BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komposisi Udara Fakta empirik menunjukkan bahwa udara merupakan komponen kehidupan yang sangat penting bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya (seperti tumbuhan dan hewan). Tanpa makan dan minum manusia bisa hidup untuk beberapa hari, tetapi tanpa udara manusia hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja. Tidak seperti air yang
bisa
dipilih
untuk
diminum,
sekali
udara
tercemar
susah
untuk
membersihkannya. Karena manusia tidak dapat memilih udara yang dihirup.Kualitas udara (ambien) sangat berhubungan dengan tingkat kesehatan masyarakat dan kegiatan pembangunan. Komposisi udara normal terdiri atas gas nitrogen 78,09 %, oksigen 20,95 %, dan karbondioksida 0,93%, sementara selebihnya berupa gas argon, neon, kripton, xenon dan helium sekitar 0,03% (BLH Prop.Sumut,2010). Udara juga mengandung uap air, debu, bakteri, spora dan sisa tumbuh-tumbuhan. Kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tentunya akan meningkatkan penggunaan energi. Semakin banyak energi yang dibakar pada akhirnya akan meningkatkan pencemaran udara. Udara yang tercemar (tidak memenuhi baku mutu udara ambien) dapat meningkatkan berbagai jenis penyakit atau bahkan dapat menyebabkan kematian apabila kadarnya di udara tidak sehat atau berbahaya untuk jangka waktu yang panjang. Didalam peraturan Mentri Lingkungan Hidup nomor 28 tahun 2008, di lampiran petunjuk teknis standar pelayanan minimal bidang lingkungan
hidup daerah
propinsi, penduduk Indonesia diproyeksikan akan meningkat antara tahun 2000 dan 2025 dari sekitar 206 juta menjadi sekitar 274 juta. Pada tahun 2000 kebanyakan penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan, namun lambat laun jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan semakin menurun, yang disebabkan oleh perkembangan pedesaan menjadi kota-kota baru serta urbanisasi. Apabila pada tahun 2000 jumlah penduduk perkotaan hanya berjumlah sekitar 47 juta jiwa, pada tahun 2025 jumlah penduduk perkotaan akan meningkat menjadi sekitar 187 juta jiwa atau sekitar 68% dari total penduduk Indonesia pada tahun 6
2025. Oleh karena itu, tingkat pencemaran udara pada masa yang akan datang akan semakin meningkat khususnya di wilayah perkotaan dan industri serta wilayah pemukiman. Pencemaran udara di perkotaan merupakan permasalahan yang serius. Peningkatan penggunaan kendaraan bermotor dan konsumsi energi di perkotaan, jika tidak dikendalikan, akan memperparah pencemaran udara, kemacetan, dan dampak perubahan iklim yang menimbulkan kerugian kesehatan, produktivitas dan ekonomi bagi negara. Berdasarkan penelitian Japan International Cooperation Agency(JICA)dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) tahun 1995 dan studi Asian Development bank (ADB) bekerjasama dengan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2001, kenderaan bermotor memberikan kontribusi > 70 % terhadap pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia khusunya Jakarta dan sekitarnya (BLH.Prop.Sumut, 2010).
2.2 Komponen Pencemaran Udara Menurut data Badan Lingkungan Hidup, bahwa secara umum ada 2 macam penyebab pencemaran udara, yaitu alamiah dan buatan. Penyebab alamiah seperti debu yang berterbangan dan abu yang di keluarkan gunung berapi, sedangkan penyebab buatan adalah oleh karena ulah manusia seperti hasil pembakaran bahan bakar fosil, debu dari kegiatan industri, pemakaian zat kimia yang disemprotkan ke udara dan lain-lain. Ditinjau dari pergerakannya, maka sumber pencemar terdiri dari sumber yang tidak bergerak(stasioner) dan sumber yang bergerak. Sumber pencemar tidak bergerak akan mempengaruhi kualitas udara disekitar wilayah sumber tersebut yang umumnya berasal dari penggunaan pembangkit tenaga listrik, boiler dan proses produksi akibat kegiatan industri, pemukiman karena aktivitas rumah tangga. Sedangkan sumber pencemar bergerak terutama berasal dari transportasi atau kenderaan bermotor dimana penyebabnya adalah gas buangan dari proses pembakaran bahan bakar yang merupakan sumber pencemar gas CO, HC, dan Pb. Untuk emisi yang berasal dari kenderaan mengandung 5 (lima) macam polutan yang dapat
mempengaruhi
manusia,
yang
dikenal
sebagai:
Partikulat
(debu),
Nitrogenoxide (NOx), Carbon Monoksida (CO), Hidrokarbon (HC), Sulfuroxide (SOx). 7
2.2.1 Partikulate Matter (PM 10 ) Partikulat Matter yang melayang di udara berisikan campuran yang heterogen yaitu padat dan cair yang bercampur di dalam udara, dan terus berpariasi di dalam ukuran dan komposisi kimia. Partikel utama di emisikan langsung atmospir, seperti asap mesin diesel. Partikel sekunder
ke dalam
dihasilkan melalui
transformasi psikokimia gas, seperti nitrat dan sulfat dari formasi dari asam nitrat dan Sulfur dioxide(SO2) (Brook R.D et al,2004 ). Sumber PM meliputi emisi dari mesin kenderaan, berbagai sumber PM meliputi emisi kenderaan bermotor,fragmentasi ban dan resuspensi debu jalan, pembangkit listrik dan pembakaran industri lainnya, kegiatan peleburan dan pengolahan logam lainnya, pertanian, konstruksi dan pembongkaran, pembakaran kayu perumahan, tanah tertiup angin, serbuk sari dan cetakan, kebakaran hutan dan pembakaran sampah pertanian, emisi gunung berapi. Meskipun ada ribuan bahan kimia yang telah terdeteksi sebagai PM di lokasi yang berbeda, beberapa unsur yang lebih umum termasuk nitrat, sulfat, dan unsur karbon organik, senyawa organik (misalnya, hidrokarbon aromatik polisiklik), senyawa biologis (misalnya, endotoksin, fragmen sel), dan berbagai logam (misalnya besi, tembaga, nikel, seng, dan vanadium), terutama karena sifat kompleks PM, telah diukur dan diatur berdasarkan terutama pada massa dalam rentang ukuran PM 10 dan PM 2,5 (Brook R.D et al,2004.;Kaplan G.G et al,2010.;Byoung J.K et al,2012.) Pada tahun 1987, fokus regulasi bergeser dari jumlah partikel yang bisa mudah menembus dan menempel di trakeobronkial, atau PM 10 (PM dengan diameter aerodinamis median 10 mm). Pada tahun 1997,
oleh badan Environmental
Protection Agency (EPA), diumumkan standar rata-rata 24 jam dan tahunan untuk PM 2.5 (PM dengan median aerodinamis diameter 2,5 m), yang terdiri dari fraksi ukuran yang dapat mencapai saluran udara kecil dan alveoli. PM 2.5 berasal sebagian besar dari sumber pembakaran dan termasuk partikel primer dan sekunder, sedangkan fraksi kasar berasal terutama dari sumber alami, bahan terutama kerak (termasuk tanah tertiup angin) dan proses penggilingan. Bioaerosol penting (misalnya, endotoksin, serbuk sari, dan spora jamur) kebanyakan ditemukan dalam fraksi kasar (dan partikel yang lebih besar), meskipun keduanya 8
endotoksin (komponen penting dari dinding sel bakteri Gram-negatif) dan kadar protein antigenik serbuk sari juga dapat menyerap ke permukaan halus PM. Umumnya, partikel yang lebih besar menunjukkan deposisi pecahan yang lebih besar di daerah trakeobronkial extrathorak, sedangkan partikel yang lebih kecil (misalnya, PM 2.5 ) menunjukkan deposisi yang lebih besar dalam paru-paru (Brook R.D et al, 2004)
Gambar 2.1: Distribusi ukuran Partikulat Matter(PM)
2.2.2 Nitrogen Oksida (NOx) Nitrogen oksida adalah zat reaktif umumnya dipahami untuk mencakup oksida Nitrat (NO), Nitrogen Dioksida (NO 2 ), Nitrogen Trioksida, Nitrogen Tetroksida (N 2 O 4 ), dan diNitrogen Pentoksida (N 2 O 5 ). Senyawa ini disebut secara kolektif sebagai "NOx." Gas Asam nitrat (HNO 3 ), sumber utama partikulat Nitrat, terbentuk ketika NO 2 bereaksi dengan radikal hidroksil siang hari dan ketika N 2 O 5 bereaksi dengan uap air. Gas ini berwarna kecoklat-coklatan, di udara terbuka dapat terjadi reaksi menjadi HNO 2 yang berwarna kekuning-kuningan. Senyawa ini dapat mengakibatkan pengurangan daya penglihatan (visibilitas) yang membahayakan bagi pengendara di jalan, walaupun udara tidak mengandung partikel dalam konsentrasi tinggi. Senyawa – senyawa turunan Nitrogen yang penting bagi pencemaran udara adalah NO dan NO 2 karena diudara terbuka Nitrogen monoksida menjadi NO 2 .Bersama dengan Hydrokarbon dan reaktan lainnya, senyawa ini dapat membentuk dalam waktu 3(tiga) hari (BLH.Prop.Sumut, 2010). 9
Penelitian secara epidemiologi telah difokuskan pada NO 2 , karena fakta bahwa (1) NO 2 merupakan salah satu polutan udara yang diatur standar yang tersedia di seluruh dunia, (2) dari knalpot kendaraan NO dan pembangkit listrik sebagian besar dikonversi menjadi NO 2 , dan (3) NO 2 memainkan peran utama dalam pembentukan ozon troposfer (O 3 ). Sumber utama NOx di udara ambien adalah pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor dan proses industri, terutama di pembangkit listrik. Hasil pembakaran pada temperature tinggi dalam oksidasi N 2 atmosfer, pertama NO dan kemudian NO 2 .Emisi kendaraan bermotor di dekat jalan yang sibuk dapat mengakibatkan konsentrasi NOx lokal yang tinggi (BLH.Prop.Sumut, 2010; Brook R.D et al,2004). NO 2 dan NO keduanya terbentuk secara alami sebagai hasil metabolisme bakteri senyawa nitrogen dan, pada tingkat lebih rendah, dari kebakaran, gunung berapi, dan fiksasi petir. Paparan pada manusia yang signifikan dapat terjadi di dalam ruangan. Peralatan Gas untuk pembakaran, seperti tungku dan kompor, adalah sumber utama NOx dalam ruangan, meskipun ruang pemanas minyak tanah dan asap tembakau juga dapat memainkan peran. Di daerah perkotaan, infiltrasi NO 2 ambien dari emisi kendaraan juga dapat mempengaruhi paparan dalam ruangan( Brook RD et al,2004 ).
2.2.3 Karbon Monoksida Karbon monoksida (CO) adalah produk pembakaran tidak sempurna dari karbon yang mengandung bahan bakar. Sumber luar ruang meliputi kendaraan bermotor, mesin pada motor, mesin pemotong rumput, gergaji rantai, dan perangkat lain yang memerlukan pembakaran bahan bakar fosil, pembakaran kayu perumahan,
,
pembakaran batu bara, dan merokok tembakau. CO adalah gas yang tidak berbau, tidak berwarna, dan hambar(BLH.Prop.Sumut, 2010;Brook RD et al,2004) yang mengikat hemoglobin dengan afinitas 250 kali dari oksigen, sehingga mengganggu pengiriman sistemik oksigen ke jaringan. Selain itu, CO mengikat sitokrom oksidase, memperburuk hipoksia seluler, dan mengikat protein ekstravaskuler lain yang termasuk mioglobin, sitokrom P-450, katalase dan peroksidase. Mengingat konsentrasi CO ambien saat ini, ada kemungkinan bahwa di sebagian besar keadaan, polutan ini
lebih sebagai indikator polusi pembakaran 10
daripada sebagai racun langsung. Namun, dalam beberapa situasi (misalnya, struktur berventilasi kurang), CO bisa mencapai konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan kenaikan patofisiologis berarti dalam carboxyhemoglobin pada orang dengan penyakit aterosklerosis secara signifikan atau kondisi jantung lainnya (Brook R.D et al,2010). 2.2.4 Sulfur Dioksida Sulfur dioksida (SO 2 ) sangat menggangu, tidak berwarna, berbentuk gas yang larut dengan bau yang menyengat, tidak dapat terbakar dan berasa. Bereaksi dengan air, membentuk asam sulfur, yang menyumbang efek yang kuat pada iritasi mata, selaput lendir, dan kulit. Di udara ambien, sumber-sumber utama dari SO 2 termasuk pembakaran bahan bakar yang mengandung sulfur, terutama di pembangkit listrik dan mesin diesel (sebelum reformulasi bahan bakar solar). Sulfur dioksida, dioksidasi menjadi sulfur trioksida, yang karena afinitas yang kuat terhadap air, bisa cepat terhidrasi untuk membentuk asam sulfat. Peningkatan kadar SO 2 telah dikaitkan dengan penyakit di abad ke-20, dengan bencana polusi udara. SO 2 umumnya ditemukan pada konsentrasi jauh lebih rendah di dalam ruangan daripada di luar ruangan, namun, penggunaan ruang pemanas dengan minyak tanah dapat menghasilkan konsentrasi SO 2 yang lebih tinggi secara signifikan dalam ruangan (Brook RD et al, 2004;BLH.Prop.Sumut, 2010).
2.2.5 Ozon (O 3 ) Ozon (O 3 ) sangat reaktif, gas berwarna kebiruan dengan bau yang khas terkait dengan muatan listrik. Tingkat rendah paparan di mana-mana, karena O 3 dibentuk oleh proses alam dan aktivitas manusia. Ozon terbentuk di stratosfer oleh aksi radiasi matahari pada molekul oksigen (O 2 ). Karena O 3 stratosfir mencegah radiasi UV energi tinggi dari penetrasi atmosfer, banyak bentuk kehidupan terestrial tidak akan mampu bertahan hidup tanpa perisai O 3 ini. Di troposfer, O 3 dibentuk oleh aksi radiasi UV matahari pada nitrogen oksida dan hidrokarbon reaktif, baik yang dipancarkan oleh kendaraan bermotor dan banyak sumber-sumber industri. 11
2.3 Dampak Partikel Pencemar Udara Bagi Kesehatan Hubungan antara tingginya tingkat polusi udara dan penyakit manusia telah dikenal selama lebih dari setengah abad (Brook R.D et al,2004; Coccini T et al; Khafaie M.A et al,2013; Chew F.T et al, 1998; Xu X et al,2011). Beberapa episode meningkatnya angka kematian secara tajam pada polusi perkotaan, seperti di Meuse Valley, Belgia, pada bulan Desember 1930 dan selama insiden kabut di London 1952, memicu penelitian epidemiologi awal ( Brook R.D et al). Akibatnya, upaya panjang untuk mengurangi polusi udara pun terjadi. Peningkatan kualitas udara selama beberapa dekade terakhir, hubungan antara tingkat polusi dan morbiditas dan mortalitas telah dideteksi. Ada beberapa studi
epidemiologi
diterbitkan menghubungkan polusi udara dengan penyakit manusia. Meskipun banyak polutan dapat menyebabkan penyakit secara individual atau dalam kombinasi (misalnya, O 3 , SO 2 , NO 2 dan), selama dekade terakhir, Partikulat Matter (PM) telah menjadi fokus utama penelitian (Brook R.D et al, 2004; Tsai D , 2012; Diez Roux A V et al, 2006). Studi di Enam Kota Harvard oleh Dockery et al, Studi ini menunjukkan bahwa paparan kronis polutan udara merupakan faktor independen (terkait bebas) untuk mortalitas kardiovaskular. Dalam studi kohort pada 8111 dewasa, di ikuti selama 14 sampai 16 tahun, rasio angka kematian untuk kota paling tercemar versus kota tidak tercemar adalah 1,26 (95% CI 1,08 - 1,47). Penyesuaian lebih lanjut untuk berbagai faktor resiko individu yang termasuk merokok tembakau, jenis kelamin, indeks massa tubuh, tingkat pendidikan, paparan pekerjaan, hipertensi, dan diabetes tidak secara signifikan mempengaruhi hubungan. Hoek et al, menegaskan pentingnya variasi perumahan dalam kota sebagai faktor resiko kematian akibat polusi udara. Dalam studi kohort terhadap 5000 orang dewasa diikuti selama 8 tahun, paparan polusi udara lalu lintas, lebih tinggi dihubungkan dengan kematian pada tingkat latar belakang tata letak kota. Dari berbagai metrik polutan, variabel indikator untuk tinggal di dekat jalan utama yang paling kuat terkait dengan kematian kardiopulmonar dalam kelompok ini (RR 1,95, 95% CI 1,09-3,52). Selain itu, menunjukkan bahwa emisi dari kendaraan bermotor, sumber umum polusi udara perkotaan, dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian. Sampai saat
12
ini, penyebab spesifik dari peningkatan mortalitas kardiovaskular akibat paparan polusi udara jangka panjang tetap tidak jelas ( Brook R.D et al,2004). Dua studi terbesar sampai saat ini adalah National Morbidity, Mortality, and Air Pollution Study (NMMAPS) di Amerika serikat, dan APHEA-2 (Air Pollution and Health: A European Approach (respiration study) di Eropa. Studi ini menghasilkan hasil yang sangat konsisten. Para NMMAPS mengamati hasil pada 50 juta orang di 20 kota terbesar di Amerika Serikat. Rata-rata tingkat kematian secara independen, terkait dengan konsentrasi partikel beberapa hari sebelum kematiannya. Setiap peningkatan 10 µg/m3 PM 10 dikaitkan dengan peningkatan sebesar 0,21% (0,06 SE) dan 0,31% (0,09 SE) untuk semua penyebab dan kematian kardiopulmonar. Empat puluh tiga juta orang di 29 kota di Eropa, perkiraan peningkatan kematian harian adalah 0,6% (95% CI 0,4% menjadi 0,8%) untuk setiap 10 µg/m3 peningkatan PM 10 (Brook R.D et al, 2004). Di Eropa, kota-kota dengan iklim hangat menunjukkan hubungan kuat kematian dengan polusi udara. Temuan ini menyiratkan bahwa peningkatan jangka pendek
tingkat partikel Polusi udara
mampu
membangkitkan aritmia jantung, gagal jantung yang memburuk, dan memicu aterosklerosis akut / komplikasi kardiovaskular. Pencemaran udara memiliki berbagai efek buruk pada kehidupan awal, dan beberapa efek berbahaya yang paling penting dari polutan ini yaitu
gangguan
sebelum kelahiran, kematian bayi, gangguan pernapasan, alergi, peningkatan stres oksidatif, dan disfungsi endotel(Brook R.D et al, 2004.; Chew FT et al, 1999; Xu X et al, 2012.; Stein C, 2012. ). Penelitian epidemiologi, manusia, dan studi model hewan menunjukkan bahwa knalpot diesel dari lalu lintas, sumber utama polusi udara, meningkatkan peradangan saluran napas dan dapat memperburuk dan memulai asma dan alergi. Oleh karena itu, kebanyakan studi awal telah menunjukkan bahwa, yang berada di dekat jalan raya dengan kepadatan tinggi, dikaitkan dengan peningkatan rawat inap asma, penurunan fungsi paru-paru, dan peningkatan prevalensi dan keparahan mengi dan alergi rhinitis (Byoung J.K et al, 2012.). 2.4 Index Kualitas Udara Index kualitas udara merupakan indeks untuk melaporkan kualitas udara harian. Ini memberitahu seberapa bersih atau tidak sehat udara, dan apa efek kesehatan yang 13
berkaitan mungkin menjadi perhatian. Index Kualitas Udara memfokuskan pada efek kesehatan yang mungkin
dialami dalam beberapa jam atau hari setelah
menghirup udara yang tidak sehat. Index kualitas udara dihitung untuk empat polutan udara utama yang diatur oleh Pemerintah Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.Kep-45/MenLH/10/1997, Tentang indeks standar Pencemaran Udara, ISPU dibagi dalam beberapa kategori terlihat pada table di bawah ini:
Kategori Baik
Tabel 2.1 Kategori ISPU dan Penjelasan Rentang Penjelasan 0 – 50 Tingkat kualitas udara yang tidak memberikan efek bagi kesehatan manusia atau hewan dan tidak berpengaruh pada tumbuh-tumbuhan, bangunan ataupun nilai estetika
Sedang
51 – 100
Tidak Sehat
101 - 199
Tingkat kualitas udara yang tidak berpengaruh pada kesehatan manusia ataupun hewan tetapi berpengaruh pada tumbuh-tumbuhan yang sensitif dan nilai estetika
Tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada manusia ataupun kelompok hewan yang sensitif atau biasa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika Sangat tidak 200 - 299 Tingkat kualitas udara yang dapat Sehat merugikan kesehatan pada sejumlah segmen populasi terpapar. Tingkat kualitas udara yang secara Berbahaya 300- lebih umum dapat merugikan kesehatan yang serius pada populasi Sumber:Kep Ka.Bapedal No.107/ka.Bapedal/11/1997
Warna Hijau
Biru
Kuning
Merah
Hitam
Parameter -parameter dasar untuk Indeks Standar Pencemaran Udara dan Periode waktu pengukuran yang dipergnakan sebagai dasar pengukuran di Stasiun Pemantau Udara adalah seperti pada Tabel dibawah ini.
14
Tabel 2.2 Parameter Uji Parameter Waktu Pengukuran
No 1
Partikulat(PM 10 )
24 jam(periode pengukuran rata-rata)
2
Sulfur dioksida(SO 2 )
24 jam (periode pengukuran rata-rata)
3
Carbon Monoksida
8 jam (periode pengukuran rata-rata)
4
Ozon(O 3 )
1 jam (periode pengukuran rata-rata)
5
Nitrogen Dioksida(NO 2 )
1 jam(periode pengukuran rata-rata)
Pengaruh nilai ISPU untuk setiap parameter Pencemaran dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Kategori
Table 2.3 Pengaruh ISPU untuk setiap Parameter Pencemar Rentang CO NO 2 O3 SO 2
Baik
0 - 50
PM 10
Tidak efek
ada Sedikit berbau Luka pada Luka pada Tidak ada beberapa beberpa efek spesies spesies tumbuhan tumbuhan akibat dan akibat kombinasi kombinasi degan dengan SO2(selama 4 O3(selama 4 jam) jam) Sedang 51 - 100 Perubahan Berbau Luka pada Luka pada Terjadi kimia darah beberapa beberapa penurunan tapi tidak pada jarak spesies spesies terdeksi tumbuhan pada jarak pandang Tidak Sehat 101 - 199 Peningkatan Bau dan Penurunan Pengotoran pada kehilangan kemampuan debu dimanakardiovaskul warna pada alit mana ar paa peningkatan berlatih keras pasien yang reaktifitas sakit jantung Berbahaya ≥300 Tingkat yang berbahaya bagi semua populasi yang terpapar Sumber: Kep.Ka.Bapedal No.107/Ka.Bapedal/11/1997. Batas indeks Standar Pencemaran Udara dalam satuan Standar Intenasional dapat dilihat dalam table dibawah ini.
15
Tabel 2.4. Batas Indeks Standar Pencemaran Udara Dalam Satuan Standar Internasional ISPU 24 jam 24 jam 8 jam CO 1 jam O3 PM 10 SO 2 µg/m3 µg/m3 µg/m3 µg/m3 50 50 80 5 120 100 150 365 10 235 200 350 800 17 400 300 420 1600 34 800 400 500 2100 46 100 500 600 2620 57.5 1200 Sumber: Bapedal Kota Medan
24 jam NO µg/m3 2 2 1130 2260 3000 3750
2.5 Gambaran Alat Pemantau Udara Ambien Kota Medan Kegiatan pemantauan kualitas udara ambien Propinsi Sumatera Utara dilaksanakan secara kontiniu dari satu titik ke titik lainnya bedasarkan jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya. Khusus untuk kota medan ada 4 lokasi pemantau udara ambien yang di tempatkan pada daerah strategis yakni; di daerah yang memewakili daerah industri di Kawasan industri medan (KIM), daerah yang mewakili kepadatan Kenderaan roda dua dan empat yakni di daerah Terminal Pinang baris, untuk mewakili daerah padat penduduk yakni didaerah Tembung, untuk mewakili udara kota di daerah stadion teladan medan. Setiap Stasiun Pemantau (Fix stasiun) dilengkapi dengan alat pengambil sample, win direction(arah angina), pengukur kelembaban serta alat untuk pengukur 5(lima) parameter yaitu: 1. Alat Pengukur CO(Carbon Monoksida) 2. Alat Pengukur SO 2 (Sulfur Dioksida)
: APMA – 360 : APSA- 360
3. Alat Pengukur O 3 (Ozon)
:APOA – 360
4. Alat Pengukur NO 2 (Nitrogen Oksida)
:APNA – 360
5. Alat Pengukur PM 10 (Partikulat Matter)
:Partikulat Monitoring
Peralatan di Stasiun Pemantau dilengkapi dengan perangkat keras (HardWare) yang berupa program UWEDAT, yang berfungsi menyimpan data dan menghitung hasil pengukur. Pengukuran konsentrasi zat pencemar udara dilakukan secara terusmenerus dalam satu hari, dimana dari hasil pengukurannya diperoleh data “Half 16
Hour Mean Value” data ini selanjutnya dikirim ke Regional Center. Kemudian diubah menadi nilai ISPU. Setiap stasiun pemantau akan mempunyai nilai ISPU untuk setiap Parameter udara. Nilai ISPU yang tertinggi dari keempat staiun Pemantauan akan di tampilkan di Publik Data Display setiap pukul 15.00 Wib. Nilai ISPU ini merupakan kondisi kualitas udara kota Medan. 2.6 Reaksi Fase Akut(RFA) Reaksi pertama tubuh terhadap gangguan luar, yaitu respon non- spesifik sebelum reaksi imun spesifik. Reaksi fase akut (RFA) adalah reaksi sistemik dari organisme terhadap gangguan lokal atau sistemik dalam homeostasis yang disebabkan oleh infeksi, cedera jaringan, trauma atau operasi, pertumbuhan neoplastik atau gangguan imunologi (Gruys et al, 1999). Di lokasi invasi oleh mikroorganisme dan tempat cedera jaringan, Sitokin pro-inflamasi dilepaskan, ke sistem pembuluh darah dan sel-sel inflamasi diaktifkan. Respon ini pada gilirannya berhubungan dengan lebih banyak menghasilkan sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang menyebar ke kompartemen cairan ekstraseluler dan beredar dalam darah. Dalam beberapa jam setelah infeksi pola protein disintesis oleh hati yang secara drastis berubah mengakibatkan peningkatan beberapa protein darah, Protein Fase Akut (PFA)positif. Protein fase Akut (PFA) positif adalah, C-reaktif protein (CRP), serum amiloid A (SAA) dan haptoglobin (Hp) yang dikeluarkan oleh hepatosit setelah stimulasi sitokin. Tiga sitokin utama (Tumor necrosis factor alpha(TNF-α), interleukin-1 (IL-1), dan interleukin-6 (IL-6) memiliki perilaku, neuroendokrin, dan efek metabolik . Reaksi Fase akut sistemik pada peradangan lokal adalah reaksi utama tubuh terhadap cedera jaringan yang disebabkan oleh infeksi dan penyebab non-infeksi. Setiap kerusakan jaringan selama proses ini menyebabkan pelepasan sitokin proinflamasi. Sitokin, oksida nitrat dan glukokortikoid memicu dan memodulasi reaksi sistemik fase akut
dan respon protein fase akut hati. Infeksi bakteri biasanya
menyebabkan respon sistemik fase akut yang kuat, karena reaksi keras dari sel sistem mononuklear fagosit. Sitokin utama kemudian dilepaskan oleh sel yang terinfeksi terutama interferon (IFN), khususnya
IFNγ dari sel-sel inflamasi mononuklear,
meskipun TNF-α dan IL-1β dari sel-sel jaringan mungkin terlibat juga. Ketika 17
kerusakan sel parah, Reaksi Fase akut dapat diamati. Sitokin dan respon fase akut Setidaknya terdiri dari 15 mediator peptida berat molekul rendah yang berbeda diketahui disekresikan oleh leukosit aktif (interleukin) dan sel-sel lainnya. Molekul ini secara kolektif disebut sitokin dan terlibat dalam memicu respon fase akut. Tiga kelompok utama sitokin sesuai dengan jalur terhadap
efeknya
dapat
dibedakan (van Miert, 1995): (1) sitokin yang berperan sebagai faktor pertumbuhan untuk berbagai sel (IL-2, IL-3, IL-4, IL-7, IL-10, IL-11, IL-12 dan granulocytemacrophage colony stimulating factor(GMCSF), (2) sitokin dengan sifat proinflamasi (TNF-α / β, IL-1α / β, IL-6, IFN-α / γ, IL-8) dan (3) faktor dengan aktivitas anti-inflamasi (IL-1 reseptor antagonis, IL-1 reseptor, TNF-α binding protein ). Sitokin pro-inflamasi (dari kelompok kedua) bertanggung jawab untuk induksi demam dan katabolisme otot, dan mengaktifkan prekursor sel darah putih dalam sumsum tulang, pertumbuhan fibroblas jaringan inflamasi.Sitokin pro-inflamasi bertanggung jawab untuk spektrum yang luas dari efek sinergis atau antagonis yang mempengaruhi respon imun spesifik dari organisme yang di serang terhadap antigen asing dan menyerang mikroorganisme. Dalam hati, TNF-α, IL-1 dan IL-6 memainkan peran kunci (Heinrich et al, 1990;. 1998; Ingenbleek dan Young, 1994; Le dan Vilcek, 1989;. Sehgal et al, 1989). Ketiga Molekul tersebut mengaktifkan reseptor hepatocit, dan sintesis dari berbagai Protein Fase Akut dimulai. IL-6 adalah mediator utama untuk sekresi sebagian besar Protein Fase akut di sel hepatosit dan Reseptor untuk sitokin proinflamasi menginduksi efek januskinase.(Heinrich et al., 1998). Selama reaksi fase akut, viskositas plasma meningkat sebagai akibat dari perubahan konsentrasi total protein darah, di antaranya adalah peningkatan fibrinogen yang mempengaruhi tingkat laju endap darah (LED) (Majno dan Joris, 1996) yang digunakan di banyak Rumah Sakit Barat sebagai penanda nonspesifik untuk aktivitas penyakit (Magnus et al., 1994). Protein fase akut yang merupakan kelompok cepat bereaksi, Serum amyloid A(SAA) dan CRP, menjadi terukur dalam 4 - 5 jam setelah inflamasi. Kadar protein ini tetap tinggi selama minimal 24 jam dan menurun setelah sekitar 48 jam.Selama stimulasi permanen (infeksi kronis) tingkat protein fase akut yang positif tetap tinggi dibandingkan dengan nilai normal, dan dapat digunakan untuk tujuan diagnostik.
18
2.7.C-Reaktif Protein(CRP) CRP merupakan cincin yang terdiri dari lima 23.000 Dalton(Da) unit (Pentraxin), adalah yang pertama dijelaskan di protein fase akut. Hal ini ditemukan karena mengikat terhadap C-Polisakarida Pneumokokus. CRP Ini mengikat langsung ke beberapa mikroorganisme sel yang degenerasi dan sisa-sisa sel, dan mengaktifkan komplemen melalui C1q jalur klasik, dan bertindak sebagai opsonin. Demikian pula, aktivasi komplemen yang dimediasi CRP memiliki peran penting dalam beberapa bentuk perubahan jaringan seperti infark jantung. CRP, dan beberapa protein fase akut lainnya, telah digambarkan berguna untuk menilai kesehatan pada manusia. Mereka lebih sensitif dibandingkan dengan Laju endap darah(LED), yang digunakan di rumah sakit. Sitokin pro-inflamasi dan protein darah yang berasal dari hati adalah variabel potensial untuk memantau perubahan yang disebabkan inflamasi dan infeksi. CRP lebih berguna untuk memantau kesehatan daripada sitokin, karena Sitokin akan hilang dari peredaran dalam beberapa jam, sedangkan tingkat CRP tetap tidak berubah selama 48 jam atau lebih. Penentuan CRP dapat membantu dalam memantau kesehatan subyek individu. Nilai normal CRP < 0- 0,5 mg/dl (Mary lee, et al, 2004).
2.7.1 Mekanismne Kerja C-Reaktif Protein CRP adalah suatu kelompok protein yang memiliki konsentrasi plasma meningkat atau menurun sebagai respon terhadap peradangan dalam jaringan.CRP adalah protein yang disintesis oleh hepatosit dalam hati dan ditemukan secara alami sebagai bagian dari komposisi serum manusia. Produksi CRP dirangsang oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1, dan TNF. Sitokin adalah keluarga molekul yang termasuk interleukin (IL) dan berfungsi sebagai molekul sinyal, disekresikan oleh sel-sel tertentu dari sistem kekebalan tubuh. Dalam struktur kristal, diamati bahwa ada dua Ca2 + ligan tersedia. Ion kalsium diperlukan karena posfokolin (PC) adalah ligan utama yang mengikat CRP. Posfokolin adalah ligan utama untuk mengikat karena ditemukan dalam dinding sel Streptococcus pneumonia (tempat pertama untuk isolasi CRP) dan umumnya ditemukan dalam membran sel dari membran sel eukariotik juga.Agar interaksi ini terjadi, kalsium harus ada. Dapat dikatakan bahwa ada atau tidak adanya Ca2+ sangat 19
mempengaruhi tingkat CRP dan pengikat CRP-PC. Hal ini disebabkan fakta bahwa CRP sangat bergantung kalsium dan PC berisi ligan juga bergantung kalsium Ca2 + merupakan bagian penting dalam sel sebab ia bertanggung jawab untuk sinyal intraseluler dan karenanya, mengontrol sebagian besar reaksi seluler. kadar Ca2
+
biasanya pada jumlah yang rendah dan hanya meningkat bila ada kematian sel atau kerusakan yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti luka. Ketika CRP mengikat ke PC dalam jaringan, ia mampu memanfaatkan permukaan hidrofilik untuk mengikat polisakarida yang ada pada dinding sel bakteri, parasit dan jamur. CRP dapat mengikat hanya untuk merusak membran plasma dari sel apoptosis dan nekrotik. Kemampuan CRP untuk mengikat ke permukaan sel mati dengan cara bergantung kalsium mendorong lebih awal jalur komplemen klasik. Untuk jalur klasik, CRP mengikat semakin ke C-1 kompleks, C1q dan C3b/bi, sehingga mengurangi jumlah
serangan membran. Aktivasi
dari kaskade
Komplemen kemudian diduga menjadi alasan untuk mendorong fungsi menangkap protein dan yang pada akhirnya bertanggung jawab untuk meningkatkan cedera jaringan.
2.7.2 Polusi Udara dan C-Reaktif Protein Bukti eksperimental dari hewan dan manusia telah menunjukkan bahwa paparan partikel terhirup dikaitkan dengan perubahan inflamasi lokal di paru-paru dan dapat menyebabkan respon inflamasi sistemik.Namun, masih belum banyak bukti tentang sejauh mana paparan partikulat dikaitkan dengan perubahan tingkat
inflamasi
sistemik pada populasi umum. Penelitian Van eden et al,(2001). Partikulat Matter tertahan dan terkumpul dalam jaringan paru-paru. Sel paru-paru seperti makrofag dan sel epitel memproses PM dan menghasilkan mediator pro-inflamasi. Mediator ini menimbulkan suatu respon inflamasi lokal di paru-paru yang berhubungan dengan perkembangan penyakit dan eksaserbasi. Kemudian Makrofag alveolar akan menghasilkan IL-6, IL-1β, IL-8, GM-CSF. Sitokin IL-6 dan IL-1β akan beredar melalui darah ke hati dan menghasilkan Protein fase akut seperti CRP, SAA dan Fibrinogen. Sitokin GM-CSF akan menuju sum-sum tulang, untuk mempengaruhi Produksi Leukosit dan platelet. 20
Studi epidemiologi telah melaporkan hubungan positif antara pajanan baru untuk partikel dan penanda dari respon fase akut seperti CRP dan fibrinogen. Penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat penanda inflamasi seperti CRP
yang tinggi,
sebagai akibat dari paparan polusi udara dan pajanan yang berulang memiliki efek yang terakumulasi dari waktu ke waktu. Seaton et al., menemukan hubungan positif antara tingkat paparan polusi kota, PM 10 dan CRP(147 persen peningkatan CRP per 100-µg/m3 peningkatan PM 10 ) dalam sampel dari 112 orang dengan beberapa pengukuran berulang selama 18 bulan. Peningkatan viskositas plasma dan CRP yang diamati pada orang dewasa sehat dipilih secara acak setelah episode partikel polusi udara yang tinggi. Kehadiran efek kumulatif sesuai dengan penelitian terbaru menunjukkan bahwa pajanan lebih lama (dalam beberapa kasus selama 1-2 bulan ) berhubungan dengan semua penyebab dan mortalitas kardiovaskular di dalam
kurun waktu tertentu,
meskipun hasilnya mengenai efek paparan baru dan jangka panjang terhadap mortalitas kardiovaskular tidak selalu konsisten. Dalam penelitian, paparan 30-hari dan 60-hari (beberapa model) menunjukkan hubungan positif dengan CRP, tetapi perbedaannya kecil (Diez Roux A.V et al., 2006).
2.8 Karakteristik Daerah Penelitian Dari data dan Informasi diatas, peneliti akan
melakukanpenelitian terhadap
populasi di Lingkungan yang Padat Transportasi darat dan dekat dengan Stasiun Pemantau Udara. Untuk mengetahui kadar CRP akibat Polusi udara yang disebabkan oleh asap dan debu dari kepadatan, kemacetan transportasi yaitu daerah sekitar Terminal Pinang Baris. Lingkungan yang paling dekat dengan jalur transportasi, kelurahan Kampung lalang,kecamatan Medan sunggal. Kelurahan lalang terdiri dari 13 lingkungan dengan Luas wilayah (Ha) 125 Hektare, dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 4069 KK dan Jumlah penduduk 20076 jiwa, tersebar dalam berbagai etnis dan agama. Distribusi berdasarkan jenis kelamin tediri dari laki-laki sebesar 10149 jiwa dan Perempuan sebesar 9927 jiwa .
21
Tabel 2.5.Jumlah Penduduk Kelurahan Lalang Berdasarkan Lingkungan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Lingkung Luas an Wilayah(Ha) I 2,7 II 4 III 5 IV 2,3 V 6,5 VI 28 VII 8 VIII 7,5 IX 5 X 24 XI 25 XII 4 XII 3
Jumlah 125 Sumber : Data Puskesmas Lalang tahun 2012
Jumlah KK 202 302 207 27 410 530 352 324 323 538 323 258 273 4069
Letaknya yang strategis menghubungkan transpotasi darat dari Kota medan ke Kota Binjai dan langkat serta ke Propinsi Aceh, menyebakan arus lalu lintas di titik Stasiun Pinang baris sangat tinggi setiap hari. Kemacetan Kenderaan yang terjadi di titik lampu merah simpang kampung lalang, dari pagi sampai malam merupakan pemandangan yang setiap hari akan kita jumpai. Kemacetan juga di perparah dengan situasi pajak yang juga berada di sepanjang jalan dekat persimpangan lampu merah.
Gambar 2.2 Peta Wilayah Kelurahan Lalang (Sumber data Kelurahan Lalang) 22
Untuk melayani Kesehatan Masyarakat, Kelurahan lalang memiliki Puskesmas yang berada di jalan Puskesmas kelurahan lalang lingkungan X. Program unggulan yang terus di laksanakan yaitu Posyandu Lansia. Posyandu ini bekerjasama dengan Kelurahan dan merupakan program lintas sektor, antara Kelurahan dan Puskesmas. Di kelurahan Lalang telah berjalan 2 kelompok Posyandu Lansia, yang bernama; Posyandu Lansia “Lestari” dan Posyandu Lansia “Anugerah”. Anggota Posyandu Lestari terdiri dari lansia yang bermukim di lingkungan I, II dan III, sedangkan Posyandu Anugerah adalah Lansia yang bermukim di lingkungan X, XI,XII dan XIII. Kegiatan Posyandu Lestari setiap bulan berlangsung pada hari kamis minggu ke 3.
Lingkungan I, II dan III berada dan berbatasan dengan jalan utama dan sumber Kemacetan Lalu lintas, dan langsung mendapat dampak polusi kenderaan bermotor, yaitu asap dari kenderaan dan debu jalan. Tabel 2.6. Jumlah Lansia di Kelurahan Lalang Lingkungan 45-59 60- 69 >70 Pr Lk I 80 56 81 23 14 II 135 97 91 38 15 III 131 93 92 35 19 IV 98 44 46 102 86 V 245 67 34 195 151 VI 216 33 9 115 143 VII 248 94 46 206 182 VIII 166 48 18 130 102 IX 127 49 22 101 97 X 191 57 26 139 135 XI 148 62 13 104 119 XII 137 61 18 110 106 XIII 150 41 34 140 85 Sumber: Puskesmas Lalang Tahun 2013 Untuk memantau Ambien udara di daerah stasiun Pinang Baris di kelurahan kampung lalang, Dinas Lingkungan Hidup membangun sebuah alat pemantau kualitas udara. Alat tersebut akan memantau Tingkat Pencemaran udara di sekitar Terminal akibat dari Asap kenderaan dan juga Debu jalanan yang terbentuk oleh aktifitas kenderaan setiap harinya. Kemudian alat akan mencatat Parameter Polutan yang di pantau yakni; PM 10 , CO, SO 2 , O 3 dan NO, dan akan di teruskan ke display 23
yang ada sehingga masyarakat dapat mengetahui dan melihat langsung laporan kualitas udara. Laporan juga akan dicatat pada komputer di Badan lingkungan Hidup Kota medan dan Propinsi untuk di hitung Index Standar Pencemaran Udara(ISPU) yang di rata-ratakan dari 4 (empat) titik pemantau Udara yang ada di kota medan . Pada Penelitian ini data yang akan di gunakan adalah data catatan harian yang di catat oleh alatpemantau Ambien Udara,di titik pemantau Stasiun Pinang Baris. Berikut ini adalah data dasar yang di himpun oleh Badan Lingungan hidup Kota Medan selama Tahun 2011 untuk Polusi udara yang disebabkan oleh Kenderaan bemotor daerah Terminal Pinang Baris. Tabel 2.7.Konsentrasi PM 10 (ug/m3) di alat Pemantau Ambien Udara stasiun Pinang Baris Tahun 2011 Tgl/Bln/Thn Konsentrasi PM 10 5/13/2011 391.38 5/14/2011 423.72 5/18/2011 230.93 5/22/2011 315.92 12-Jul 202.78 7/30/2011 118.2 10/21/2011 82.59 10/22/2011 106.01 10/26/2011 91.7 Sumber: Data BLH Kota medan Tahun 2011
Gambar 2.3 Grafik Konsentrasi PM 10 di alat Pemantau ambien Udara stasiun Pinang Baris Tahun 2011 24
Tabel 2.8 Konsentrasi SO 2 (µm/m3) di alat Pemantau ambien udara stasiun Pinang Baris Tahun 2011. Bl n/Tgl /Thn 5/7/2011 5/8/2011 5/13/2011 5/16/2011 5/18/2011 5/19/2011 5/21/2011 5/22/2011 5/24/2011 5/27/2011 5/28/2011 5/29/2011 7/1/2011 7/2/2011 7/3/2011 7/6/2011 7/19/2011 7/21/2011 7/22/2011 7/24/2011 7/25/2011 7/27/2011 7/28/2011 7/29/2011
Konsentrasi SO2 159.39 99.8 64.46 12982 138.93 89.48 131.1 83.21 124.13 67.28 132.4 93.09 23.84 40.26 29.13 15.78 14.23 31.4 29.98 22.66 15.06 38.8 13.03 47.36
Sumber: Laporan BLH Kota Medan 2011
Gambar. 2.4 Grafik Konsentrasi SO 2 di Pemantau ambien udara Stasiun Pinang baris tahun 2011
25
Table 2.9.Konsentrasi CO (mg/m3)di alat Pemantau ambien Udara Stasiun Pinang Baris tahun 2011 Kons. Min 4/19/2011 7/2/2011 7/3/20011 7/4/2011 7/5/2011 7/6/2011 7/7/2011 7/8/2011 7/9/2011 7/10/2011 7/11/2011 7/12/2011 7/13/2011 7/14/2011 7/17/2011 7/18/2011 7/19/2011 7/20/2011 7/21/2011 7/22/2011 7/24/2011 7/25/2011 7/26/2011 7/27/2011 7/28/2011 7/29/2011 9/19/2011
kons.Max 3.77
0.23 0.17 0.23 0.16 0.15 0.22 0.22 0.23 0.23 0.32 0.27 0.22 0.23 0.2 0.13 0.21 0.22 0.19 0.24 0.24 0.25 0.34 0.32 0.22 0.19 3.77
Sumber: Badan Lingkungan Hidup Kota Medan Tahun2011
Baku Mutu = 3 10.000 µg/m = 10 mg/m3
Gambar. 2.5 Grafik Konsentrasi CO di alat Pemantau ambien udara stasiun Pinang baris Tahun 2011
26
Tabel.2.10.Konsentraasi O 3 di alat Pemantau ambien udara stasiun Pinang Baris Tahun 2011 3/3/2011 6/3/2011 7/3/2011 8/3/2011 17/5/2011 18/5/2011 19/5/2011 20/5/2011 21/5/2011 22/5/2011 17/9/2011 19/9/2011 20/9/2011 23/9/2011 2/10/2011 3/10/2011 10/10/2011 12/10/2011 14/10/2011 15/10/2011 20/10/2011 21/10/2011 23/10/2011 27/10/2011
Kons.Min 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.07 2.48
Kons.Max
163.19 136.87 94.13 79.54 47.35 79.4 85.32 100.24 179.62 86.08 122.49 83.46 131.01 92.17
Sumber: Laporan BLH kota Medan 2011
Baku mutu: 235 µg/m3
Gambar.2.6.Grafik Konsentrasi O 3 di alat Pemantu udara ambien stasiun Pinang baris Tahun 2011
27
Tabel.2.11. Konsentrasi NO(μg/m3)di alat Pemantau ambien udara stasiun Pinang Baris Tahun 2011 Tgl/Bln/Thn 1/3/2011 2/3/2011 3/3/2011 4/3/2011 5/3/2011 7/3/2011 8/3/2011 1/5/2011 2/5/2011 3/5/2011 4/5/2011 5/5/2011 6/5/2011 7/5/2011 8/5/2011 9/5/2011 10/5/2011 11/5/2011 12/5/2011 1/6/2011 2/6/2011 3/6/2011 1/9/2011 2/9/2011 3/9/2011 4/9/2011 5/9/2011 6/9/2011 7/9/2011 8/9/2011 10/9/2011 11/9/2011 12/9/2011 16/9/2011 17/9/2011 18/9/2011 19/9/2011 20/9/2011 21/9/2011 22/9/2011 23/9/2011 24/9/2011 25/9/2011
Kons.Min Kons.Max 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Sumber: Laporan BLH kota Medan 2011
Gambar. 2.7.Grafik Konsentrasi NO 2 di alat Pemantau ambien Udara stasiun Pinang Baris Tahun 2011 28
Mempelajari dan mengamati informasi di atas, maka peneliti akan mengukur kadar C-Reaktif Protein pada populasi lansia Lestari yang tinggal dekat dengan Jalan Utama dan sumber Polusi di daerah Terminal Pinang baris.
29