BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jagung 2.1.1 Taksonomi Jagung
Jagung (Zea mays L) berasal dari Amerika Tengah atau Meksiko bagian Selatan. Budidaya jagung telah dilakukan di daerah ini 10.000 tahun yang lalu, lalu teknologi ini dibawa ke Amerika Selatan sekitar 7000 tahun yang lalu. Jagung hasil budidaya merupakan keturunan langsung dari teosinte (zea mays ssp. Parviglumis). Bentuk liar tanaman jagung disebut pod maize dan telah tumbuh 4500 tahun yang lalu di pegunungan Andes, Amerika Selatan. Literatur lain menyebutkan bahwa jagung tumbuh subur di kawasan Meksiko, kemudian menyebar ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan (Rukmana, 1997).
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman jagung diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Poales
Famili
: Poaceae (Graminae)
Genus
: Zea Spesies
: Zea mays L.
Di indonesia jagung merupakan makanan pokok kedua setelah pati. Ada beberapa daerah di indonesia yang mengkonsumsi jagung antara lain Madura, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara.
Universitas Sumatera Utara
Tanaman jagung termasuk jenis tanaman pangan yang diketahui banyak mengandung serat kasar. Serat kasar tersebut terdiri atas lignin, hemiselulosa, selulosa dan lignoselulosa. Masing-masing senyawa tersebut merupakan senyawa potensial yang dapat dikonversikan untuk menjadi senyawa lain secara biologik (Soeprijanto, 2008).
2.1.2 Komposisi Tongkol Jagung
Jagung juga merupakan sumber thiamin (vitamin B1) yang sangat penting bagi kesehatan sel otak dan fungsi kognitif sebab thiamin dibutuhkan untuk membentuk acetylcholine yang berfungsi untuk memaksimalkan komunikasi antar sel untuk mencegah terjadinya pikun atau penyakit alzheimer. Biji jagung terdiri atas empat bagian utama yaitu kulit luar (5%), lembaga (12%), endosperma (82%), dan tudung biji (1%). Tongkol jagung kaya akan pentosa yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural (Budiman, 2002). Tongkol jagung merupakan bagian terbesardari
limbah
jagung. Dari berat jagung bertongkol, diperkirakan 40-50% adalah tongkol jagung, yang besarnya dipengaruhi oleh varietas jagungnya (Richana, 2007). Menurut Richana (2007) tongkol jagung merupakan bahan berlignoselulosa (kadar serat 38,99%) yang mengandung xilan tertinggi (12,4%) dibanding limbah pertanian lain. Xilan adalah hemiselulosa yang merupakan polimer dari pentosa atau xilosa dengan ikatan ß-1,4 yang jumlah monomernya
berkisar
150-200
unit.
Hemiselulosa sendiri merupakan polimer dari monomer gula (gula-gula anhidro) yang dapat dikelompokkan menurut penyusunnya yaitu heksosa (glukosa, manosa dan galaktosa), pentosa (xilosa, arabinopiranosa, arabinofuranosa), asam heksuronat (glukoronat, metilglukoronat dan galakturonat) dan deoksi heksosa (rhamnosa dan fruktosa).
Rantai
utama hemiselulosa hanya terdiri atas satu macam monomer saja
(homopolimer), misalnya xilan, atau terdiri dua atau lebih monomer (heteropolimer), misalnya glukomanan. Pada umumnya limbah tidak mempunyai nilai ekonomi, atau mempunyai nilai ekonomi yang rendah. Rendahnya nilai ekonomi limbah karena sifatnya yang dapat mencemari
lingkungan
dan
penggunaannya
memerlukan
biaya
yang
besar.
Universitas Sumatera Utara
Memanfaatkan limbah adalah salah satu alternatif untuk menaikkan nilai ekonomi limbah. Limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan diantaranya adalah tongkol jagung, yang selama ini hanya dijadikan pakan ternak atau hasil industri minyak jagung. Sebenarnya tongkol jagung dapat diolah kembali menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Soeprijanto, 2008). Tongkol jagung muda dan biji jagung merupakan sumber karbohidrat potensial untuk dijadikan bahan pangan, sayuran , dan bahan baku berbagai industri makanan. Kandungan kimia jagung dapat dilihat pada tabel 2.1 terdiri atas air 13,5%, protein 10,0%, lemak 4,0%, karbohidrat 61,0%, gula 1,4%, pentosan 6,0%, serat kasar 2,3%, abu 1,45, dan zat-zat lain 0,4% (Rukmana, 1997). Tabel 2.1. Komposisi kimia jagung (% bobot kering) No Komponen
Lapisan luar
Lembaga
Endosperm
(%)
(%)
(%)
1
Protein
6,2
21,0
11,0
2
Minyak
1,5
32,0
1,5
3
Karbohidrat (bebas N)
74,1
34,0
86,5
4
Serat kasar
17,0
2,9
0,0
5
Mineral
1,2
10,1
0,5 (Rukmana, 1997).
Limbah pertanian (seperti tongkol jagung), mengandung selulosa (40-60%), hemiselulosa (20-30%) dan lignin (15-30%). Komposisi kimia tersebut membuat tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber energi, bahan pakan ternak dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroorganisme. Tongkol jagung juga dapat dipakai sebagai bahan dasar pembuatan xylitol (Shofianto, 2008). Komposisi tongkol jagung dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Komposisi tongkol jagung kandungan
(%)
Air
9
Selulosa
41
Universitas Sumatera Utara
Hemiselulosa
26
Xilan
18
Lignin
6 (Shofianto, 2008)
Pemanfaatan tongkol jagung masih sangat terbatas. Kebanyakan limbah tongkol jagung hanya digunakan untuk bahan tambahan makanan ternak, atau hanya digunakan sebagai pengganti kayu bakar. Melihat komposisi selulosa dan hemiselulosa yang cukup besar seperti yang tertera pada tabel 2.2, maka tongkol jagung sangat potensial untuk dimanfaatkan menjadi bentuk biopolimer. Selulosa merupakan sumber karbon yang dapat digunakan mikroorganisme sebagai substrat dalam proses fermentasi. Struktur berkristal dan adanya lignin dan hemiselulosa merupakan hambatan utama dalam menghidrolisis selulosa. Pada hidrolisis yang sempurna akan dihasilkan glukosa, sedangkan hidrolisis parsial akan dihasilkan disakarida sellobiosa (Soeprijanto, 2008).
2.2 Selulosa 2.2.1 Pengertian Selulosa Selulosa adalah polisakarida yang terbentuk dari sisa β-D(+)-glukosa yang bergabung dalam rantai linear dengan ikatan β-1-4 diantara satuan glukosanya. Selulosa merupakan senyawa polimer yang berlimpah di alam dan merupakan senyawa organik yang paling umum (Deman, 1997). Selulosa berfungsi sebagai bahan struktur dalam jaringan tumbuhan dalam bentuk campuran polimer homolog dan biasanya disertai polisakarida lain seperti lignin dalam jumlah yang beragam. Lignin dapat dihilangkan dengan cara delignifikasi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi delignifikasi yaitu: a. Jenis bahan delignifikasi
Universitas Sumatera Utara
Bahan-bahan yang dapat digunakan dalam proses delignifikasi yaitu asam phosfat, asam klorida (HCl), asam sulfat, dan yang basa seperti NaOH, natrium sulfit dan natrium sulfat. b. Waktu delignifikasi Pada proses delignifikasi waktu berpengaruh pada hasil delignifikasi, biasanya digunakan waktu 1-3 jam. c. Temperatur delignifikasi Temperatur operasi mempengaruhi kualitas dari produk delignifikasi yang dihasilkan (Widodo, 2012). Campuran senyawa lain yang terdapat bersamaan dengan selulosa yaitu hemiselulosa. Hemiselulosa adalah polisakarida kompleks nonselulosa dan nonpati yang terdapat dalam banyak jaringan tumbuhan. Hemiselulosa mengacu kepada polisakarida nonpati yang tidak larut dalam air, pentosa mengacu kepada polisakarida nonpati yang larut dalam air. Hemiselulosa tidak berperan dalam biosintesis selulosa tetapi dibuat tersendiri dalam tumbuhan sebagai komponen struktur dinding sel. Hemiselulosa dikelompokkan berdasarkan kandungan gulanya (Deman, 1997). Molekul selulosa memanjang dan kaku, meskipun dalam larutan. Gugus hidroksil yang menonjol dari rantai dapat membentuk ikatan hidrogen dengan mudah, mengakibatkan kekristalan dalam batas tertentu (Deman, 1997). Ketika meneliti struktur selulosa, sebagai contoh lain dari polisakarida di mana monomer glukosa diatur dengan cara yang sesuai dengan fungsinya (Solomon, 1987). Struktur elulosa merupakan polimer dari D-glukosa di mana masing-masing unit dihubungkan oleh β -glukosida obligasi dari karbon anomerik unit ke hidroksi 1-4 dari unit berikutnya. Selulosa dapat dihidrolisis oleh asam klorida 30% untuk memberikan D-glukosa dalam yield 95% (Streitweiser, 1986).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Struktur kimia selulosa (Streitweiser, 1986). Diketahui bahwa selulosa murni, ketika mengalami hidrolisis, dapat dengan mudah terurai menjadi "mikrokristal selulosa "dengan hampir tidak ada penurunan berat. Turunan selulosa dapat dibuat dengan proses eterifikasi, esterifikasi, ikat silang, atau reaksi grafting-kopolimerisasi.untuk memodifikasi struktur selulosa, ikatan hidrogen harus dihancurkan dengan cara pembengkakan atau pemutusan (Yu, 2009). Selulosa yang diperbaharui digunakan sebagai serat (rayon sutera nabati buatan) dan sebuah film (kertas kaca), turunan selulosa secara kimia seperti ester organik dan asetat adalah yang paling penting dan merupakan polimer bagian kecil dengan struktur yang hampir sama dengan selulosa (Billmayer, 1984).
2.2.2 Sumber Selulosa Jaringan berserat dalam dinding sel mengandung polisakarida selulosa. Polisakarida ini adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan paling banyak tersebar di alam. Jutaan ton selulosa digunakan setiap tahun untuk membuat perabot kayu, tekstil, dan kertas. Sumber utama selulosa adalah kayu, umumnya kayu mengandung sekitar 50% selulosa, tanaman mengandung 33% dan kapas mengandung 90% selulosa (Cowd, 1991). Selulosa menjadi konstituen utama dari berbagai serat alam yang terjadi sebagai rambut-rambut biji yang mengelilingi biji-bijian dari beberapa jenis tumbuhan (misalnya kapas), sebagai kulit bagian dalam kayu yang berserat (serta batang) dan sebagai konstituen-konstituen berserat dari beberapa tangkai daun (serat-serat daun). Jumlah selulosa dalam serat bervariasi menurut sumbernya dan biasanya berkaitan dengan bahan-bahan seperti air, lilin, pektin, protein, lignin, dan substansi-substansi
Universitas Sumatera Utara
mineral. Derajat polimerisasi dari selulosa kapas berkisar 15.000 dibandingkan dengan sekitar 10.000 untuk selulosa kayu. Pemisahan selulosa kayu dari lignin menyebabkan penurunan DP ke sekitar 2600 (Steven, 2001). Adapun sumber selulosa yaitu: 1. Kayu 2. Bukan kayu a. Serat buah/biji (seed fibers) : kapas, kapuk b. Serat kulit (bast fibers) : rami, kenaf, rosela dll c. Serat daun (leaf fibers) : Nenas, pisang dll d. Residu pertanian (agriculture Residues) :bagas, jerami, merang, tandan kosong sawit, tongkol jagung e. Bambu f. Non vegetable : bacterial cellulose (BC) sebagai bahan akustik, kertas khusus. Pemisahan selulosa dari kayu melibatkan pembuburan kayu dengan larutan belerang dioksida dan hidrogen sulfit dalam air pada proses sulfit atau larutan natrium hidroksida dan natrium sulfida dalam air pada proses sulfat (Proses kraf). Pada proses ini lignin dilarutkan sehingga diperoleh selulosa (Cowd, 1991).
2.2.3 Jenis-Jenis Selulosa Jenis selulosa yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas adalah yang sifat fisik maupun kimianya seseragam mungkin serta dapat secara kontinu tersedia dalam jumlah yang banyak. Jumlah selulosa limbah tongkol jagung sangat banyak sehingga bisa digunakan sebagai sumber selulosa untuk bahan baku pembuatan pulp dan kertas (Sutiya, 2012). Selulosa sangat stabil dalam berbagai pelarut dan hanya dapat dihancurkan dengan adanya asam kuat atau sistem pelarut dengan ikatan hidrogen yang kuat, biasanya basa-amina. Selulosa membentuk mikrofibril melalui ikatan inter dan intramolekuler sehingga memberikan struktur yang dapat dipecah. Mikrofibril selulosa terdiri dari dua macam yaitu daerah kristalin dan daerah amorf.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Derajat Polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan menjadi tiga jenis : 1. Selulosa alfa : selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) 600 – 1500 sebagai penentu tingkat kemurnian selulosa. 2. Selulosa beta : selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) 15 – 90 dan juga dapat mengendap bila di netralkan. 3. Selulosa gamma : sama seperti selulosa beta, tetapi Derajat Polimerisasinya kurang dari 15 (Widodo, 2012).
Selulosa alfa merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (murni). Selulosa alfa digunakan sebagai penentu tingkat kemurnian selulosa (Sugiyama, 1991). Selulosa mempunyai daerah kristal dan daerah amorf, daerah kekristalan lebih rapat daripada daerah nonkristal. Daerah nonkristal merupakan penyusun kecil yang disebut sebagai daerah amorf yang tidak menyerap air dengan bagus (Gardner, 2008).
2.2.4 Sifat Kimia Selulosa Selulosa mengembang (swelling) dalam air dan teristimewa dalam basa pekat. Polimer yang mengembang dalam basa, dikenal sebagai selulosa alkali atau selulosa soda dipakai untuk mempreparasikan selulosa regenerasi. Proses mereaksikan kapas dengan basa air, dan kemudian menghilangkan basa tersebut dikenal sebagai merserasi. Kapas yang termerserasi memiliki tingkat kekilauan yang lebih tinggi daripada kapas alam yang kurang rapat, dan tingkat kekristalannya agak sedikit rendah. Meskipun jumlah gugus hidroksil pada selulosa besar, selulosa tidak larut dalam air dan sebagian besar pelarut lainnya yang umum, meskipun akan larut ke beberapa campuran pelarut. Larutan dari logam-logam kompleks seperti tembaga (II)-amonia akan melarutkan selulosa. Jenis-jenis pelarut lain yang dapat melarutkan selulosa
Universitas Sumatera Utara
adalah LiCl-dimetilasetamida, dimetil sulfoksida-paraformaldehida, amin oksida dan asam fosfat (Steven, 2001). Sifat – sifat selulosa dengan pereaksi kimia : 1. Selulosa dengan asam encer tidak dapat terhidrolisis 2. Selulosa dengan asam konsentrasi yang tinggi dapat terhidolisis menjadi selubiosa dan D-glukosa 3. Dengan asam sulfat dapat menghidrolisis selulosa, digunakan untuk pembuatan kertas. Selulosa direaksikan dengan aluminium sulfat yang dapat bereaksi dengan sejumlah kecil pulp kertas untuk menghasilkan aluminium karboksilat yang membantu mengentalkan serat pulp menjadi permukaan kertas yang keras (Cowd, 1991). Turunan selulosa yang merupakan selulosa komersil seperti selulosa asetat, berperan dalam film fotografi, bahan perekat, dan serat sintetik. Selulosa asetat mempunyai sifat – sifat yaitu: tidak satbil, mudah terbakar bila bereaksi dengan oksigen film selulosa asetat menjadi rusak dan tidak dapat digunakan lagi serta melepaskan asam asetat. Untuk mengukur massa molekul selulosa sangat sulit karena: a. Tidak banyak pelarut untuk selulosa b. Selulosa sangat cenderung terombak selama proses c. Cukup rumit menggunakan selulosa dari sumber yang berbeda. Cara yang seringkali dipilih ialah menitratkan selulosa dengan cara tak merusak massa molekul awal bagi selulosa sebelum dinitratkan (Steven, 2000). Ditinjau dari strukturnya dapat saja diharapkan selulosa mempunyai kelarutan yang besar dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksil yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air (antaraksi yang tinggi antara pelarut-pelarut). Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, selulosa bukan hanya tak larut dalam air dan juga dalam pelarut lain seperti pelarut-pelarut organik. Penyebabnya adalah kekuatan rantai dan tingginya gaya antar-rantai tersebut akibat ikatan hidrogen antar gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan. Faktor ini dipandang sebagai penyebab
Universitas Sumatera Utara
kekristalan yang tinggi dari serat selulosa. Selulosa juga larut dalam larutan tembaga (II) hidroksida bromida (Cowd, 1991).
2.3 Nanokristal Selulosa Definisi umum dari nanopartikel adalah partikel padat dengan ukuran sekitar 10–100 nm. Metode preparasi sangat mempengaruhi pembentukan nanopartikel, baik itu dalam bentuk nanosphere, atau nanokapsul. Nanopartikel memiliki sifat yang baik karena faktor peningkatan luas permukaan dan efek kuantum yang dapat meningkatkan reaktivitas, kekuatan, dan sifat listrik. Parameter utama dari nanopartikel adalah bentuknya, ukuran dan marfologi struktur dari substansi (Liufu, 2004). Nanokristal selulosa adalah nanopartikel kristalin terbuat dari selulosa biasanya mempunyai lebar 2-6 nm dan panjang ratusan nanometer. Nanokristal selulosa dapat diproduksi dengan menghidrolisis bagian
yang amorf dari daerah selulosa dan
meninggalkan kristal yang berbentuk utuh. Asam kuat seperti asam sulfat, asam nitrat dan asam klorida telah digunakan untuk selektif menghidrolisis bentuk yang amorf dari selulosa. Kondisi yang optimal adalah metode hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat untuk mempersiapkan individual kristalit (Rong, 2011).
Metode-metode hidrolisis yang dapat digunakan untuk menghidrolisis selulosa menjadi nanokristal ada 5 yaitu: a. Sistem pelarut LiCl/DMAc Sekitar tahun 1980 ditemukan bahwa N-dimetil-acetamida (DMAc) yang mengandung lithium klorida (8-9%) dapat melarutkan selulosa. Sistem ini menunjukkan potensi yang besar untuk selulosa dalam sintesis organik serta untuk tujuan analitik karena pelarut tidak berwarna dan pembubaran berhasil tanpa atau setidaknya degradasi diabaikan bahkan dalam kasus berat molekul yang tinggi polisakarida seperti bahan katun atau selulosa bakteri. Kandungan selulosa dalam larutan dapat mencapai 15% berat, sedangkan LiCl adalah 5-9% berat setelah
Universitas Sumatera Utara
pembubaran selama 6 jam pada suhu 100oC. Selulosa yang mempunyai berat molekul tinggi dapat larut dengan waktu isolusi yang dapat dipersingkat jika suhu awal proses pembubaran adalah 150oC dan sistem didinginkan perlahan-lahan. Klorida-selulosa menyumbang sekitar 80% terhadap dipole-dipole interaksi antara DMAc dan selulosa, sedangkan Li spesifik (DMAc) n-selulosa interaksi kontribusi sekitar 10%. b. Sistem pelarut NMMO Proses ini didasarkan pada penggunaan pelarut N-metil morfolina-N-oksida (NMMO) monohidrat, dimana 100oC pelarut NMMO dalam kombinasi dengan air dapat melarutkan selulosa biasanya sebagai monohidrat (sekitar 13% air) di sekitar 100oC tanpa aktivasi sebelumnya atau derivatisasi. NMMO/H2O/DETA telah terbukti menjadi pelarut termodinamika baik untuk selulosa dan cocok untuk sampel berbagai asal-usul. Suatu larutan 32,6% berat NMMO, 10,0% berat H2O, dan 57,4% DETA dapat melarutkan selulosa pada suhu kamar, dan suhu sedikit lebih tinggi (40oC) pada proses awal pelarutan hanya memerlukan waktu yang pendek untuk isolasi. c. Sistem pelarut berbasis logam pengkompleks Sejumlah logam pengkompleks dapat digunakan untuk melarutkan selulosa. Pelarut yang paling terkenal pada kelompok ini adalah kupri hidroksida dalam amonia berair, yang sering disebut cuoxam. Selulosa dapat dilarutkan ke tingkat molekuler dalam cuoxam dan paling efektif mengikat koordinatif dari kompleks logam ke gugus hidroksil terdeprotonasi di posisi C2 dan C3 dari AGU dalam rantai. Namun, cuoxam memiliki beberapa kelemahan, yang terdiri dari rantai selulosa yang mudah terdegradasi, warna biru tua, dan kekuatan pelarutan terbatas yaitu terbatas pada derajat polimerisasi DP 5000. d. Sistem pelarut ionik cair Sistem ini dapat digunakan sebagai pelarut untuk selulosa non derivat (bukan turunan). Pelarut ini menggabungkan anion, yang akseptor ikatan hidrogen kuat adalah yang paling efektif, terutama bila dikombinasikan dengan pemanasan microwave, sedangkan sistem pelarut ini mengandung "noncoordinating" anion.
Universitas Sumatera Utara
e. Sistem pelarut NaOH/Urea berair Untuk menghidrolisis selulosa dapat dicapai dengan cepat (sekitar 5 menit) pada suhu kamar (di bawah 20oC), dan larutan yang dihasilkan tidak berwarna dan transparan. Namun, selulosa dengan berat molekul yang relatif tinggi tidak dapat larut dalam pelarut tanpa pendinginan ke -12oC atau tanpa penambahan urea (Yu, 2009).
2.4 Ultrasonifikasi Spektrum suara (sonic) yang memiliki frekuensi sangat tinggi disebut ultrasonik. Rentang frekuensi ultrasonik yaitu 20 kHz–10 MHz. Ultrasonik dibagi menjadi tiga golongan utama: frekuensi rendah (20–100 kHz), frekuensi menengah (100 kHz–1 MHz), dan frekuensi tinggi (1–10 MHz). Ultrasonik dengan frekuensi 20 kHz – 1 MHz banyak digunakan dalam bidang kimia yang biasa disebut dengan sonokimia (Sonochemistry). Frekuensi ultrasonik diatas 1 MHz banyak digunakan dalam bidang kedokteran seperti pencitraan, analisis aliran darah, kedokteran gigi, sedot lemak, ablasi tumor, dan penghancuran batu ginjal (Ensminger, 2009). Menurut Kuldiloke (2002), salah satu manfaat metode ekstraksi ultrasonik adalah untuk mempercepat proses ekstraksi. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Cameron (2006) tentang ekstraksi pati jagung yang menyebutkan rendemen pati jagung yang didapat dari proses ultrasonik selama 2 menit adalah sekitar 55,2-67,8 % hampir sama dengan rendemen yang didapat dari pemanasan dengan air selama 1 jam yaitu 53,4%. Dengan penggunaan ultrasonik proses ektraksi senyawa organik pada tanaman dan biji-bijian dengan menggunakan pelarut organik dapat berlangsung lebih cepat. Dinding sel dari bahan dipecah dengan getaran ultrasonik sehingga kandungan yang ada di dalamnya dapat keluar dengan mudah (Mason,1990). Cara kerja metode ultrasonik dalam mengekstraksi adalah sebagai berikut: gelombang ultrasonik terbentuk dari pembangkitan ultrason secara lokal dari kavitasi mikro pada sekeliling bahan yang akan diekstraksi sehingga terjadi pemanasan pada bahan tersebut, sehingga melepaskan senyawa ekstrak. Terdapat efek ganda yang dihasilkan, yaitu pengacauan dinding sel sehingga membebaskan kandungan senyawa
Universitas Sumatera Utara
yang ada di d dalamny ya dan pem manasan lok kal pada caairan dan m meningkatk kan difusi ekstrak. Ennergi kinetik k dilewatkan an ke seluru uh bagian caairan, diikutti dengan munculnya m gelembung kavitasi pada p dindinng atau perrmukaan seehingga meeningkatkan n transfer massa antarra permukaan padat-caair (Mason,1 1990). Ultrrasonik mem mpunyai keeunggulan yaitu y prosess ultrasonikk tidak mem mbutuhkan penambahaan bahan kim mia dan bahhan tambah han lain. Pro osesnya ceppat dan mud dah, yang berarti proosesnya tidaak memerluukan biayaa tinggi. Ultrasonik U tiidak mengakibatkan perubahan yang signiffikan pada struktur kim mia, partikeel, dan senyyawa-senyawa bahan yang digunnakan (Ensm minger, 20099).
2.5 Membrran Dialisiss Diaalisis adalah h pergerakaan molekul dengan diifusi dari kkonsentrasi tinggi ke konsentrasii rendah melalui m meembran sem mi-permeabel yang teerbuat dari selulosa regenerasi atau a plastik k. Hanya moolekul-moleekul yang cu ukup kecil uuntuk masu uk melalui pori-pori membran. m Molekul M akkan bergerak melalui pori-pori masuk daan keluar. Sebaliknyaa, molekul besar b yang tidak dapaat melewati pori-pori m membran akan a tetap didalam meembran kareena tidak daapat melewaati pori-porii membran (Mahlicli, 2007)
Gambar 2.2 Skem ma proses d dialisis den ngan mengg gunakan m membran diialisis Mennurut penellitian yang dilakukan oleh Dominguez (20110) dikatakaan bahwa metode yanng paling baanyak digunnakan untuk k mengkaraakteristik m molekul yang g terputus adalah denngan memb bran dialisiis. Spektrum m ditentuk kan dengann melakukan dialisis
Universitas Sumatera Utara
selama 17 jam dengan satu set zat terlarut dengan berat molekul yang diketahui. Dikatakan bahwa berat molekul zat terlarut setidaknya 90% tertahan selama tes dan zat terlarut yang keluar kurang dari 10%. Untuk mengaktifkan membran dialsis dilakukan dengan cara yaitu, membran dialisis yang telah dipotong dimasukkan ke dalam suatu wadah yang telah diisi dengan aquabidest lalu dipanaskan pada suhu 40oC selama 30 menit. Membran yang telah diaktifkan bisa langsung digunakan untuk proses dialisis. Larutan yang mengandung beberapa jenis molekul, biasanya glukosa dan pati, ditempatkan ke dalam kantong dialisis semipermeabel, seperti membran selulosa dengan pori-pori, dan ditutup dengan simpul. Kantong dialisis disegel ditempatkan dalam wadah larutan atau aquadest. Molekul cukup kecil untuk melewati membran (air, garam, monosakarida, dan molekul kecil lainnya) cenderung bergerak ke dalam atau keluar dari kantong dialisis ke arah konsentrasi yang rendah, sehingga terjadilah difusi. Molekul yang lebih besar (seperti protein, atau polisakarida) yang memiliki dimensi jauh lebih besar daripada diameter pori dipertahankan dalam kantong dialisis (Mahlicli, 2007).
2.6 Transmisi Electron Microscopy (TEM) Mikroskop adalah alat yang memungkinkan perbesaran obyek untuk mengamati rincian dari obyek tersebut. Perkembangannya mulai dari mikroskop optik yang menggunakan satu seri lensa gelas untuk membelokkan gelombang cahaya tampak agar menghasilkan citra yang diperbesar, mikroskop petrografik, mikroskop medangelap, mikroskop
rasa, mikroskop
ultraviolet,
mikroskop
medan dekat dan
mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk mengiluminasi obyek elektron memiliki panjang gelombang yang jauh lebih kecil daripada panjang gelombang cahaya, jadi mikroskop elektron dapat melihat struktur yang lebih kecil (Ardisamita, 2000). Difraksi elektron biasanya diselesaikan dengan memakai mikroskop elektron transmisi yang diset dalam difraksi. Pola difraksi diproyeksikan diatas layar mikroskop.
Universitas Sumatera Utara
Sampel-sampel polimer harus sangat tipis dalam beberapa ratus satuan amstrong. Sebagaimana dengan difraksi sinar-x, informasi yang dikumpulkan oleh difraksi elektron mesti mempergunakan morfologi dimensi kristal, derajat kekristalan, dan lainlain. Keuntungan utama dari difraksi elektron adalah bahwa (1) pengukuran difraksi dan transmisi sekaligus menjadi mungkin dalam satu sampel, (2) syarat-syarat ukuran sampel sangat kecil, dan (3) intensitas difraksi dan jumlah refleksi jauh lebih tinggi. Kekurangannya adalah bahwa elektron-elektron bisa menimbulkan reaksi-reaksi radikal bebas (misalnya, pengguntingan rantai, ikat silang) dalam sampel tersebut. Ketika mikroskop elektron dioperasikan dalam mikroskop elektron transmisi, merupakan hal yang memungkinkan untuk memecahkan sifat-sifat morfologis seperti kristal-kristal tunggal polimer dengan resolusi dalam daerah 2 sampai 5 amstrong pada pembesaran 200.000 sampai 500.000. pencitraan yang bagus dengan menggunakan TEM bergantung pada kontras sampel relatif terhadap latar (Steven, 2001). Ketika elektron ditransmisikan pada spesimen tipis tanpa adanya interaksi dalam spesimen, maka berkas elektron ini dikatakan mengalami transmisi. Transmisi elektron berbanding terbalik dengan ketebalan specimen. Bidang spesimen yang lebih tebal akan mengalami transmisi elektron lebih sedikit sehingga akan terlihat lebih gelap, sebaliknya daerah tipis akan mengalami lebih banyak transmisi elektron, sehingga akan terlihat lebih terang (Voutou, 2008). Menurut Ardisasmita (2000), berkas elektron dipancarkan langsung melalui obyek yang akan diperbesar, sebagian diserap dan sebagian lainnya dilewatkan. Obyek tersebut harus dipotong sangat tipis agar dapat dilihat dengan TEM yaitu tebalnya harus lebih kecil dari beberapa ribu angstrom. Biasanya pelat fotografi atau layar flouresensi ditempatkan di belakang cuplikan untuk menangkap citra dan perbesaran yang dihasilkan bisa mencapai satu juta kali. Mikrograf elektron transmisi dari serat selulosa yang diambil dengan CM Philips 30 mikroskop elektron transmisi dengan tegangan 75 kV percepatan. Nanofibril diendapkan dari dispersi encer berair padaukuran mikro ditutupi dengan film tipis karbon (~ 200 nm). Serat yang disimpan paling sering diwarnai dengan larutan uranil asetat 2% untuk meningkatkan mikroskopis resolusi (Cherian, 2010)
Universitas Sumatera Utara
2.7 Analisis Termogravimetri (TGA). Metode thermal adalah sebuah bagian dari teknik dimana sifat fisik dan kimia dari zat atau produk reaksi tersebut diukur sebagai fungsi temperatur, zat/substansi sebagai objek yang dikontrol temperaturnya. Aplikasinya untuk quality kontrol, penelitian produk industri seperti polimer, farmasi, tanah, mineral, dan logam. Teknik-teknik yang dicakup
dalam
metode
analisis
termal
adalah
analisis
termogravimetri
(thermogravimetry analysis = TGA) yang didasari pada perubahan berat akibat pemanasan. TGA merupakan teknik mengukur perubahan berat suatu sistem bila temperaturnya berubah dengan laju tertentu. Teknik analisis termogravimetri dapat dilakukan baik secara dinamik maupun secara statik. Pada termogravimetri dinamik, sampel dinaikkan temperaturnya secara linear terhadap waktu. Pada cara statik atau termogravimetri isotermal, sampel dipelihara temperaturnya pada suatu periode waktu tertentu, selama waktu tersebut setiap perubahan berat dicatat. Pada rangkaian peralatannya diperlukan paling tidak tiga komponen utama yaitu timbangan berpresisis tinggi, tungku dan perekam. Kenaikan temperatur dalam tungku haruslah berfungsi linear terhadap waktu dan mampu digunakan baik dalam lingkungan inert, oksidasi maupun reduks. Perubahan temperatur dan berat direkam secara kontinyu sedemikian rupa sehingga tidak ada satu termogram yang terlewati (Khopkar, 1990). TGA dipakai terutama untuk menetapkan stabilitas panas polimer-polimer. Metode TGA yang paling banyak dipakai didasarkan pada pengukuran berat yang kontinyu terhadap suatu neraca sensitif (disebut neraca panas) ketika suhu sampel di naikkan dalam udara atau dalam suatu atmosfer yang inert. TGA ini dinyatakan sebagai nonisotermal. Data dicatat sebagai termogram berat versus temperatur. Hilangnya berat bisa timbul dari evaporasi lembab yang tersisa atau pelarut, tetapi pada suhu-suhu yang lebih tinggi terjadi dari terurainya polimer. Selain memberikan imformasi mengenai stabilitas panas, TGA bisa dipakai untuk mengkarakterisasi polimer melalui hilangnya suatu entitas yang diketahui, seperti HCl dari poli (vinil klorida). TGA juga bermamfaat untuk penetapan volatilitas bahan pemlastik dan bahan-bahan tambahan
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Penelitian-penelitian stabilitas panas adalah merupakan aplikasi dari TGA (Steven, 2001). Termogravimetri analisis dilakukan dengan menggunakan sebuah Mettler Toledo Model TGA/SDTA851e termogravimetri analyzer untuk mencegah terjadinya penambangan stabilitas termal. Untuk analisis, sampel dipanaskan dari kamar suhu 600 o
C dalam atmosfir nitrogen pada 10o C min-1 (Sheltami, 2012). Metode analisis termal
ini diantaranya berguna untuk mengetahui formula materi hasil dekomposisi termal. Ia berguna juga untuk mengetahui range temperatur. Ini dapat dilakukan laju pemanasan dan mencatat perubahan beratnya. Data termogravimetri dapat dimamfaatkan untuk mengevaluasi parameter kinetik (Khopkar, 1990).
2.7 Fourier Transform Infrared (FTIR) Fourier transform infrared (FTIR) adalah teknik yang digunakan untuk mendapatkan spektrum inframerah penyerapan, emisi, fotokonduktivitas atau hamburan Raman dari padat, cair atau gas. Spektrometer FTIR secara bersamaan mengumpulkan data spektral dalam berbagai spektrum yang luas. Ini mendapat keuntungan yang signifikan atas spektrometer dispersif yang mengukur intensitas sedikit rentang panjang gelombang pada suatu waktu. Hasil spektrum memperlihatkan absorbsi dan transmisi molecular, membentuk sidik jari molekul sampel. Seperti halnya sidik jari, tidak ada dua struktur molekul berbeda yang memiliki spektrum inframerah yang sama (Lawson, 2001). Hampir semua molekul menyerap sinar inframerah, dan masing-masing molekul hanya menyerap sinar inframerah padafrekuensi tertentu. Hal ini menunjukkan karakteristik khas untuk setiap molekul. Masing-masing jenis molekul hanya menyerap pada frekuensi tertentu dan akan terbentuk pola spektrum absorpsi yang khas atau sidik jari pada spectrum inframerah. Shimadzu telah merilis berbagai sistem FTIR membuat resolusi tinggi dan sensitivitas tinggi dan berbagai instrumen terkait, seperti unit mikroskop inframerah, untuk memfasilitasi otomatisasi. Ini digunakan dalam berbagai analisis struktural atau
Universitas Sumatera Utara
aplikasi pengukuran non-destruktif, seperti untuk memenuhi syarat. Teknik spektroskopi IR banyak digunakan dalam tahap karakterisasi selulosa karena metode ini relatif mudah dan dapat memberikan informasi awal tentang komposisi kimia, konformasi molekular serta pola ikatan hidrogen (Silverio, 2012). Spektroskopi FTIR didasarkan pada prinsip bahwa hamper semua molekul mengabsorpsi sinar inframerah. Hanya monoatomik dan molekul diatomik homopolar yang tidak mengabsorpsi sinar inframerah. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang dari 100 cm-1 diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi putaran molekul. Spectrum rotasi molekul terdiri dari garis-garis yang tersendiri. Atom molekul bergerak dengan berbagai cara tetapi selalu pada tingkat energy tertentu. Energy getaran rentang untuk molekul organik harus sesuai dngan radiasi inframerah dengan bilangan gelombang 1200-4000 cm-1. Terdapat dua macam getaran molekul, yaitu getaran ulur dan getaran tekuk. Identifikasi pita absorpsi khas yang disebabkan oleh berbagai gugus fungsi merupakan dasar penafsiran spectrum inframerah. Ikatan O-H dari golongan karboksil diabsorpsi pada daerah 2500 sampai 3300 cm-1 dan ikatan C=O ditunjukkan diantara 1710 sampai 1750 cm-1. Hanya getaran yang menghasilkan perubahan momen dwi kutub secara berirama yang teramati di dalam inframerah (Rong, 2011).
Universitas Sumatera Utara