BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Hutan bukan hanya sekumpulan individu pohon, tetapi sebagai masyarakat tumbuhan yang kompleks, terdiri atas pepohonan, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, dan hewan. Satu sama lain saling berinteraksi. Untuk dikategorikan sebagai hutan, sekelompok pepohonan harus mempunyai tajuk yang cukup rapat, sehingga merangsang pemangkasan alami dengan cara menaungi ranting dan dahan di bagian bawah, serta menghasilkan tumpukan bahan organik (serasah) yang sudah terurai maupun yang belum di atas tanah mineral (Indriyanto, 2008). Menurut Yunasfi (2008) menyatakan bahwa hutan mempunyai fungsi multiguna (multiple use), yaitu sebagai penghasil kayu dan non kayu ( non timber product), pengawetan dan perlindungan tata air (hydro orology), penghasil pakan dan makanan (forage and food), habitat kehidupan liar (wild life) serta tempat wisata alam terbuka (outdoor recreation).
Sebagian besar hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropis, yang merupakan masyarakat yang kompleks, tempat yang menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan keadaan sekitarnya; cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah. Pohonpohon kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar, di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan (Withmore, 1991).
Menurut McNaughton & Wolf (1990), ada tiga tipe pepohonan penting yang mendominasi area geografik yang luas yaitu: pohon-pohon coniferous yang selalu hijau (evergreen coniferous), pohon-pohon berdaun besar dan selalu rontok (decideous broad-leafs), pohon-pohon berdaun lebar yang selalu hijau (evergreen broad-leafs). Pada umumnya hutan coniferous yang selalu hijau terdapat di belahan bumi sebelah utara, hutan dengan pohon berdaun lebar yang selalu rontok terdapat di daerah lintang tengah, dan hutan dengan pohon berdaun lebar dan selalu hijau hanya terdapat pada daerah dengan curah hujan tinggi di tiap sisi equator. Meskipun kita
Universitas Sumatera Utara
dapat mengalompokkan daerah berhutan di dunia ini menjadi tiga biome umum, seperti halnya biome lain dimana pengelompokan satu dengan yang lain pada daerah yang luas, dengan komposisi keadaan ekologi yang terus menerus berubah. Sepanjang batas-batasnya hutan dikelompokkan menjadi beberapa bagian atau berubah menjadi tanah berhutan yang jarang, savana, tundra atau padang rumput.
2.2 Hutan Hujan Tropis
Biome hutan tropis menempati daerah dengan cuarah hujan tinggi, secara umum besarnya curah hujan melebihi 200 cm per tahun dan pasti lebih dari 150 cm per tahun. Biome yang berada di tengah hutan huja tropis, meskipun daerah ini terdapat di sepanjang tepi biome dan sampai ke daerah decideous atau hutan semi decideous, akhirnya bergabung dengan savana dan semak berduri. Hutan hujan didominasi oleh tanaman-tanaman yang tinggi, berdaun lebar dan selalu hijau. Keadaan musim yang terjadi di daerah ini dibanding dengan kawasan dengan iklim sedang, hutan tropis cenderung memiliki curah hujan yang tinggi, temperatur tinggi dan relatif konstan, fotoperiode (lamanya pencahayaan) seragam sepanjang tahun berada di sekitar 25oC baik di siang hari maupun malam hari dan variasi musim yang sempit. Kelembaban relatif di sekitar 80% (McNaughton & Wolf, 1990).
Salah satu corak lain yang menonjol dari hutan hujan tropis adalah sebagian besar tumbuhannya mengandung kayu. Hanya beberapa jenis epifit dan sebagian kecil tumbuhan teduhan saja yang bersifat terna. Beberapa famili tumbuhan yang anggotanya dalam iklim sedang semuanya bersifat terna misalnya Rubiaceae, dan di hutan tropik kelompok tumbuhan ini berupa pohon (Ewusie, 1990).
Soerianegara & Indrawan (1987) dalam Indriyanto (2005) membagi hutan hujan tropik (tropical rain forest) atas tiga zone menurut ketinggian tempat, yaitu: a. Hutan hujan bawah, terletak pada 0-1000m dpl. Pada hutan ini terdapat asosiasi-asosiasi, di mana asosiasi tersebut diberi nama sesuai dengan nama spesies atau genus atau family yang menguasai tegakan. Pada zone ini terdapat tiga lapis tajuk. Tajuk terbatas pada umumnya dikuasai famili
Universitas Sumatera Utara
7
Dipterocarpaceae, terutama dari genera Shorea. Jenis dan famili yang membentuk lapisan tajuk ini diantaranya Koompasia, Genua, Madhuka, Palaquium, dan Sindora. Lapisan tajuk kedua biasanya dikuasai famili Lauraceae, Myrtaceae, Myristicaceae, dan Guttifereae. Lapisan tajuk paling bawah merupakan anakan pohon, belukar serta semak penutup tanah.
b. Hutan hujan tengah, terletak pada 1000-3000 m dpl. Pada zone ini pohon-pohonnya tidak setinggi pada zone pertama. Jenis-jenis yang umum terdapat pada zone ini adalah Quercus, Castanopsis, Nethofagus, Magnolia, dan Ulmus. Beberapa asosiasi yang terdapat yaitu asosiasi Pinus mercusii, Agathis, Podocarpus, Duabanga malucans dan Araucaria.
c. Hutan hujan atas, terletak pada 3000-4000m dpl. Hutan pada zona ini umumnya merupakan kelompok yang terpisah-pisah oleh belukar dan padang rumput. Jenis-jenis yang terdapat pada zona ini adalah Podocarpus, Dacrydium, Eugenia, dan beberapa jenis famili Guttifereae.
2.3 Pohon Pohon merupakan kelompok tumbuhan berkayu, berukuran besar, dengan tinggi lebih dari 5 meter (Indriyanto, 2005). Pohon sebagai salah satu kelompok tumbuhan kormus (Cormophyta),
yaitu
kelompok
tumbuhan
yang
tubuhnya
secara
nyata
memperlihatkan diferensiasi dalam tiga bagian pokok meliputi akar, batang, dan daun.
Pepohonan itu beragam ukurannya, tetapi spesies hutan hujan bukan yang tertinggi di bumi ini. Ketinggian rata-rata yang umum pada lapisan atasnya dapat ditetapkan pada 30 m dengan yang tertinggi tidak melebihi 46-55 m. Dalam hal yang luar biasa, dapat tercapai ketinggian antara 60 dan 90 m. Dengan demikian pohon tropika biasanya lebih tinggi dari pada pohon hutan iklim-sedang yang ketinggian rata-ratanya 30 m dan dalam beberapa hal luar biasa dapat mencapai 46 m. Namun demikian, semua pohon itu dilampaui ketinggiannya oleh pohon non tropika seperti kayu merah California (Sequoia sempervirens) dan pohon Eucalyptus regnans Australia yang berturut-turut dapat mencapai ketinggian 111 m dan 107 m. Dalam hal
Universitas Sumatera Utara
lingkar batang, hutan hujan tropika itu terkenal dengan kerampingannya, dengan lingkar batang satu meter merupakan ukuran yang lumrah. Adalah benar bahwa pohon yang lebih besar mencapai lingkar batang sampai 17 m, tetapi lagi-lagi hal ini juga terlampaui oleh pohon raksasa California (Sequoiadendron giganteum) dan pohon raksasa Selandia Baru (Agathis autralis), yang masing-masing mencapai lingkar batang 23 m (Ewusie, 1990).
Menurut Kadri (1992) dalam Direktorat Jendral Kehutanan, klasifikasi pohon dalam sebuah hutan sangat berguna untuk keperluan pengelolaan hutan itu sendiri. Klasifikasi pohon dapat didasarkan pada ukuran pohon atau posisi tajuk pohon di dalam hutan. Parameter ukuran pohon yang dimaksudkan berupa diameter batang setinggi dada (diameter batang pada ketinggian 130 cm di atas tanah) dan tinggi pohon. Untuk setiap fase pertumbuhan, ukuran tersebut akan selalu berbeda. Oleh karena itu, klasifikasi pohon berdasarkan ukuran dibedakan dalam fase-fase sebgai berikut:
1) Semai (seedlings), yaitu pohon yang tingginya kurang dari atau sama dengan1,5 meter. 2) Sapihan atau pancang (saplings), yaitu pohon yang tingginya lebih dari 1,5 meter dengan diameter batang kurang dari 10 cm. 3) Tiang (poles), yaitu pohon dengan diameter batang 10 cm-19 cm. 4) Pohon inti (nucleus trees), yaitu pohon dengan diameter batang 20 cm-49 cm. 5) Pohon besar (trees), yaitu pohon dengan diameter batang lebih dari 50 cm.
2.4 Potensi Karbon Tersimpan Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis-jenis vegetasinya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah. Aliran karbon dari atmosfer ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO2
Universitas Sumatera Utara
9
ke atmosfer melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Diperkirakan sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap tahunnya, dan sekitar 0,7 + 1,0 Pg diserap oleh ekosistem daratan (Rahayu et al. 2007).
Karbon hutan memainkan peranan penting dalam siklus ekologi secara alami dan berkontribusi dalam mencegah pemanasan global dengan menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya sebagai karbon dalam bentuk materi organik tanaman. Karena separuh massa tanaman merupakan karbon, maka sejumlah karbon tersimpan dalam hutan, sehingga hutan merupakan penyimpan karbon terbesar di daratan bumi (Heriansyah et al. 2002).
Alih guna lahan dan konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO2 dengan jumlah besar 0,7 + 1,0 Pg per tahun. Apabila laju konsumsi bahan bakar dan pertumbuhan ekonomi global terus berlanjut seperti yang terjadi pada saat ini, maka dalam jangka waktu 100 tahun yang akan datang suhu global rata-rata akan meningkat sekitar 1,7-4,50C. Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian juga dapat melepaskan cadangan karbon ke atmosfer dalam jumlah yang cukup berarti. Namun, jumlah tersebut tidak memeberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO2 yang mampu diserap oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya hutan beton serta lahan yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan dan aspal sebagai pengganti tanah dan rumput (Rahayu et al. 2007).
Perkebunan bukanlah hutan alami. Hutan alami memiliki berbagai jenis pohon dan menjadi tempat hidupnya bermacam-macam tumbuhan dan hewan. Sebaliknya, perkebunan seringkali hanya memiliki satu spesies pohon dengan umur yang sama dan ditanam berdekatan. Mereka tidak mendukung kehidupan hewan dan memiliki kadar air bersih yang rendah. Pohon-pohon ini juga menyimpan karbon dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan hutan alami. Definisi UNFCCC akan “hutan” belum membedakan hutan alami dengan perkebunan – namun ini hal yang mutlak (Novis, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.4 Perubahan Iklim
Sebagian besar hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropis, yang merupakan masyarakat yang kompleks, tempat yang menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan keadaan sekitarnya, cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah. Pohon pohon kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar, di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di dalam lingkungan pohon-pohon dengan iklim mikro dari kanopi berkembang juga tumbuhan yang lainseperti pemanjat, epifit, tumbuhan pencekik, parasit, dan saprofit (Irwanto, 2006).
Penghancuran dan degradasi hutan berpengaruh besar terhadap perubahan iklim dalam dua hal. Pertama, perambahan dan pembakaran hutan melepaskan karbon dioksida ke atmosfir. Kedua, kerusakan hutan akan mengurangi area hutan yang menyerap karbon dioksida. Kedua peran ini sangat penting karena jika kita menghancurkan hutan tropis yang tersisa, maka kita telah kalah dalam pertarungan menghadapi perubahan iklim (Novis, 2008).
Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbon dioksida (CO2 ), metana (CH4) dan nitrousoksida (N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan (Hairiah
&
Rahayu,
2007).
Universitas Sumatera Utara