BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Definisi Otitis media supuratif kronis adalah radang kronis telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga tersebut lebih dari tiga bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (World Health Organization 2004; Helmi 2005; Chole & Nason 2009). Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang dilapisi oleh stratified squamosa epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang terperangkap dalam rongga timpanomastoid, tetapi dapat juga terperangkap
pada
bagian
manapun
dari
tulang
temporal
yang
berpneumatisasi (Helmi 2005; Meyer, Strunk & Lambert 2006; Chole & Nason 2009). 2.2.
Anatomi Telinga Tengah Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani
dengan badan kapsul dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang mengandung rantai tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus, terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius, dan prosesus mastoid (Helmi 2005).
2.2.1. Membran Timpani Membran timpani dibagi menjadi dua bagian, pars flaksida yang merupakan bagian atas dan pars tensa yang merupakan bagian bawah. Membran ini terdiri atas tiga lapis, yaitu lapisan luar, tengah dan dalam. Lapisan luar merupakan kulit terusan dari kulit yang melapisi dinding liang telinga. Lapisan tengah merupakan jaringan ikat yang terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan radier dan lapisan sirkuler. Lapisan dalam merupakan bagian dari lapisan mukosa kavum timpani. Membran timpani
6 Universitas Sumatera Utara
merupakan struktur yang terus tumbuh yang memungkinkannya menutup bila ada perforasi (Helmi 2005; Gacek 2009).
2.2.2. Kavum Timpani Kavum timpani merupakan rongga yang dibatasi di sebelah lateral oleh membran timpani, di sebelah medial oleh promontorium, di sebelah superior oleh tegmen timpani dan inferior oleh selapis tulang yang membatasinya dengan bulbus jugularis (Gambar 2.1). Kavum timpani terutama berisi udara yang mempunyai ventilasi ke nasofaring melalui tuba eustachius. Menurut ketinggian batas superior dan inferior membran timpani, kavum timpani dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epitimpanum, mesotimpanum dan hipotimpanum. Di dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang pendengaran, yaitu maleus, inkus dan stapes yang menghubungkan membran timpani dengan foramen ovale. Selain itu terdapat juga korda timpani, muskulus tensor timpani dan ligamentum muskulus stapedius (Helmi 2005; Gacek 2009).
Gambar 2.1. Organ-organ penting di sekitar kavum timpani (Helmi 2005).
Universitas Sumatera Utara
Skutum merupakan lempeng tulang yang membatasi epitimpanum dengan sel mastoid. Ujung bawahnya adalah bagian atas dari tonjolan tulang tempat membran timpani melekat. Skutum relatif cepat tererosi oleh kolesteatoma (Helmi 2005). Pada telinga tengah dijumpai resesus membran timpani anterior yang disebut juga rongga Prussak (Gambar 2.2). Rongga ini dibatasi di sebelah lateral oleh pars flaksida, di sebelah superior oleh skutum dan ligamentum maleus lateralis, di sebelah inferior oleh prosesus brevis maleus, dan di sebelah medial oleh leher maleus. Kolesteatoma primer biasanya dimulai di daerah ini. Telinga tengah dilapisi oleh mukosa tipis yang terutama berepitel kuboid tak bersilia melapisi periosteum, termasuk tulang-tulang pendengaran dan ligamen-ligamen (Helmi 2005).
Gambar 2.2. Rongga Prussak atau resesus membran timpani anterior sebagai permulaan terjadinya kolesteatoma primer (Dahnert 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Tuba Eustachius Tuba eustachius adalah suatu saluran yang menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap proses
pneumatisasi
pada
telinga
tengah
dan
mastoid
serta
mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan atmosfir. Kestabilannya oleh karena adanya konstraksi muskulus tensor veli palatini dan muskulus levator veli palatini pada saat mengunyah dan menguap. Tiga perempat medial merupakan tulang rawan yang dikelilingi oleh jaringan lunak, jaringan adiposa, dan epitel saluran nafas (Helmi 2005; Gacek 2009).
2.2.4. Prosesus Mastoid Prosesus mastoid merupakan suatu tonjolan di bagian bawah tulang temporal yang dibentuk oleh prosesus zigomatikus di bagian anterior dan lateralnya serta pars petrosa tulang temporal di bagian ujung dan posteriornya (Helmi 2005). Pneumatisasi mastoid ternyata saling berhubungan dan drainasenya menuju aditus ad antrum. Terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh proses mastoid terisi oleh pneumatisasi, pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama sekali, sedangkan pada tipe diploik pneumatisasi kurang berkembang. Sel mastoid dapat meluas ke daerah sekitarnya, sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars skuamosa tulang temporal (Helmi 2005; Gacek 2009). Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang terletak persis di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang sekitarnya
yang
membatasi
rongga
mastoid
dengan
duramater,
sedangkan yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan
Universitas Sumatera Utara
membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus (Helmi 2005). 2.2.
Anatomi Regio Temporal Regio temporal merupakan rongga sempit dipenuhi oleh berbagai
struktur yang letaknya saling berdesakan dan bervariasi (Gambar 2.3). Daerah temporal terdiri atas unsur jaringan lunak dan tulang, yaitu seluruh telinga luar dan telinga tengah, kokhlea, labirin, perjalanan nervus fasialis, arteri karotis, vena jugularis dan sigmoid (Helmi 2005). Jaringan lunak di luar tulang temporal termasuk daun telinga, retro aurikula, kulit liang telinga dan membran timpani. Jaringan lunak di daerah temporoparietal dari luar ke dalam adalah kulit dan jaringan subkutis. Di sebelah dalamnya dan melekat erat dengan subkutis adalah fasia temporoparietal, sering disebut juga fasia temporalis superfisialis. Di bawah fasia ini terletak jaringan areolar longgar dan relatif avaskuler yang memisahkan fasia temporoparietal dengan fasia muskulus temporalis profunda. Fasia muskulus temporalis profunda membelah dua di sekitar linea temporalis untuk membungkus jaringan lemak. Pendarahan di daerah ini diurus oleh cabang-cabang arteri temporalis berupa arteri temporalis superfisialis (Helmi 2005). Arteri temporalis superfisialis muncul dari jaringan kelenjar parotis dan memberi cabang arteri temporalis media yang berjalan ke daerah pre aurikula. Arteri aurikularis posterior merupakan arteri yang relatif kecil cabang dari arteri karotis eksterna. Arteri ini melepas tiga cabang penting, yaitu arteri stilomastoideus, cabang aurikularis dan cabang oksipital (Helmi 2005). Persarafan sensoris daerah temporoparietal diurus oleh saraf aurikulotemporal, saraf sensoris dari nervus mandibularis yang terletak posterior
terhadap
arteri
temporalis
superfisialis
di
dalam
fasia
temporoparietal. Nervus fasialis, yang merupakan persarafan motorik
Universitas Sumatera Utara
daerah muka, juga lewat di dalam fasia temporoparietal. Cabang frontal nervus fasialis berjalan oblik persis di luar arkus zigomatikus (Helmi 2005).
Gambar 2.3. Spina supra meatum Henle merupakan bagian penting pada regio temporal (Meyer, Strunk & Lambert 2006).
Prosesus zigomatikus ke medial membentuk dinding posterior fossa mandibula dan ke posterior melengkung sedikit ke bawah menuju prosesus mastoid. Bagian itu mempunyai tonjolan yang disebut spina supra meatum Henle yang terletak pada fossa mastoidea sedikit di belakang atas liang telinga. Pada bagian ini juga terletak segitiga imajiner MacEwen yang berbatas ke superior pada linea temporalis, ke anterior pada tepi posterior liang telinga dan ke posterior dengan garis imajiner yang tegak lurus pada linea temporalis dan menyinggung dinding paling posterior liang telinga (Helmi 2005). 2.4.
Kekerapan Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi
dalam hal definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65-330 juta orang
Universitas Sumatera Utara
dengan telinga berair, 60% di antaranya (39-200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan (World Health Organization 2004). Vikram et al. (2008) melaporkan, dijumpai 17,43% penderita otitis media kronis dari 7.210 orang yang berobat ke klinik THT di India sejak Juli 2003 hingga Desember 2005. Pada 187 penderita dijumpai kolesteatoma, dimana 62 diantaranya mengalami komplikasi. Penelitian restrospektif selama sepuluh tahun di Departemen THT-KL Universitas Ain Shams Kairo menemukan 28,24% kasus kolesteatoma dari 3.364 penderita OMSK, 12,54% diantaranya dengan komplikasi (Mostafa, El Fiky & El Sharnouby 2008). Prahlada (1995) melaporkan pada penelitian yang dilakukan selama 18 bulan terhadap 25 penderita OMSK dengan kolesteatoma usia kurang dari 14 tahun di Rumah Sakit Nehru Chandigarh, India. Pada penelitian ini, setiap penderita menjalani pemeriksaan klinis dan mikroskopis sebelum operasi mastoid. Gejala klinis terbanyak adalah telinga berair (100%) diikuti penurunan pendengaran, tinnitus dan vertigo. Lamanya keluhan berkisar 0-3 tahun (32%). Tanda klinis tersering adalah perforasi posterosuperior (48%) disertai kolesteatoma. Semua penderita menjalani pemeriksaan radiologi konvensional (proyeksi Law) dan CT Scan. Dilaporkan HRCT 95% sensitif dan 75% spesifik dalam menentukan kolesteatoma, namun tidak dapat membedakan kolesteatoma dengan jaringan granulasi. Pemeriksaan ini 88% sensitif dan 97% spesifik dalam menilai destruksi tulang-tulang pendengaran, 100% sensitif dan 94% spesifik dalam menentukan erosi kanalis semisirkularis lateral, serta 100% sensitif dan spesifik dalam menilai destruksi lempeng sinus. Prata et al. (2011) melaporkan, dijumpai 40,24% kolesteatoma dari 82 telinga yang dilakukan mastoidektomi di Brazil sejak Februari 2007 hingga September 2008. CT Scan dilaporkan 72,73% sensitif dalam identifikasi
kolesteatoma,
56,67%
identifikasi
perubahan
tulang
pendengaran, dan 100% pada erosi kanalis semisirkularis lateral.
Universitas Sumatera Utara
Hal yang serupa dilaporkan Santosh et al. (2011) pada penelitian terhadap 30 penderita yang menjalani operasi mastoidektomi di RS. Bapuji,
India.
Preoperatif,
setiap
penderita
diperiksa
radiografi
konvensional (proyeksi Law) dan tomografi. Hasilnya, 86,6% penderita secara akurat didiagnosis kolesteatoma dan sesuai dengan temuan operasi. Menurut survei yang dilakukan pada tujuh propinsi di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan prevalensi OMSK sebesar 3,8% dari penduduk Indonesia (Kelompok Studi Otologi PERHATI–KL 2002). Restuti (2010) melaporkan 217 kasus OMSK dengan kolesteatoma di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta periode Januari 2004-Desember 2009, terdiri dari 157 (72,35%) penderita dewasa dan 60 (27,65%) penderita anak-anak. Gustomo (2010) di RS dr. Moewardi Surakarta melaporkan 21,13% kasus OMSK dengan kolesteatoma dari 653 kasus OMSK pada periode Januari 2007-Desember 2009, paling banyak terjadi pada usia 31-40 tahun. Siregar (2013) melaporkan 119 penderita OMSK tipe bahaya di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2006-2010, paling banyak terjadi pada usia 11-20 tahun, 53,78% laki-laki dan 46,22% perempuan. Sebanyak 68,91% akibat riwayat otitis media berulang dan 61,34% dengan keluhan utama telinga berair. Gejala dan tanda klinis yang sering yaitu telinga berair (76,47%) dan perforasi membran timpani (74,79%), baik perforasi atik (0,84%), marginal (1,68%), subtotal (23,53%), dan total (48,74%). Gangguan pendengaran terbanyak adalah tuli konduktif (58,82%). Pada foto proyeksi Schuller, 62,18% dijumpai gambaran mastoiditis kronis dengan kolesteatoma. Dari hasil kultur dijumpai 21,01% Pseudomonas aeruginosa. 86,55% terjadi komplikasi mastoiditis. 2.5.
Etiologi Faktor risiko pada otitis media adalah sumbatan tuba eustachius
(misalnya rinosinusitis, adenoid hipertrofi, atau karsinoma nasofaring), imunodefisiensi (primer atau didapat), gangguan fungsi silia, anomali
Universitas Sumatera Utara
midfasial kongenital (cleft palate atau Down syndrome), dan refluks gastroesofageal. Faktor risiko yang menonjol pada OMSK adalah infeksi otitis media yang berulang dan orang tua dengan riwayat otitis media kronis dengan perawatan yang tidak baik (World Health Organization 2004; Ramakrishnan, Kotecha & Bowdler 2007; Bhat et al. 2009; Chole & Nason 2009). Kuman yang terdapat di telinga tengah dapat masuk melalui liang telinga luar nasofaring,
dengan perforasi membran timpani ataupun dimana
Streptococcus
pneumoniae
melalui
merupakan
yang
terbanyak dijumpai pada otitis media akut. Pada isolasi dari otitis media kronis, kuman aerobik dan anaerobik juga terlibat pada sebahagian kasus. Kuman aerob yang sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus aureus dan basil gram negatif seperti Escherichia coli, Proteus species, dan Klebsiella spesies. Kuman anaerobik seperti Bacteroides sp. dan Fusobacterium sp. (World Health Organization 2004; Chole & Nason 2009). Selanjutnya jamur dapat pula dijumpai pada otitis media kronis khususnya Aspergillus sp. dan Candida sp., dan ini merupakan suatu pertimbangan dimana jamur mungkin dapat tumbuh berlebihan setelah pemakaian obat tetes antibiotika (Chole & Nason 2009). 2.6.
Patogenesis OMSK
dengan
kolesteatoma
bersifat
progresif,
dimana
kolesteatoma yang semakin luas bisa mendestruksi tulang yang dilaluinya. Infeksi sekunder dapat menyebabkan nekrosis septik di jaringan lunak yang dilalui kolesteatoma dan mengancam bisa terjadinya komplikasi, berupa
komplikasi
intratemporal
dan
intrakranial.
Glasscock
dan
Shambaugh membagi tipe invasi tulang menjadi tiga golongan yaitu (Gopen 2010):
Universitas Sumatera Utara
1. Tipe invasi tulang yang dimulai dengan invaginasi pars flaksida, sehingga
terbentuk
kantong
kecil
di
atik,
kemudian
terisi
kolesteatoma (primary acquired cholesteatoma). 2. Tipe invasi tulang dengan perforasi marginal atau total membran timpani
karena
invasi
epidermis
dan
berisi
kolesteatoma
(secondary acquired cholesteatoma). 3. Tipe invasi tulang dengan osteomielitis kronis atau skuestrum (chronic osteitis). Patogenesis congenital cholesteatoma masih belum diketahui secara pasti dan masih menjadi perdebatan. Ada beberapa teori patogenesis congenital cholesteatoma (Meyer, Strunk & Lambert 2006; Chole & Nason 2009): 1. Teori migrasi Anulus timpanikus mempunyai peranan yang penting dalam mengatur proliferasi dan migrasi dari kulit liang telinga selama masa perkembangan janin. Hilangnya jaringan ikat dari anulus timpanikus menyebabkan lapisan ektodermal bermigrasi dari liang telinga ke telinga tengah dan membentuk kolesteatoma. 2. Teori kontaminasi cairan amnion Kolesteatoma berkembang dari inokulasi telinga tengah dengan sel-sel epidermal yang ada di cairan amnion, yang memasuki anterosuperior mesotimpanum melalui tuba eustachius. 3. Teori inklusi Pada kondisi inflamasi yang berulang, terdapat peningkatan risiko terjadinya retraksi, perlekatan dan pelepasan membran timpani dari tulang-tulang pendengaran. Pada proses pelepasan membran timpani, beberapa sel dari membran timpani menjadi terperangkap pada kavum timpani dan membentuk kolesteatoma. 4. Teori pembentukan epidermoid Penebalan lapisan ektodermal epitel berkembang di dekat ganglion genikulatum, ke arah medial dari leher maleus. Massa epitel ini
Universitas Sumatera Utara
segera mengalami involusi untuk menjadi lapisan telinga tengah yang matur. Jika gagal mengalami involusi, bentuk ini menjadi sumber dari kolesteatoma kongenital. Beberapa teori patogenesis pada acquired cholesteatoma antara lain (Meyer, Strunk & Lambert 2006; Chole & Nason 2009; Prinsley 2009): 1. Primary acquired cholesteatoma a. Teori invaginasi Invaginasi membran timpani dari atik atau pars tensa regio posterosuperior membentuk retraction pocket. Kemudian pada tempat ini terbentuk matriks dari kolesteatoma berupa sel-sel epitel yang tertumpuk pada tempat tersebut. b. Teori hiperplasia sel basal Pada teori ini sel-sel basal pada lapisan germinal pada kulit berproliferasi akibat dari infeksi sehingga membentuk epitel skuamosa berkeratinisasi. c. Teori otitis media efusi Pada anak dengan retraksi di regio atik, tuba eustachius lebih sering berkonstriksi daripada dilatasi ketika menelan. Tekanan negatif di kavum timpani yang disebabkan oleh disfungsi tuba eustachius dapat menyebabkan retraksi dari pars flaksida dan menyebabkan penumpukan debris deskuamasi. 2. Secondary acquired cholesteatoma a. Teori implantasi Implantasi iatrogenik dari kulit ke telinga tengah atau membran timpani akibat operasi, benda asing atau trauma ledakan. b. Teori metaplasia Infeksi kronis ataupun jaringan inflamasi diketahui dapat mengalami perubahan metaplasia. Perubahan dari epitel kolumnar menjadi keratinized stratified squamous epithelium akibat dari otitis media yang kronis atau rekuren. c. Teori invasi epitel
Universitas Sumatera Utara
Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar dari membran timpani ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel yang lain. Jika mukosa telinga tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena perforasi membran timpani, mucocutaneus junction secara teori bergeser ke kavum timpani. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk.
menyatakan
bahwa
sitokeratin
(CK
10),
merupakan
intermediate filament protein dan marker untuk epitel skuamosa, dimana ditemukan matriks kolesteatoma pada epidermis liang telinga tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. Perforasi marginal dipahami sebagai penyebab pertumbuhan epidermal dari pada perforasi sentral, karena lokasi perforasi marginal membuka keadaan mukosa telinga tengah dan struktur dinding tulang liang telinga. Pada kasus otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari tulang hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas penyakit ini. Konsep yang bertentangan antara nekrosis akibat tekanan atau sekresi faktor-faktor proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor dikontrol oleh dua esensial sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor κB Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri sepertinya memegang peranan penting terhadap fenomena ini (Chole & Nason 2009). 2.7.
Histologi Berdasarkan histologi, kombinasi dari material keratin dan stratified
squamous epithelium merupakan diagnosis patologik untuk kolesteatoma. Adanya epitel skuamosa di telinga tengah adalah abnormal. Pada
Universitas Sumatera Utara
keadaan normal telinga tengah dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia di bagian anterior dan inferior kavum timpani serta epitel kuboidal di bagian tengah dari kavum timpani dan di atik. Tidak seperti yang terdapat pada epidermis kulit, epitel skuamosa ini tidak mempunyai struktur adneksa. Hal ini mungkin karena letaknya berbatasan dengan jaringan granulasi atau fibrosa yang mengalami inflamasi, dan juga reaksi giant cell pada material keratin (Grewal, Hathiram & Saraiya 2007; Caponetti, Thompson & Pantanowitz 2009; Mills 2009). 2.8.
Klasifikasi OMSK dapat dibagi dalam kasus-kasus tanpa atau dengan
kolesteatoma (Lee 2003; Chole & Nason 2009). Nama lain dari OMSK dengan kolesteatoma adalah jenis atikoantral karena biasanya proses dimulai di daerah itu; disebut juga jenis tulang karena penyakit menyebabkan erosi tulang seperti kolesteatoma, granulasi atau osteitis. Jenis ini melibatkan bagian posterosuperior dari celah telinga tengah dan berhubungan dengan perforasi marginal. Jenis ini juga dikenal sebagai tipe bahaya atau maligna (Helmi 2005; Dhingra 2007; Browning et al. 2008). Kolesteatoma berdasarkan patofisiologinya dapat dibagi menjadi (Meyer, Strunk & Lambert 2006; Kutz & Friedman 2007; Vikram et al, 2008): 1. Congenital cholesteatoma Dua pertiga kolesteatoma kongenital di telinga tengah terlihat sebagai massa putih di kuadran anterosuperior membran timpani, dapat juga berada di membran timpani dan di apeks petrosa. 2. Acquired cholesteatoma Terdapat dua jenis acquired cholesteatoma, yaitu : a. Primary acquired cholesteatoma Kolesteatoma yang diakibatkan karena retraksi pars flaksida, disebut juga retraction pocket cholesteatoma.
Universitas Sumatera Utara
b. Secondary acquired cholesteatoma Kolesteatoma yang muncul karena adanya perforasi membran timpani, biasanya pada kuadran posterosuperior membran timpani. 2.9.
Gejala dan Tanda Klinis
2.9.1. Gejala Klinis (Chole & Nason 2009) 1. Telinga berair OMSK mengakibatkan telinga berair dengan sekret yang kental. Jika disertai dengan kolesteatoma, sekret berbau busuk dan purulen. 2. Gangguan pendengaran Pendengaran normal ketika rantai tulang pendengaran masih utuh. Gangguan pendengaran pada OMSK sebagian besar adalah konduktif namun dapat pula bersifat campuran. 3. Perdarahan Gejala ini timbul jika terdapat granulasi atau polip dari telinga tengah. 4. Nyeri telinga Nyeri telinga bisa terjadi akibat komplikasi intrakranial seperti abses di epidural, subdural maupun otak. 5. Sakit kepala Gejala ini disebabkan oleh komplikasi intrakranial. 6. Hoyong Hoyong terjadi jika terdapat fistula labirin. 7. Kelumpuhan wajah Gejala ini merupakan indikasi erosi kanalis fasialis.
2.9.2. Tanda (Chole & Nason 2009) 1. Perforasi Dijumpai pada atik atau daerah posterosuperior. Perforasi atik kecil bisa tidak terlihat disebabkan adanya sekret telinga. Jika perforasi
Universitas Sumatera Utara
cukup besar atau total, mukosa telinga tengah dan sebagian tulang pendengaran bisa dinilai. 2. Retraction pocket Invaginasi
membran
timpani
terlihat
di
daerah
atik
atau
posterosuperior. Tanda ini mudah terlihat dibawah pemeriksaan mikroskop. 3. Kolesteatoma Setelah pembersihan dengan suction dan pemeriksaan di bawah mikroskop, tanda ini merupakan bagian penting dari pemeriksaan klinis dan penilaian jenis OMSK. 4. Jaringan granulasi atau polip Tanda ini terjadi akibat inflamasi mukosa telinga tengah, kadangkadang meluas hingga ke liang telinga. Menurut Djaafar (2007), tanda-tanda klinis OMSK tipe bahaya adalah: 1. Terdapat abses atau fistel retroaurikuler. 2. Terdapat polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah. 3. Terlihat
kolesteatoma
pada
telinga
tengah
terutama
di
epitimpanum. 4. Sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma). 5. Terlihat bayangan kolesteatoma pada foto rontgen mastoid. 2.10. Diagnosis Diagnosis OMSK ditegakkan dengan cara (Kimitsuki et al. 2001; Migirov 2003; Dhingra 2007; Lee, Hong, Park & Jung 2007; Trojanowska et al. 2007; Chole & Nason 2009): 1. Anamnesis Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang paling sering dijumpai adalah telinga
Universitas Sumatera Utara
berair dan berbau busuk. Jika terdapat jaringan granulasi atau polip, sekret yang keluar bisa bercampur dengan darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan gangguan pendengaran, sakit kepala, hoyong, bengkak ataupun lubang di belakang telinga, dan mulut mencong. 2. Pemeriksaan otoskopi Pemeriksaan otoskopi akan menunjukkan adanya dan letak perforasi. Dari perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah. 3. Pemeriksaan audiologi Evaluasi audiometri, pembuatan audiogram nada murni untuk menilai hantaran tulang dan udara, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang. 4. Pemeriksaan radiologi Radiologi konvensional seperti foto polos proyeksi Schüller berguna untuk menilai kasus kolesteatoma. Pemeriksaan CT Scan lebih efektif menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma. CT Scan merupakan pemeriksaan penting sebelum operasi pada setiap kasus infeksi telinga tengah dengan komplikasi. MRI lebih baik daripada CT Scan dalam menunjukkan kolesteatoma, namun kurang memberikan informasi tentang keadaan pertulangan. 5. Pemeriksaan mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan antibiotika yang tepat. 2.11. Komplikasi Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma dapat berupa (Neely & Arts 2006; Browning et al. 2008; Friedland, Pensak & Kveton 2009): 1. Komplikasi kranial a. Mastoiditis
Universitas Sumatera Utara
b. Paralisis nervus fasialis c. Abses subperiosteal d. Petrositis e. Labirinitis f. Fistula labirin g. Kebocoran cairan serebrospinal/ensefalokel 2. Komplikasi intrakranial a. Meningitis b. Tromboflebilitis sinus lateralis c. Abses epidural d. Empiema subdural e. Abses otak f. Hidrosefalus otitis 2.12. Penatalaksanaan Prinsip terapi OMSK dengan kolesteatoma adalah pembedahan. Ada beberapa prosedur operasi untuk pembedahan kolesteatoma (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).
2.12.1. Atikotomi Kolesteatoma yang terbatas hanya pada regio atik dapat diangkat dengan prosedur atikotomi, yang dikenal sebagai epitimpanotomi atau timpanotomi
anterior,
dimana
kerusakan
pada
daerah
skutum
direkonstruksi dengan tandur dari tulang rawan tragus dan tetap menjaga keutuhan dinding liang telinga serta tulang-tulang pendengaran (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).
2.12.2. Canal Wall Down Procedures Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum
Universitas Sumatera Utara
mastoid berhubungan langsung dengan liang telinga luar (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009). 1. Radical Mastoidectomy: operasi ini ditujukan untuk eradikasi penyakit sebaik-baiknya. Pada cara ini dilakukan pembersihan total sel-sel mastoid di sudut sinodura, di daerah segitiga Trautmann, di sekitar kanalis fasialis, di sekitar liang telinga yaitu prosesus zigomatikus, juga di prosesus mastoideus sampai ke ujung mastoid. Kemudian membuang inkus dan maleus, hanya stapes atau sisa stapes yang dipertahankan, sehingga membentuk kavitas yang merupakan gabungan rongga mastoid, kavum timpani dan liang telinga. Mukosa kavum timpani juga dibuang seluruhnya, muara tuba eustachius ditutup dengan tandur jaringan lunak (Gambar 2.4). Kerugian cara ini adalah kesulitan rekonstruksi membran timpani, sehingga terdapat kesulitan dalam usaha memperbaiki pendengaran penderita namun dengan teknik ini dapat dicapai suatu safe ear. Untuk kasus kolesteatoma yang lebih lanjut dengan perluasan yang hebat, mastoidektomi radikal perlu dipertimbangkan tanpa melihat kemungkinan mempertahankan fungsi pendengaran (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009). 2. Modified Radical Mastoidectomy: adalah operasi untuk eradikasi penyakit sehingga epitimpani, antrum mastoid dan liang telinga menjadi satu rongga yang berhubungan langsung dengan dunia luar melalui meatus akustikus eksternus. Tindakan ini seperti mastoidektomi radikal, kecuali tetap mempertahankan osikel dan membran timpani yang ada untuk mempertahankan fungsi transformasi
suara.
Teknik
operasi
ini
adalah
dengan
membersihkan seluruh rongga mastoid, merendahkan dinding posterior liang telinga, dan diikuti dengan tindakan timpanoplasti. Dengan operasi ini fungsi pendengaran dapat dipertahankan. Indikasi utama operasi ini adalah adanya kolesteatoma di atik dan
Universitas Sumatera Utara
antrum dengan mesotimpanum normal dan defek hanya pada pars flaksida (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).
Gambar 2.4. Radical mastoidectomy, SS, sigmoid sinus; Tm, tympanic membrane, dilakukan pembersihan total sel-sel mastoid dan dinding posterior liang telinga diruntuhkan (Meyer, Strunk & Lambert 2006).
2.12.3. Canal Wall Up Procedures Kolesteatoma dibuang dengan pendekatan kombinasi melalui mastoid dan liang telinga, tanpa menghancurkan dinding posterior liang telinga (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009). Intact canal wall pada prinsipnya adalah mengangkat secara komplit matriks kolesteatoma tanpa merusak anatomi liang telinga luar. Pendekatan secara kombinasi transkanal dan transmastoid dapat mengeluarkan massa kolesteatoma yang menerobos facial recess. Kolesteatoma di sinus timpani sulit dikeluarkan karena lapang pandang yang terbatas pada daerah ini. Jansen, Smith, dan Sheehy merupakan
Universitas Sumatera Utara
pelopor operasi mastoidektomi dengan kavitas tertutup yang disebut intact canal wall tympanoplasty with mastoidectomy atau combined approach tympanoplasty yang dikatakan mempunyai kemungkinan lebih baik untuk penyembuhan penyakit dan memperbaiki fungsi pendengaran (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009). 2.13. Pemeriksaan Radiologik Mastoid Pemeriksaan
radiologik
konvensional
pada
tulang
temporal
memiliki nilai penyaring serta dapat menentukan status pneumatisasi mastoid dan piramid tulang petrosus. Dengan pemeriksaan ini dapat dinilai besar dan perluasan suatu lesi yang berasal dari tulang temporal atau yang merupakan perluasan dari lesi-lesi struktur sekitar tulang temporal. Sedangkan untuk proses yang kecil agak sukar dideteksi, kecuali dengan menggunakan pemeriksaan tomografi (Makes 2005). Untuk selalu mendapatkan hasil pemeriksaan yang memuaskan, dipakai unit untuk kepala karena kelenturan yang didapatkan pada alat ini. Bagian atas meja pemeriksaan harus sempit, supaya bahu pasien dibawahnya berada dalam posisi tegak selama pemeriksaan, sehingga kepala lebih dekat ke film. Bagian atas meja pemeriksaan yang transparan memudahkan fokus daerah yang akan diperiksa, dengan melihat tempat masuk dan keluarnya pusat pancaran sinar X. Unit itu harus dilengkapi dengan sebuah tabung yang memiliki titik fokus yang kecil (0,3 milimeter) dengan maksud menambah ketajaman (Valvassori 1997). Ukuran sinar haruslah sesempit mungkin untuk daerah yang akan diteliti, dengan demikian mengurangi sinar yang menyebar, yang bisa membuat film berkabut sehingga kurang tajam. Dengan memakai sinar yang sempit diperlukan posisi kepala pasien dan pengarahan sinar yang tepat. Hal ini dapat terlaksana apabila ahli radiologi memahami anatomi dasar dari daerah yang akan diperiksa (Valvassori 1997). Proyeksi tertentu sangat diperlukan untuk memeriksa tulang temporal.
Tiap
proyeksi
mempunyai
kegunaan
khusus
untuk
Universitas Sumatera Utara
memperlihatkan satu atau lebih struktur yang dapat terlihat pada sumbu yang tepat dan tidak diragukan oleh bayangan struktur yang menutupinya. Berbagai proyeksi didapatkan dengan memutar kepala pasien atau mengganti arah pusat sinar X. Seleksi proyeksi berdasarkan pada dua prinsip dasar radiografi, yaitu (Valvassori 1997): 1. Struktur yang dekat dengan film lebih tajam dan tidak banyak diperbesar daripada yang jauh dari film. Karena itu sisi yang akan diperiksa harus selalu diletakkan dekat dengan film. 2. Dengan membelokkan sinar X atau kepala, struktur yang saling berhimpitan yang awalnya terletak dalam satu bidang dapat tersingkirkan. Struktur yang dekat dengan permukaan meja pemeriksaan diproyeksikan dalam posisi yang berdekatan pada film sinar X, sedangkan struktur yang lebih jauh dari film dijauhkan dari pancaran tergantung arah pancaran sinar X. Struktur yang sangat berdekatan memerlukan sudut yang lebih besar dibandingkan dengan struktur yang terpisah jauh. Ada beberapa proyeksi standar pada pemeriksaan foto polos tulang temporal, seperti proyeksi Schüller, Law, Mayer, Owen, Chausse III, Stenvers, Towne, submentovertikal, dan transorbital (Lee 2003). Saat ini, penggunaan
radiologik
konvensional
terbatas
untuk
mengevaluasi
pneumatisasi mastoid dan penilaian posisi maupun integritas elektroda implan koklea serta evaluasi sendi temporomandibular. Hanya tiga proyeksi yang praktis menarik: proyeksi lateral atau Schüller, frontal atau transorbital, dan proyeksi oblik atau Stenvers (Mafee & Valvassori 2009). Daerah antrum dan atik dapat dinilai dengan proyeksi Schüller, namun kadang sulit dinilai karena bayangan labirin. Hal ini dapat diatasi dengan proyeksi Mayer. Berkas sinar X yang semula ditujukan 300 menjadi 450 pada proyeksi ini. Elevasi ini efektif menilai antrum dan atik tanpa bayangan labirin (Compere 1990).
Universitas Sumatera Utara
2.13.1. Proyeksi Schüller atau Rungstrom Proyeksi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Proyeksi foto dibuat dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan berkas sinar X ditujukan dengan sudut 25-300 sefalokaudal (Gambar 2.5) (Lee 2003; Makes 2005; Mafee & Valvassori 2009).
Gambar 2.5. Posisi penderita pada proyeksi Schüller, berkas sinar X ditujukan dengan sudut 25-300 sefalokaudal (Yong 2001).
Pada proyeksi ini perluasan pneumatisasi mastoid dan struktur trabekulasi dapat tampak dengan jelas (Gambar 2.6). Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan hubungannya dengan sinus lateralis (Makes 2005). Bidang anterior dari bagian vertikal sinus sigmoid (berbatasan dengan bagian yang paling lateral dari bagian posterior piramid petrosus)
Universitas Sumatera Utara
membentuk garis yang hampir vertikal. Pada bagian atas garis ini bergabung dengan garis lain, yang melengkung ke depan dan ke bawah membentuk bagian yang paling lateral dari sudut tulang petrosus yaitu sudut sinodural dari Citelli. Garis yang terakhir ini dibentuk oleh aspek superior dari bagian lateral piramid os petrosus. Bagian yang lebih ke tengah dari tepi petrosus superior, dari eminensia arkuata sampai apeks, dipindahkan ke bawah oleh pembelokan dari gugusan sinar X dan menghilangkan garis yang terletak di depan dan bawah, menyilang daerah epitimpanum dan leher dari kondilum mandibula. Di atas garis ini bagian atas atik bersama kaput maleus biasanya kelihatan. Akhirnya sendi temporomandibular jelas terlihat (Mafee & Valvassori 2009).
Gambar 2.6. Gambaran pneumatisasi mastoid yang pneumatik pada proyeksi Schüller (Yong 2001).
2.13.2. Proyeksi Transorbital Proyeksi ini dapat dicapai dengan penderita menghadap ke film atau belakang kepalanya ke film (Gambar 2.7). Kepala penderita ditekuk di dagu sehingga garis orbitomeatal tegak lurus pada dasar meja
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan. Untuk rincian yang lebih baik, tiap sisi harus dibuat terpisah dan pusat sinar X diarahkan ke pusat orbita dari sisi yang akan diperiksa, serta tegak lurus pada film (Mafee & Valvassori 2009). Apeks petrosus jelas batasnya, tetapi diperpendek karena letaknya miring terhadap bidang film. Kanalis akustikus interna kelihatan seluruh panjangnya sebagai pita horizontal yang radiolusen berjalan melalui piramid petrosus. Di ujung medial kanalis, tepi bebas dari dinding posterior sangat jelas dan licin, cekung ke medial. Seringkali kanalis akustikus interna yang berupa pita yang radiolusen tampak memanjang ke arah medial hingga bibir dinding posterior ke dalam apeks petrosus. Gambaran ini bukan disebabkan oleh kanalis akustikus interna, melainkan karena perpanjangan medial bibir atas dan bawah dari porus (pintu) kanalis dan lekuk yang terbentuk. Sebelah lateral dari kanalis akustikus interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis superior maupun horizontal yang radiolusen biasanya dapat terlihat. Lingkaran koklea bagian apikal dan medial terhimpit dengan bagian lateral kanalis akustikus interna, sedangkan lengkungan basiler tampak dibawahnya, demikian juga dengan vestibulum (Mafee & Valvassori 2009).
Gambar 2.7. Posisi penderita pada proyeksi transorbital, sinar X diarahkan tegak lurus pada film (Yong 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.13.3. Proyeksi Stenvers Proyeksi ini dibuat dengan penderita menghadap ke film dengan kepala sedikit menekuk dan berputar 450 ke arah sisi yang tidak diperiksa (Gambar 2.8). Tepi lateral orbita pada sisi yang diperiksa terletak dekat sekali dengan permukaan meja pemeriksaan. Gugusan sinar X bersudut 12-140 ke kaudal (Mafee & Valvassori 2009).
Gambar 2.8. Posisi penderita pada proyeksi Stenvers, sinar X bersudut 12-140 ke kaudal (Yong 2001).
Seluruh apeks petrosus terlihat lengkap di sebelah lateral rima orbita. Pembukaan kanalis akustikus interna tampak di depan berbentuk lonjong yang radiolusen, terbuka ke medial dan berakhir di sebelah lateral oleh tepi bebas dinding posterior kanalis akustikus interna. Sebelah lateral dari pembukaan, kanalis akustikus interna tampak sangat memendek. Vestibulum dan kanalis semisirkularis, terutama bagian posterior, yang
Universitas Sumatera Utara
dalam proyeksi ini terletak di dalam bidang yang sejajar film, biasanya dapat dikenali. Diluarnya, seluruh mastoid jelas terlihat, dengan prosesus mastoid bebas dari himpitan (Gambar 2.9) (Mafee & Valvassori 2009).
Gambar 2.9. Gambaran pneumatisasi mastoid yang pneumatik pada proyeksi Stenvers (Yong 2001).
2.13.4. Proyeksi Mayer Proyeksi Mayer dibuat dengan kepala penderita berputar 450 ke arah sisi bawah yang diperiksa dan tabung disesuaikan sehingga sinar utama melewati kanalis akustikus eksterna menuju film dengan sudut 450 (Gambar 2.10). Proyeksi ini memberikan gambaran aksial dari tulang petrosus dan pneumatisasi mastoid. Antrum mastoid, kanalis akustikus eksterna dan sisi depan kavum timpani jelas terlihat (Gambar 2.11) (Lee 2003).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.10. Posisi penderita pada proyeksi Mayer, sinar X melewati kanalis akustikus eksterna menuju film dengan sudut 450 (Yong 2001).
Gambar 2.11. Gambaran pneumatisasi mastoid yang diploik pada proyeksi Mayer (Yong 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.14. Gambaran Radiologik pada OMSK Gambaran radiologik
pada
otitis
media kronis
terdiri atas
perselubungan yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid, serta perubahan yang bervariasi pada struktur trabekulasi mastoid. Proses inflamasi pada mastoid akan menyebabkan penebalan struktur trabekulasi diikuti demineralisasi trabekula, pada saat ini yang tampak pada foto adalah perselubungan sel udara mastoid dan jumlah sel udara yang berkurang serta struktur trabekula yang tersisa tampak menebal. Jika proses inflamasi terus berlangsung, maka akan terlihat obliterasi sel udara mastoid dan biasanya mastoid akan terlihat sklerotik. Kadang-kadang lumen antrum mastoid dan sisa sel udara mastoid akan terisi jaringan granulasi sehingga pada foto akan terlihat pula sebagai perselubungan (Makes 2005). Bersamaan dengan progresivitas infeksi, maka akan terjadi demineralisasi diikuti destruksi trabekula dimana pada proses mastoiditis yang hebat akan terjadi penyebaran ke arah posterior dan menyebabkan tromboflebitis pada sinus lateralis (Makes 2005). 2.15. Gambaran Radiologik pada Kolesteatoma Pada kolesteatoma yang menyebar ke arah mastoid akan menyebabkan destruksi struktur trabekula mastoid dan pembentukan kavitas besar yang berselubung dengan dinding yang licin. Kadangkadang kolesteatoma dapat meluas ke sel udara mastoid tanpa merusak trabekulasi tulang dan jenis ini sering dijumpai pada anak-anak, dimana gambaran radiologiknya berupa perselubungan pada sel udara mastoid dan sulit dibedakan dengan mastoiditis biasa. Untuk melihat lesi-lesi kolesteatoma yang kecil atau ingin melihat lesi lebih jelas perlu dibuat tomografi tulang temporal (Makes 2005). Pada kebanyakan kasus kolesteatoma, proyeksi Schüller seharusnya cukup karena memungkinkan penilaian terhadap pneumatisasi mastoid yang membantu pendekatan operasi (Zahnert & Offergeld 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.16. Diagnosis Banding secara Radiologis Menurut Zismor dan Novak, gambaran radiolusen pada foto polos mastoid dalam mendeteksi kolesteatoma perlu dipikirkan penyakitpenyakit lain. Beberapa diagnosis banding secara radiologis pada OMSK dengan kolesteatoma antara lain (Sohar 1991): 1. Bentuk variasi dari keadaan normal, dapat menyerupai gambaran radiolusen pada daerah antrum dan mastoid yaitu antrum yang besar dan biasanya simetris atau sinus sigmoid yang prominen yang dapat memanjang ke anterior hingga posterior mastoid. 2. Defek bekas operasi, dapat diketahui dengan anamnesis yang teliti. 3. Destruktif mastoiditis, pada keadaan ini tampak perselubungan pada telinga tengah dan mastoid. Destruksi yang terjadi biasanya berbatas tidak jelas dan irregular. 4. Tumor-tumor jinak pada telinga tengah, antara lain: a. Adenoma, biasanya pada bagian hipotimpanum, merupakan massa jaringan lunak dengan bentuk tidak spesifik dan tidak menyebabkan erosi tulang. b. Kista epidermoid, disebut pula sebagai kolesteatoma kongenital, tampak sebagai massa jaringan lunak yang berbatas tegas dan mendestruksi tulang sekitarnya, tetapi tidak melakukan erosi pada skutum. c. Hemangioma, tampak sebagai massa jaringan lunak dengan batas tidak tegas, mendestruksi tulang-tulang dan sering mengenai nervus fasialis. 5. Tumor-tumor ganas primer maupun sekunder. Gambaran yang dominan adalah destruksi tulang yang meluas, tidak beraturan dan tepi yang tidak rata. Tumor ganas primer yang sering terdapat pada telinga tengah antara lain karsinoma sel skuamosa, kista adenoid, dan rhabdomiosarkoma.
Universitas Sumatera Utara
2.17. Kerangka Teoritis
FAKTOR RISIKO -
UMUR PEKERJAAN JENIS KELAMIN
Riwayat otitis media berulang Infeksi bakteri atau virus Alergi Sumbatan tuba eustachius Lingkungan Sosial ekonomi/imunodefisiensi Anomali midfasial kongenital Gangguan fungsi silia Refluks gastroesofageal
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS
ANAMNESIS PEMERIKSAAN OTOSKOPI PEMERIKSAAN AUDIOLOGI PEMERIKSAAN RADIOLOGI
TANPA KOLESTEATOMA
DENGAN KOLESTEATOMA
PEMBEDAHAN
Universitas Sumatera Utara