BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. JALAN NAFAS 2.1.1. Anatomi Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 2.1.1-1).
Gambar 2.1-1 Anatomi jalann nafas6 Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan.
Universitas Sumatera Utara
Laring
adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring
disusun oleh 9 kartilago (gambar 2.1-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.
Gambar 2.1-2 Susunan cartilago yang menyusun laring6 Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 2.13). Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V 1 ) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila (V 2 ) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V 3 ] saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan
Universitas Sumatera Utara
saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea6
Gambar 2.1-3 Saraf simpatis pada jalan nafas6 2.1.2. Pipa endotrakhea (ETT) Endotracheal tube (ETT) digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trakhea dan mengizinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar ETT (American National Standards for Anesthetic
Equipment;
ANSI
Z-79).
ETT
kebanyakan
terbuat
dari
polyvinylchloride. Pada masa lalu, ETT diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari ETT dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel dengan carina atau trakhea. Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran ETT biasanya dipola dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis (diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3).
Pemilihan pipa selalu hasil
Universitas Sumatera Utara
kompromi antara memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.6 Kebanyakan ETT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon (cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakhea yang rapat, balon ETT mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubation croup.6 Tabel 2.1-1 Patokan ukuran ETT Usia
Diameter internal (mm)
Panjang (cm)
3,5 4 + usia/4
12 14 + usia/2
7.0-7,5 7,5-9,0
24 24
Bayi cukup bulan Anak anak Dewasa Wanita Laki-laki 2.1.3. Laringoskop rigid
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas intubasi trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar. Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam.6
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Teknik laringoskopi dan intubasi 2.1.4.1. Indikasi Intubasi Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum. Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi, dan untuk akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia inguinal dan lain lain.6 2.1.4.2. Persiapan untuk laringoskopi rigid Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien. ETT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat diuji dengan menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi.6 Beberapa dokter anestesi memotong ETT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk mengurangi resiko dari intubasi bronkhial atau sumbatan akibat dari pipa kinking. Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan terlepas. Jika mandren digunakan ini harus dimasukan ke dalam ETT dan ini ditekuk menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi dengan posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun bola lampu bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap kedip karena lemahnya hubungan listrik, perlu diingat untuk mengganti batre. Extra blade, handle, ETT (1 ukuran lebih kecil atau lebih besar) dan mandren harus disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.6
Universitas Sumatera Utara
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal.6
Gambar 2.1-4 ETT dengan mandren yang dibentuk mirip stik hoki6
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan beberapa (4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki jalan nafas yang sulit.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1-5 Posisi aman dan intubasi dengan blade macinthos6 2.1.4.3. Intubasi Orotrakheal Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade lain, handle diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan dari gigi harus dihindari. ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon ETT harus berada dalam trakhea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hatihati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakhea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat.6
Universitas Sumatera Utara
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakheal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea, cabut lagi ETT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester atau diikat untuk mengamankan posisi.6
Gambar 2.1-6 Gambaran glotiss selama laringoscopi dengan blade yang melengkung.
Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada paska operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.6 2.1.4.4. Komplikasi laringoskopi dan intubasi Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia, trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau
Universitas Sumatera Utara
malfungsi ETT. Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi slama laringoskopi atau intubasi, saat ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi.6
Tabel 2.1-2 Komplikasi dari intubasi Selama laringoskopi dan intubasi Malposisi Intubasi esophagus Intubasi bronchial Trauma jalan nafas Gigi rusak Lacerelasi lidah, bibir dan mucosa Dislokasi mandibula Hipoksia, hiperkarbi Hipertensi, takikardi Hipertensi intracranial Hipertensi intraokuler Laringospasme
2.2. Mekanisme respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakheal King et al27, merupakan salah satu dari beberapa kelompok studi awal yang
melakukan pengamatan pada respon hemodinamik terhadap tindakan
laringoskopi dan intubasi endotrakheal (LETI).
Mereka mengusulkan bahwa
disritmia jantung, hipertensi, dan takikardia berhubungan dengan LETI sebagai akibat dari penurunan tonus vagal ataupun peningkatan aktivitas simpatoadrenal. Mereka berdalil bahwa penigkatan tekanan darah arteri lebih disebabkan karena pengikatan curah jantung (CO) daripada peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik (SVR). Mereka mencatat bahwa respon tekanan darah tampaknya lebih mudah diblok secara komplet dengan lebih mendalamkan level anesthesia dari pada meningkatkan laju jantung (HR). Mereka juga mencatat bahwa laringoskopi sendiri dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, sedangkan intubasi akan memperbesar efek ini dan dapat menimbulkan suatu aritmia jantung.
Universitas Sumatera Utara
Bedford42 telah menggambarkan suatu saling ketrekaitan antara sistem saraf pusat (CNS) dan respon kardiovaskuler. Selama LETI, peingkatan respon hemodinamik terjadi karena jalan nafas atas (laring, trakhea, dan karina) memiliki refleks sistem saraf simpatetis yang dapat bereaksi tidak hanya dengan substansi atau subjek yang berkontak langsung padanya, tetapi juga terhadap faktor lain, seperti level anestesi yang ringan (light level of anesthesia). Refleks penutupan glottis (laringospasme) adalah respon motorik jalan nafas atas terhadap light anesthesia. Nervus glossopharyngeal
berada di superior permukaan anterior
epiglottis. Nervus glossopharyngeal dan vagus, keduanya merupakan jalur afferen untuk terjadinya refleks laringospasme dan respon hemodinamik pada tindakan LETI. Nervus vagus memiliki jalur sensorik yang berasal dari daerah setentang bagian distal epiglottis posterior sampai ke jalan nafas bagian bawah. Karena terjadinya laringospasme dimediasi oleh jalur vagal efferen ke glottis, maka refleks ini dapat timbul selama light anesthesia, yaitu ketika ujung-ujung saraf sensorik yang diinervasi oleh vagal di jalan nafas atas terstimulasi. Respons kardiovaskuler pada saat tindakan LETI dimediasi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Respon saraf parasimpatis adalah adalah terjadinya sinus bradikardi, yang sering sekali terinduksi pada infan dan anakanak kecil, akan tetapi terkadang dapat juga terjadi pada orang dewasa. Karena refleks ini dimediasi oleh peningkatan tonus vagal pada nodus sinoatrial, hal ini menunjukkan adanya suatu respon monosinaptik terhadap stimulus noksius yang terjadi.42 Respon simpatis pada tindakan LETI berupa sinus takikardia. Derbyshire et al43,44 melaporkan bahwa pada saat intubasi endotrakheal tidak hanya disertai peningkatan aktivitas simpatetik, akan tetapi juga disertai meningkatnya aktivitas katekolamin adrenomedullari. Respon hipertensi dan takikardi yang biasa terjadi pada tindakan intubasi endotrakheal dihasilkan oleh aktifitas jalur-jalur efferen simpatetik ini. Jalur – jalur polisinaptik yang berasal dari serabut afferen vagal
Universitas Sumatera Utara
dan glossopharyngeus ke sistem saraf simpatetik, melalui batang otak dan medulla spinalis, meyakinkan adanya suatu respons otonomik yang diffus, termasuk peningkatan
letupan
dari
serabut-serabut
cardioaccelerator,
pelepasan
norpeineprin dari terminal saraf adrenergik pada vascular beds, dan pelepasan epinefrin dari medulla adrenal. Karena pelepasan rennin dari apparatus juxtaglomerular ginjal diaktivasi oleh beta-adrenergik, maka aktivasi sistem rennin-angiotensin juga turut ambil bagian dalam mencetuskan respon hipertensi pada LETI.42,45 Dalam suatu penelitian tentang respon kardiovaskuler terhadap LETI, dilakukan evaluasi terhadap respon laringoskopi dan intubasi trakheal secara terpisah. Dengan menggunakan intubasi nasotrakheal serat optik secara sadar sehingga stimulus akibat laringoskopi rigid dan suksinilkolin dapat dihindari, Ovassapian et al46,
telah melaporkan bahwa peningkatan maksimum pada
tekanan darah terjadi selama insersi pipa endotrakheal melalui hidung. Sedangkan peningkatan laju jantung maksimum terjadi selama penempatan pipa endotrakheal di dalam trakhea. Hal ini hampir sama dengan penelitian Shribman et al28, yang meneliti tentang respon kardiovaskluer dan katekolamin terhadap laringoskopi dengan dan tanpa intubasi endotrakheal. Mereka mendapati bahwa terjadi peningkatan tekanan darah dan konsentrasi katekolamin yang bersirkulasi secara signifikan pada saat tindakan laringoskopi dengan atau tanpa intubasi. Akan tetapi, intubasi berkaitan dengan peningkatan laju jantung yang bermakna, sementara hal ini tidak terjadi jika hanya dilakukan laringoskopi saja. Finfer et al47, membandingkan laringoskopi langsung dengan intubasi menggunakan serat optik. Mereka mendapatkan bahwa, baik intubasi dengan laringoskopi dan bronkhoskopi menghasilkan kenaikan tekanan darah dan laju jantung yang signifikan. Sehingga tampak bahwa peningkatan maksimum pada tekanan darah terjadi pada saat laringoskopi, sedangkan laju jantung akan maksimum meningkat pada saat intubasi endotrakheal.
Universitas Sumatera Utara
2.3. STRESS RESPONSE Tubuh kita akan beraksi terhadap stimulus eksternal, mulai dari cedera ringan sampai yang bersifat massif, baik lokal maupun umum (general). Respon yang bersifat umum dapat berupa aktivasi sistem endokrin, reaksi metabolik serta reaksi biokimia di seluruh tubuh. Besarnya respon sangat bergantung pada keparahan, intensitas dan durasi stimulus. Pemicu terjadinya refleks respon tersebut, serta pemicu bekerjanya beberapa substansi yang saling mempengaruhi yaitu antara aksis pituitari-hipothalamus, sistem hormon neuro-endokrin klasik dan sistem saraf otonomik disebut dengan stress response atau alarm reaction.48,49 Respon lokal meruapakan hal yang penting untuk proses penyembuhan dan pertahanan melawan infeksi. Respon ini melibatkan mediator-mediator, produk sel endothelial pembuluh darah dan bahkan produk intraseluler dari sel tunggal.49 Stress response menyebabkan sekresi dari beberapa hormon anabolik dan katabolik yang menghasilkan suatu hipermetabolisme disertai akselerasi pada hampir seluruh reaksi biokimiawi. Efek dari Stress response (The neuroendocrinal outflow) dapat berupa: •
Perubahan pada sistem kardiovaskuler: peningkatan curah jantung, laju jantung, tekanan darah, peningkatan kontraktilitas miokardium dan meningkatnya kebutuhan oksigen
•
Distribusi volume darah: vasokonstriksi perifer dan splanchnic, vasodilatasi pembuluh darah koroner dan serebral
•
Perubahan pada respiratori: peningkatan laju nafas
•
Perubahan pada cairan dan elektrolit: retensi garam dan air
•
Koagulasi: terjadi hiperkoagubiliti dan fibrinolisis
•
Immunosuppression: infeksi luka
•
Perubahan pada metabolik: mobilisasi substrat, hiperglikemia
•
Perubahan pada perkemihan: pengurangan jumlah urin49
Universitas Sumatera Utara
Stimuli utama untuk terjadinya refleks neuroendokrin di dalam tubuh adalah: 1) Hipotensi: berkurangnya volume darah yang bersirkulasi efektif yang disebabkan oleh suatu alasan apapun (seperti trauma, perdarahan, luka bakar, infark miokard, tamponade jantung, sepsis, kolaps neurogenik, dan lain sebagainya), akan diindera oleh baroreseptor di aorta, karotis dan arteri renalis, sesuai dengan seberapa besar kehilangan volum yang terjadi. Terjadi baik secara langsung, yaitu melalui jalur otonom sentral untuk mengaktivasi pelepasan hormon pituitari seperti ACTH, vasopressin, growth hormone, beta endorphin, maupun secara tidak langsung melalui sistem saraf simpatetik untuk mengaktivasi pelepasan katekolamin, glucagon, mencegah pelepasan insulin dan pada akhirnya menyebabkan retensi natrium dan air serta peningkatan laju jantung, tekanan darah dan gula darah.48,50 2) Oksigen, karbondioksida dan ion hydrogen Perubahan pada konsentrasi oksigen, CO 2 dan ion hydrogen dalam darah akan mencetuskan respon kardiovaskuler, pulmonal dan neuroendokrin melalui aktivasi kemoreseptor di perifer, aorta dan carotid bodies.49 3) Ansietas dan emosional Ketakutan, ansietas, emosional, serta ketegangan secara signifikan dapat menurunkan toleransi terhadap nyeri. Stimulus ini melalui sistem limbik terutama pada region amigdala hipokampus dan nukleus batang otak bagian bawah yang kemudian sinyal akan ditransmisi hipothalamus posterior, selanjutnya akan diteruskan ke pituitari.49 4) Temperatur 5) Anestesia
Universitas Sumatera Utara
a. Obat anestesi: siklopropan, eter dapat menyebabkan pelepasan katekolamin b. Laringoskopi dan intubasi Stimulasi mekanis pada saluran pernafsan atas melalui hidung, epifaring, laringofaring, dengan jalur afferen dibawah oleh nervus glossopharyngeus dan yang berasal dari pohon trakheobronkhial melalui nervus vagus. c. Light anaesthesia d. Nyeri 6) Sensitisasi perifer 7) Sensitisasi sentral 8) Pembedahan, dan 9) Luka49 2.4. STRESS HORMONE Respon refleks neuroendokrin terhadap suatu cedera terdiri dari: 1) Autokrin (respon otonomik), terdiri dari: a. Katekolamin Katekolamin plasma akan meningkat segera setelah cedera dan mencapai konsentrasi puncak dalam 24 sampai 48 jam tergantung pada keparahannya. Hormon ini akan memicu aktifitas metabolik, hemodinamik dan modulasi hormon. Epineprin
akan
menyebabkan
glikogenolisis
hepatik,
glukoneogenesis, lipolisis pada jaringan adipose, ketogenesis meningkatkan resistensi insulin, mencegah ambilan glukosa oleh sel. Sedangkan efek langsung pada sistem kardiorespiratori adalah meningkatnya laju jantung, kontraktilitas miokard, tekanan darah dan laju nafas. b. Glokagon
Universitas Sumatera Utara
c. Insulin49 2) Endokrin, yaitu hormon-hormon yang berada dibawah kendali hipothalamus-pituitari a. Kortisol b. Growth hormone c. Arginin vasopressin d. Aldosteron e. Rennin-angiotensin 3) Parakrin, terdiri dari: jaringan lokal yang teraktivasi, sistem sel endothelial pembuluh darah, dan sel tunggal. Semuanya memicu respon selama terjadinya perdarahan, inflamasi, sepsis dan bentuk lain dari cedera sel.50 Keadaan ini akan melepaskan sel-sel mediator seperti: sitokin, leukotrin, prostaglandin, histamine, serotonin, TNF, interleukin I, II, VI, plasminogen aktifator, ekisanoid, kallikreinkinin dan mediator-mediator lainnya.49 2.5. LIDOKAIN 2.5.1. Struktur, rumus bangun Lidokain merupakan obat anestesi lokal dari golongan amide. Di sintesa pertama sekali dengan nama dagang xylocaine oleh Nils Lofgren tahun 1943. Rekan kerjanya Bengt Lundqvist melakukan ekperimen pertama sekali tahun 1948. Lidokain terdiri dari satu gugus lipofilik (biasanya merupakan suatu cincin aromatik) yang dihubungkan suatu rantai perantara (jenis amida) dengan suatu gugus yang mudah mengion (amine tersier). Anestesi lokal merupakan basa lemah. Dalam penerapan terapeutik, mereka umumnya disediakan dalam bentuk garam agar lebih mudah larut dan stabil. Di dalam tubuh mereka biasanya dalam bentuk basa tak bermuatan atau sebagai suatu kation. Perbandingan relatif dari dua bentuk ini ditentukan oleh harga pKa-nya dan pH cairan tubuh, sesuai dengan persamaan Henderson-Hasselbalch.51
Universitas Sumatera Utara
CH3 O
C2H5
NHCCH2N C2H5 CH3 Gambar 2.5-1 Rumus bangun lidokain51 2.5.2. Famakokinetik Lidokain efektif bila diberikan secara intra vena. Pada pemberian intra vena mula kerja 45-90 detik. Kadar Puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 menit dan waktu paruh 30-120 menit. Lidokain hampir semuanya dimetabolisme dihepar menjadi monoethylglcinexcylidide melalui oksidatif dealkylation, kemudian diikuti dengan hidrolisis menjadi xylidide. Monoethylglcinexcylidide mempunyai aktivitas sekitar 80% dari lidokain sebagai antidisritmia sedangkan xylidide hanya mempunyai aktifitas antidisritmia 10%. Xylidide dieksresi dalam urin sekitar 75% dalam bentuk 4-hydroxy-2,6-dimethylaniline. Lidokain dalam plasma 50% terikat oleh albumin. 2.5.3. Mekanisme kerja Ada dua pendapat kerja lidokain sebagai analgesi, meskipun efek analgesi ini tidak jelas. Mekanisme lidokain sebagai analgesik menghambat suatu enzim yang mensekresi kinin atau memblok C nosiseptor lokal secara langsung. Penghambatan saluran ion natrium dan blokade yang bersifat reversible sepanjang konduksi akson periferal dari serabut saraf Aδ dan digambarkan oleh Carlton 1997 dengan tujuan target analgesik pada dorsal horn medulla spinalis.52 Sebagai anestesi lokal, lidokain menstabilisasi membran saraf dengan cara mencegah depolarisasi pada membran saraf melalui penghambatan masuknya ion
Universitas Sumatera Utara
natrium. Obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat perjalanan ion sodium (Na+) melalui saluran ion selektif Na+ dalam membran saraf (butterworth dan stricharrtz 1990). Saluran Na+ sendiri merupakan reseptor spesifik untuk molekul anestesi lokal. Kemacetan pembukaan saluran Na+ oleh molekul anestesi lokal sedikit memperbesar hambatan keseluruhan permeabilitas Na+. Kegagalan permeabilitas saluran ion terhadap Na+, memperlambat peningkatan kecepatan depolarisasi sehingga ambang potensial tidak dicapai dan dengan demikian potensial aksi tidak disebarkan. Saluran Na+ ada dalam keadaan diaktivasi-terbuka, tidak diaktivasi tertutup dan istirahat- tertutup selama berbagai fase aksi potensial. Pada membran saraf istirahat, saluran Na+ di distribusi dalam keseimbangan diantara keadaan istirahat– tertutup dan tidak diaktivasi-tertutup.
Gambar 2.5-2 Mekanisme kerja anestesi lokal Dengan ikatan yang selektif terhadap saluran Na+ dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup,
molekul
anestesi
lokal
menstabilisasi
saluran
dalam
konfigurasi ini dan mencegah perubahan mereka menjadi dalam keadaan istirahattertutup dan diaktivasi-terbuka terhadap respon impuls saraf. Saluran Na+ dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup tidak permeable terhadap Na+ sehingga konduksi impuls saraf dalam bentuk penyebaran potensial aksi tidak dapat terjadi. Hal ini diartikan bahwa ikatan obat anestesi lokal pada sisi yang spesifik yang terletak pada bagian sebelah dalam saluran Na+ sebaik penghambatan saluran Na+ dekat
Universitas Sumatera Utara
pembukaan eksternalnya mempertahankan saluran ini dalam keadaan tidak diaktivasi-tertutup.52,53 Bila konsentrasi yang meningkat dari suatu anestesi lokal diterapkan pada suatu serabut saraf, maka nilai ambang eksitasi akan meningkat, konduksi impuls lambat, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun , amplitude potensial berkurang, dan akhirnya kemampuan untuk membangkitkan potensial aksi akan hilang. Efek progresif ini diakibatkan oleh adanya ikatan antara anestetik lokal dengan saluran ion natrium yang semangkin menigkat. Pada setiap saluran ion, ikatan menghasilkan
penghambatan arus Na+. Apabila arus Na+ dihambat
disepanjang serabut saraf maka impuls yang melewati daerah yang dihambat tidak terjadi. Pada dosis minimum yang diperlukam untuk menghambat impuls, potensial aksi tidak dipengaruhi secara berarti.53 2.5.4. Toksisitas Lidokain 2.5.4.1.Efek terhadap Jantung Pada kardiovaskular lidokain menekan dan memperpendek periode refrakter efektif dan lama potensial aksi dari sistem His-Purkinje dan otot ventrikel secara bermakna, tetapi kurang berefek pada atrium. Lidokain menekan aktifitas listrik jaringan aritmogenik yang terdepolarisasi, sehingga lidokain sangat efektif untuk menekan aritmia yang berhubungan dengan depolarisasi, tetapi kurang efektif terhadap aritmia yang terjadi pada jaringan dengan polarisasi normal (fibrilasi atrium). Efek toksisitas jantung yang diakibatkan oleh tingginya konsentrasi plasma+ obat anestesi lokal dapat terjadi karena obat-obatan ini menghambat saluran Na jantung. Pada konsentrasi rendah obat anestesi lokal, efek pada saluran Na+ ini mungkin memperbesar
sifat antidisritmia jantung dari obat-obat anestesi ini.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi jika konsentrasi plasma obat anestesi lokal berlebihan, saluran Na+ jantung cukup dihambat sehingga konduksi dan automatisasi menjadi di depresi dan merugikan. Memperlambatnya impuls kardiak melalui jantung yang ditunjukan dengan pemanjangan interval P-R dan komplek QRS pada elektrokardia. Toksisitas pada jantung dihubungkan terhadap efek langsung pada otot jantung yaitu kontraktilitas, automatisasi, ritme dan konduktivitas jantung.51-55 Dosis intra vena 2-4 mg/kgbb terhadap kontraktilitas jantung pada manusia minimal.51 2.5.4.2. Efek terhadap SSP Gejala awal dari komplikasi pada SSP adalah rasa tebal lidah, agitasi, disorientasi, euphoria, pandangan kabur, dan mengantuk kemudian bila kadar lidokain menembus sawar
darah otak timbul gejala seperti vertigo, tinnitus,
twictching otot dan jika konsentrasi plasma melebihi dari >5µgr/ml, kejang umum dapat terjadi. Kejang biasanya berlangsung singkat dan berespon baik dengan diazepam, dan sangat penting untuk mencegah hypoxemia. Dalam mencegah nyeri Lidokain mempunyai dua mekanisme di peripheral dan sentral nervus system. Di peripheral Lidokain menginhibisi transduksi neural, inhibisi migrasi leukosit, menurunkan pelepasan mediator inflamasi dan menekan albumin extravassasi, sementara di sentral memblok aktivasi neural di dorsal horn, kemudian memodulasi pelepasan neurotransmitter excitatory.
Gambar 2.5-3 Hubungan tanda dan gejala anestesi lokal dengan konsentrasi plasma lidokain51
Universitas Sumatera Utara
Lidokain sebagai analgetik selain inhibisi sodium channel juga blok NMethyl-D-Aspartat (NMDA).56 2.6. KLONIDIN 2.6.1. Struktur,rumus bangun Klonidin sautu senyawa imidazole57 agonis α 2 -adrenergik selektif parsial (α 2 :α1=220:1) yang bekerja secara sentral (gambar 2.6-1) yang mempunyai aksi sebagai obat anti hipertensi karena kemampuannya untuk menurunkan pengeluaran sistem saraf
simpatetik dari sistem saraf pusat (SSP). Obat ini
terbukti sangat efektif untuk pengobatan pasien-pasien dengan hipertensi berat atau renin dependent disease. Dosis lazim untuk orang dewasa adalah 0,2-0,3 mg peroral. Obat ini dapat menimbulkan sedasi, mengurangi kebutuhan obat-obat anestesi dan memperbaiki status hemodinamik perioperatif (menurunkan tekanan darah dan laju jantung sebagai respon terhadap stimulus pembedahan) serta stabilisasi simpatoadrenal. Cl H N
NH
N
Cl
Gambar 2.6-1 Rumus bangun klonidin58 Sebagai tambahan, reseptor α 2 yang berada di medulla spinalis memodulasi jalur nyeri yang menghasilkan efek analgesia. Penggunaan klonidin secara rutin sebagai adjuvant anestesia dan kelengkapan untuk sedasi paska operasi tanpa menimbulkan adanya depresi ventilasi menjadi terbatas oleh karena waktu paruhnya yang relative panjang yaitu 6 – 10 jam. Obat lain yang mempunyai
Universitas Sumatera Utara
waktu paruh yang lebih singkat yaitu 2 – 3 jam dan lebih poten daripada klonidin adalah deksmedetomidin.58 2.6.2. Farmakokinetik Klonidin diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral dan mencapai konsentrasi puncak plasma dalam 60 sampai 90 menit. Waktu paruh eliminasi klonidin berkisar antara 9 – 12 jam. Kira-kira 50% dimetabolisme di hati menjadi metabolit yang inaktif, sementara sisanya dikeluarkan melalui urin dalam bentuk yang
tidak
diubah.57,58
Alpha-methyldopa
dimetabolisme
menjadi
α-
methylnorepinephrine yang bersifat sangat agonis terhadap reseptor α 2 dan memiliki selektifitas 10 kali lipat terhadap reseptor α- 2 adrenoreseptor daripada terhadap α- 1 adrenoreseptor.57 Beberapa ligand memiliki cincing imidazol yang memfasilitasi ikatan pada reseptor imidazole-preferring nonadrenergik, demikian juga halnya terhadap α- 2 adrenoreseptor. Durasi efek hipotensif setelah dosis tunggal peroral sekitar 8 jam. Sedangkan pemberian transdermal memerlukan waktu sekitar 48 jam untuk mencapai konsentrasi terapetik plasma.58 2.6.3.
Mekanisme kerja Alfa- 2 adrenergik agonis menimbulkan efek klinis dengan berikatan pada
reseptor α- 2 yang memiliki 3 subtype, yaitu alfa 2A, alfa 2B , dan alfa 2C , yang terdistribusi dimana-mana, dan uniknya masing-masing reseptor (walaupun tidak semua) berkaitan dengan lainnya dalam aksi alfa- 2 agonis. Reseptor Alfa 2A memediasi untuk terjadinya efek sedasi, analgesia, dan simpatolisis, sementara reseptor alfa 2B memediasi vasokonstriksi dan mungkin berefek antishivering. Sedangkan reseptor alfa 2C memiliki nilai terapetik pada kelainan yang berhubungan dengan meningkatnya respon yang “mengejutkan” dan defisit sensorimotor gating seperti pada penyakit schizophrenia, gangguan attention deficit hyperactivity, gangguan stress pasaka trauma, dan gangguan akibat putus obat. Ringkasan respon yang dapat dimediasi oleh reseptor α- 2 adrenergik dapat
Universitas Sumatera Utara
dilihat pada gambar 2.6-2 berikut. Lokasi untuk efek sedasi berada pada lokus seruleus yang berada pada batang otak, sementara lokasi utama untuk aksi analgetik mungkin berada pada medulla spinalis, walaupun terdapat bukti yang jelas bahwa lokasi ini juga terdapat di perifer dan supraspinal. Di jantung, aksi yang dominan dari α- 2 agonis adalah dapat menurunkan takikardia (melalui blokade pada saraf kardioakselerator) dan menimbulkan bradikardi (melalui aksi vagomimetiknya). Pada pembuluh darah perifer, kerja α- 2 adrenergik dapat sebagai vasodilator maupun vasokonstriktor. Kerja vasodilator melalui efek simpatolisis, sedangkan efek vasokonstriknya dimediasi melalui reseptor-reseptor yang ada sel smooth muscle pembuluh darah.59
Gambar 2.6-2 Respon yang dapat dimediasi oleh reseptor –reseptor α 2 -adrenergik59
Universitas Sumatera Utara
2.6.3.1.Efek pada sistem saraf pusat (SSP) Efek Sedatif Salah satu reseptor alfa- 2 yang paling tinggi densitasnya berada di lokus seruleus pontin, yang merupakan sumber penting dari sistem saraf simpatis yang menginervasi forebrain dan modulator vital dari sistem kewaspadaan.58,60 Belakangan diketahui bahwa lokus seruleus ini merupakan daerah utama yang betanggung jawab terjadinya efek sedatif.61,62 Efek sedatif yang ditimbulkan oleh alfa- 2 agonis sangat mungkin mencerminkan adanya inhibisi pada nukleus ini.60 Kualitas sedasi yang dihasilkan oleh alfa- 2 agonis berbeda dengan efek sedasi yang ditimbulkan oleh obat-obat seperti midazolam dan propofol, yang mana obat-obat tersebut bekerja pada reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA). Obat yang mengaktivasi reseptor GABA akan menyebabkan kesadaran yang berkabut dan dapat menimbulkan agitasi, toleransi dan ketergantungan.58 Efek ansiolotik Karekteristik lain dari efek alfa- 2 agonis adalah ansiolotik yang sebanding dengan yang dihasilkan oleh senyawa benzodiazepine.63,64 Klonidin juga dapat mendepresi gangguan panik pada manusia. Akan tetapi, pada pemberian dosis besar justru dapat menimbulkan respon ansiogenik karena bersifat nonselektif yang dapat mengaktivasi reseptor alfa- 1 .57 Efek analgetik Mekanisme kerja klonidin dalam menghasilkan efek analgesia diduga dengan mengaktivasi alfa- 2 reseptor postsinaptik yang berada pada substansia gelatinosa medulla spinalis.58 Efek analgesia yang poten ini melibatkan reseptorreseptor yang berlokasi pada supraspinal maupun spinal. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa klonidin menghasilkan analgesia yang lebih poten dari pada yang dihasilkan oleh morfin. Selanjutnya, efek analgesia dari alfa- 2 agonis akan bertambah secara sinergis ketika diberikan secara bersamaan dengan opioid.
Universitas Sumatera Utara
Kombinasi klonidin dengan opioid narkotik akan menyebabkan kebutuhan pada masing-masing obat dalam dosis yang lebih rendah sehingga mengurangi insidensi dan keparahan dari efek samping obat.57 Kemampuan klonidin untuk memodifikasi fungsi saluran potasium di dalam SSP (sehingga membrane sel menjadi terhiperpolarisasi) mungkin merupakan mekanisme yang sangat penting dalam menurunkan kebutuhan akan obat anestesi.58 2.6.3.2. Efek pada kardiovaskuler Klonidin dapat menimbulkan hipotensi dan bradikardi melalui SSP. Mekanisme terjadinya efek tersebut mungkin melibatkan inhibisi outflow simpatetik dan potensiasi terhadap aktifitas saraf parasimpatetik. Akan tetapi, bagaimana tepatnya mekanisme kerja ini terjadi belumlah diketahui secara pasti. Sementara itu, nukleus traktus solitaries (yang diketahui berfungsi untuk memodulasi kendali otonomik termasuk aktifitas vagal) merupakan lokasi sentral yang penting untuk aksi dari alfa- 2 agonis.65 Nukleus lain yang juga terlibat dalam mekanisme ini antara lain lokus seruleus66, dorsal motor nucleus dari nervus vagus67,68, dan nukleus retikularis lateralis69,70, semuanya mungkin juga memediasi terjadinya hipotensi dan atau bradikardi.66 Klonidin menstimulasi neuron inhibitori alfa- 2 adrenergik yang berada di pusat vasomotor medulla. Sebagai akibatnya, terjadi penurunan outflow sistem saraf simpatetik dari SSP ke jaringan perifer. Hal ini akan bermanifestasi terjadinya vasodilatasi perifer dan penurunan tekanan darah sistemik, laju jantung, dan curah jantung. Reseptor alfa- 2 terdapat pada pembuluh darah memediasi terjadinya vasokonstriksi, sedangkan yang terdapat pada ujung-ujung saraf pada sistem saraf simpatetik perifer dapat menghambat pelepasan norepineprin. Penurunan tekanan darah yang dihasilkan oleh klonidin lebih menonjol pada penurunan tekanan darah sistolik dibandingkan dengan tekanan darah diastolik. Kemampuan klonidin untuk menurunkan tekanan darah sistemik tanpa menimbulkan paralisis refleks kompensasi homeostatic merupakan suatu hal yang
Universitas Sumatera Utara
sangat menguntungkan. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus juga dipertahankan selama pemakaian klonidin.58 2.6.3.3. Efek pada sistem respirasi Alfa- 2 agonis memiliki efek depresan yang minimal terhadap ventilasi dan tidak mempotensiasi efek depresan ventilasi yang ditimbulkan oleh opioid. Akan tetapi pemberian klonidin dan fentanil
intravena secara simultan, dapat
menyebabkan akumulasi dari fentanil, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi ventilasi.71 Klonidin secara signifikan tidak mepotensiasi depresi ventilasi yang diinduksi oleh pemberian morfin.72 2.6.3.4. Efek pada sistem endokrin Alfa- 2 agonis menurunkan outflow simpatoadrenal dan dapat menekan terjadinya stress response setelah stimulasi pembedahan.73 Obat ini juga menginhibisi pelepasan insulin dari sel-sel beta pankreas secara langsung, akan tetapi kejadian ini tidak berdampak terjadinya hiperglikemia berat.57 2.6.3.5. Efek pada sistem renal Alfa- 2 agonis menginduksi dieresis, baik pada hewan coba maupun pada manusia. Mekanismenya dengan cara inhibisi pelepasan antidiuretic hormone (ADH), antagonisme kerja ADH pada tubulus renalis, serta meningkatkan laju filtrasi glomerulus. Belakangan diketahui bahwa alfa- 2 agonis menginduksi pelepasan atrial natriuretic factor yang juga berperan pada mekanisme diuresis obat ini.57 2.6.4. Efek samping Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian klonidin adalah sedasi dan serostomia. Pasien-pasien yang diberikan klonidin akan bermanifestasi dengan rendahnya kadar katekolamin plasma dalam merespon stimulus pembedahan dan terkadang membutuhkan pemberian antikolinergik intravena
Universitas Sumatera Utara
untuk mengatasi terjadinya bradikardia. Efek samping lain adalah rash pada kulit (skin rash), terkadang terjadi impotensi, serta hipotensi ortostatik walaupun jarang. 2.6.5. Hipertensi rebound Penghentian pengobatan dengan klonidin secara tiba-tiba dapat berdampak terjadinya hipertensi rebound yang dapat terjadi segera dalam waktu 8 jam atau paling lambat dalam waktu 36 jam setelah penghentian dosis terakhir. Fenomena ini paling mungkin terjadi pada pasien-pasien yang mendapat > 1.2 mg klonidin dalam sehari. Meningkatnya tekanan darah sistemik mungkin berhubungan dengan peningkatan > 100% dari konsentrasi katekolamin yang bersirkulasi dan terjadinya vasokonstriksi perifer yang hebat. Gejala-gejala seperti kegelisahan, diaphoresis, nyeri kepala, nyeri abdomen, dan takikardi sering mendahului pada kenaikan tekanan darah sistemik. Hipertensi rebound
seringnya dapat
dikendalikan dengan melanjutkan kembali terapi klonidin atau dengan pemberian obat-obat vasodilator seperti hidralazin atau nitroprussid. Penghentian pemberian klonidin sebaiknya dilakukan dengan menurunkan dosis secara bertahap sampai 7 hari atau lebih. Blokade beta-adrenergik dapat memperhebat keparahan hipertensi rebound dengan cara memblok efek vasodilatsi beta- 2 dari katekolamin dan membiarkan efek vasokonstriksi alfanya bekerja. Berbeda dengan obat antidepresan trisiklik, obat ini juga dapat mempehebat keparahan hipertensi rebound dengan mekanisme yang berbeda yaitu berhubungan dengan penghentian klonidin yang tiba-tiba. Tentunya, obat antidepresan trisiklik dapat mempotensiasi efek penekanan terhadap norepineprin.58
Universitas Sumatera Utara
2.7.FISIOLOGI HUMOUR AKUEUS DAN TEKANAN INTRAOKULER (TIO) 2.7.1. Humor akueus Humor akueus dibentuk oleh epitel badan siliari di ruang posterior mata. Kemudian cairan ini akan lewat diantara iris dan lensa, masuk ke ruang anterior mata melalui pupil, selanjutnya keluar dari mata melalui sudut ruang anterior mata melalui meshwork trabekula, kanal schlemm’s dan vena akueus. Selama perjalanannya melewati mata, humor akueus menjalankan sejumlah fungsi penting. Cairan ini merupakan pengganti sistem vaskuler terhadap strukturstruktur avaskuler mata, termasuk kedalamnya adalah kornea, lensa, dan meshwork
trabekula. Humor akueus membawa bahan–bahan nutrisi esensial
untuk mata, seperti oksigen, glukosa, dan asam amino serta mengelurakan zat-zat metabolit dan bahan-bahan toksik, seperti asam laktat dan CO 2 . Humor akueus mengembangkan bola mata dan mempertahankan TIO, yang mana kedua hal tersebut sangat penting untuk struktur dan integritas optikal mata.74 Laju pembentukan humor akueus (F), fasilitas aliran outflow (C), dan tekanan vena episkleral (Pv), merupakan faktor-faktor penentu utama dari TIO. Hubungan faktor-faktor tersebut dinyatakn dalam suatu formula yang disebut persamaan Goldmann, yaitu: Po = (F/C) + Pv74,75 Dimana Po adalah TIO dalam millimeter merkuri (mmHg), F adalah laju pembentukan akueus dalam mikroliter permenit (µL/menit), C adalah fasilitas outflow dalam mikroliter permenit permilimeter merkuri (µL/menit/mmHg), dan Pv adalah tekanan vena episkleral dalam millimeter merkuri (mmHg). Resistensi (R) terhadap outflow merupakan kebalikan dari fasilitas (C).75 Dari persamaan tersebut dapat diambil pengertian bahwa TIO akan meningkat apabila laju
Universitas Sumatera Utara
pembentukan humor akueus meningkat, tekanan vena episklera meningkat, atau penurunan fasilitas outflow.74 Humor akueus dibentuk kira-kira 2-3µL/menit. Mekanisme pembentukan humor akueus merupakan suatu proses yang kompleks, meliputi: (1) ultrafiltrasi, (2) transport aktif, dan (3) difusi.74,75
Laju pembentukan humor akueus
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: integritas sawar darah-akueus, aliran darah ke badan siliari, dan regulasi neurohumoral dari jaringan vaskuler dan epitel siliari. Setelah humor akueus masuk ke dalam ruang anterior mata melalui pupil, selanjtnya humor akueus akan keluar dari mata melalui 2 jalur. Pertama, disebut jalur meshwork trabekula. Kebanyakan cairan ini memasuki aliran darah vena melalui jalur meshwork trabekula dan kanan schlemm’s yang disebut juga dengan istilah conventional atau canalicular outflow. Kedua, disebut jalur uveoskleral. Sebagian kecil cairan akan mengalir melewati struktur lain di segmen anterior mata, yaitu otot siliaris anterior dan iris, selanjutnya akan mencapai ruang suprasiliari dan suprakhoroidal. Dari sini, cairan akan mengalir melewati sklera atau melalui jaringan penunjang longgar yang mengelilingi saraf dan pembuluh darah. Pergerakan cairan ini disebut juga dengan istilah unconventional, atau extracanalicular outflow.74 Nilai rata-rata outflow humor akueus sekitar 0,22 sampai 0,30 µL/menit/mmHg, dengan perkiraan 5-15% dari outflow humor akueus total melalui jalur uveoskleral.75 2.7.2. Tekanan vena episkleral Humor akueus yang meninggalkan mata melalui trabekulokanalikular outflow dengan segera akan mengalir ke dalam sistem vena. Tekanan dalam pembuluh darah vena yang menerima humor akueus disebut dengan istilah tekanan vena episkleral. Tekanan vena episkleral pada mata manusia normal berkisar antara 8 sampai 11,5 mmHg. Perbedaan tekanan vena episkleral antara pasien glukomatous dengan individu normal kira-kira 2 mmHg. TIO akan
Universitas Sumatera Utara
mengalami kenaikan 0,8 mmHg untuk setiap kenaikan tekana vena episkleral sebesar 1 mmHg.74 2.8. TEKANAN INTRAOKULER (TIO) Nilai rata-rata TIO pada populasi normal berkisar 15,8 + 2,6 mmHg.74 TIO akan meningkat jika volume darah di dalam bola mata meningkat. Peningkatan tekanan vena akan meningkatkan TIO karena berkurangnya drainase akueus dan meningkatnya aliran darah koroidal. Perubahan yang besar pada tekanan darah arteri dan ventilasi juga dapat mempengaruhi tekanan intraokuler (Tabel 2.8-1). Perlakuan
anestesi
yang
menyertai
parameter-parameter
tersebut
dapat
mempengaruhi tekanan intraokuler (contoh : laringoskopi, intubasi, obstruksi jalan nafas, batuk, posisi trendelenburg). 6 Tabel 2.8-1Efek kardiopulmunal terhadap TIO6 Variabel Tekanan Vena Sentral Meningkat Menurun Tekanan darah Arteri Meningkat Menurun PaCO2 Meningkat (hipoventilasi) Menurun (hiperentilasi) PaO2 Meningkat Menurun
Efek terhadap IOP ↑↑↑ ↓↓↓ ↑ ↓ ↑↑ ↓↓ 0 ↑
↓ menurun (mild, moderate, marked); ↑ meningkat (mild, moderate, marked); 0 tidak ada efek
Kebanyakan obat anestesi dapat menurunkan atau tidak mempunyai efek terhadap TIO. Obat-obat anestesi inhalasi mengurangi TIO secara proporsional bersamaan dengan dalamnya tingkat anestesi. Pengurangan ini disebabkan karena beberapa faktor, yaitu : turunnya tekanan darah akan mengurangi volume
Universitas Sumatera Utara
koroidal, relaksasi dari otot-otot ekstraokuler mengurangi tekanan dari dinding dan konstriksi pupil yang memfasilitasi keluarnya cairan akueus. Obat-obat anestesi intravena juga menurunkan TIO. Pengecualiannya adalah ketamine, yang biasanya meningkatkan tekanan darah arteri dan tidak merelaksasi otot-otot ekstraokuler.6 Pemberian obat-obat antikolinergik topikal menyebabkan dilatasi pupil (midriasis), yang dapat memicu terjadinya glukoma sudut tertutup. Pemberian atropin sistemik dengan dosis premedikasi tidak menyebabkan hipertensi intraokuler, meskipun pada pasien-pasien dengan glaukoma. Struktur amonium (NH4) dari glikopirolat dapat menyebabkan peningkatan batas keamanan denga jalan mencegahnya masuk ke susunan saraf pusat.6 2.9. TONOMETER 2.9.1.
Jenis Tonometer adalah alat yang mengeksploitasi sifat fisik mata untuk
mendapatkan tekanan intra okular tanpa perlu mengkanulasi mata. Sifat fisik kornea normal memberi batasan keakuratan tonometer untuk mengukur tekanan intra okular, dan sejumlah usaha telah dilakukan untuk mendesign tonometer yang dapat diaplikasikan juga pada konjungtiva atau pada kelopak mata. Tonometer pertama yang paling praktis dan sederhana ditemukan oleh Maklakoff pada tahun 1885. Ficks pada tahun 1888 menemukan tonometer sebagai pelopor tonometer Goldman (1954), yang sekarang secara umum dipertimbangkan sebagai alat paling akurat secara klinis, berdasarkan pertimbangan cermat area optimal kornea untuk dipipihkan dan tekanan keluar yang disebabkan oleh elastisitas kornea serta meminimalisir gaya ke dalam yang disebabkan oleh tekanan permukaan air mata. Kemudian ditemukan tonometer Schiotz yang tidak memerlukan zat pewarna tertentu dan lebih cepat dalam penghitungan. Tonometer Goldman versi pegangan tangan dikenal dengan Draeger dan Perkins, instrument lanjutan ini
Universitas Sumatera Utara
cukup nyaman, dapat dipergunakan pada posisi apapun, mudah dikalibrasi dan telah luas dipakai dalam klinis ofthalmologi. Tonometer Perkins paling dapat diterima pasien dan bisa dipakai pada anak-anak tanpa anestesi. Tonometer Bigliano (Tonometer Durham, Tonometer Applanatic) seperti yang dimodifikasi oleh Webb (Pneumatonometer) dengan menggunakan aliran gas, piringan metalik pipih dan membrane fleksibel yang diaplikasikan pada kornea. Suatu peralatan yang meminimalisir efek penarikan air mata dan gaya lengkung kornea adalah tonometer Mackay-Marg, dalam situasi dimana kornea cukup abnormal peralatan ini dapat menyajikan hasil yang dapat dipercaya. Tonometer non kontak adalah suatu tonometer yang mengukur tekanan intra okuler tanpa kontak langsung dengan kornea dan tanpa anestesi. Semua tonometer yang ada tidak akan memberikan hasil pemeriksaan yang maksimal jika pemeriksa tidak mengetahui tehnik secara benar yang menyebabkan terjadinya kesalahan.76 2.9.2. Klasifikasi Tonometer secara umum diklasifikasikan menjadi 2 ( dua ) metode : a) Metode langsung dengan menggunakan kanul di insersikan kedalam bilik mata depan, dan salah satu ujung yang lain dihubungkan dengan alat manometrik untuk mengukur tekanan yang diberikan. Walau metode ini merupakan cara yang paling akurat tapi sangat tidak mungkin oleh karena sangat diluar kelaziman. b) Metode tidak langsung Terdiri dari:
Metode kontak: •
Indentasi tonometer Secara prinsip sebagai alat pengukur jumlah indentasi (deformasi menjadi pipih) pada kornea
Universitas Sumatera Utara
terhadap
tekanan
yang
diberikan.
Contohnya
tonometer schiotz •
Applanasi tonometer. Secara prinsip diartikan sebagai alat pengukur bersarnya gaya yang dibutuhkan untuk memipihkan (mendatarkan) kornea.
Metode non kontak74
2.9.3. Tonometer schiotz Merupakan tonometer indentasi atau menekan permukaan kornea (bagian kornea yang dipipihkan) dengan suatu beban yang dapat bergerak bebas pada sumbunya. Bila tekanan bola mata lebih rendah maka beban akan mengindentasi lebih dalam permukaan kornea dibanding tekanan bola mata lebih tinggi. Tonometer schiotz terdiri dari: •
Frame : skala, penunjuk, pemegang, serta tapak berbentuk konkaf.
•
Pencelup
•
Beban : 5,5mg ; 7,5 mg ; 10 mg ; 15 mg74,77
Gambar 2.9-1 Tonometer schiotz Adapun tehnik pemeriksaan dengan menggunakan tonometer schiotz adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
•
Menjelaskan apa saja yang akan kita lakukan pada saat pemeriksaan
•
Pasien diarahkan pada posisi duduk miring atau terlentang dengan kepala dan mata berada pada posisi vertikal .
•
Mata ditetesi anestesi lokal misalnya pantochain lebih kurang satu atau dua tetes, ditunggu sampai pasien tidak merasa pedas pada matanya.
•
Tonometer harus dibersihkan terlebih dahulu
•
Tonometer diberi pemberat 5,5 gr
•
Tonometer diperiksa dengan batang penguji
•
Kelopak mata pasien dibuka dengan telunjuk dan ibu jari, jangan tertekan bola mata
•
Pasien diarahkan untuk menatap vertical dapat dibantu dengan alat (misalnya sinar fiksasi yang berkedip-kedip atau ibu jari pasien)
•
Alat tonometer direndahkan hingga hampir menyentuh kornea, dinasehatkan agar beberapa detik untuk membiarkan pasien untuk rileks, sambil pemeriksa mengarahkan bila alat tonometer diletakkan nantinya berada tepat diatas kornea serta skala harus pada posisi menghadap pemeriksa
•
Tonometer Schiotz harus dipastikan terletak pada kornea kemudian pemeriksa membaca penunjuk pada skala bacaan tonometer
•
Alat diangkat dari mata dan subjek dizinkan untuk mengedipkan kelopak matanya
•
Bila skala bacaan adalah 4 atau kurang, maka salah satu pemberat pada pencelup harus ditambah untuk mendapatkan keakuratan tonometri
•
Kemudian pemeriksaan dilanjutkan pada mata yang satunya lagi sesuai dengan prosedur mata yang terlebih dahulu telah diperiksa
•
Tonometer harus dibersihkan atau disterilkan bila subjek yang diperiksa diduga mengidap penyakit menular.74
Universitas Sumatera Utara
Penilaian Hasil pembacaan skala dikonversikan dengan tabel yang telah ditentukan untuk mengetahui tekanan bola mata dalam millimeter air raksa.78 Tabel 2.9-1 Konversi tonometer Schiotz
Universitas Sumatera Utara
KERANGKA TEORI
Sentral : • Blokade aktifasi neural di dorsal horn. • Modulasi neurotransmitter excitatory. • Inhibisi Na+ channel. • Blokade NMDA
Sentral : • Otak Aktivasi reseptor alfa-2 adrenergik di otak menurunkan outflow simpatetik. • Medulla spinalis
Anestesi Umum
Intubasi endotrakheal
Lidokain 2%
Klonidin
X Perifer : • Inhibisi transduksi neural. • Menurunkan mediator inflamasi. • Inhibisi migrasi leukosit
Rangsang mekanik terhadap noksius stimuli tumpul Stimulus Nyeri ↓ Stimulasi simpatis dan simpato adrenal ↓ Konsentrasi adrenalin ↓, konsentrasi nor adrenalin ↓ Bola mata: • Vasokonstriksi di dalam uvea pengurangan aliran darah penurunan tekanan intraskleral
Tekanan darah sistemik ↓ Tekanan vena sentral ↓ Tekanan vena-vena episklera ↓ Tekanan intra okuler stabil Gambar 2.9-1 Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
KERANGKA KONSEP
Anestesi Umum
Intubasi endotrakheal
Lidokain 2% 1,5 mg/kg
Klonidin 2µg/kg
Tekanan intra okuler (TIO) Gambar 2.9-1 Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara