BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanjut Usia ( LanSia ) 2.1.1 Definisi Lanjut Usia Lanjut usia merupakan tahap akhir dalam kehidupan manusia. Manusia yang memasuki tahap ini ditandai dengan menurunnya kemampuan kerja tubuh akibat perubahan atau penurunan fungsi organ-organ tubuh (Arisman, 2004). Berdasarkan WHO (Setianto, 2007) lansia dibagi menjadi tiga golongan yaitu elderly (60-75 tahun), old (76-90 tahun), dan very old (> 90 tahun). Menurut UU no 13 tahun 1998 pasal 1 ayat 2 tantang Kesejahteraan Lanjut Usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seorang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Batas usia lanjut menurut Departemen Kesehatan (2006) dibagi atas: 1. Virilitas (praseneium) : masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa (55-59 tahun). 2. Usia lanjut dini (senescen) : kelompok mulai memasuki masa usia lanjut dini (60-64 tahun). 3. Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif (> 65 tahun). 2.1.1.1 Karakteristik Kesehatan Lanjut Usia Kesehatan lansia dipengaruhi oleh proses menua. Proses menua didefinisikan sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif, dan detrimental. Keadaan ini menyebabkan kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan atau kemempuan bertahan hidup berkurang. Proses menua setiap individu dan setiap organ tubuh berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup, lingkungan dan penyakit degeneratif (Setiati, 2000). Proses menua terjadi pada berbagai organ seperti komposisi tubuh, otak, jantung, paru, ginjal dan saluran kemih, gastroentestinal serta muskuloskeletal pada lansia dijelaskan sebagai berikut: 1. Komposisi Tubuh Akibat penuaan pada lansia massa otot berkurang sedangkan massa lemak bertambah. Massa tubuh yang tidak berlemak berkurang sebanyak 6,3%, sementara massa lemak meningkat 2% dari berat badan perdekade setalah berusia 30 tahun (Forbes, dkk,. 1991, dalam Arisman 2004). Jumlah cairan tubuh berkurang dari sekitar 60% berat badan pada orang muda menjadi 45% dari berat badan wanita lansia. 2. Otak
Berat otak pada usia 90 tahun berkurang 10% dibandingkan saat masih muda. Junlah sel neuron berkurang kira-kira sebanyak 100.000 sel sehari. Pada lansia sehat sekitar 10% mengalami atrofi otak difus. Kondisi lain yang berubah adalah melambatnya proses informasi, menurunnya daya ingat jangka pendek, berkurangnya kemampuan otak untuk membedakan stimulus atau rangsangan yang datang. 3. Jantung Denyut jantung berubah akibat proses menua, antara lain berkurangnya frekuensi jantung, responterhadap stress serta complience ventrikel kiri. Perubahan pada sistem kardiovaskuler ditandai dengan adanya perubahan anatomi pada jantung dan pembuluh darah, menurunnya denyut nadi maksimal, meningkatnya tekanan darah, hipotensi postural, perubahan dalam pemulihan denyut nadi sesudah aktifitas fisik, menurunnya jumlah darah yang di pompa dalam tiap denyutan, dan perubahan dalam darah. 4. Paru Beberapa kondisi lansia terkait fungsi paru seperti meningkatnya infeksi saluran nafas atas, berkurangnya luas permukaan paru, berkurangnya elastisitas paru, perubahan volume paru dan kemungkinan terjadinya penyakit paru obstruktif menahun yang dapat memperpendek nafas, batuk, lendir yang berlebih, dan rendahnya toleransi terhadap latihan fisik.
5. Ginjal dan Saluran Kemih Meningkatnya usia seseorang sebanding dengan berkurangnya jumlah darah yang difiltrasi oleh ginjal. Hal ini desebabkan berkurangnya jumlah darah yang sampai ke ginjal karena gangguan jantung atau ateroskerosis. Proses menua mengakibatkan kapasitas mengeluarkan air dalam umlah besar berkurang karena ketidakmampuannya mengeluarkan urin yang encer. Akibatnya menimbulkan rasa lelah kelemahan non spesifik dan bingung. 6. Gastrointestinal Motilitas dan pengososngan lambung menurun seiring meningkatnya usia. Lapisan lambung akan menipis. Di atas usia 60 tahun sekresi HCL dan pepsin berkurang akibatnya penyerapan vitamin B12 dan zat besi menurun. Absorbsi karbohidrat juga menurun, namun absorbsi protein tidak terganggu.
7. Muskuloskeletal Komposisi otot berubah sepanjang waktu saat miofibril diganti oleh lemak, kolagen dan jeringan parut. Aliran darah ke otot berkurang sebanding dengan meningkatnya usia seseorang yang diikuti oleh berkurangnya jumlah zat-zat gizi dan energi yang tersedia untuk otot sehingga kekuatan otot berkurang. Massa tulang berubah setelah berusia 45 tahun, pada wanita kehilangan sekitar 25% dan pada pria sekitar 12%. Reabsorbsi tulang terjadi lebih besar dari pada formasi tulang. Sehingga kekuatan dan stabilitas tulang menurun. Selain itu juga terjadi perubahan degeneratif pada sendisendi penyangga tubuh. 2.1.3 Asupan Zat Gizi Mikro Pada Lanjut Usia Kekurangan sebagian vitamin dan mineral terjadi juga pada lansia. Beberapa penelitain membuktikan terjadinya kekurangan vitamin B6, B12, D dan asam folat. Kekurangan vitamin B6 dikaranakan randahnya asupan dan kebutuhan akan zat gizi ini lebih tinggi. Sedangkan vitamin B12 dan asam folat mengalami kekurangan karena asupan yang kurang dan adanya gangguan penyerapan (malabsorpsi). Agar ingatan tetap baik dan sistem saraf bagus, harus banyak makan makanan yang mengandung vitamin B6, B12, dan asam folat. Kekurangan vitamin D karena kurangnya frekuansi lansia terpapar matahari, asupan yang rendah, dan sintesis yang menurun akibat usia tua (Arisman, 2004). 2.2. Status Kognitif Dari berbagai penelitian yang dilakukan terhadap perubahan intelek, memori dan variabel psikologi lainnya, diketahui bahwa kinerja intelektual dan kemampuan melaksanakan tugas yang diberi batas waktu (terkait waktu) dan membutuhkan kecepatan, akan mengalami penurunan seiring dengan pertambahan usia. Walaupun sebagian besar penurunan kecepatan ini diakibatkan oleh perubahan motorik dan kemampuan persepsi, didapat bukti bahwa kecepatan pemrosesan di pusat saraf menurun dengan meningkatnya usia. 2.3. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Status Kognitif Pada Lansia 2.3.1 Asupan Zat Gizi Gizi dilihat sebagai salah satu faktor untuk memperbaiki status
kognitif. Banyak
penelitian menun jukkan bahwa stress oksidatif dan akumulasi radikal bebas terlibat dalam patofisiologi penyakit. Radikal bebas yang melampaui batas bertanggung jawab terhadap peroksidasi lemak berlebihan, hal ini dapat mempercepat proses degenerasi saraf (Nourhaesmi,
F., dkk., 2000 dalam Aisyah, 2009). Beberapa zat gizi yang berpengaruh terhadap status kognitif antar lain: 2.3.1.1 Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber utama energi bagi tubuh manusia. Sebagian karbohidrat di dalam sirkulasi tubuh manusia sebagai glukosa. Sebagai sumber energi utama glukosa berperan penting dalam aktifitas organ, termasuk sistem saraf pusat termasuk otak (Almatsier, 2001). 2.3.1.2 Protein Protein merupakan bagian utama dari sel hidup dan bagian terbesar tubuh sesudah air. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino (Almatsier, 2001). Konsenttrasi beberapa asam amino dapat mempengaruhi keberadaan pentingnya prekursor neurotransmitter di dalam otak. 2.3.1.3 Lemak Lemak dibutuhkan sebagai sumber energi, sumber asam lemak esensial, alat angkut vitamin larut lemak, memelihara suhu tubuh dan sebagai pelumas. WHO (1990) menganjurkan konsumsi lemak sebanyak 15-30% kebutuhan energi total. Asupan lemek berlebih dapat menggenggu kesehatan seperti kolesterol (Almatsier, 2001). 2.3.1.4 Vitamin A Peanan vitamin A berkaitan dengan dua hal meliputi mengontrol deferensiasi sel dan kompleks vitamin Amasuk ke dalam nukleus sehingga mempengaruhi DNA (Almatsier, 2001). Oleh karena vitamin A berhubungan dengan penuaan, terutama pada penuaan otak, selian itu vitamin A dikenal juga sebagai antioksidan. Hubungan antara asupan vitamin A dari makanan dengan fungsi kognitif menunjukkan hasil yang signifikan (La Rue, dkk., 1997 dalam Aisyah 2009). 2.3.1.5 Vitamin B12 Asupan vitamin B12 berpengaruh pada jaringan saraf karena salah satu fungsi dari vitamin B12 penting dalam fungsi normal metabolisme jaringan saraf. Kekurangan vitamin B12 dapat menurunkan kemampuan kognitif. Vitamin B12 merupakan kofaktor dua jenis enzim pada manusia yaitu metionin sintetase dan metilmalonil-KoA. Reaksi metilmalonil-KoA mutase terjadi dalam mitokondria sel dan menggunakan deoksiadenosilkobalamin sebagai kofaktor. Reaksi ini mengubah metilmalonil-KoA menjadi suksinil-KoA. Reksi-reaksi ini diperlukan untuk degradasi asam propionat dan asam lemak rantai ganjil terutama dalam sistem saraf. Diduga
gangguan saraf pada kekurangan vitamin B12 disebabkan gangguan aktivitas enzim ini (Almatsier, 2001) Penelitian pada medical Research Council’s (MRC) Cognitive Function and Ageing Study (CFAS) melaporkan bahwa defisiensi vitamin B12 pada lansia berhubungan dengan fungsi kognitif dan rendahnya nilai kemampuan bahasa dan ekspresi (McCracken, dkk., 2006 dalam Aisyah, 2009). Pada penelitian ini menunjukkan status vitamin B12 yang rendah berhubungan dengan lebih cepatnya penurunan fungsi kognitif (Clarke, dkk., 2007 dalam Aisyah, 2009). Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat menyebabakan kerusakan sisitem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan akhirnya dapat menyebabkan kematian sel-sel syaraf. 2.3.1.6 Vitamin B6 Vitamin B6 berperan dalam bentuk fosforilasi PLP dan PMP sebagai koenzim terutama dalam transmisi, dekarbboksilasi, dan reaksi lain yang berkaitan dengan metabolisme protein. Sebagai koenzim fosforilase, PLP membantu pelepasan gloikogen dari hati dan otot sebagai glukosa-1-fosfat. Pembentukan sfingolopida yang diperlukan dalam pembentukan lapisan mielin yang menyarungi sel-sel syaraf yang memerlukan PLP. Defisisensi vitamin B6 meninbulkan gejala-gejala yang berkaitan dengan gangguan metabolosme protein seperti lemah, mudah tersinggung dan sukar tidur. Kekurangan lebih lanjut dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan gangguan fungsi motorik. Jika defisiensi vitamin B6 terus berlanjut dapat menimbulkan kerusakan pada sistem syaraf (Almatsier, 2001). 2.3.1.7 Vitamin C Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim ataun kofaktor. Vitamin C atau dikenal juga sebagai asan askorbat adalah bahan yang kuat kemampuan reduksinya dan mampu bertindak sebagai antioksidan dalam reaksi-reaksi hidroksilasi (Almatsier, 2001). Selain itu vitamin C berperan memperlambat berkembangnya gangguan kognitif. 2.3.1.8 Vitamin E Antioksidan merupakan fungsi utama vitamin E. Komponennya penting untuk mencegah perusakan otak karena reaksi oksidatif. Oleh karena itu vitamin E dapat mencegah seseorang dari kemunduran fungsi kognitif yaitu dengan melindungi kerusakan jaringan saraf dari roses oksidatif (Meydani, M., 2001 dalam Aisyah 2009). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa asupan vitamin E yang tinggi pada usia lanjut dikaitkan dengan meningkatnya fungsi imun dan membaiknya status kognitif pada pasien dengan penyakit Alzheimer (Worthington Roberts dan Williams, 2000 dalam Almatsier, 2011) 2.3.1.9 Zat Besi
Zat besi atau Fe mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh. Defisiensi Fe berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama fungsi sistem neurotransmiter. Hal ini menyebabkan kepekaan reseptor saraf dopamin berkurang dan reseptor tersebut akan hilang. Daya konsentrasi, daya ingat dan kemampuan belajar terganggu (Almatsier, 2001). Zat besi merupakan kofaktor penting dalam sintesis neurotransmitter dan myelination. Oleh karena itu Fe memiliki peran penting pada proses perusakan atau pelemahan fungsi kognitif dan menurunnya kemampuan kerja. 2.3.1.10 Seng Seng berkaitan dengan berbagai aspek metabolisme. Peranan penting seng sebagai bagian integral enzim DNA polimerasi dan RNA polimerase yang diperlikan dalam sintesis DNA dan RNA. Kekurangan seng kronis dapat mengganggu sistem saraf pusat dan fungsi otak yang dihubungkan dengan fungsi Zn dalam struktur enzim antioksidan (Almatsier, 2001). 2.3.1.11 Asam Folat Asam folat berperan dalam pembentukan DNA dan RNA. Kekurangan asam folat dapat mengganggu metabolisme DNA sehingga dapat mengganggu kerja sel-sel dalam tubuh (Almatsier, 2001). Penelitian di Italia melaporkan bahwa kadar asam folat rendah berhubungan dengan akan meningkatkan risiko terjadinya demensia dan alzheimer (Ravaglia, dkk., 2005 dalam Aisyah, 2009). Penelitian ini didukung laporan lain yang menyatakan bahwa asupan asam folat berhubungan dengan meningkatnya fungsi kognitif (Ortega, dkk., 1997 dalam Aisyah, 2009). Pada orang lanjut usia, asam folat berperan mencegah terjadinya kepikunan serta penurunan memori ingatan pada otak. Penelitian telah membuktikan bahwa mereka yang mengkonsumsi asam folat setidaknya di usia 50 tahunan selama 3 tahun mampu mengimbangi mereka yang berusia 40 tahun dalam masalah ingatan pada sebuah tes di Belanda. 2.3.2 Kadar Homosistein Homosistein adalah asam amino (bagian terkecil dari protein) yang merupakan produk antara dalam siklus metionin menjadi sistein. Homosistein (2 amino 4 mercaptobutanoic acid) merupakan non protein sulfhydryl amino acid, yang metabolismenya terletak pada persimpangan antara jalur transsulfurasi dan remetilasi biosintesis metionin. Homosistein merupakan senyawa antara yang dihasilkan pada metabolisme metionin, suatu asam amino esensial yang terdapat dalam beberapa bentuk diplasma. Sulfhidril atau bentuk tereduksi dinamakan homosistein, dan disulfida atau bentuk teroksidasi dinamakan homosistin. Bentuk disulfida juga terdapat bersama-
sama dengan sistein dan protein yang mengandung residu sistein reaktif (homosistein yang terikat protein), bentuk ini dinamakan disulfida campuran. Bentuk teroksidasi merupakan bagian terbesar (98-99%) dalam plasma sedangkan bentuk tereduksi hanya 1% dari total homosistein dalam plasma. Asam folat, vitamin B6 dan vitamin B12 diperlukan dalam metablisme homosistein, sehingga apabila terjadi defisiensi pada salah satu komponen ini maka homosistein tidak dapat diubah menjadi metionin dan sistein dan dapat mengganggu metabolisme homosistein. 2.3.3 Aktivitas Fisik Aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang membutuhkan energi untuk mengerjakannya, seperti berjalan, menari, mengasuh cucuc dan lain sebagainya. Aktivitas fisisk yang terencana dan terstuktur yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang serta ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani disebut olahraga (Farizati, 2002 dalam Aisyah 2009). Secara fisiologis olahraga dapat meningkatkan kapasitas aerobik, kekuatan, fleksibilitas dan keseimbangan. Sedangkan secara psikologis olahraga dapat meningkatkan mood, mengurangi risiko pikun dan mencegah depresi.Aktif secara fisik dan kebiasaan berolah raga memberikan kontribusi terhadap kondisi kedehatan dan dapat mendukung status kesehatan. Aktifitas fisik yang dilakukan dengan baik dan teratur dapat mempertahankan kemampuan kognitif usia lanjut. 2.3.4 Umur Umur merupakan faktor risiko utama terhadap status kognitif pada lansia. Hubungan ini berbanding lurus yaitu semakin meningkatnya umur semakintinggi pula risiko terjadinya gangguan status kognitif. 2.3.5 Jenis Kelamin Gangguan kognitif pada lansia sering dialami oleh perempuan. Akan tetapi tidak dad perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dengan terjadinya gangguan kognitif, hal ini menunjukkan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama dalam mengalami gangguan kognitif. 2.3.6 Tingkat Pendidikan Pada beberapa penelitian melaporkan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya gangguan kognitif. Tingkat pendidikan yang rendah berpeluang empat kali lebig berisiko mengalami gangguam kognitif. Jika dibandingkan dengan lansia yang berpendidikan tinggi (Purnakarya, 2008 dalam Aisyah 2009).
2.3.7 Kebiasaan Merokok Rokok terdiri atas dua golongan besar yaitu komponen gas dan komponen padat. Komponen padat debagi menjadi nikotin dan tar. Tar ini mengandung bahan-bahan karsinigen yang dapat menyebabkan terjadinya kanker. Tar pada rokok dikaitkan gengan kerusakan kromosom pada manusia. Selain itu dampak rokok terhadap jantung, paru-paru, dan sistem vaskular dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan pada status kognitif.
http://farahokky.blogspot.com/2013/05/gizi-pada-lansia_12.html