BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Sungai Habitat air tawar menempati daerah yang relatif lebih kecil pada permukaan bumi dibandingkan habitat air laut, tetapi bagi manusia kepentingan jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya. Hal ini disebabkan karena: 1) Habitat air tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik maupun industri. 2) Ekosistem air tawar menawarkan sisitem pembuangan yang memadai dan paling murah (Odum, 1994).
Perairan mengalir mempunyai corak tertentu yang secara jelas membedakan dari air tergenang walaupun keduanya merupakan habitat air. Satu perbedaan mendasar antara danau dan sungai adalah bahwa danau terbentuk karena cekungannya sudah ada dan air mengisi cekungan itu, tetapi danau itu setiap saat dapat terisi oleh endapan sehingga menjadi tanah kering. Sebaliknya sugai terjadi karena airnya sudah ada, sehingga air itulah yang membentuk dan menyebabkan tetap adanya saluran selama masih terdapat air yang mengisinya (Ewusie, 1990).
Ekosistem lotik/ sungai dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebingtebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata air yang membentuk rawa-rawa. Selanjutnya aliran dari beberapa mata air akan membentuk aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief
Universitas Sumatera Utara
sungai yang terjal. Zona rithral dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epirithral (bagian yang paling hulu), metarithral (bagian tengah dari zona rithral), dan hyporithral (bagian paling akhir dari zona rithral). Setelah melewati zona hyporithral, aliran sungai akan memasuki zona potamal, yaitu aliran sungai pada daerah-daerah yang relatif lebih landai dibandingkan dengan zona rithral. Zona potamal juga dibagi menjadi tiga bagian yaitu epipotamal (bagian atas dari zona potamal), metapotamal (bagian tengah) dan hypopotamal (akhir dari zona potamal) (Barus, 2004).
2.2 Produksivitas Primer Adanya kehidupan di bumi berpangkal pada kemampuan tumbuhan hijau dalam menggunakan energi cahaya matahari untuk mensintesis molekul-molekul organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Proses ini ialah fotosintesis yang mempunyai persamaan umum : 6CO 2 + 6H 2 O
C 2 H 12 O 6 + 6O 2
Pangkal semua kehidupan di dalam ekosistem perairan berupa aktivitas fotosintetik tumbuhan akuatik. Namun kondisi-kondisi kimia dan fisik tertentu mengakibatkan terdapatnya perbedaan-perbedaan besar dalam bentuk tumbuhan serta tingkat aktivitas fotosintetik maksimum di perairan (Nybakken, 1992). Jadi jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses fotosintesis dinamakan produksi primer kotor, atau produksi total. Karena sebagian dari produksi total ini digunakan tumbuhan untuk kelangsungan proses-proses hidup, yang secara kolektif disebut respirasi, tinggal sebagian dari produksi total yang tersedia bagi pemindahan atau pemanfaatan oleh organisme lain. Produksi primer bersih adalah istilah yang digunakan bagi jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan tumbuhan untuk respirasi. Produksi primer bersih ini yang tersedia bagi tingkatantingkatan trofik.
Universitas Sumatera Utara
Daur ulang nutrien yang sangat cepat oleh aktivitas mikroba dan bentos menciptakan semacam “sistim penyuburan sendiri”. Namun kecenderungan alami ini menyebabkan perairan rentan terhadap polusi, karena polutan akan terperangkap termasuk nutrien-nutrien yang bermanfaat.
2.3 Klorofil a Proses fotosintesis berlangsung dalam kloroplas, suatu organel yang terdapat di dalam sel tumbuhan hijau. Kloroplas memiliki membran atau pembungkus mengelilingi suatu ruas pusat yang besar yang dinamai stroma. Stroma mengandung beberapa banyak enzim larut yang berbeda yang berfungsi untuk menggabungkan sebagian organik. Di dalam stroma, membran juga membentuk granum. Setiap granum terdiri dari satu timbunan kantung atau ceper yang dinamai tilakoid. Granum dihubungkan antara satu sama lain oleh lamella stroma. Klorofil ada pada membran granum, dan menjadikannya sistem penyimpanan energi bagi kloroplas. Setiap tilakoid berbentuk seperti kantung. Pergerakan ion-ion dari ruang ini melintasi membran tilakoid dipercaya penting dalam proses sintesis. Klorofil tidak menyerap panjang gelombang cahaya dengan banyak. Karena itu, cahaya ini dipantulkan ke mata dan kita melihat klorofil sebagai suatu pigmen hijau (Mader, 1995).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa klorofil a memiliki peranan penting pada fotosistem I dan II (dahulu disebut fotoreaksi gelombang pendek dan gelombang panjang). Pada tahun 1957, Bessel Kok menemukan adanya klorofil a khusus yang dinamakan P700 dan menurut pendapatnya bahwa P700 adalah pusat reaksi klorofil a fotosintesis. Selanjutnya diperkirakan keberadaan klorofil a khusus lainnya berada di pusat reaksi lainnya, yakni pusat reaksi P680 dari sistem gelombang pendek. Klorofil a tidak hanya berperan dalam cahaya permanen dan pengubahan energi cahaya menjadi energi kimia, juga bertindak sebagai penyumbang elektron utama (P680, P700), maupun penerima elektron utama. Feofitin berasal dari klorofil, dengan
Universitas Sumatera Utara
penggantian Mg dengan H+ di pusat struktur kimia klorofil (Salisbury dan Ross, 1995).
2.4 Fitoplankton Plankton merupakan organisma yang berukuran sangat renik yang hidup melayang-layang dalam air dan memiliki kemampuan gerak yang sangat lemah sehingga perpindahannya sangat dipengaruhi oleh pergerakan massa air. Plankton yang berukuran mikroskopis meliputi tumbuhan dan hewan. Golongan dari tumbuhan disebut fitoplankton dan dari hewan disebut zooplankton (Odum, 1971; Nybakken, 1992).
Pengelompokan plankton biasanya didasarkan pada ukuran (net dan net-net plankton), habitat (haliplankton dan limnoplankton) dan daur hidup (holoplankton dan meroplankton). Berdasarkan ukurannya, Levinton (1982) dan Nybakken (1992) mengelompokkan plankton atas ultraplankton (<2µm), nanoplankton (2-20μm), mikroplankton (20-200μm), makroplankton (0,2-2mm), dan megaplankton (>2mm).
Menurut Levinton (1982), komponen-komponen fitoplankton terutama terdiri dari Diatom (kelas Bacillariophyceae), Dinoflagellata, Cocolithopore dan alga coklat emas lainnya (kelas Heptophyceae), Blue green alga (kelas Cyanophyceae disebut juga Cyanobacteria), alga hijau (kelas Chlorophyceae) dan Flagellata Cryptomonas (kelas Cryptophyceae). Masing-masing komponen tersebut memiliki ukuran tubuh serta bentuk-bentuk sel yang berbeda dan menyumbangkan komposisi yang bervariasi pula terhadap struktur komunitas fitoplankton, serta kehadirannya dapat mencirikan kondisi lingkungan tertentu.
Menurut Kennish (1990), Mallin (1994), dan Thoha (2003), fluktuasi kondisi lingkungan perairan seperti musim dan zat makanan menyebabkan fitoplankton membelah dengan laju yang bervariasi, akibatnya produktivitas primer berbeda dari
Universitas Sumatera Utara
satu wilayah geografi dengan wilayah geografi lainnya, serta berbeda menurut musim di wilayah geografi yang sama. Faktor alam dan antropogenik dapat mengatur faktor lingkungan yang akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan suksesi fitoplankton di perairan (Kepel et al. 1999). Hubungan antara keragaman fitoplankton dan faktor kualitas air memperlihatkan bahwa keragaman fitoplankton memiliki keterkaitan dengan alkalinitas dan bahan organik terlarut (BOT) (Pirzan et al. 2008).
2.5 Faktor Fisik Kimia Perairan Menurut Nybakken (1992), sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik seperti plankton, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik perairan. Dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisma dengan faktor-faktor abiotiknya maka diperoleh gambaran tentang kualitas suatu perairan (Barus, 2004). Parsons et al, (1984), menjelaskan bahwa distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, seperti nutrien, cahaya, suhu, oksigen dan faktorfaktor lainnya. Faktor tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan jenis plankton di suatu lingkungan tertentu.
Faktor abiotik (fisika kimia) perairan yang mempengaruhi produktivitas primer antara lain: a. Suhu Cahaya matahari merembes sampai pada kedalaman tertentu pada semua perairan, sehingga permukaan air hangat (agak panas). Air yang hangat kurang padat dibanding air yang dingin, sehingga lapisan air yang dingin disebut epilimnion dan lapisan air yang hangat disebut hipolimnion. Dalam setiap penelitian dalam ekosistem akuatik, pengukuran suhu air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik
Universitas Sumatera Utara
sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut Hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu sebesar 10oC (hanya pada kisaran suhu yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi (Brehm & Maijer 1990 dalam Barus, 2004).
Menurut Nontji (1993), suhu air permukaan di Perairan Nusantara umumnya berkisar pada 23-31°C. Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan yang lebih hangat karena mendapat radiasi matahari siang pada siang hari. Oleh karena kerja angin, maka lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 m dapat terjadi pengadukan, akibatnya di lapisan kedalaman 50-70 m terdapat suhu hangat yang homogen (sekitar 28°C). Di perairan dangkal lapisan homogen ini dapat berlanjut sampai ke dasar. Suhu di permukaan dipengaruhi oleh kondisi metereologi. Faktorfaktor metereologi yang berperan disini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban, udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman.
b. Intensitas Cahaya Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifatsifat optis dari air. Sebagian cahaya tersebut akan diabsorsi dan sebagia lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan terbentuknya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yanag signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat bewarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijaukekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air sampai ke lapisan dasar (Barus, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Jumlah cahaya yang menembus permukan air sungai dan menerangi lapisan permukaan air memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Bagi hewan air, cahaya mempunyai pengaruh terbesar yaitu sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanannya (Juwana, 2001)
Intensitas cahaya yang memasuki lapisan perairan menurun sejalan dengan penambahan kedalaman dengan kata lain cahaya mengalami peredupan. Hasil pengukuran intensitas cahaya pada tiap meter kedalaman menujukkan nilai peredupan bervariasi. Hal ini menujukkan terdapatnya bahan-bahan tersuspensi yang berbeda pada tiap kedalaman (Sunarto et al., 2004)
c. Total Suspended Solid (TSS) Total suspended solid (TSS) merupakan zat-zat padat yang berada pada dalam suspense, dapat dibedakan menurut ukurannya sebagai partikel tersuspensi koloid (partikel koloid) dan partikel tersuspensi biasa (partikel tersuspensi). Total suspended solid (TSS) yaitu jumlah berat dalam mg/l kering lumpur yang ada didalam air limbah setelah mengalami proses penyaringan dengan membrane berukuran 0,45 µm. Adanya padatan-padatan ini menyebabkan kekeruhan air, padatan ini tidak terlarut dan tidak dapat mengendap secara langsung. Padatan tersuspensi terdiri dari partikelpartikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari pada sedimen, seperti bahanbahan organic tertentu, tanah liat, dan kikisan tanah yang disebabkan terjadinya erosi tanah (Alaert & Sri, 1987).
d. Total Dissolved Solid (TDS) Total Dissolved Solid merupakan jumlah kandungan zat padat terlarut dalam air juga mempengaruhi penetrasi cahaya matahari masuk ke dalam badan perairan. Jika nilai TDS tinggi maka penetrasi cahaya matahari akan berkurang, akibatnya
Universitas Sumatera Utara
proses fotosintesis juga akan berkurang yang akhirnya mengurangi tingkat produktifitas perairan (Sastrawijaya, 2000). Kekeruhan dapat dipengaruhi oleh padatan tersuspensi, ombak, arus dan aliran air dari daratan .Di perairan dengan dasar berlumpur, arus air dapat mengaduk endapan lumpur sehingga mengakibatkan kekeruhan air. Kekeruahan yang tinggi mengurangi penetrasi cahaya matahari dan karenanya akan mengurangi aktifitas fotosintesis (Nybakken, 1992).
e. pH Organisma akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH yang netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan organisma akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan kelangsungan hidup organisma karena menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Di samping itu pH yang sangat rendah menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya mengancam kelangsungan organisma akuatik. Sementara pH yang tinggi menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH di atas netral meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organism (Barus, 2004).
Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas pH atau dengan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran pH tanah. Yang perlu diperhatikan dalam pengukuran pH air adalah cara pengambilan sampelnya harus benar sehingga pH yang diperoleh benar (Suin, 2002). Nilai pH air yang normal adalah netral yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya oleh limbah cair berbeda-beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan pengolahnnya sebelum dibuang (Kristanto, 2002). f. Oksigen Terlarut (DO = Disolved Oxygen)
Universitas Sumatera Utara
Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme-organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat di dalam air terdapat pada suhu 0 oC, yaitu sebesar 14,16 mg/l O 2 . Dengan terjadinya peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Barus, 2004).
Menurut Effendi (2003), oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Semakin tinggi suatu tempat dari permukaan air laut, tekanan atmosfer semakin rendah. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada percampuran dan pergerakan massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air. Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35%) dan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Difusi oksigen kedalam air dapat terjadi secara langsung pada kondisi air diam/ stagnan (Yin, 2004).
g. BOD (Biochemical Oxygen Demand) Nilai
BOD menyatakan
jumlah
oksigen
yang
dibutuhkan
oleh
mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 200C. Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran ini, sementara dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama 5 hari,
Universitas Sumatera Utara
jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 (lima) hari yang disebut BOD 5 (Barus, 2004). BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh organisma dalam lingkungan air untuk menguraikan senyawa organik. Proses penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisma di dalam lingkungan air merupakan proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Wardana, 1995).
h. COD (Chemichal Oxygen Demand) Nilai COD menyatakan oksigen total yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O 2 /l. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis (Barus, 2004).
i. Kandungan Nitrat dan Fosfat Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi yang paling penting adalah nitrat dan fosfat (Nybakken, 1992). Nutrien sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam perkembangannya dalam jumlah besar maupun dalam jumlah yang relatif kecil. Setiap unsur hara mempunyai fungsi khusus pada pertumbuhan dan kepadatan tanpa mengesampingkan pengaruh kondisi lingkungan. Unsur N, P, dan S penting untuk pembentukan protein dan K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat. Fe dan Na berperan dalam pembentukan klorofil, sedangkan Si dan Ca merupakan bahan untuk pembentukan dinding sel dan cangkang (Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Bahan nutrisi merupakan salah satu faktor yang mengontrol perkembangan dari fitoplankton yang berperan sebagai makanan utama dari sumber daya biologi Keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang berasal dari industri, bahan peledak, piroteknik dan pemupukan. Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang diberi pupuk yang diberi nitrat/nitrogen (Alaerts dan Sri, 1987).
Fosfat merupakan unsur yang sangat esensial sebagai nutrien bagi berbagai organisma akuatik. Fosfat merupakan unsur yang penting dalam aktivitas pertukaran energi dari organisma yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, sehingga fosfat berperan sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhan organisma. Peningkatan konsentrasi fosfat dalam suatu ekosistem perairan akan meningkatkan pertumbuhan algae dan tumbuhan air lainnya secara cepat. Peningkatan fosfat akan menyebabkan timbulnya proses eutrofikasi di suatu ekosistem perairan yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar oksigen terlarut, diikuti dengan timbulnya kondisi anaerob yang menghasilkan berbagai senyawa toksik misalnya methan, nitrit dan belerang (Barus, 2004).
Karbon, oksigen dan hidrogen dibutuhkan dalam jumlah paling besar karena nutrien ini merupakan komponen penting dalam senyawa organik seperti karbohidrat, lemak dan protein, tetapi untuk elemen-elemen ini dapat diperoleh dengan mudah dari H 2 O (untuk hidrogen) dan CO 2 (untuk karbon dan oksigen). Pada perairan laut CO 2 terdapat dalam keadaan berlimpah. Zat anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembangbiak adalah nitrogen dan fosfor. Disamping itu, silikat juga merupakan salah satu hara yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan organisme laut (Nybakken, 1988).
Universitas Sumatera Utara
Kelimpahan komunitas fitoplankton di sungai sangat berhubungan dengan kandungan nutrien seperti fosfat, nitrat, silikat, dan hara lainnya. Kandungan nutrien dapat mempengaruhi kelimpahan fitoplankton dan sebaliknya fitoplankton yang padat dapat menurunkan kandungan nutrien dalam air. Perubahan komposisi fitoplankton selanjutnya dapat mempengaruhi komposisi zooplankton dan komunitas plankton secara keseluruhan dalam suatu ekosistim (Prescott, 1963).
Universitas Sumatera Utara