6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sepsis
2.1.1
Definisi Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang
masuk kedalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbullah reaksi inflamasi. Manifestasi klinis yang berupa inflamasi sistemik disebut Systemic Inflammation Respons Syndrome (SIRS). Sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa sepsis adalah SIRS dengan dugaan infeksi (Guntur, 2008). Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positif terhadap organism dari tempat tersebut). Definisi lain menyebutkan bahwa sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi berdasarkan adanya SIRS ditambah dengan adanya infeksi yang dibuktikan atau dengan suspek infeksi secara klinis. Berdasarkan Bone et al., SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria : 1. Suhu > 38°C atau < 36°C 2. Denyut jantung > 90 denyut/menit 3. Respirasi > 20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg 4. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau > 10% sel imatur Menurut Guntur (2008), meskipun SIRS, sepsis, dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia. Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi: 1. Asidosis laktat 2. Oliguria 3. Atau perubahan akut pada status mental
Universitas Sumatera Utara
7
Berdasarkan konferensi internasional tahun 2011, ada beberapa tambahan untuk diagnostik baru untuk sepsis. Bagian terpenting adalah dengan memasukkan petanda biomolekuler yaitu Precalsitonin (PCT) dan C-Reactive Protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu system tingkatan Predisposition, insult infection, Response, and Organ disfunction (PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan risiko yang individual (Priyantoro, Lardo, dan Yuniadi, 2010). Untuk mencegah timbulnya kerancuan, disepakati standarisasi terminologi. Pada bulan Agustus 1991, telah dicapai konsensus yang dihasilkan American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine beberapa pengertian tersebut di bawah ini: 1. Infeksi, respon inflamasi akibat adanya mikroorganisme yang secara normal pada jaringan tersebut seharusnya steril. 2. Systemic Inflammatory Response Syndrome (sindroma reaksi inflamasi sistemik = SIRS), merupakan reaksi inflamasi masif sebagai akibat dilepasnya berbagai mediator secara sistemik yang dapat berkembang menjadi disfungsi organ atau Multiple Organ Dysfunction (MOD) dengan tanda klinis: 1) Temperatur > 38,3°C atau < 35,6°C 2) Denyut jantung > 90 kali/menit 3) Jumlah nafas > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 torr (<4,3 kPa) 4) Hitung leukosit > 12.000 sel/mm3 atau < 4.000 sel/ mm3 atau ditemukan > 1% sel imatur. 3. Sepsis, SIRS yang disebabkan oleh infeksi. 4. Sepsis berat (severe sepsis), sepsis disertai disfungsi organ, yaitu kelainan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg atau terjadi penurunan > 40 mmHg dari keadaan sebelumnya tanpa disertai penyebab dari penurunan tekanan darah yang lain). Hipoperfusi atau kelainan perfusi ini meliputi timbulnya asidosis laktat, oligouria, atau perubahan akut status mental.
Universitas Sumatera Utara
8
5. Syok septik, sepsis dengan hipotensi walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat tetapi masih didapatkan gangguan perfusi jaringan. 6. Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS). Adanya gangguan fungsi organ seperti hemostasis yang tidak dapat dipertahankan tanpa resusitasi. 2.1.2 Epidemiologi Di Indonesia untuk mengetahui tingkat penyebaran dari penyakit sepsis ini maka data yang digunakan adalah data yang di peroleh di rumah sakit Sutomo adalah penderita yang jatuh dalam keadaan sepsis berat sebesar 27,08 %, syok septik sebesar 14,58 %, sedangkan 58,33 % sisanya hanya jatuh dalam keadaan sepsis (Irawan dkk, 2012). Pada penelitian epidemiologi di Amerika Serikat dari tahun 1979 sampai tahun 2000 berturut-turut sebesar data yang diperoleh adalah 27,8 % (1979-1984) dan 17,95 (1985-2000). Dari tahun 1979-2000 dimana didapatkan usia rata-rata penderita wanita 62,1 tahun dan 56,9 tahun pada lakilaki. Dimana didapatkan laki-laki lebih banyak menderita sepsis dibanding dengan wanita dengan mean annual relative risk sebesar 1,28 (Irawan dkk, 2012). Pada tahun 1990 Centers for Disease Control (CDC) memberikan suatu laporan mengetahui epidemiologis sepsis. Dalam penelitian ini kejadian sepsis meningkat dari 73,6 per 100.000 orang pada tahun 1979 menjadi 175,9 per 100.000 orang pada tahun 1989. Angka kematian pada pasien sepsis telah berkisar dari 25 % sampai 80 % lebih pada beberapa dekade terakhir. Meskipun angka kematian mungkin lebih rendah di akhir tahun, sepsis jelas masih kondisi yang sangat serius (Moore dan Moore, 2012). 2.1.3
Etiologi Sepsis sampai syok septik secara klasik telah diakui penyebabnya adalah
bakteri Gram negatif, tetapi mungkin juga disebabkan oleh mikroorganisme lain, Gram positif, jamur, virus bahkan parasit. Timbulnya syok septik dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) sangat penting pada bakteriemia Gram negatif. Syok terjadi pada 20%-35% penderita bakteriemia Gram negatif (John, 1994).
Universitas Sumatera Utara
9
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri Gram (-) dengan presentase 60 sampai 70 % kasus, yang menghasilkan produk dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. Lipopolisakarida merangsang peradangan jaringan, demam, dan syok pada penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dan LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Sthaphylococci, Pneumococci, Streptococci, dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20%-40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus (dengue dan herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang (Guntur, 2008). Pada sepsis sel-sel imun yang paling terlihat mengalami disregulasi apoptosis adalah limfosit, hilangnya limfosit ini akan menurunkan survival sepsis (Chung et al., 2003; Hotchkiss et al., 1999). 2.1.4
Patogenesis dan Patofisiologis Sepsis merupakan respon inflamasi sitemik yang berat terhadap infeksi
yang mengakibatkan suatu spektrum klinis dan penemuan patologis tertentu. Patofisiologinya sangat kompleks. Infeksi organisme akan melepaskan toksin mikrobial yang dapat merangsang pelepasan suatu kompleks cascade untuk menimbulkan respon inflamasi sistemik. Untuk bakteri Gram negatif endotoksin dari bakteri merupakan suatu stimulus sedangkan berbagai penyebab lain seperti bakteri gram positif, jamur akan mengeluarkan eksotoksin. Toksin dan inisiator ini secara langsung maupun tidak berperan untuk mengaktivasi sistem kekebalan humoral dan seluler serta mengeluarkan beberapa mediator inflamasi.(Hery Budhiarso, 2000). Respon pertama dari bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS) suatu endotoksin yang dilepaskan dari dinding sel sewaktu lisis. Sebagai respon terhadap LPS terjadi aktifasi sel imun non spesifik yang didominasi dengan sel fagosit mononuklear. LPS terikat pada protein pengikat
Universitas Sumatera Utara
10
LPS saat disirkulasi. Kompleks LPS berintegrasi dengan kelompok molekul yang disebut toll like reseptor (TLR). Respon TLR menterjemahkan sinyal kedalam sel dan terjadi aktivasi regulasi protein (Nuclear Factor kappa Beta/NFkB).(Hery Budhiarso, 2000). Organisme Gram positif, jamur, dan virus memulai respon inflamasi dengan pelepasan eksotoksin dan komponen antigen sel. Eksotoksin bakteri Gram positif juga dapat merangsang proses yang sama. Molekul TLR 2 leukosit berperan terhadap pengenalan bakteri Gram positif dan TLR 4 untuk pengenalan endotoksin Gram negatif. Kemudian reseptor TLR menerjemahkan sinyal dalam sel dan terjadi aktivasi regulasi protein (NFkB). NFkB mengontrol ekspresi sitokin inflamasi dari masing-masing gen. Kadar NFkB yang tinggi pada pasien sepsis dikaitkan dengan keluaran yang buruk. Setelah pengenalan ikatan tersebut akan terjadi aktivasi produksi sitokin.(Hery Budhiarso, 2000). Sitokin proinflamasi primer yang di produksi adalah Tumor Necrosis Factor (TNF) alfa, interleukin (IL) 1 beta, 6, 8, 12, dan interferon (IFN) gamma. Urutan klasik munculnya sitokin adalah TNF alfa diikuti oleh IL-1 beta, IL-6 dan IL-8. Sitokin-sitokin ini disebut proinflamasi atau sitokin alarm karena muncul pertama kali. TNF alfa dan IL-1 beta banyak diproduksi oleh sel mononuclear, muncul disirkulasi dalam 1 jam, dan dianggap sebagai mediator sentral pada sepsis. TNF alfa dan IL-1 beta menyebabkan peningkatan sintesis satu sama lain dan merangsang produksi IL-6 dan IL-8. Peningkatan IL-6 dan IL-8 mencapai kadar puncak 2 jam setelah masuknya endotoksin.(Hery Budhiarso, 2000). Sitokin ini dapat mempengaruhi fungsi organ secara langsung ataupun tidak melalui sekunder (nitrit oxide, tromboksan, leukotrien, Platelet Activating Factor (PAF), dan prostaglandin). Mediator proinflamasi ini mengaktivasi berbagi tipe sel mulai kaskade sepsis dan menghasilkan kerusakan endotel.(Hery Budhiarso, 2000). TNF alfa dan IL-1 beta dapat merangsang ekspresi molekul adesi, dan menyebabkan pelepasan faktor jaringan, sehingga terjadi aktifasi sistem koagulasi, desposisi fibrin, dan DIC. IL-6 merangsang produksi protein fase akut dari hati (termasuk C- reactive protein, fibrinogen dan anti protease mayor) dan
Universitas Sumatera Utara
11
berperan menghambat produksi TNF alfa dan IL-1 beta. IL-6 yang beredar dalam konsentrasi tinggi dihubungkan dengan keluaran sepsis yang buruk. Aktivasi IL-8 dapat menyebabkan disfungsi paru melalui aktifasi neutrofil yang bergerak menuju jaringan paru. Kerusakan kapiler alveolar menyebabkan meningkatnya permeabilitas darah paru dan menimbulkan edema paru.(Hery Budhiarso, 2000). Mediator inflamasi primer mengaktivasi neutrofil untuk melekat pada sel endotel, aktivasi trombosit, metabolisme asam arakidonat, dan mengaktivasi sel T untuk memproduksi IFN gamma, IL-2, IL-4, dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GMCSF) . Agen lain sebagai bagian kaskade sepsis adalah molekul adhesi, kinin, thrombin, myocardial depressan substance, beta endorphin,
dan beta shock protein. Molekul adhesi dan thrombin dapat
membantu kerusakan endotel sedangkan IL-4, IL-8, dan heat shock protein dapat melindungi terhadap kerusakan. Sel endotel yang cidera dapat menyebabkan granulosit dan konstituen plasma memasuki jaringan infalamsi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Inflamasi sel endotel menyebabkan vasodilatasi melalui kerja NO pada otot polos pembuluh darah. Hipotensi berat terjadi akibat produksi NO yang berlebihan serta pelepasan vasokatif seperti bradikinin, serotonin, dan ekstarvasasi cairan ke ruang interstisial akibat kerusakan endotel.(Hery Budhiarso, 2000). Respon inflamasi sebenarnya bertujuan meningkatkan respon imun untuk mengeliminasi mikroorganisme. Jika eliminasi tersebut tidak berhasil maka inflamasi dapat meluas dan berlebihan sehingga terjadi kerusakan jaringan, gangguan mekanisme koagulasi, dan lain-lain. Sebagai respon terhadap mediator proinlamasi, terjadi produksi sitokin anti inflamasi. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara proinflamasi dan anti inflamasi. Beberapa sitokin anti inflamasi IL-4, IL-10, dan IL-13 menghambat produksi sitokin dari leukosit. IL-4 dan IL-10 dapat menghentikan produksi monosit yaitu TNF alfa, IL-1, IL-6 dan IL-8. IL-1 reseptor antagonis merupakan sitokin antagonis terlarut, menghambat aktifitas IL-1 dengan mengikat reseptor IL-1. Reseptor TNF terlarut merupakan reseptor yang terdapat disirkulasi, terikat erat pada sel pejamu dan berperan sebagai antagonis TNF. Pemberian IL-10 juga melemahkan produksi
Universitas Sumatera Utara
12
TNF alfa dan menurunkan kematian sedangkan anti IL-10 dihubungkan dengan kematian yang meningkat dengan hewan yang terkena sepsis. Hubungan berbagai mediator inflamasi tersebut juga berperan dalam patogensisi sepsis. Efek yang terjadi yaitu respon inflamasi sistemik yang memerlukan penanganan intensif. Bila tidak dapat teratasi dengan baik akan menimbulkan kegagalan multi organ serta dapat menyebabkan kematian pada pasien sepsis.(Hery Budhiarso, 2000). 2.1.5
Diagnosis Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis atau dicurigai
sindrom sepsis memiliki dua tujuan. Tes diagnostik digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan lokasi infeksi dan juga menentukan tingkat keparahan infeksi untuk membantu dalam memfokuskan terapi (Shapiro et al., 2010). 2.1.5.1 Gejala Klinis Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tandatanda sepsis non spesifik meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah dan kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non infeksi. Tempat infeksi yang paling sering adalah paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut
akan menjadi lebih berat pada pasien usia lanjut, penderita
diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pesien dengan granulosiopenia. Yang sering diikuti oleh MODS (Multi Organ Disfunction Syndrome) sampai dengan terjadinya shock sepsis. Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi (Guntur, 2008): 1. Sindroma distress pernafasan ALI tampak pada 60%-70% pasien dengan severe sepsis. Hal ini ditandai dengan adanya infiltrat paru pada rontgen tanpa adanya gagal jantung kiri (PaWP < 18 mmHg). Adanya kegagalan dalam pertukaran gas paru yang ditandai rasio PaO2/FiO2 <300 untuk ALI atau <200 untuk ARDS. Tingkat keparahan ALI/ARDS menentukan ventilasi mekanik. Ventilasi
Universitas Sumatera Utara
13
mekanik akan memulihkan pertukaran gas paru dan mengurangi kebutuhan metabolik. Efek merugikan sebaiknya dihindarkan dengan Protective Ventilatory Strategies. 2. Koagulasi intravaskuler Penurunan sel darah merah tanpa adanya perdarahan dan penurunan trombosit < 100.000/mm3 sering ditemukan. Sepsis menambah koagulasi dan menurunkan fibrinolisis. Endogenous activated Protein C yang mencegah trombosis mikrovaskular juga turun selama sepsis. Ketika terjadi penyumbatan pembuluh darah kecil dapat terjadi gangguan mikrosirkulasi yang akan menyebabkan disokia jaringan. Dalam sepsis berat, pemberian rhAPC dapat membantu memperbaiki gangguan koagulasi. 3. Gagal ginjal akut Gangguan fungsi ginjal dapat terjadi dengan produksi urin yang normal maupun berkurang. Peningkatan kreatinin > 0,3 mg/dl dari nilai sebelumnya atau peningkatan > 50% atau oliguri < 0,5 cc/kgbb/jam lebih dari 6 jam menandakan gangguan ginjal akut dan dapat mempengaruhi keluaran yang buruk. 4. Perdarahan usus Iskemia splanchnic dan asidosis intramukosa terjadi selama sepsis. Tanda klinis mencakup perubahan fungsi otot halus usus dan terjadi diare. Perdarahan GIT disebabkan stress ulcer gastritis akut yang juga manifestasi sepsis. Monitoring pH intramukosa lambung digunakan untuk mengenali dan petunjuk terapi resusitasi. Peningkatan pCO2 intraluminal dikaitkan dengan adanya iskemia jaringan dan asidosis mukosa. 5. Gagal hati Gangguan hati ditandai dengan adanya hepatomegali dan total bilirubin > 2mg/dl. Adanya peningkatan bilirubin terkonjugasi dan peningkatan GGT sering terjadi.
Universitas Sumatera Utara
14
6. Disfungsi sistem saraf Jika sumber infeksi diluar CNS, gangguan neurologik dapat dianggap sebagai ensefalopati septik. Beberapa kondisi lainnya dapat menambah efek sekunder seperti hipoksemia, gangguan metabolik, elektrolit, dan hipoperfusi serebral selama keadaan syok. Gejal dapat bervariasi mulai dari agitasi, bingung, delirium, dan koma. Walaupun tidak terlihat defisit neurologi tetapi dapat terjadi mioklonus dan kejang. Gangguan CNS berat memerlukan proteksi jalan napas dan support ventilasi. 7. Gagal jantung 8. Kematian 2.1.5.2 Pemeriksaan Laboratorium Pada pasien sepsis juga dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis. Pada tabel dibawah dijelaskan hal-hal yang menjadi indikator laboratorium pada penderita sepsis.
Universitas Sumatera Utara
15
Tabel 2.1 Indikator Laboratorium Penderita Sepsis Pemeriksaan Laboratorium
Temuan
Hitung
Leukositosis
Leukosit
leucopenia
Uraian atau Endotoksemia menyebabkan leucopenia Peningkatan
jumlah
di
awal
Hitung
Trombositosis atau
menunjukkan respon akut dan penurunan
Trombosit
trombositopenia
jumlah menunjukkan DIC
Defisiensi protein C, defisiensi Kaskade
antitrombin,
Abnormalitas dapat diamati sebelum
Koagulasi
defisiensi D-dimer,
kegagalan organ dan tanpa pendarahan
pemanjangan PT, PTT Peningkatan Kreatinin
kreatinin As.laktat
Asam laktat
Indikasi gagal ginjal akut >4
mmol/L (36mg/dl)
Hipoksia jaringan
Peningkatan alkaline phosphatase, AST, Gagal hepatoselular akut disebabkan Enzim hati
ALT, bilirubin
hipoperfusi Berhubungan
Serum fosfat
dengan
Hipofosfatemia
proinflammatory
Meningkat
Respon fase akut
level
cytokin
C-reaktif protein (CRP)
Membedakan SIRS dengan atau tanpa Procalcitonin
Meningkat
infeksi
Sumber:LaRosa, 2010
Universitas Sumatera Utara
16
Pemeriksaan penunjang yang digunakan foto toraks, pemeriksaan dengan prosedur radiografi dan radioisotop lain sesuai dengan dugaan sumber infeksi primer (Opal, 2012). 2.1.6
Penatalaksanaan Surviving Sepsis Campaign (SSC) adalah prakarsa global yang terdiri dari
organisasi internasional dengan tujuan membuat pedoman yang terperinci berdasarkan evidence-based dan rekomendasi untuk penanganan Severe sepsis dan syok septik. Penanganan berdasarkan SSC (Herald H, 2010) : 1. Sepsis Resuscitation Bundle (initial 6 h) Resusitasi awal pasien sepsis harus dikerjakan dalam waktu 6 jam setelah pasien didiagnosis sepsis. Hal ini dapat dilakukan di ruang emergensi sebelum pasien masuk di ICU. Identifikasi awal dan resusitasi yang menyeluruh sangat mempengaruhi outcome. Dalam 6 jam pertama “Golden hours” merupakan kesempatan yang kritis pada pasien. Resusitasi segera diberikan bila terjadi hipotensi atau peningkatan serum laktat > 4 mmol/l. Resusitasi awal tidak hanya stabilisasi hemodinamik tetapi juga mencakup pemberian antibiotik empirik dan mengendalikan penyebab infeksi. 1) Resusitasi Hemodinamik Resusitasi awal dengan pemberian cairan yang agresif. Bila terapi cairan tidak dapat memperbaiki tekanan darah atau laktat tetap meningkat maka dapat diberikan vasopressor. Target terapi CVP 8-12 mmHg, MAP ≥ 65 mmHg, produksi urin ≥ 0,5 cc/kg/jam, oksigen saturasi vena kava superior ≥ 70% atau saturasi mixed vein ≥ 65%. 2) Terapi inotropik dan Pemberian PRC Jika saturasi vena sentral < 70% pemberian infuse cairan dan/atau pemberian PRC dapat dipertimbangkan. Hematokrit ≥ 30% diinginkan untuk menjamin pengiriman oksigen. Meningkatkan cardiac index dengan pemberian
dobutamin
sampai
maksimum
20
ug/kg/m
dapat
dipertimbangkan.
Universitas Sumatera Utara
17
3) Terapi Antibiotik Antibiotik segera diberikan dalam jam pertama resusitasi awal. Pemberian antibiotik sebaiknya mencakup patogen yang cukup luas. Terdapat bukti bahwa pemberian antibiotik yang adekuat dalam jam pertama resusitasi mempunyai korelasi dengan mortalitas. 4) Identifikasi dan kontrol penyebab infeksi Diagnosis tempat penyebab infeksi yang tepat dan mengatasi penyebab infeksi dalam 6 jam pertama. Prosedur bedah dimaksudkan untuk drainase abses, debridemen jaringan nekrotik atau melepas alat yang potensial terjadi infeksi. 2. Sepsis Management Bundle (24 h bundle) 1) Steroid Steroid diberikan bila pemberian vasopressor tidak respon terhadap hemodinamik pada pasien syok septik. Hidrokortison intravena dosis rendah (< 300 mg/hari) dapat dipertimbangkan pada pasien syok septik dengan hipotensi yang tidak respon terhadap resusitasi cairan dan vasopresor. 2) Ventilasi Mekanik Lung Protective Strategies untuk pasien dengan ALI/ARDS yang menggunakan ventilasi mekanik sudah diterima secara luas. Volume tidal rendah (6 cc/kg) dan batas plateau pressure ≤ 30 cmH2O diinginkan pada pasien dengan ALI/ARDS. Pola pernapasan ini dapat meningkatkan PaCO2 atau hiperkapnia permisif. Pemberian PEEP secara titrasi dapat dicoba untuk mencapai sistem pernapasan yang optimal. 3) Kontrol Gula Darah Beberapa penelitian menunjukkan penurunan angka kematian di ICU dengan menggunakan terapi insulin intensif. Peneliti menemukan target GD < 180 mg/dl menurunkan mortalitas daripada target antara 80-108 mg/dl. Banyaknya episode hipoglikemia ditemukan pada kontrol GD yang ketat. Rekomendasi SSC adalah mempertahankan gula darah < 150 mg/dl. 4) Recombinant human-Activated Protein C (rhAPC)
Universitas Sumatera Utara
18
Pemberian rhAPC tidak dianjurkan pada pasien dengan risiko kematian yang rendah atau pada anak- anak. SSC merekomendasikan pemberian rhAPC pada pasien dengan risiko kematian tinggi (APACHE II ≥ 25 atau gagal organ multipel). 5) Pemberian Produk darah Pemberian
PRC
dilakukan
bila
Hb
turun
dibawah
7.0
g/dl.
Direkomendasikan target Hb antara 7-9 g/dl pada pasien sepsis dewasa. Tidak menggunakan FFP untuk memperbaiki hasil laboratorium dengan masa pembekuan yang abnormal kecuali ditemukan adanya perdarahan atau direncanakan prosedur invasif. Pemberian trombosit dilakukan bila hitung trombosit < 5.000/mm3 tanpa memperhatikan perdarahan. 2.1.7
Prognosis Dokter harus mengidentifikasi tingkat keparahan penyakit pada pasien
dengan infeksi dan memulai resusitasi agresif bagi pasien dengan potensi tinggi untuk menjadi kritis. Meskipun pasien telah memenuhi kriteria SIRS, ini sendiri hanya mampu memberikan sedikit prediksi dalam menentukan tingkat keparahan penyakit dan mortalitas. Angka Mortalitas di Emergency Department Sepsis (MEDS) telah membuat skor sebagai metode untuk mengelompokkan resiko mortalitas pasien dengan sepsis. Skor total dapat digunakan untuk menilai risiko kematian. Jadi, semakin besar jumlah faktor risiko semakin besar kemungkinan pasien meninggal selama di ICU/UPI (Shapiro et al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
19
Tabel 2.2 Prognosis Mortalitas di Emergency Department Sepsis (MEDS) Faktor Risiko
Skor MEDS
Penyakit terminal (kemungkinan kematian dalam 30 hari)
6 poin
Takipnea dan hipoksia
3 poin
Syok Sepsis
3 poin
Trombosit < 150.000/mm3
3 poin
Bands > 5%
3 poin
Umur > 65 tahun
3 poin
Pneumoniae
2 poin
Pasien panti jompo
2 poin
Perubahan status mental
2 poin
Risiko Kematian
Total skor MEDS (% dari kematian akibat sepsis)
Sangat rendah
0-4 (1,1%)
Rendah
5-7 (4,4%)
Sedang
8-12 (9,3%)
Tinggi
13-15 (16,1%)
Sangat tinggi
> 15 (39%)
Sumber: Shapiro et al., 2010 2.1.8 Pemeriksaan Hematologi Hitung darah lengkap atau pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) berguna untuk memberikan informasi penting tentang jenis dan jumlah sel dalam darah, sel darah putih, dan trombosit. Pemeriksaan darah lengkap juga membantu seorang dokter untuk memeriksa gejala, seperti kelemahan, kelelahan, atau memar, yang mungkin dimiliki pasien. Pemeriksaan darah lengkap juga membantu untuk mendiagnosa suatu penyakit, seperti anemia, infeksi, dan gangguan lainnya (WebMd, 2012).
Universitas Sumatera Utara
20
Pemeriksaan darah lengkap biasanya terdiri dari: a. Sel darah putih ( leukosit). Sel darah putih melindungi tubuh terhadap infeksi. Jika infeksi terjadi, sel darah putih menyerang dan menghancurkan bakteri, virus, atau organisme lain yang menyebabkan itu. Sel darah putih yang lebih besar dari sel darah merah namun jumlahnya lebih sedikit. Ketika seseorang memiliki infeksi bakteri, jumlah sel darah putih meningkat sangat cepat. Jumlah sel darah putih kadang-kadang digunakan untuk menemukan infeksi atau untuk melihat bagaimana tubuh yang berhadapan dengan pengobatan kanker (WebMd, 2012). Tabel 2.3 Kadar Normal Leukosit Kategori
Kadar
Pria dan wanita yang tidak hamil
5.000-10.000 WBCs/mm3
Sumber : WebMd, 2012 b. Hemoglobin Molekul hemoglobin berada didalam sel darah merah. Hemoglobin membawa oksigen dan memberikan sel darah warna merah. Tes hemoglobin mengukur jumlah hemoglobin dalam darah dan merupakan ukuran sebagai fungsi dari kemampuan darah untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh (WebMd, 2012). Tabel 2.4 Kadar Normal Hemoglobin Kategori
Kadar
Pria
14-17.4 g/dl
Wanita
12-16 g/dl
Anak
9.5-20.5 g/dl
Bayi
14.5-24.5 g/dl
Sumber : WebMd, 2012 c. Trombosit (platelet) Platelet (trombosit) adalah tipe terkecil dari sel darah. Mereka bertugas dalam pembekuan darah. Bila pendarahan terjadi, trombosit bertambah, mengumpul dan membentuk sebuah plak lengket yang membantu menghentikan pendarahan. Jika
Universitas Sumatera Utara
21
ada terlalu sedikit trombosit, perdarahan yang tidak terkontrol mungkin menjadi masalah. Jika ada terlalu banyak trombosit, ada kemungkinan gumpalan darah terbentuk di pembuluh darah (WebMd, 2012). Tabel 2.5 Kadar Normal Trombosit Kategori
Kadar
Dewasa
140.000-400.000 platelet/mm3
Anak
150.000-450.000 platelet/mm3
Sumber : WebMd, 2012 2.1.9
Gambaran Hematologi Penyakit Sepsis Sistem hematologi memegang peranan penting dalam penghantaran
oksigen, pembuangan karbondioksida, hemostasis, dan pertahanan diri terhadap patogen. Gangguan pada sistem hematologi pada sepsis sering dihubungkan dengan terjadinya morbiditas dan mortalitas pada pasien sepsis. Sistem hematologi yang terlibat dapat meliputi berbagai komponen sel darah dan protein koagulasi. Salah satu yang banyak diteliti adalah gangguan pada lini sel darah merah (eritrosit). Sepsis menyebabkan berbagai kelainan pada lini eritrosit, antara lain gangguan deformabilitas, agregasi eritrosit, anemia, serta peningkatan hemoglobin bebas akibat peningkatan destruksi sel eritrosit. Keempat gangguan ini dapat menyebabkan gangguan sirkulasi, yang pada akhirnya akan memperberat disfungsi organ yang terjadi (Goyette et al., 2004). Eritrosit memiliki kemampuan deformabilitas, yaitu kemampuan untuk berubah bentuk dan kembali ke bentuk semula tanpa terjadi ruptur pada situasi tertentu. Deformabilitas ini memegang peranan penting bagi sel darah merah dalam menjalankan fungsinya untuk menghantarkan oksigen hingga sirkulasi mikrovaskular. Kemampuan ini dikarenakan oleh bentuk eritrosit dan adanya komponen elastik pada struktur korteks membran eritrosit. Penurunan deformabilitas pada sepsis akan meningkatkan waktu pengaliran darah, terutama mikrosirkulasi, sehingga berpengaruh negatif terhadap penghantaran oksigen ke jaringan dan dapat memperberat disfungsi organ yang terjadi. Pada sepsis dapat terjadi agregasi eritrosit, namun patofisiologi yang pasti belum diketahui. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
22
dapat terlihat melalui peningkatan laju endap darah. Kelainan pada membran sel eritrosit juga dapat mengakibatkan peningkatan penghancuran sel (Goyette et al., 2004). Bila terjadi peningkatan penghancuran eritrosit, maka kadar hemoglobin bebas akan meningkat. Anemia pada penderita dengan sepsis berat bisa terjadi akibat pendarahan. Dalam kebanyakan kasus, pada pasien sepsis didiagnosis sumber kehilangan darah yang jelas. Sumber anemia mungkin kurang jelas pada pasien yang menjadi septik akibat trauma besar dengan perdarahan langsung ke dalam jaringan lunak dalam hal ini seperti perdarahan retroperitoneum. Sepsis dapat memicu DIC dengan hemolisis karena fragmentasi sel darah merah. Sekitar 25% pasien dengan DIC akan memiliki bukti klinis hemolisis mikroangiopati diwujudkan oleh adanya schistocytes pada apusan darah tepi mereka (Goyette et al., 2004). Perubahan leukosit yang umum pada pasien dengan sepsis berat. Leukositosis netrofilik adalah manifestasi umum dari sepsis. Neutropenia pada penderita sepsis merupakan hasil dari penipisan prekursor granulosit sumsum tulang, sebuah granulositik atau perpindahan leukosit ke dalam fokus yang terinfeksi dalam jumlah yang melebihi kemampuan sumsum tulang untuk menggantikan mereka secara tepat waktu. Pada pasien dewasa yang mengalami sepsis berat lebih sedikit yang mengalami hal ini daripada pasien anak (Goyette et al., 2004). Trombositopenia adalah gejala yang sering terjadi pada penyakit kritis, umumnya digunakan dalam uji klinis terapi sepsis berat sebagai penanda disfungsi sistem organ hematologi. Dalam sebuah penelitian dari populasi ICU, sepsis telah diidentifikasi sebagai faktor risiko utama untuk trombositopenia. Sepsis yang terkait trombositopenia berasal dari banyak faktor. Dalam sebuah eksperimen sepsis, trombosit yang melekat pada endotel diaktifkan dalam beberapa organ. Mediator inflamasi dan produk bakteri seperti endotoksin dapat berkontribusi dalam terjadinya trombositopenia pada sepsis dengan meningkatkan reaktivitas dan adhesivitas platelet (Goyette et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara