3 bagian berdasarkan ketebalannya. Bagian tengah adalah bagian paling tipis atau yang disebut dengan zona intermediat. Kondilus mandibula terletak pada zona intermediat pada keadaan normal. Bagian yang lebih tebal yang disebut sebagi anterior band dan posterior band dipisahkan oleh zona intermediat. Anterior band lebih tipis dibandingkan posterior band. Diskus merupakan suatu jaringan lunak yang avaskular dan memiliki sedikit saraf sensori. Diskus juga membagi kavitas sendi menjadi dua bagian yaitu superior dan inferior. Dua bagian tersebut diisi oleh cairan sinovial yang berfungsi sebagai lubrikan dan nutrisi bagi struktur sendi.35-39,41
Universitas Sumatera Utara
15
Selain sebagai pembatas tulang keras antara kondilus mandibula dengan fosa artikularis, diskus artikularis juga berperan sebagai bantalan yang menyerap getaran dan tekanan yang ditransmisikan melalui sendi dan mencegah tulang saling bergesekan sewaktu rahang bergerak. Apabila diskus mengalami dislokasi, maka akan timbul bunyi ketika rahang bergerak. Diskus artikularis dapat menjaga kestabilan sendi selama gerakan mengunyah, mencegah perubahan degeneratif yang besar pada fosa dan kondilus, serta mendukung pertumbuhan normal dari mandibula.35,38,39
Gambar 3. Diskus artikularis 38 2.2.2.2 Kapsul Sendi Kapsul sendi berfungsi untuk menutup diskus artikularis dan ditutup oleh membran sinovial. Kapsul sendi tersusun dari jaringan ikat fibrosa. Kapsul ini menempel pada rim fosa glenoidalis dan permukaan artikular dari temporal di bagian atas. Pada bagian bawah menempel di leher kondilus. Pada bagian posterior menempel pada zona bilaminer. Kapsul sendi menyatu dengan ligamen collateral medial pada bagian medial dan menyatu dengan ligamen collateral lateral pada bagian lateral. Di sebelah anterior, kapsul berhubungan dengan insersi otot pterigoideus lateral. Kapsul sendi tipis pada bagian medial dan lebih tebal dan diperkuat oleh ligamen temporomandibula pada bagian lateral. Kapsul sendi disusun
Universitas Sumatera Utara
16
oleh 2 lapisan, yaitu lapisan luar tersusun oleh jaringan ikat fibrosa padat yang diperkuat oleh ligamen sendi dan lapisan dalam merupakan membran sinovial yaitu jaringan ikat tipis yang terdapat pembuluh darah.19,36,37,40,41
Gambar 4. Kapsul sendi dan ligamen sendi 38 2.2.2.3 Ligamen Sendi Ligamen merupakan jaringan ikat fibrosa avaskuler yang kuat. Ada empat ligamen
yang
berkaitan
dengan
sendi
temporomandibula,
yaitu
ligamen
sphenomandibula, ligamen temporomandibula, ligamen stilomandibula dan ligamen collateral. Dari ketiga ligamen tersebut, ligamen temporomandibula merupakan ligamen yang utama pada sendi temporomandibula, arahnya lateral terhadap kapsul sendi dan tidak mudah dipisahkan. Serat dari ligamen tersebut berjalan secara oblik ke tuberkulum artikularis dalam arah posterior dan inferior lalu ke bagian lateral dari arkus zigomatikus. Bagian dalam dari serabut ligamen ini berhubungan dengan kapsul sendi. Ligamen ini akan relaksasi selama posisi istirahat dan tegang pada saat gerakan retrusi dan protrusi. Ligamen ini membatasi pembukaan rotasi dari mandibula dan pembatasan gerak ke arah anterior dan posterior.19,36-38,40,41 Ligamen sphenomandibula berbentuk tipis datar dan melekat ke spina angularis os sphenoidalis pada bagian atas, melekat ke sebelah lingual dari foramen mandibula pada bagian bawah. Fungsinya adalah sebagai poros pada mandibula dalam mempertahankan tekanan yang sama ketika mandibula membuka dan menutup. Ligamen stilomandibula berbentuk bulat dan panjang, melekat ke prosesus
Universitas Sumatera Utara
17
stiloideus os temporalis di bagian atas. Pada bagian bawah melekat ke angulus mandibula dan margo posterior dari ramus mandibula Fungsinya adalah membantu dalam membatasi pergerakan protusi dari mandibula. Ligamen yang terakhir adalah ligamen collateral yang terdiri dari 2 ligamen yaitu medial dan lateral. Ligamen collateral atau yang dikenal sebagai ligamen diskus tersusun dari jaringan ikat kolagen. Fungsi dari ligamen collateral adalah menahan pergerakan diskus agar tetap berartikulasi dengan kondilus.37,39,41
2.2.2.4 Membran Sinovial Membran sinovial merupakan jaringan ikat tipis yang lentur menutupi hampir seluruh sisi artikular dan berfungsi menyediakan nutrien, pelumas dan pembersihan untuk permukaan-permukan sendi serta menanggung beban. Cairan sinovial dikeluarkan oleh membran sinovial ke kompartemen sendi untuk memberi nutrisi dan sebagai pelumas pada permukaan artikular dari sendi. Membran sinovial terdiri dari lapisan sel–sel sekretori khusus pada permukaan dan tidak terdapat organ ujung syaraf dalam membran sinovial sehingga membran ini tidak sensitif terhadap rangsangan nyeri.35-39 Cairan sinovial disekresikan dengan jumlah yang cukup sebagai pelumas. Daerah yang avaskular seperti permukaan artikular dari eminensia, kondilus dan diskus artikularis mendapat asupan nutrien dari cairan sinovial. Cairan sinovial juga berfungsi sebagai pembersih dari potongan-potongan yang sudah rusak dan sel–sel katabolit yang keluar dari permukaan sendi.19,36,38
2.2.3 Otot Pergerakan dari sendi temporomandibula dan rahang dikontrol oleh otot terutama
otot
pengunyahan
yang
terletak
di
sekitar
rahang
dan
sendi
temporomandibula, seperti otot masseter, otot temporalis, otot pterigoideus lateralis dan otot pterigoideus medialis. Otot masseter terbagi dua bagian, yaitu bagian superfisial dan bagian dalam. Fungsi utama otot ini ada pada proses mastikasi dan menutup mandibula.35-39,41
Universitas Sumatera Utara
18
Otot temporalis secara luas melekat pada tengkorak bagian lateral dan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu anterior, tengah dan posterior. Bagian posterior otot temporalis berfungsi dalam retrusi mandibula. Bagian tengah dari otot temporalis berfungsi dalam elevasi dan retrusi mandibula. Sedangkan bagian anterior otot temporalis berfungsi dalam membuka mandibula. Otot pterigoideus lateral dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian inferior dan bagian superior. Bagian inferior dari otot lateral pterigoideus berfungsi dalam protrusi dan pembukaan mandibula, sedangkan bagian superior berfungsi dalam retrusi dan penutupan mandibula. Yang terakhir adalah otot pterigoideus medial yang berfungsi dalam penutupan, protrusi, dan pergerakan kontralateral dari mandibula.36-39,41
a
b
c
Gambar 5. Otot (a) Otot pterigoid 38 (b) Otot Masseter 38 (c) Otot Temporalis 36
Universitas Sumatera Utara
19
2.2.4. Persyarafan Persyarafan pada sendi temporomandibula diinervasi terutama oleh nervus trigeminus yaitu nervus mandibula yang kemudian bercabang menjadi nervus aurikulotemporal.
Nervus
ini
memberi
persyarafan
sensori
pada
sendi
temporomandibula. Selain nervus aurikulotemporal, nervus temporal dan nervus masseter juga menginervasi sendi pada bagian anterior. Kedua nervus ini merupakan nervus motorik tetapi juga mengandung serabut sensori yang terdistribusi pada bagian anterior dari kapsul sendi temporomandibula.36-38,41
Gambar 6. Persyarafan sendi temporomandibula 38 2.2.5 Pembuluh Darah Arteri karotis eksterna merupakan suplai darah utama pada struktur temporomandibula. Arteri karotis eksterna berjalan dari leher menuju ke superior dan posterior, tertanam pada kelenjar parotis. Arteri tersebut terbagi menjadi dua cabang yaitu arteri lingual dan arteri fasial. Ketika mencapai leher kondilus, arteri karotis eksterna tersebut terbagi dua menjadi arteri temporalis superfisial dan arteri maksilaris interna. Kedua arteri ini mensuplai darah ke otot mastikasi dan STM.36-38,41
Universitas Sumatera Utara
20
2.3 Gangguan Sendi Temporomandibula 2.3.1 Definisi Gangguan STM merupakan suatu istilah generik yang digunakan untuk masalah yang berhubungan dengan sendi temporomandibula. Gangguan STM merupakan serangkaian kondisi yang menyebabkan sakit dan disfungsi pada sendi temporomandibula dan otot yang mengatur pergerakan rahang. Tanda–tanda gangguan
sendi
temporomandibula
bisa
berupa
rasa
sakit
pada
sendi
temporomandibula dan otot, bunyi pada sendi, dan keterbatasan gerak fungsi rahang.35,36,43,44
2.3.2 Klasifikasi Klasifikasi
Research
Diagnostics
Criteria
(RDC)/TMD
awalnya
dikembangkan hanya untuk penelitian tetapi kemudian klasifikasi STM tersebut berguna juga dalam praktek klinis untuk membantu dokter gigi. Sistem Research Diagnostic Criteria (RDC) memperbolehkan diagnosa lebih dari satu untuk setiap individual dengan syarat hanya satu diagnosis pada otot, satu diagnosis pada diskus dan satu diagnosis pada tulang artikular. Istilah yang digunakan sudah jelas didefinisikan dan kriteria yang diperlukan untuk mendiagnosis sudah dirinci dengan baik.38 Tabel 1. Klasifikasi gangguan sendi temporomandibula RDC/TMD 38 Lokasi Klinis
Diagnosis Nyeri miofasial
Otot
Nyeri miofasial disertai keterbatasan pembukaan mulut Dislokasi diskus dengan reduksi
Dislokasi diskus
Dislokasi diskus tanpa reduksi, disertai keterbatasan pembukaan mulut Dislokasi diskus tanpa reduksi, tidak
Universitas Sumatera Utara
21
disertai keterbatasan pembukaan mulut Arthralgia Osteoarthritis pada STM
Tulang Artikular
Osteoarthrosis pada STM 2.3.2.1 Otot a) Nyeri miofasial Nyeri
miofasial
merupakan
gangguan
pada
otot
akibat
kebiasaan
parafungsional seperti bruxism, gangguan psikologis seperti depresi dan stress. Gejala dari sindrom ini bisa berupa rasa sakit di rahang, pelipis, daerah preuaricular, dalam telinga ketika mandibula sedang istirahat atau sedang berfungsi, sakit pada saat dipalpasi di dua atau lebih otot dan kadang–kadang disertai suara sendi dan sakit kepala.36,38,43,45,46 b) Nyeri miofasial disertai keterbatasan pembukaan mulut Nyeri miofasial disertai keterbatasan pembukaan mulut merupakan gangguan pada otot yang sama dengan nyeri miofasial, hanya saja terdapat pembatasan pada pembukaan rahang, pembatasan pembukaan rahang ini tidak disertai rasa sakit dan terbagi menjadi 2 dari segi pembukaan rahang, yaitu dibantu dan tanpa dibantu. Apabila pasien tidak dibantu dalam pembukaan rahang maka ukurannya mencapai <40 mm dan apabila dibantu maka pembukaan maksimum yang dapat dicapai bertambah sebanyak ≥5 mm.38,46
2.3.2.2 Dislokasi Diskus Dislokasi diskus merupakan gangguan artikular yang paling sering dijumpai. Dislokasi diskus atau yang biasa disebut internal derangement didefinisikan sebagai gangguan anatomis yang terdapat pada hubungan diskus dan kondilus yang menghalangi pergerakan dari sendi dan menyebabkan kondilus terhenti, kliking, popping atau terkunci.35,36 a) Dislokasi diskus dengan reduksi
Universitas Sumatera Utara
22
Ketika diskus artikularis pindah ke anterior, maka terjadi regangan yang berlebihan dari jaringan retrodiscal yang berada di belakang diskus artikularis. Jaringan retrodiscal akan mengambil tempat dimana diskus berada dan jaringan ini akan mendapat beban yang berulang yang dihasilkan oleh kondilus mandibula. Jaringan ini mempunyai kapasitas untuk beradaptasi pada tekanan yang diberikan dan dapat berubah menjadi “pseudodisc”. Ketika kondilus bergerak secara translasi, maka akan terjadi suara kliking. Bunyi kliking merupakan bunyi tunggal dalam waktu yang singkat. Bunyi itu relatif kuat terdengar. Kliking tunggal (single clicking) adalah bunyi yang terdengar pada saat membuka mulut, saat kondilus bergerak melewati posterior border masuk ke zona intermediat diskus. Sedangkan kliking ganda (double clicking) adalah bunyi kliking kedua saat menutup mulut setelah kliking tunggal terdengar pada waktu membuka mulut. Bunyi ini dihasilkan saat kondilus bergerak dari zona intermediat diskus ke posterior border. Tanda dari kelainan ini adalah adanya suara kliking pada saat membuka dan menutup mulut lebih kurang 5 mm.35,36,38,40 b) Dislokasi diskus tanpa reduksi, disertai keterbatasan pembukaan mulut Dislokasi diskus tanpa reduksi atau gigitan terkunci mempunyai tanda klinis yang berbeda dari dislokasi diskus dengan reduksi karena perpindahan kondilus secara translasi ke anterior dihalangi oleh diskus artikularis yang terletak di anterior. Kondilus dalam kondisi ini hanya dapat bergerak secara rotasi. Pasien dengan kondisi akut atau subakut dilaporkan mengalami nyeri secara mendadak dan tidak dapat membuka mulut lebih besar dari 20–30 mm. Secara klinis akan terlihat deviasi pada mandibula ke sisi yang terkena ketika pembukaan rahang. Tanda dari kelainan ini berupa pembukaan maksimum tanpa dibantu ≤35 mm dan tidak terdapat suara kliking.35,36,38,40,47 c) Dislokasi diskus tanpa reduksi, tidak disertai keterbatasan pembukaan mulut Pada umumnya dislokasi diskus tanpa reduksi disertai keterbatasan pembukaan mulut sama dengan dislokasi diskus tanpa reduksi yang tidak disertai keterbatasan pembukaan mulut, hanya saja yang berbeda adalah pembukaan
Universitas Sumatera Utara
23
maksimum rahang tanpa dibantu ≥35 mm, regangan pasif akan menambah pembukaan rahang ≥ 5mm.38
Gambar 7. Dislokasi diskus 35 2.3.2.3 Tulang Artikular a) Arthralgia Arthralgia merupakan kondisi dimana sakit pada kapsul sendi atau sinovial lining pada STM. Tanda dari kelainan ini adalah sakit pada satu atau kedua sisi sendi, sakit pada sendi ketika pembukaan rahang.38 b) Osteoarthritis Osteoarthritis
merupakan
suatu
kondisi
inflamasi
pada
sendi
temporomandibula yang diakibatkan oleh kondisi degeneratif pada struktur sendi. Penyakit degeneratif pada struktur sendi atau degenerative joint disease (DJD) merupakan suatu kelainan pada tulang rawan dari artikular dan tulang subchondral, disertai dengan inflamasi pada membran sinovial. DJD biasanya asimtomatik dan muncul pada pasien yang berusia diatas 50 tahun. DJD dapat disebabkan oleh trauma, displasia kongenital dan penyakit metabolik. Pasien dengan kelainan DJD yang simtomatik biasanya mengalami sakit pada kondilus di satu sisi, terhalangnya pembukaan mulut, krepitus.36,38,47
Universitas Sumatera Utara
24
c) Osteoarthrosis Osteoarthrosis adalah kelainan sendi degeneratif dimana bentuk dan struktur dari sendi temporomandibula itu sendiri abnormal. Osteoarthrosis juga merupakan kelainan sendi non inflamasi dimana terdapat kerusakan sendi diikuti oleh proliferasi tulang. Kerusakan dari sendi akan menyebabkan kehilangan tulang rawan artikular dan terkikisnya tulang. Proliferasi dari tulang akan membentuk formasi tulang yang baru pada pinggiran sendi dan subchondral. Etiologi dari osteoarthrosis masih belum jelas diketahui, tetapi beberapa studi mengemukakan bahwa trauma dan internal dearangements merupakan faktor etiologi yang berperan saat ini. Tanda dari kelainan ini seperti sakit yang terlokalisasi pada regio STM, pembukaan rahang yang terbatas, krepitus, sakit ketika STM dipalpasi.38,40
2.3.3 Etiologi Gangguan STM Gangguan STM merupakan suatu kelainan yang terjadi pada sendi temporomandibula dan otot mastikasi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan multifaktorial, yaitu usia, jenis kelamin, kebiasaan buruk, dukungan oklusal, maloklusi, faktor psikologis, trauma, pemakaian protesa yang lama.
2.3.3.1 Usia Pembagian kelompok usia menurut WHO dibedakan atas 45–59 tahun, 60–74 tahun, diatas 75 tahun. Usia dapat mempengaruhi terjadinya gangguan STM pada satu individu. Prevalensi terjadinya gangguan STM pada wanita lansia lebih rendah daripada wanita di usia muda. Hal ini dikarenakan hormon reproduktif pada wanita yang berpengaruh pada rasa sakit yang ditimbulkan.14,24 Banyak penelitian yang mengaitkan bahwa terjadinya gangguan STM berkurang seiring usia bertambah. Hal ini didukung oleh penelitian Mundt T dkk (2005), subyek yang berusia 45–84 tahun lebih sedikit mengalami sakit pada otot mastikasi. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Himawan LS dkk (2007),
Universitas Sumatera Utara
25
prevalensi terjadinya gangguan STM pada lansia adalah rendah.
Namun hasil
penelitian Rutkiewizs (2006) pada populasi orang dewasa (30–80 tahun) terdapat lebih banyak tanda klinis terjadinya gangguan STM pada usia yang lebih tua dibandingkan usia yang lebih muda.5,8,48
2.3.3.2 Jenis Kelamin Menjadi seorang wanita atau pria merupakan salah satu prediktor yang sangat penting terhadap kesehatan seseorang. Kasus gangguan STM lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Beberapa studi mengemukakan terjadinya gangguan STM pada wanita dikarenakan sensitivitas biologi pada wanita lebih tinggi dan hormon pada wanita juga berpengaruh dalam terjadinya gangguan STM. Terjadinya gangguan STM pada wanita 1,5–2 kali lebih besar dibandingkan pria dan 80% dari kasus gangguan STM yang ditangani adalah pada wanita. Hal ini didukung oleh penelitian Casanova-Rosado JF dkk (2005), prevalensi terjadinya gangguan STM lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (52,9:37,9). Menurut penelitian Bagis B dkk (2012), wanita lebih banyak menderita gangguan STM daripada pria (2.3:1). Hasil penelitian Mundt T dkk (2005) dan Shet RGK dkk (2013)
juga melaporkan prevalensi
terjadinya gangguan STM lebih tinggi pada wanita.4,5,9,16 Mekanisme dari terjadinya gangguan sendi pada wanita lebih banyak dibandingkan pria belum jelas. Hal ini mungkin dapat disebabkan perbedaan pada tulang rawan artikular di sendi wanita, sensitivitas biologi lebih tinggi dan hormon pada wanita juga berpengaruh dalam terjadinya gangguan sendi temporomandibula. Selain itu diduga karena reseptor estrogen di persendian temporomandibula pada wanita memodulasi metabolik sehingga menyebabkan kelemahan dari ligamen dan estrogen dianggap meningkatkan rasa nyeri.15,35,49 Namun hasil penelitian Himawan LS dkk (2007), pria lebih banyak menderita gangguan STM dibandingkan wanita.6
2.3.3.3 Kebiasaan Buruk Kebiasaan buruk dapat berpengaruh terhadap terjadinya gangguan STM, salah satunya adalah bruxism dan mengunyah sebelah sisi.
Bruxism merupakan suatu
Universitas Sumatera Utara
26
kondisi dimana seseorang menggertakkan gigi secara tidak sadar dan hal ini dapat terjadi pada waktu kapanpun. Hubungan antara bruxism dan gangguan STM dibuktikan oleh penelitian Casanova-Rosado JF dkk (2005), subyek yang mempunyai kebiasaan buruk seperti bruxism dan mengunyah sebelah sisi cenderung mengalami gangguan STM dibandingkan subyek yang normal. Menurut penelitian Saheeb BDO (2005), bahwa 47,1% pasien yang memiliki kebiasaan buruk seperti bruxism akan memberi tekanan yang besar pada sendi temporomandibula dan dapat menyebabkan gangguan STM. Hasil penelitian Sato F dkk (2006), sebanyak 50,3% pasien yang menderita gangguan STM mempunyai kebiasaan buruk yaitu bruxism. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Mundt T dkk (2005) dan Bagis B dkk (2012).4,9,16,21,22 Terjadinya gangguan sendi temporomandibula dikarenakan beban yang diberikan pada sendi terlalu berlebih sehingga mengubah mekanisme dari lubrikasi pada struktur artikular yang kemudian akan menyebabkan gangguan sendi dikarenakan fleksibilitas pada sendi menjadi menurun. Selain itu menurut Rugh, seberapa ringan kontak pada gigi dapat meningkatkan aktivitas otot masseter dan kemudian akan berkembang menjadi sakit pada otot yang terdapat pada sendi temporomandibula. Pada otot terjadi hipertonus sebagai reaksi dari hiperfungsi sistem muskuloskeletal yang dapat menyebabkan terjadinya kelemahan otot dan inflamasi yang dapat menimbulkan nyeri. Ligamen yang berhubungan dengan sendi temporomandibula juga akan mengalami kekakuan sebagai dampak dari penekanan akibat kontraksi otot sehingga fleksibilitas dari ligamen menjadi menurun yang berakibat terjadinya ruptur dan timbulnya rasa nyeri. Pada saraf akan terjadi sensasi nyeri yang ditimbulkan iskemia lokal akibat dari hiperfungsi kontraksi otot yang kuat dan terus-menerus atau mikrosirkulasi yang tidak adekuat karena disregulasi sistem simpatik.50 Namun hasil penelitian Himawan LS dkk (2007) melaporkan bahwa kebiasaan buruk seperti bruxism dan mengunyah sebelah sisi tidak dapat dikatakan sebagai faktor risiko terjadinya gangguan STM.6
Universitas Sumatera Utara
27
2.3.3.4 Dukungan Oklusal Pada
penelitian
ini,
peneliti
menggunakan
Indeks
Eichner
untuk
mengkategorikan kehilangan dukungan oklusal. Indeks Eichner terdiri dari 5 kelas yaitu, A (terdiri dari 4 zona dukungan oklusal), B1 (terdiri dari 3 zona dukungan oklusal), B2 (terdiri dari 2 zona dukungan oklusal), B3 ( terdiri dari 1 zona dukungan oklusal), B4 (kontak gigi hanya pada anterior saja), dan C (tidak terdapat kontak pada gigi).9 Kehilangan dari dukungan oklusal yaitu gigi posterior telah ramai dibahas sebagai faktor risiko terjadinya gangguan STM. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mundt T dkk (2005), adanya hubungan antara kehilangan dukungan oklusal dengan terjadinya gangguan STM pada pria. Hal ini disebabkan oleh besarnya kekuatan gigit pada pria. Menurut penelitian Ciangcaglini dkk, sebanyak 60,2% pasien yang kehilangan dukungan oklusal menderita gangguan STM. Hasil penelitian oleh Hatim NA dkk (2011) menunjukkan bahwa terdapat gangguan STM pada pasien yang mengalami kehilangan dukungan oklusal. Hasil yang sama juga didapat oleh penelitian Shet RGK dkk (2013) bahwa terdapat hubungan antara kehilangan dukungan oklusal dengan terjadinya gangguan STM. 5,9,20
Keparahan dari simtom gangguan sendi temporomandibula akan meningkat seiring berkurangnya dukungan oklusal karena kondilus mandibula akan mencari posisi yang nyaman pada saat menutup mulut dan memicu perubahan letak kondilus pada fosa glenoidalis atau overclosure pada mandibula yang kemudian menyebabkan gangguan sendi temporomandibula. Berkurangnya dukungan oklusal juga dapat menyebabkan gangguan pada sistem mastikasi dan perubahan awal pada pola neuromuscular dari aktivitas otot rahang. Mekanisme neuromuskular akan membentuk pola pergerakan baru rahang bawah untuk mengompensasi posisi gigi yang baru akibat ketidak serasian dengan gigi lainnya dalam fungsi mulut. Sisa gigi yang ada akan mencoba beradaptasi dengan pola pergerakan yang baru tersebut dengan kemungkinan akan menimbulkan ketidakharmonisan dalam pergerakan. Akibat dari gigi yang hilang maka akan terdapat elongasi dari gigi antagonisnya dan
Universitas Sumatera Utara
28
menyebabkan kontak prematur. Perubahan tersebut menyebabkan kurva oklusal berubah bentuk, lengkung menjadi bergelombang sehingga gerakan artikulasi menjadi tidak lancar. Dengan adanya kontak prematur akan menyebabkan benturan pada saat mandibula bergerak ke posisi oklusi sentrik dan tanpa disadari pasien akan merubah lintasan dalam hal membuka dan menutup mulut atau menarik mandibula ke posisi yang dirasa nyaman. Perubahan lintasan ini menyebabkan posisi mandibula bergeser dari sentrik dan keseimbangan otot berubah menjadi ada yang aktif dan sebagian menjadi kurang aktif. Secara bertahap apabila toleransi fisiologis otot terlampaui, maka akan timbul kelelahan pada otot dan menimbulkan spasme sehingga pasien
merasa
nyeri
pada
otot.
Begitu
juga
halnya
dengan
kondilus,
ketidakseimbangan ini menyebabkan posisi mandibula menjadi sedikit terungkit sehingga posisi kondilus berubah, yang satu di posisi superior dan yang lain berada di posisi inferior. Akibat dari perubahan posisi kondilus ini akan terjadi disfungsi sendi temporomandibula.17,18,21,51,52
Gambar 8. Indeks Eichner 52
Universitas Sumatera Utara
29
2.3.3.5 Maloklusi Hubungan antara maloklusi seperti maloklusi Angle, gigitan silang, gigitan terbuka, traumatik oklusi, overjet dan overbite yang tidak normal, diskrepansi midline telah dihubungkan dengan terjadinya gangguan STM sebagai faktor predisposisi. Maloklusi dari gigi dapat menyebabkan kliking karena adanya perbedaan oklusi sentrik dan relasi sentrik. Kliking sendi sering dihubungkan dengan maloklusi. Adanya perubahan oklusi selalu menghasilkan suatu perubahan koordinasi otot–otot. Permukaan oklusal yang tidak sesuai dengan aksi otot dan sendi temporomandibula dapat menyebabkan hiperaktivitas otot dan terjadi perubahan posisi diskus. Kehilangan gigi anterior terutama kaninus menyebabkan pola oklusal menjadi lebih datar karena berkurangnya tinggi tonjolan. Hal tersebut akan berdampak pada penurunan
dimensi
vertikal.
Penurunan
dimensi
vertikal
kemudian
akan
menyebabkan dislokasi diskus ke anterior. Traumatik oklusi juga dapat menyebabkan gangguan STM dikarenakan adanya benturan antara gigi atas dan gigi bawah saat mandibula bergerak fungsional dan non–fungsional. Benturan ini kemudian dapat menimbulkan disintegrasi dalam sistem kondi–diskus, sehingga timbul gejala kliking.7,19 Namun hal ini tidak sesuai dengan penelitian Hirsch dkk (2005) yang melakukan penelitian pada 3033 subyek, menyimpulkan bahwa overjet dan overbite yang besar atau kecil tidak menimbulkan suara pada sendi (kliking dan krepitasi). Penelitian oleh Basafa dkk (2006) terhadap 435 pasien dengan rentang usia 19-32 tahun juga menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara maloklusi dengan gangguan STM . Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Mohlin B dkk (2007) dan Belotte-Laupie dkk (2011).7,54-56
2.3.3.6 Faktor Psikologis Faktor psikologis seperti stress dan cemas dapat memicu terjadi gangguan STM. Hal ini belum jelas hubungannya. Pasien dengan gangguan STM biasanya menderita penyakit yang dihubungkan dengan stress, seperti migrain, sakit punggung, ulser pada saluran pencernaan. Menurut laporan dari Lazlo Schwartz dkk bahwa grup
Universitas Sumatera Utara
30
yang mempunyai gangguan STM seperti sakit pada saat menggerakkan mandibula disebabkan oleh otot mastikasi yang tegang. Daniel Laskin juga menyatakan bahwa stress dapat menjadi faktor risiko gangguan STM dikarenakan stress dapat memicu hiperaktivitas pada otot. Kelelahan pada otot yang disebabkan oleh hiperaktivitas dapat menyebabkan spasme pada otot. Hal ini didukung oleh laporan penelitian dari Casanova Rosado dkk (2005) bahwa stress dan cemas dapat menyebabkan terjadinya gangguan STM. Selain itu orang yang cemas akan mengalami gangguan STM 1,58 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak cemas.4,7,45
2.3.3.7 Trauma Trauma pada struktur fasial dapat menyebabkan gangguan mastikasi. Trauma mempunyai dampak yang besar terhadap intrakapsular dibandingkan dengan otot. Trauma terbagi 2, yaitu makrotrauma dan mikrotrauma. Makrotrauma merupakan tekanan yang terjadi secara tiba–tiba pada sendi dan menyebabkan perubahan struktur. Makrotrauma contohnya pukulan ke dagu dapat menyebabkan kelainan intrakapsular. Apabila trauma ini terjadi pada saat mulut terbuka, kondilus dapat berubah tempat dari fosa. Pergerakan kondilus dari fosa secara tiba–tiba akan ditahan oleh ligamen dan apabila kekuatan pukulan pada dagu di atas batas limit, maka ligamen akan menjadi elongasi yang akan mempengaruh mekanisme normal dari kondilus–diskus. Ligamen kemudian akan menjadi longgar dan tidak dapat menahan diskus pada tempatnya sehingga diskus akan berpindah. Pukulan pada dagu juga dapat menyebabkan fraktur dari kepala kondilus. Makrotrauma bisa juga disebabkan oleh iatrogenik, contohnya pada saat odontektomi atau prosedur dental yang membutuhkan waktu pembukaan mulut yang lama dapat menyebabkan elongasi dari ligamen diskus.37,38,45 Whiplash juga dapat menyebabkan gangguan STM. Penelitian oleh Klobas dkk membandingkan antara 2 subyek yang pernah mengalami whiplash dan subyek yang belum pernah mengalami whiplash menunjukkan perbedaan yang signifikan pada tingkat keparahan dari gejala gangguan STM yang dialami (89%:18%). Pembukaan mulut lebih kecil (54 mm:48 mm) dan sakit pada saat palpasi di otot
Universitas Sumatera Utara
31
umum terjadi pada subyek yang mengalami whiplash. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian
Sale dkk (2007) bahwa subyek yang mengalami
whiplash lebih banyak mengalami gangguan STM (34%) dibandingkan subyek yang tidak mengalami whiplash (7%). Kesimpulannya adalah 1 dari 3 orang yang mengalami whiplash berisiko untuk menderita gangguan STM di kemudian hari.7,57 Mikrotrauma adalah gaya kecil yang terjadi secara berulang pada struktur sendi dalam jangka waktu yang lama dan menyebabkan perubahan sendi. Contoh dari mikrotrauma adalah bruxism. Bruxism diketahui mempunyai hubungan dengan gangguan STM yaitu dapat mengakibatkan sakit pada otot mastikasi dikarenakan hiperaktivitas pada otot.37,45
2.3.3.8 Pemakaian Gigitiruan yang Lama Pemakaian gigitiruan yang lama juga dapat menyebabkan gangguan STM. Hasil penelitian oleh Al-Shumailan dkk (2010), krepitus dan sakit pada otot mastikasi pada pemakai gigitiruan penuh lebih tinggi dibandingkan individu yang bergigi. Sebanyak 14,3% satu atau lebih dari gejala gangguan STM ditemukan pada individu yang memakai gigitiruan penuh. Pergerakan vertikal yang menurun juga merupakan salah satu tanda dari gejala gangguan STM. Nilai rata–rata dari pembukaan maksimum mandibula pada individu yang memakai gigitiruan penuh lebih kecil (39,7 mm) dibandingkan individu yang bergigi (45,6 mm). Menurut penelitian Dallanora dkk (2011) melaporkan bahwa terdapat hubungan positif antara waktu pemakaian dari gigitiruan penuh dengan gangguan STM. Apabila individu yang sama memakai gigitiruan penuh selama lebih dari 10 tahun, maka prevalensi dari gejala gangguan STM akan meningkat.8,10
Universitas Sumatera Utara
32
Universitas Sumatera Utara
33
Universitas Sumatera Utara