BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kitin
Kitin adalah kopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin dan D-glukosamin yang bertautan dengan ikatan β-(1-4) glikosida, di mana unit N-asetil-D-glukosamin adalah yang mendominasi dalam rantai polimerik. Bentuk deasetilasi dari kitin adalah kitosan. Kitin dan kitosan dapat ditemukan sebagai material penyusun dalam banyak organisme akuatik, organisme yang hidup di daratan, dan beberapa mikroorganisme (Tokura dan Tamura, 2007).
Kitin dan kitosan adalah polisakarida yang menarik karena kehadiran gugus fungsi amino yang cocok untuk memodifikasi struktur yang diinginkan. Selain dari gugus amino, mereka memiliki 2 gugus hidroksil untuk membantu modifikasi kimia. Sama seperti selulosa, kitin dan kitosan dapat mengalami banyak reaksi seperti eterifikasi, esterifikasi, dan ikat silang.
Struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan berbeda pada gugus yang terikat di posisi atom C-2. Gugus pada C-2 selulosa adalah gugus hidroksil, sedangkan pada C-2 kitin adalah gugus N-asetil (-NHCOCH3, asetamida) seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 2.1.) : CH2OH
CH2OH
O
O
O
O
OH
R
O *
OH
R
n
Gambar 2.1. Struktur polimer selulosa (R= -OH) dan kitin (R= -NHCOCH3 (Sugita, 2009)
Kitin merupakan bahan yang tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradabel). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih dengan kalor spesifik 0,373±0,03 kal/g ̊ C (Knorr, 1984) dan derajat rotasi spesifik [α]D 18 + 22 ̊ pada konsentrasi asam metanasulfonat 1,0%. Sebagai
biopolimer kristalin, kitin terdapat dalam 3 bentuk kristal di alam, yaitu α, β, dan γ (Sugita, 2009).
Kitin hampir tidak larut dalam air, asam encer, dan basa, tetapi larut dalam asam format, asam metanasulfonat, N,N-dimetilasetamida yang mengandung 5% litium klorida, heksafluoroisopropil alkohol, heksafluoroaseton, dan campuran 1,2-dikloroetana-asam trikloroasetat dengan nisbah 35:65(%[v/v]) (Hirano, 1986). Asam mineral pekat seperti H2SO4, HNO3, dan H3PO4 dapat melarutkan kitin sekaligus menyebabkan rantai panjang kitin terdegradasi menjadi satuansatuan yang lebih kecil (Bastaman, 1989). Sifat fisika dan kimia kitin di atas telah dijadikan bagian dalam spesifikasi kitin (Tabel 2.1.). Tabel 2.1. Spesifikasi kitin Parameter
Ciri – ciri
Ukuran partikel
Serpihan dalam bentuk serbuk
Kadar air (%)
≤ 10,0
Kadar abu (%)
≤ 2,0
N-deasetilasi (%)
≥ 15,0
Kelarutan dalam : -
Air
Tidak larut
-
Asam encer
Tidak larut
-
Pelarut organik
Tidak larut
-
LiCl2/ dimetilasetamida
Sebagian larut
Enzim pemecah
Lisozim dan kitinase
(Sugita, 2009)
2.2.
Kitosan
Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β-(1 4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme. Struktur polimer kitosan dapat dilihat pada gambar (Gambar 2.2.) di bawah ini : CH2OH
CH2OH
O
O
O
O
OH
O
OH
NH2
NH2
n
Gambar 2.2. Struktur polimer kitosan (Sugita, 2009)
Proses deasetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun enzimatik. Proses kimiawi menggunakan basa, misalnya NaOH, dan dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu mencapai 8593 % (Tsigos et al., 2000). Namun proses kimiawi menghasilkan kitosan dengan bobot molekul yang beragam dan deasetilasinya juga sangat acak (Martinou et al., 1995; Tsigos et al., 2000), sehingga sifat fisik dan kimia kitosan tidak seragam. Selain itu, proses kimiawi juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sulit dikendalikan, dan melibatkan banyak reaksi samping yang dapat menurunkan rendemen (Chang et al., 1997; Tokuyasu et al., 1997).
Proses enzimatik dapat menutupi kekurangan proses kimiawi. Pada dasarnya deasetilasi secara enzimatik bersifat selektif dan tidak merusak struktur rantai kitosan, sehingga menghasilkan kitosan dengan karakteristik yang lebih seragam agar dapat memperluas bidang aplikasinya (Tokuyasu et al., 1997).
Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan dengan rotasi spesifik [∝]D 11 -3 hingga -10 ̊ (pada konsentrasi asam asetat 2%).
Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik (Tabel 2.2.) pada pH sekitar 4,0, tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5, juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol, dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15-1,1 %, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%.
Tabel 2.2. Kelarutan kitosan pada berbagai pelarut asam organik Konsentrasi asam organik
Konsentrasi asam organik (%) 10
50
>50
Asam asetat
+
±
-
Asam adipat
-
-
-
Asam sitrat
+
-
-
Asam format
+
+
+
Asam laktat
+
-
-
Asam maleat
+
-
-
Asam malonat
+
-
-
Asam oksalat
+
-
-
Keterangan : + larut; - tidak larut;
± larut sebagian
(Sugita, 2009)
Kitosan tidak larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan di dalam H3PO4 tidak larut pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0,1% sedikit larut. Perlu untuk kita ketahui, bahwa kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi, dan rotasi spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasi serta transformasinya. Sifat fisika dan kimia kitosan di atas telah dijadikan bagian dalam penentuan spesifikasi kitosan, seperti yang dapat dilihat pada tabel (Tabel 2.3) di bawah ini :
Tabel 2.3. Spesifikasi kitosan Parameter
Ciri – ciri
Ukuran partikel
Serpihan sampai bubuk
Kadar air (%)
≤ 10,0
Kadar abu (%)
≤ 2,0
Warna larutan
Tidak berwarna
N-deasetilasi (%)
≥ 70,0
Kelas viskositas (cps) : -
Rendah
< 200
-
Medium
200799
-
Tinggi pelarut organik
8002000 (Sugita, 2009)
Kitosan dalam bentuk terprotonasi menunjukkan kerapatan muatan yang tinggi dan bersifat sebagai polielektrolit kationik, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.3 dan sangat efektif berinteraksi dengan biomolekul bermuatan negatif dan biomolekul permukaan. Sedangkan dalam bentuk netralnya, kitosan mampu mengompleks ion logam berat berbahaya seperti Cu, Cr, Cd, Mn, Co, Ph, Hg, Zn, dan Pd. CH2OH
CH2OH O
O
O O
OH
NH2
+
H
n
O
O
OH
NH3+
n
Gambar 2.3. Kitosan sebagai polielektrolit kationik (Sugita, 2009)
2.3.
Kegunaan Kitin dan Kitosan
Dewasa ini aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang industri, kitin dan kitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penjerap ion logam, mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak, tanin, PCB (poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentuk film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil. Sementara di bidang pertanian dan pangan, kitin dan kitosan digunakan antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, anti mikrob, anti jamur, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan, sayuran, dan penjernih sari buah. Fungsinya sebagai antimikrob dan antijamur juga diterapkan di bidang kedokteran.
Kitin dan kitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan Staphvlacoccus aureus. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialisis, bahan sampo dan kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan, antiinfeksi.
2.4.
Aplikasi Kitosan dalam Bidang Lingkungan
Lingkungan sangat berpotensi tercemar zat organik, anorganik, maupun logam berat. Keberadaan zat-zat pencemar tersebut akan mengganggu ekosistem yang ada, termasuk juga manusia. Oleh sebab itu, kelestarian lingkungan dari zat pencemar harus dijaga dan terus mendapatkan perhatian dari masyarakat sekitar, yang merupakan elemen dari lingkungan hidup itu sendiri. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi zat pencemar pada lingkungan adalah dengan menggunakan kitosan sebagai adsorben.
Kitosan lazimnya disintesis dari deasetilasi kitin yang berasal dari limbah kulit udang atau kepiting. Oleh karena itu, penggunaan kitosan sejak awal telah berperan dalam mengurangi pencemaran lingkungan. Manfaat kitosan dalam bidang lingkungan adalah untuk menjerap logam berat maupun zat warna yang banyak dihasilkan dari industri tekstil atau kertas. Logam berat merupakan limbah yang sangat berbahaya. Hal tersebut dikarenakan logam berat dapat menimbulkan toksisitas akut pada manusia maupun habitat yang ada di lingkungan perairan.
Logam berat didefinisikan sebagai logam yang memiliki densitas atau kerapatan tinggi dan merupakan pencemar yang banyak dijumpai baik di lingkungan darat maupun di perairan. Keberadaan logam berat akan membawa pengaruh pada kehidupan organisme di lingkungan (termasuk manusia), karena sifatnya yang meracun dan dapat menyebabkan kematian apabila jumlahnya melewati ambang batas yang ditetapkan. Kandungan logam berat di lingkungan dapat dikurangi dengan cara menjerapnya, salah satunya dengan menggunakan kitosan.
2.5.
Modifikasi Kitosan
Kitosan dapat dimodifikasi, kitosan sebagai adsorben dapat berada dalam berbagai bentuk, antara lain bentuk butir, serpih, hidrogel, dan membran (film). Kitosan sebagai adsorben sering dimanfaatkan untuk proses adsorpsi ion logam berat. Besranya afinitas kitosan dalam mengikat ion logam sangat bergantung pada karakteristik makrostruktur kitosan yang dipengaruhi oleh sumber dan kondisi pada proses isolasi.
Perbedaan bentuk kitosan akan berpengaruh pada luas permukaannya. Semakin kecil ukuran kitosan, maka luas permukaan kitosan akan semakin besar, dan proses adsorpsi pun dapat berlangsung lebih baik. Modifikasi kimia kitosan menjadi gel kitosan dapat meningkatkan kapasitas jerapnya. Keunggulan ini disebabkan oleh bentuk butiran gel mempunyai volume pori yang lebih besar dibandingkan dengan bentuk serpihan, tetapi daya absorpsi butiran gel kitosan dipengaruhi oleh kestabilan sifat gel yang dibentuk (Rao, 1993).
2.6.
Natrium Tripolifosfat
Tripolifosfat atau biasa disebut juga natrium tripolifosfat merupakan suatu serbuk berwarna putih dan sedikit higroskopis. Tripolifosfat bersifat mudah larut dalam air dan tidak larut dalam etanol. Disosiasi natrium tripolifosfat dalam air dapat dilihat pada gambar (Gambar 2.4.) di bawah ini : 𝑁𝑁𝑁𝑁5 𝑃𝑃3 𝑂𝑂10 + 5𝐻𝐻2 𝑂𝑂 → 5𝑁𝑁𝑁𝑁+ + 𝐻𝐻5 𝑃𝑃3 𝑂𝑂10 + 5𝑂𝑂𝑂𝑂 − 𝐻𝐻5 𝑃𝑃3 𝑂𝑂10 + 𝑂𝑂𝐻𝐻 − → 𝐻𝐻4 𝑃𝑃3 𝑂𝑂10 − + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂
𝐻𝐻4 𝑃𝑃3 𝑂𝑂10 − + 𝑂𝑂𝑂𝑂 − → 𝐻𝐻3 𝑃𝑃3 𝑂𝑂10 2− + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂
Gambar 2.4. Disosiasi natrium tripolifosfat dalam air (Sung-Tao Lee, et.al., 2001)
Tripolifosfat ada dalam bentuk garam natrium yang terdapat dalam bentuk anhidrat maupun heksahidratnya (FAO, 2006). Salah satu contoh senyawa polifosfat adalah natrium tripolifosfat dengan rumus molekul Na5P3O10 dan g
memiliki bobot molekul 368
/mol. Natrium tripolifosfat dibuat dengan
memanaskan campuran dinatrium fosfat (Na2HPO4) dan natrium fosfat (NaH2PO4) sesuai dengan persamaan reaksi berikut : 2𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻4 + 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝑃𝑃𝑃𝑃4 → 𝑁𝑁𝑁𝑁5 𝑃𝑃3 𝑂𝑂10 + 2𝐻𝐻2 𝑂𝑂
(2.1)
Alasan digunakan tripolifosfat karena sifatnya sebagai anion multivalen yang dapat membentuk ikatan ikat silang dengan kitosan yang bersifat kationik (Yu-Shin et.al., 2008). Natrium tripolifosfat merupakan senyawa anorganik berbentuk padatan yang digunakan dalam berbagai bidang aplikasi, misalnya bahan pengawet makanan dan daging serta industri keramik. Dalam bidang kimia, natrium tripolifosfat digunakan untuk surfaktan, larutan bufer, bahan pengemulsi (emulsifier), dan hidrolisis lemak. Selain itu, natrium tripolifosfat juga sering digunakan untuk pengikat silang pada pembuatan membran kitosan. Membran yang terikat silang natrium tripolifosfat lebih fleksibel dan stabilitas kimianya menjadi lebih baik (Sugita, 2009). Struktur natrium tripolifosfat dapat dilihat pada gambar (Gambar 2.5.) di bawah ini : Na O Na
Na O
O
O
P O
P
P O
O
O
O
Na O
Na
Gambar 2.5. Struktur natrium tripolifosfat (Varshosaz, 2007)
2.7.
Nanopartikel Kitosan
Secara umum nanopartikel didefinisikan sebagai partikel dengan ukuran 10 – 1000 nm (Mohanraj dan Chen, 2006). Pembuatan nanopartikel yang menggunakan polimer dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe; pertama nanopartikel dibentuk bersamaan dengan polimernya menggunakan reaksi polimerisasi, kedua polimer dibuat terpisah umtuk selanjutnya digunakan untuk membuat nanopartikel (Swarbick, 2007).
Ada empat metode pembuatan nanopartikel yang menggunakan kitosan sebagai polimer yaitu mikroemulsi, emulsifikasi difusi pelarut, kompleks polielektrolit, dan gelasi ionik.
2.7.1. Metode Mikroemulsi
Pada pembuatan nanopartikel menggunakan metode ini kitosan dilarutkan dalam larutan asam. Kemudian surfaktan dilarutkan dalam n-heksan. Larutan kitosan dan glutaraldehid kemudian ditambahkan ke dalam larutan surfaktan dalam n-heksan dengan pengadukan menggunakan pengaduk magnetik pada temperatur kamar. Nanopartikel akan terbentuk dengan adanya surfaktan.
Pengadukan dibiarkan selama semalam untuk memaksimalkan proses cross-linking, di mana gugus amin dari kitosan akan berikatan dengan glutaraldehid. Pelarut organik kemudian diuapkan dengan penguapan tekanan rendah. Surfaktan yang masih terkandung dalam nanopartikel dihilangkan melalui proses presipitasi dengan menggunakan CaCl2 kemudian presipitan dihilangkan dengan sentrifugasi. Kemudian suspensi nanopartikel didialisis sebelum dilakukan proses liofilisasi.
Nanopartikel yang dihasilkan dengan menggunakan metode ini memiliki ukuran kurang dari 100 nm dan ukuran partikel tersebut dapat diatur dengan melakukan variasi glutaraldehid yang dapat mengubah derajat cross-linking. Namun, metode ini memiliki kerugian yaitu penggunaan pelarut organik, lamanya waktu proses pembuatan, dan tahapan pencucian yang kompleks (Kurniawan, 2012).
2.7.2. Metode emulsifikasi difusi pelarut
Pada metode ini, dibuat emulsi minyak dalam air dengan cara mencampurkan fase organik sedikit demi sedikit ke dalam larutan kitosan yang mengandung penstabil seperti poloxamer dengan pengadukan menggunakan pengaduk magnetik, dilanjutkan dengan homogenisasi tekanan tinggi. Emulsi kemudian dilarutkan ke dalam sejumlah besar fase air. Presipitasi polimer terjadi akibat difusi dari pelarut organik ke dalam fase air, yang mana akan membentuk nanopartikel. Metode ini sesuai untuk zat aktif yang hidrofobik. Kelemahan metode ini adalah penggunaan pelarut organik dan tekanan tinggi selama pembuatan nanopartikel (Kurniawan, 2012).
2.7.3. Metode Kompleks Polielektrolit
Mekanisme polielektrolit kompleks melibatkan reaksi netralisasi muatan antara polimer kationik dan polimer anionik yang akan membentuk kompenen polielektrolit. Beberapa polimer kationik seperti gelatin dan polietilamin juga dapat digunakan pada proses ini. Metode ini menawarkan cara pembuatan yang sederhana. Nanopartikel akan terbentuk secara spontan setelah penambahan larutan polimer anionik ke dalam larutan kitosan dalam asam asetat dengan pengadukan
menggunakan
(Kurniawan, 2012).
pengaduk
magnetik
pada
temperatur
kamar
2.7.4. Metode Gelasi Ionik
Metode ini melibatkan proses ikat silang antara polielektrolit dengan adanya pasangan ion multivalennya. Pembentukan ikatan ini akan memperkuat kekuatan mekanis dari partikel yang terbentuk. Contoh pasangan polimer yang dapat digunakan untuk metode gelasi ionik ini adalah kitosan dengan tripolifosfat dan kitosan dengan karboksimetilselulosa (Swabrick, 2007).
Mekanisme pembentukan nanopartikel berdasarkan interaksi elektrostatik antara gugus amin dari kitosan dan gugus negatif dari polianion seperti tripolifosfat. Prosesnya diawali dengan melarutkan kitosan dalam asam asetat, kemudian tripolifosfat ditambahkan ke dalam larutan kitosan dengan pengadukan menggunakan magnetik stirer (Kurniawan, 2012).
2.8.
Reaksi Ikat Silang
Ikatan silang merupakan ikatan yang menghubungkan rantai polimer yang satu dengan rantai polimer yang lain di mana ikatan tersebut berupa ikatan kovalen atau ionik. Reaksi ikat silang memberikan pengaruh yang besar baik dalam sifat kimia maupun sifat mekanik dari polimer (Nicholson, 2006). Pembentukan ikat silang dilakukan dengan penambahan suatu agen pengikat silang ke dalam larutan bahan yang akan dimodifikasi (Berger et.al., 2004).
Ikatan silang dapat terjadi dengan dua cara, yaitu dengan membentuk ikatan kovalen dan dengan membentuk ikatan ionik. Dalam reaksi pembentukan ikatan silang kovalen, agen pengikat silang yang umum digunakan adalah dialdehid, contohnya glioksal (Qing et.al., 2004) dan glutaraldehid (Monteiro dan Airoldi, 1999).
Akan tetapi, kedua agen pengikat silang tersebut bersifat toksik. Glutaraldehid bersifat neurotoksik, sedangkan glioksal bersifat mutagenik. Meskipun hasil modifikasi tersebut dimurnikan sebelum pemberian, keberadaan dialdehid bebas yang tidak ikut bereaksi tidak seluruhnya dapat dihilangkan dan dapat memberikan efek toksik.
Agen pengikat silang kovalen lainnya yang dapat digunakan untuk membentuk reaksi ikat silang dengan kitosan telah banyak diteliti sebagai alternatif pilihan. Di samping dialdehid, asam oksalat dan genipin terbukti dapat digunakan sebagai agen pengikat silang. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada data yang lengkap mengenai biokompatibilitas dari senyawa-senyawa tersebut.
Kebanyakan agen pengikat silang yang membentuk ikatan kovalen dapat menginduksi toksisitas jika sebelum pemberian masih terdapat sisa dari pereaksi. Untuk mengatasi masalah toksisitas yang terjadi tersebut, dapat dilakukan reaksi ikat silang ionik. Kitosan bersifat polikationik dalam lingkungan asam. Sifat ini menyebabkan terjadinya interaksi dengan komponen bermuatan negatif (anionik), baik berupa ion-ion maupun molekul, yang membentuk hubungan ionik antara rantai polimer. Interaksi ionik terjadi antara muatan negatif dari agen pengikat silang dengan muatan positif dari rantai polimer kitosan. Di antara molekul-molekul anionik, gugus pelepas fosfat, seperti βgliserofosfat dan sebagian tripolifosfat, umum digunakan sebagai agen pengikat silang ionik (Berger et al., 2004). Selain itu, sebagai alternatif dapat juga digunakan natrium sitrat atau natrium sulfat sebagai agen pengikat silang (Shu dan Zhu, 2002).
2.9.
Kitosan Tripolifosfat
CH2OH O O O
OH
NH2+
n O HO
P
O O
HO
P
O O
HO
P
O O NH2+
OH
O
O O CH2OH
n
Gambar 2.6. Ikat silang ionik kitosan dengan natrium tripolifosfat (Bhumkar, 2006)
Kitosan mikropartikel dan nanopartikel telah dibuat dengan cara ikat silang menggunakan glutaraldehid, glioksal, dan etilen glikol diglicidil eter. Walaupun senyawa berikut merupakan agen pengikat silang yang baik namun jarang digunakan karena toksisitasnya.
Ikatan silang antara kitosan dengan natrium tripolifosfat bergantung pada ketersediaan gugus kationik dan gugus anionik. Pada proses terjadinya ikatan silang tersebut ada 3 faktor yang berperan penting yaitu konsentrasi kitosan, pH, dan konsentrasi natrium tripolifosfat. Pada larutan natrium tripolifosfat dengan pH asam (pH 3) hanya akan dihasilkan ion tripolifosfat yang akan berinteraksi dengan gugus –NH3+ dari kitosan. Sedangkan pada pH basa (pH 9) dihasilkan ion OHdan tripolifosfat dan keduanya dapat berkompetisi untuk dapat berinteraksi dengan –NH3+ dari kitosan (Lee, 2000).
2.10.
Karakteristik Nanopartikel
2.10.1. Particle Size Analyzer (PSA)
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui ukuran suatu partikel yaitu : 1. Metode ayakan (sieve analyses) 2. Laser diffraction (LAS) 3. Metode sedimentasi 4. Electronical zone sensing (EZS) 5. Analisis gambar (mikrografi) 6. Metode kromatografi 7. Ukuran aerosol submikron dan perhitungan
Sieve analyses (analisis ayakan) dalam dunia farmasi sering kali digunakan dalam bidang mikromeritik, yaitu ilmu yang mempelajari tentang ilmu dan teknologi partikel kecil. Metode yang paling umum digunakan adalah analisis gambar (mikrografi). Metode ini meliputi metode mikroskopi dan metode holografi. Alat yang sering digunakan biasanya SEM, TEM, dan AFM. Namun seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang lebih mengarah ke era nanoteknologi, para peneliti mulai menggunakan laser diffraction (LAS). Metode ini dinilai lebih akurat bila dibandingkan dengan metode analisis gambar maupun metode ayakan, terutama untuk sampel-sampel dalam orde nano maupun submikron (Lusi, 2011).
Contoh alat yang menggunakan metode LAS adalah particle size analyzer (PSA). Metode LAS dibagi dalam dua metode : 1. Metode basah, metode ini menggunakan media pendispersi untuk mendispersikan material uji. 2. Metode kering, metode ini memanfaatkan udara atau aliran udara untuk melarutkan partikel dan membawanya ke sensing zone. Metode ini baik digunakan untuk ukuran yang kasar, di mana hubungan antar partikel lemah dan kemungkinan untuk beraglomerasi kecil.
Keunggulan penggunaan particle size analyzer (PSA) untuk mengetahui ukuran partikel : 1. Lebih akurat. Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA lebih akurat jika dibandingkan dengan pengukuran partikel dengan alat lain seperti XRD ataupun SEM. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. 2. Hasil
pengukuran
dalam
bentuk
distribusi,
sehingga
dapat
menggambarkan keseluruhan kondisi sampel. 3. Rentang pengukuran dari 0,6 nanometer hingga 7 mikrometer.(Rusli, 2011)
Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA biasanya menggunakan metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan metode kering ataupun pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisis gambar. Terutama untuk sampel-sampel dalam orde nanometer dan submikron yang biasanya memiliki kecenderungan aglomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak saling beraglomerasi (menggumpal).
Dengan demikian ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel. Beberapa analisis yang dilakukan, antara lain : 1. Menganalisis ukuran partikel. 2. Menganalisis nilai zeta potensial dari suatu larutan sampel. 3. Mengukur tegangan permukaan dari partikel clay bagi industri keramik dan sejenisnya. 4. Mengetahui zeta potensial koagulan untuk proses koagulasi partikel pengotor bagi industri water treatment plant (Nanortim, 2010).
2.10.2. FTIR (Fourier Transform Infra Red)
Jumlah energi yang diperlukan untuk meregangkan suatu ikatan tergantung pada tegangan ikatan dan massa atom yang terikat. Bilangan gelombang suatu serapan
dapat dihitung menggunakan persamaan yang
diturunkan dari hukum Hooke : 1
𝜈𝜈 = 2𝜋𝜋𝜋𝜋 �
𝑓𝑓(𝑚𝑚 1 +𝑚𝑚 2 ) 𝑚𝑚 1 .𝑚𝑚 2
�
1� 2
(2.2)
Persamaan di atas menghubungkan bilangan gelombang dari vibrasi regangan (𝜈𝜈) terhadap konstanta gaya ikatan (𝑓𝑓) dan massa atom (dalam gram) yang digabungkan oleh ikatan (m1 dan m2). Konstanta gaya merupakan ukuran tegangan dari suatu ikatan. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa ikatan yang lebih kuat dan atom yang lebih ringan menghasilkan frekuensi yang lebih tinggi. Semakin kuat suatu ikatan, makin besar energi yang dibutuhkan untuk meregangkan ikatan tersebut. Frekuensi vibrasi berbanding terbalik dengan massa atom sehingga vibrasi atom yang lebih berat terjadi pada frekuensi yang lebih rendah (Bruice, 2001).
Pancaran infra merah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnetik yang terletak di antara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Sebagian besar kegunaannya terbatas di daerah antara 4000 cm-1 dan 666 cm-1 (2,5-15,0 µm). Akhir-akhir ini muncul perhatian pada daerah infra merah dekat, 14290-4000 cm-1 (0,7-2,5 µm) dan daerah infra merah jauh, 700-200 cm-1 (14,3-50 µm) (Silverstain, 1967).
Salah satu hasil kemajuan instrumentasi IR adalah pemrosesan data seperti Fourier Transform Infra Red (FTIR). Teknik ini memberikan informasi dalam hal kimia, seperti struktur dan konformasional pada polimer dan polipaduan, perubahan induksi tekanan dan reaksi kimia. Dalam teknik ini padatan diuji dengan cara merefleksikan sinar infra merah yang melalui tempat kristal sehingga terjadi kontak dengan permukaan cuplikan. Degradasi atau induksi oleh oksidasi, panas, maupun cahaya, dapat diikuti dengan cepat melalui infra merah. Sensitivitas FTIR adalah 80-200 kali lebih tinggi dari instrumentasi dispersi standar karena resolusinya lebih tinggi (Kroschwitz, 1990).
Teknik pengoperasian FTIR berbeda dengan spektrofotometer infra merah. Pada FTIR digunakan suatu interferometer Michelson sebagai pengganti monokromator yang terletak di depan monokromator. Interferometer ini akan memberikan sinyal ke detektor sesuai dengan intensitas frekuensi vibrasi molekul yang berupa interferogram (Bassler, 1986).
Interferogram juga memberikan informasi yang berdasarkan pada intensitas spektrum dari setiap frekuensi. Informasi yang keluar dari detektor diubah secara digital dalam komputer dan ditransformasikan sebagai domain, tiaptiap satuan frekuensi dipilih dari interferogram yang lengkap (fourier transform). Kemudian sinyal itu diubah menjadi spektrum IR sederhana. Spektrofotometer FTIR digunakan untuk : 1. Mendeteksi sinyal lemah. 2. Menganalisis sampel dengan konsentrasi rendah. 3. Analisis getaran (Silverstain, 1967).