BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Enuresis adalah pengeluaran urin yang terjadi pada orang yang
pengendalian kandung kemihnya diharapkan sudah tercapai. Berdasarkan waktu, enuresis dibagi menjadi nocturnal enuresis (sleep wetting/bedwetting) yaitu enuresis yang terjadi pada malam hari, dan diurnal enuresis (awake wetting) yaitu enuresis pada siang hari. Sedangkan berdasarkan awal terjadinya enuresis dibagi menjadi enuresis primer, bila terjadi sejak lahir dan tidak pernah ada priode normal dalam pengontrolan buang air kecil, serta enuresis sekunder yang terjadi setelah enam bulan sampai satu tahun dari priode dimana kontrol pengosongan urin sudah normal (Gauthier, Edelmann, dan Barnett, 1982; Sekarwana, 1993; Dalton, 2000).
2.2
Epidemiologi Nocturnal enuresis tanpa pengosongan urin yang jelas pada siang hari
mengenai 20% sampai usia 5 tahun, kemudian berhenti secara spontan pada kirakira 15 % anak tersebut setiap tahun (Gonzales, 2000). Menurut Tanagho (2008), anak perempuan dengan kandung kemih normal lebih cepat dapat mengontrol buang air kecilnya daripada anak laki-laki. Pada usia 6 tahun, 10% masih mengalami nocturnal enuresis, bahkan pada usia 14 tahun sebanyak 5% juga masih ada yang mengalami nocturnal enuresis. Didapati 50% kasus mengalami keterlambatan pematangan sistem saraf dan myoneurogenik intrinsik kandung kemih, 30% kasus dipengaruhi keadaan psikologis, dan 20% lainnya disebabkan oleh penyakit-penyakit organik. Dan biasanya nocturnal enuresis fungsional berhenti pada usia kurang lebih 10 tahun. Berdasarkan data yang didapat Hazza dan Tarawneh (2002) dari kuesioner yang diperoleh dari orang tua anak usia 6-8 tahun di sekolah dasar di Jordan, didapatkan 48,9% anak usia 6 tahun mengalami nocturnal enuresis, 21% pada anak usia 7 tahun, dan 8,4% pada usia 8 tahun. Prevalensi ini mungkin lebih
Universitas Sumatera Utara
tinggi dibandingkan dengan negara-negara di Asia dan Eropa karena adanya faktor-faktor terkait. Sedangkan dari epidemiologi yang diperoleh Yousef, Basaleem, dan Taher (2009) dari 655 orang anak, maka didapati penurunan kejadian nocturnal enuresis, sehingga pada usia 6-8 tahun hanya ditemukan sebanyak 31,5% dan 8,7% pada usia 15 tahun ke atas. Adapun usia puncak anak-anak mengalami enuresis adalah usia 4-5 tahun dengan komposisi 18% laki-laki dan 15% perempuan, pada usia 12 tahun menurun menjadi 6% laki-laki dan 4% perempuan. Maka harus ada penanganan dan penjelasan pada orang tua mengenai “Law of 15” yaitu: 15% anak mengalami enuresis, 15% insidensinya berkurang pada setiap tahunnya, 15% disertai dengan encopresis (pengeluaran tinja secara tidak layak), dan 15% mengalami enuresis sekunder (Gray dan Moore, 2009).
2.3
Anatomi dan Fisiologi Normal Kandung Kemih
2.3.1 Anatomi Kandung Kemih Kandung kemih adalah organ muskular berongga yang berfungsi sebagai penyimpanan urin. Pada laki-laki terletak tepat dibelakang simphisis pubis dan didepan rektum, sedangkan kandung kemih wanita terletak dibawah uterus dan didepan vagina. Kapasitas normal kandung kemih sebanyak 400-500 ml (Tanagho, 2008). Struktur kandung kemih berupa: 1.
Dinding, dengan empat lapisan, yaitu: a. Serosa, merupakan lapisan terluar yang berupa perpanjangan lapisan peritoneal rongga pelvis. b. Otot detrusor, yaitu lapisan tengah yang tersusun dari berkas-berkas otot polos yang membentuk sudut agar kontraksi kandung kemih serentak ke segala arah. Otot detrusor ini terdiri dari serat-serat otot polos, yaitu lapisan dalam berupa longitudinal, tengah sirkular, dan luar longitudinal (Tanagho, 2008).
Universitas Sumatera Utara
c. Submukosa, berupa jaringan ikat dibawah mukosa dan berhubungan dengan muskularis. d. Mukosa, yaitu lapisan terdalam berupa epitel transisional (Sloane, 2003; Wibowo, 2009). 2.
Trigonum vesicae merupakan area halus, triangular, dan relatif tidak dapat berkembang yang terletak secara internal dibagian dasar kandung kemih. Sudut-sudutnya terbentuk dari tiga lubang yaitu dua disudut atas berupa muara ureter dan satu pada apex berupa uretra (Wibowo dan Parayana, 2009; Guyton dan Hall, 2007).
Gambar 1
Anatomi Kandung Kemih (sectiocadaveris.wordpress.com)
Persarafan kandung kemih diurus oleh saraf yang berasal dari plexus vesicalis dan plexus prostaticus yang merupakan bagian hypogastrium inferior. Persarafan ini terdiri dari: •
Serabut motoris yang bersifat parasimpatis untuk persarafan otot destrusor melalui nervus erigentes. Preganglion neuron parasimpatis berlokasi pada nervus parasimpatis sakral di medula spinalis pada level sakral-2 sampai dengan sakral-4.
•
Serabut sensoris yang bersifat simpatis melalui nervus hypogastricus akan terangsang pada peregangan kandung kemih sehingga memberi rasa
Universitas Sumatera Utara
penuh, terbakar dan sesak kencing. Inervasi simpatis pada kandung kemih dan uretra berasal dari intermediolateral nuclei di region torakolumbal (torakal-10 sampai dengan lumbal-2) pada medula spinalis. •
Serabut simpatis untuk mempersarafi pembuluh darah. Inervasi somatik pada rhapdospinkter uretra dan beberapa otot perineal yang diatur oleh nervus pudendal. Serabut-serabut ini berasal dari sfingter motor neuron yang berlokasi di cabang ventral medula spinalis sakral (sakral-2 sampai dengan sakral-4) yang disebut nukleus onufis.
•
Refleks detrusor memulai kontraksi involunter dari otot kandung kemih karena peregangan dinding dan terjadi melalui serabut aferen dan eferen system parasimpatis dari nervus splanchnicus pelvicus. Refleks detrusor menjadi aktif bila terisi 100-150 cc urin (Thor dan Donatucci, 2004 dalam Andersson, 2008; Wibowo dan Parayana, 2009). Persarafan kandung kemih ini dikendalikan oleh:
1.
Medula Spinalis Pengandalian kandung kemih dan pengeluaran air kemih melalui sistem
simpatis dan parasimpatis. Parasimpatis berasal dari medula spinalis sakral 2-4, yang keluar dari plexus pelvikus dan sakralis, menuju kandung kemih sebagai nervus pudendal yang akan menyebabkan kontraksi pada otot-otot detrusor dan dilatasi sfingter interna. Sedangkan saraf simpatis berasal dari medula spinalis torakal 11 sampai lumbal 2, melalui plexus hypogastricus. Reseptor simpatis terdiri dari reseptor α dan β. Reseptor α terletak di bagian leher kandung kemih dan otot polos sekitar pangkal uretra yang menyebabkan kontraksi bagian bawah kandung kemih, sehingga menghambat pengosongan kandung kemih. Bila terjadi inhibisi, maka relaksasi leher kandung kemih dan bagian proksimal uretra, sehingga terjadilah miksi. Reseptor β berada di korpus kandung kemih, perangsangan reseptor ini mengakibatkan relaksasi otot-otot detrusor sehingga terjadi pengisian. Inhibisi menyebabkan kontraksi otot detrusor dan peningkatan tekanan kandung kemih diikuti pengosongan kandung kemih (Guyton dan Hall, 2007; Sloane, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.
Otak Otak memiliki pusat-pusat pengendali miksi yang diliputi oleh pontine
micturition center, yaitu: pusat perangsang miksi berupa pons anterior dan hipotalamus posterior, dan pusat inhibisi pada otak tengah. Pada saat miksi, pusatpusat ini akan mempermudah pusat miksi di medula spinalis sakral untuk memulai refleks miksi serta inhibisi kontraksi otot sfingter eksternum kandung kemih, sehingga terjadilah pengeluaran urin (Sloane, 2003). Pada kandung kemih terdapat penahan berupa ligamentum-ligamentum, yaitu: •
Ligamentum mediale puboprostaticum (pubovesicale), pada laki-laki melekat pada prostat dan dinding belakang tulang pubis, sedangkan pada perempuan pada kolum vesika dan belakang pubis.
•
Ligamentum laterale puboprostaticum yang melekat bersamaan dengan mediale menuju arcus tendineus fascia pelvis.
•
Ligamentum laterale vesicae yang melekat pada bagian posterolateral dari fundus vesicae dan berlanjut ke plica rectovesicale pada laki-laki dan plica rectouterina pada perempuan (Widodo dan Parayana, 2009).
2.3.2 Fisiologi Miksi Miksi atau urinisasi merupakan proses pengosongan kandung kemih. Setelah dibentuk oleh ginjal, urin disalurkan melalui ureter ke kandung kemih. Aliran ini dipengaruhi oleh gaya tarik bumi, selain itu juga kontraksi peristaltik otot polos dalam dinding ureter. Karena urin secara terus menerus dibentuk oleh ginjal, kandung kemih harus memiliki kapasitas penyimpanan yang cukup (Sherwood, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme miksi bergantung pada inervasi parasimpatis dan simpatis juga impuls saraf volunter. Pada pengeluaran urin dibutuhkan kontraksi aktif otot detrusor, maka: •
Bagian otot trigonum yang mengelilingi jalan keluar uretra berfungsi sebagai sfingter uretra internal yang diinervasi oleh neuron parasimpatis.
•
Sfingter uretra eksternal terbentuk dari serabut otot rangka dari otot perineal transversa dibawah kendali volunter. Selain itu bagian pubokoksigeus pada otot elevator juga berkontriksi dalam pembentukan sfingter (Sekarwana, 1993; Sloane, 2003; Ward, Clarke, and Linden, 2002). Rata-rata pengeluaran urin adalah ± 1,5 l per hari, walaupun bisa
berkurang hingga kurang dari 1 l per harinya dan meningkat hingga mendekati 20 l per hari (Ward, Clarke, dan Linden, 2002). Refleks berkemih dicetuskan apabila reseptor-reseptor regang di dalam dinding kandung kemih terangsang. Kandung kemih orang dewasa dapat menampung sampai 250 atau 450 ml urin sebelum tegangan di dinding kandung kemih untuk mengaktifkan reseptor regang. Makin besar peregangan melebihi ambang ini, makin besar tingkat pengaktifan reseptor. Selain refleks ini dimulai, refleks ini bersifat regenerasi sendiri (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood, 2001). Refleks berkemih terjadi dengan cara: •
Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan impuls parasimpatis yang menjalankan melalui saraf splanknik pelvis ke kandung kemih.
•
Refleks perkemihan menyebabkan otot detrusor kontraksi dan relaksasi sfingter internal dan eksternal (Sloane, 2003). Pada anak-anak, miksi merupakan sebuah refleks lokal spinal dimana
pengosongan kandung kemih dengan pencapaian tekanan kritis. Sedangkan pada dewasa, refleks ini dibawah kontrol volunter sehingga dapat diinhibisi oleh otak (Thomas dan Stanley, 2007). Selama miksi, proses yang terjadi berupa: •
Refleks detrusor meregang, mencetuskan refleks kontraksi dari otot-otot tersebut sehingga timbul keinginan untuk miksi.
Universitas Sumatera Utara
•
Relaksasi otot puborectalis sehingga kandung kemih akan turun sedikit sehingga penghambatan uvula menurun dan segmen bagian pertama uretra melebar.
•
Relaksasi otot sfingter uretra eksterna memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya dan dapat dibantu dengan tindakan valsava.
•
Pada akhir proses miksi, kontraksi kuat dari otot sfingter uretra eksterna dan dasar panggul akan mengeluarkan sisa urin dalam uretra, setelah itu otot detrusor relaksasi kembali untuk pengisian urin selanjutnya (Wibowo dan Parayan, 2009). Gangguan pada sistem saraf pusat atau komponen saluran kemih bagian
bawah dapat menyebabkan tidak sempurnanya pengeluaran dan retensi urin atau tidak dapat menahan miksi, atau gejala-gejala kompleks kandung kemih yang berlebihan dengan karakteristik berupa sesak dan miksi berulang-ulang dengan atau tanpa inkontinensia urin (Abrams et al, 2002 dalam Andersson, 2008). Pengisian dan pengeluaran urin pada kandung kemih dikontrol oleh sirkuit saraf di otak, medula spinalis, dan ganglia. Sirkuit ini mengkoordinasikan aktifitas otot polos di detrusor dan uretra. Suprapontin mempengaruhi keadaan “on-off switch” pada saluran kemih bagian bawah dengan dua cara operasi yaitu penyimpanan dan pengeluaran (Anderson dan Wein, 2004; Anderson dan Arner, 2004 dalam Andersson, 2008). Berkemih dapat dicegah dengan kontraksi sfingter uretra eksterna yang disadari. Namun, jika kandung kemih terus menerus diisi dan teregang, maka kontrol sudah tidak mampu lagi mengendalikan (Sherwood, 2001). Berkemih juga dapat secara sengaja dimulai walaupun kandung kemih belum tergang oleh relaksasi volunter sfingter uretra eksterna dan diafragma pelvis. Penurunan lantai panggul juga memungkinkan kandung kemih turun, yang secara simultan membuka sfingter uretra eksterna dan meregangkan kandung kemih. Pengaktifan reseptor-reseptor regang menyebabkan kandung kemih berkontraksi melalui refleks miksi. Pengosongan kandung kemih secara volunter dapat dibantu oleh kontruksi dinding abdomen dan diafragma pernafasan yang
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan tekanan intraabdominal sehingga memeras kandung kemih untuk mengosongkan isinya (Sherwood, 2001). Jadi, refleks berkemih merupakan sebuah siklus yang lengkap. Terdiri dari: 1.
Kenaikan tekanan secara progresif
2.
Periode tekanan menetap
3.
Kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal Bila refleks miksi yang terjadi tidak mampu mengosongkan, keadaan
terinhibisi selama beberapa menit hingga 1 jam atau lebih sebelum terjadi refleks berikutnya. Bila kandung kemih terus menerus diisi, akan terjadi refleks miksi yang semakin sering dan kuat (Guyton dan Hall, 2007). 2.3.3 Perkembangan Pengendalian Kandung Kemih Kematangan seorang anak untuk dapat mengendalikan kandung kemih tergantung dari: •
Kapasitas kandung kemih yang adekuat,
•
Pengendalian sfingter eksterna kandung kemih secara sadar untuk memulai dan mengakhiri miksi.
•
Pengendalian pusat miksi diotak untuk merangsang atau menghambat miksi pada berbagai tingkat kapasitas kandung kemih (Gray dan Moore, 2009). Adapun usia perkembangan kandung kemih, yaitu:
•
Neonatus, berkemih terjadi secara spontan dan merupakan refleks medula spinalis. Bila jumlah urin bertambah, kandung kemih mengembang dan terjadi refleks yang menimbulkan kontraksi otot detrusor dan relaksasi otot sfingter eksternum kandung kemih.
•
Usia 1-2 tahun, kapasitas kandung kemih bertambah serta maturasi lobus frontalis dan parietalis otak. Sehingga anak sudah menyadari bila kandung kemih penuh tapi belum mampu mengendalikan miksi.
•
Usia 2,5 tahun, anak sudah tahu cara dan guna miksi sehingga anak sudah dapat mengendalikan kandung kemih sesuai tempat dan waktu miksi.
Universitas Sumatera Utara
•
Usia 3 tahun, anak akan pergi ke kamar mandi bila ingin miksi dan sudah dapat menahan miksi dalam waktu yang cukup lama, terutama saat bermain dan biasanya akan miksi sekitar 8-14 kali / hari. Pada usia ini usia ini anak sudah dapat mengendalikan miksi pada siang hari, pada malam hari 75% anak usia 3,5 tahun sudah tidak mengalami nocturnal enuresis (mengompol).
•
Usia 4,5 tahun, anak sudah dapat mengendalikan kandung kemih secara lengkap.
•
Usia 5 tahun, anak akan miksi sebanyak 5-8 kali / hari dan akan menolak miksi bukan ditempatnya (Gauthier, Edelmann, dan Barnett, 1982; Sekarwana, 1993). Pengisian kandung kemih, selain memicu refleks kandung kemih juga
menyebabkan rasa secara sadar bahwa kandung kemih penuh juga menyebabkan timbulnya keinginan untuk miksi. Persepsi kandung kemih yang penuh muncul sebelum sfingter eksterna secara refleks melemas, sehingga memberi peringatan bahwa proses miksi akan dimulai. Akibatnya, kontrol volunter terhadap miksi yang dipelajari selama toilet training pada masa anak-anak dini dapat mengalahkan refleks miksi. Sehingga pengosongan kandung kemih dapat terjadi sesuai keinginan orang yang bersangkutan dan bukan pada saat pengisian kandung kemih pertama kali mencapai titik yang menyebabkan pengaktifan reseptor regang. Apabila saat miksi tidak tepat sementara refleks miksi sudah dimulai, pengosongan
kandung
kemih
dapat
secara
sengaja
dicegah
dengan
mengencangkan sfingter eksterna dan diafragmapelvis sehingga impuls eksitatoris volunter yang berasal dari korteks serebrum mengalahkan masukan inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron-neuron motorik yang terlibat sehingga otototot ini tetap berkontraksi dan urin tidak keluar (Sherwood, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.4
Teori Perkembangan Anak Dalam konsep jalur perkembangan menyatakan bahwa seorang anak dapat
melewati tahap suksesi. Teori-teori psikoanalitik mengungkapkan bahwa gagasan tentang tahapan-tahapan itu secara kualitatif mamiliki jangka waktu yang berbeda dalam perkembangan emosi dan kesadaran (Needlman, 1999). Adapun teori-teori perkembangan tersebut: 1.
Psikoseksual Teori ini diungkapkan oleh Sigmund Freud yang menggambarkan lima
stadium perkembangan anak, yaitu: •
Fase oral (sejak lahir sampai 1 tahun), tempat pemusatan utama adalah mulut, bibir, dan lidah sehingga kegiatan yang paling disukai anak pada usaha ini adalah menggigit dan menghisap.
•
Fase anal (1-3 tahun), tempat pemusatan adalah anus dan daerah sekitarnya. Pada fase inilah anak seharusnya mendapatkan kontrol sfinkter volunter (toilet training).
•
Fase falik oedipal (3-5 tahun), genital merupakan pusat perhatian, stimulant, dan kegembiraan. Pada masa ini anak senang memegang bagian genital dan adanya kecemasan kastrasi (takut kehilangan atau cedera genital). Selain itu pada fase ini juga terdapat Oedipus kompleks, dimana anak menyukai orang tua yang berlawanan jenis dengannya.
•
Fase laten (5-6 tahun sampai 11-12 tahun), pada fase ini keadaan dorongan seksual relatif dan dengan resolusi kompleks oedipal. Dorongan seksual relative dialihkan dengan tujuan yang lebih dapat diterima secara social, seperti sekolah atau olahraga.
•
Fase genital (11 - 12 tahun), fase ini merupakan stadium akhir perkembangan psikoseksual, dimulai dengan pubertas dan kapasitas biologis untuk orgasme tapi melibatkan kemampuan keintiman yang sesungguhnya (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010; Needlmann,
1999).
Universitas Sumatera Utara
2.
Psikososial Teori ini diungkapkan oleh Erik Erikson, dengan pembagian: •
Kepercayaan dasar (sensorik oral), fase ini terjadi pada kisaran usia 0-1 tahun, dimana kepercayaan dilanjutkan dengan mudahnya makan, kedalaman tidur, dan relaksasi usus.
•
Otonomi lawan rasa malu-malu dan ragu-ragu (muscular-anal), fase ini terjadi pada usia 1-3 tahun dimana secara biologis termasuk berjalan, belajar, makan sendiri, dan berbicara. Selain itu terdapat rasa malu saat menyadari diri sendiri karena pemaparan negatif dan keraguan jika orang tua menyisihkan anak.
•
Inisiatif lawan rasa bersalah (motor penggerak genital), fase ini terjadi pada usia 3-5 tahun dimana inisiatif timbul dalam tugas untuk kepentingan aktifitas motorik maupun intelektual. Pada fase ini juga terdapat rasa bersalah terhadap perenungan tujuan dan persaingan denga saudara kandung.
•
Keaktifan lawan rendah diri (laten), fase ini terjadi pada usia 6-12 tahun dimana anak sibuk membangun, menciptakan, dan menyelesaikan.
•
Identitas lawan difusi identitas, fase ini terjadi pada usia 11 tahun sampai akhir mas remaja, dimana terdapat perjuangan untuk mengembangkan identitas ego (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010; Needlmann, 1999).
3.
Kognitif Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget, yang membagi: •
Fase sensori motor (tahap I-IV), fase ini terjadi dari lahir sampai dengan 2 tahun, dimana intelegensia terletak terutama pada tindakan dan gerak yang terkoordinasi dibawah suatu pola perilaku sebagai respon stimulus lingkungan tertentu.
•
Fase sensori motor (tahap V-VI)
•
Fase praoperasional (konkret), fase ini terjadi pada usia 7-11 tahun dimana timbul pikiran logika mampu mengambil sudut pandang orang lain serta mengingat angka, panjang, berat, dan volume.
•
Fase operasional nyata
Universitas Sumatera Utara
•
Fase operasi formal (abstrak), fase ini terjadi mulai usia 11 tahun sampai akhir usia remaja, dimana sudah mampu berfikir tentang pikiran seseorang, menggunakan dua sistem referensi secara bersamaan dan untuk memegang konsep kemungkinan (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010; Needlmann, 1999). Sedangkan menurut Anna Freud, aspek pertumbuhan dan perkembangan
normal pada anak-anak berupa ketergantungan menuju kemandirian, mengompol menuju kontrol kandung kemih, dan keterikatan dalam diri sendiri menuju persahabatan. Aspek-aspek ini mencerminkan pergerakan dari masa bayi yang juga imatur menuju kompleksitas anak yang telah berkembang (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010; Needlmann, 1999).
2.5
Etiologi dan Patofisiologi Penyebab dari nocturnal enuresis tidak diketahui dengan jelas tetapi ada
beberapa kemingkinan yang menjadi penyebab, seperti: 1.
Faktor Genetik Dari anamnesa didapati bahwa salah satu atau kedua orang tua mengalami
enuresis. Dari beberapa penelitian dasar genetik enuresis ditemukan pada kembar monozigotik (identik) dan dizigotik (faternal) (Von Gontard, Schaumburg, Hollmann, Eiberg, dan Ritting, 2001 dalam Gray dan Moore, 2009). 2.
Faktor Urodinamik Enuresis abnormal berhubungan denga kecilnya kapasitas kandung kemih
yang dipengaruhi oleh kontraksi detrusor yang berlebihan. Hal ini diduga akibat kurangnya inhibitor kontraksi kandung kemih dan tidak adanya koordinasi antara otot-otot detrusor dan otot-otot sfingter (Gray dan Moore, 2009; Sekarwana, 1993). 3.
Faktor Antidiuretik Nocturnal enuresis terjadi karena tingginya volume pengeluaran urin yang
dipengaruhi adanya perubahan ritme sikardian dari sekresi hormon antidiuretik (ADH) (Gonzales, 2000; Gray dan Moore, 2009; Sekarwana, 1993).
Universitas Sumatera Utara
4.
Faktor Kematangan Neurofisiologi Terlambatnya
mekanisme
korteks
dalam
mengendalikan
refleks
pembuangan urin dijadikan sebagai hipotesa kemungkinan terjadi nocturnal enuresis dimana pada pemeriksaan EEG anak dengan nocturnal enuresis didapati peningkatan serebral aritmia. Dan hal ini tidak dipengaruhi oleh tingkatan tidur dalam dan pola tidur (Gonzales, 2000; Gray dan Moore, 2009; Sekarwan, 1993). 5.
Faktor Keterlambatan Perkembangan Anak Keterlambatan perkembangan dapat menjadi salah satu faktor, pada anak
yang terlambat berjalan juga akan terlambat belajar mengontrol miksi. Dimana nocturnal enuresis merupakan manifestasi kematangan diri dari aspek individual dalam perkembangan (Koff, 1997; Meadow dan Newell, 2003). 6.
Faktor Psikologis Biasanya hal ini terjadi karena adanya faktor stres selama priode
perkembangan antara usia 2-4 tahun. Stres psikologis berhubungan dengan enuresis sehingga mempengaruhi perkembangan anak, seperti kelahiran saudara, perceraian orang tua, pemaksaan fisik dan seksual, kematian dalam keluarga, serta masalah disekolah. Hal ini dipengaruhi oleh stres emosional, kecemasan, serta gangguan psikiatri. Dimana nocturnal enuresis merupakan usaha untuk mendapatkan perhatian, seperti lahirnya adik menyebabkan perhatian orang tua berkurang sehingga menyebabkan anak menjadi cemas dan anak melakukan hal ini untuk mencari perhatian orang tuanya. Selain itu proses belajar dan stress belajar dikemudian hari dapat menyebabkan kembalinya enuresis. Akan tetapi kebanyakan anak mengalami nocturnal enuresis tidak mengalami sakit psikologis (Gray dan Moore, 2009; Hogman dan Dech, 2007, Tanagho, 2008; Sekarwan, 1993). 7.
Faktor Lain Nocturnal enuresis dipengaruhi oleh saluran kemih abnormal seperti
obstruksi uretra maupun infeksi kandung kemih, ataupun kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan poliuria seperti diabetes atau insufisiensi ginjal (Meadow dan Newell, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Nocturnal enuresis dianggap abnormal menurut beberapa penelitian: •
Menurut Miller et al (1960), Oppel et al (1968), Kaffman dan Elizur (1977) di tempat berbeda dengan kriteria inkontinensia yang mirip (1-3 bulan) dan dengan prospektif menyatakan bahwa anak-anak yang masih mengalami nocturnal enuresis sampai usia 4 tahun, berbeda dengan usia yang lebih muda, kemungkinan akan berhenti mengalami hal tersebut selama 12 bulan (fall sharply).
•
Di Baltime pada sampel anak laki-laki (Oppel et al, 1968) lebih dari 40% anak usia 2 tahun berhenti mengalami nocturnal enuresis, pada tahun berikutnya 20% pada anak usia 3 tahun, dan hanya 6% pada anak usia 4 tahun yang masih mengalami nocturnal enuresis.
•
Kaffman dan Elizur pada tahun 1977 menyatakan enuresis pada anak usia lebih dari 4 tahun memiliki lebih banyak masalah kebiasaan daripada yang tidak, tetapi tidak dengan anak yang berusia 3 tahun. Jadi, nocturnal enuresis masih dianggap normal sampai usia 3 tahun (Shaffer, 1985).
2.6
Diagnosa Pada nocturnal enuresis gejala yang dikeluhkan berupa pengeluaran urin
dimalam hari, tanpa adanya rasa panas atau terbakar. Tetapi warna urin tetap jernih (Tanagho, 2008). Untuk menegakkan diagnosa dari nocturnal enuresis harus dilakukan: 1.
Anamnesa Dari anamnesa didapati onset untuk menentukan enuresis yang terjadi
berupa enuresis primer atau enuresis sekunder, frekuensi, keparahan dan bagaimana keluarga menangani masalah ini, keadaan tidur atau saat terbangun, pancaran urin, diawali rasa sesak, dan terjadi sekali-sekali atau terus menerus (Gray dan Moore, 2009; Sekarwana, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Selain itu ditanyakan juga riwayat keluarga, dan riwayat penyakit sebelumnya seperti diabetes insipidus, diabetes mellitus, penyakit ginjal kronis, infeksi saluran kemih, konstipasi, serta tanyakan juga keadaan psikososial anak dan keadaan keluarga (Gonzales, 2000; Gray dan Moore, 2009; Sekarwana, 1993). 2.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik meliputi: inspeksi didaerah abdomen untuk melihat
distensi abdomen karena retensi tetapi biasanya pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Sedangkan palpasi dilakukan pada abdomen dan rektum sesudah pengosongan urin dan serta awasi kekuatan dan kualitas arus urin (Gray dan Moore, 2009; Sekarwana, 1993). Selain itu lakukan juga pemeriksaan refleks sfingter, sensasi perineal, tonus anal, cara berjalan dan tulang belakang apakah terdapat kelainan medula spinalis (Sekarwana, 1993). 3.
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan berupa urinalisis yang
diperoleh setelah puasa 1 malam dan evaluasi berat jenis spesifik atau osmolaritas urin atau keduanya untuk menyampingkan poliuria sebagai penyebab frekuensi inkontinensia (Gonzales. 2000). Urinalisis yang dilakukan untuk melihat adanya infeksi (positif nitrat dan leukosit), diabetes melitus (glukosuria), tumor saluran kemih (hematuria), dan penyakit ginjal (proteinuria) (Gray dan Moore, 2003, Meadow dan Newell, 2003, Sekarwana,1993). Biakan urin dilakukan sebagai tes lanjutan bila urinalisis abnormal dan harus dilakukan secara rutin untuk melihat patologi saluran kemih (Gray dan Moore, 2009). 4.
Pemeriksaan Penunjang Lain Foto X-Ray pada nocturnal enuresis dengan excretory urogram yang
diambil segera setelah miksi tidak ada kelainan dan terlihat tidak ada urin residu. Urethroscopy dan ultrasaound ginjal dapat dilakukan, tetapi biasanya terlihat normal (Gray dan Moore, 2009; Tanagho, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan PPDGJ III pedoman diagnostik dari enuresis adalah: •
Suatu gangguan yang ditandai oleh buang air kecil tanpa kehendak, pada siang dan/atau malam hari, yang tidak sesuai dengan usia mental anak, dan bukan akibat dari kurangnya pengendalian kandung kemih akibat gangguan neurologis, serangan epilepsi, atau kelainan struktural pada saluran kemih.
•
Tidak terdapat garis pemisah yang tegas antara gangguan enuresis dan variasi normal usia seorang anak berhasil mencapai kemampuan pengendalian kandung kemihnya. Namun demikian, enuresis tidak lazim didiagnosis terhadap anak dibawah usia 5 tahun atau dengan usia mental kurang dari 4 tahun.
•
Bila enuresis berhubungan dengan suatu gangguan emosional atau perilaku, yang lazim merupakan diagnosis utamanya, hanya bila terjadi sedikitnya beberapa kali dalam seminggu.
•
Enuresis ada kalanya timbul bersamaan dengan enkopresis, dalam hal ini enkopresis yang diutamakan (Maslim, 2001).
2.7
Diagnosa Banding Diagnosa banding dari nocturnal enuresis dapat berupa:
1.
Diurnal enuresis. Diurnal enuresis merupakan keadaan enuresis yang terjadi pada siang hari (Sekarwana, 1993).
2.
Obstruksi saluran kemih bagian bawah. Pada penyakit ini terjadi penurunan pancaran urin, nyeri, miksi terjadi siang dan malam, pyuria, demam, serta sering terjadi distensi kandung kemih. Pada urogram didapati dilatasi kandung kemih dan saluran kemih bagian atas. Karena terjadi obstruksi kuat yang disebabkan spasme di otot dinding pelvis menyebabkan kerusakan kandung kemih dan ginjal (Tanagho, 2008).
3.
Infeksi saluran kemih. Infeksi yang terjadi tidak berhubungan dengan obstruksi menimbulkan gejala frekuensi pada siang hari dan malam hari. Penyakit ini disertai nyeri saat miksi, demam, anemi, dan pada urinalisis
Universitas Sumatera Utara
dijumpai sel nanah atau bakteri atau keduanya yang disertai dengan penurunan fungsi ginjal (Tanagho, 2008; Hagman dan Dech, 2003). 4.
Penyakit Neurogenik. Pada anak dengan kelainan cabang atau batang saraf sakralis dapat terjadi kegagalan dalam kontrol miksi baik disiang hari maupun malam hari (Tanagho, 2008).
2.8
Penatalaksanaan
2.8.1 Farmakologi Obat-obat yang digunakan dalam menangani kasus-kasus enuresis berupa: 1.
Desmopresin Acetate,
merupakan antidiuretik
yang
meningkatkan
reabsorbsi air. Obat ini diberikan sebelum tidur dengan cara disemprotkan ke hidung. Desmopresin dapat digunakan dalam mengurangi nocturnal enuresis sampai anak dapat menahan miksi, tidak memiliki efek samping, dan menunjukkan efek antienuretik yang signifikan. Tetapi desmopresin kontra indikasi pada pasien dengan thrombotic thrombocytopenic purpura (Gonzales, 2000; Meadow dan Newell, 2003; Tanagho, 2008; Veygradier, Meyer, dan Loirat, 2006 dalam Gray dan Moore, 2009). 2.
Imipramin, merupakan obat antidepresan trisiklik yang diminum 25 mg sebelum makan malam (Meadow dan Newell, 2003; Tanagho, 2008). Mekanisme kerjanya belum jelas, namun mempunyai efek signifikan pada saat tidur (Mikkelsen, Rapoport, Nee, Gruenau, Mendelson, dan Grlinc, 1980 dalam Koff, 1997). Respon klinis obat ini bergantung pada kadar plasma dalam darah, efek sampingnya berupa toksik dan lethal overdosis bila digunakan dalam dosis besar (Jogensen, Lober, Christiansen, dan Gram, 1980; Degatta Gracia, dan Acosta, 1984 dalam Koff 1997). Efek samping yang terjadi dapat berupa iritabilitas, penurunan nafsu makan, mual dan muntah (Yeung dan Shioe, 2007 dalam Gray dan Moore, 2009).
3.
Obat-obat parasimpatolitik seperti atropine atau Belladona berguna menurunkan tonus otot detrusor. Dapat juga digunakan Methaline bromide 25-27 mg sebelum tidur (Tanagho, 2008).
Universitas Sumatera Utara
4.
Obat simpatomimetik seperti dextroamphetamine sulfate 5-10 mg sebelum tidur ( Tanagho, 2008 ). Obat-obatan ini tidak terlalu berguna karena sebagian besar akan
mengalami relaps saat penggunaan obat dihentikan (Meadow dan Newell, 2003). 2.8.2 Non Farmakologi Terapi yang dapat dilakukan berupa: 1.
Perubahan kebiasaan, yaitu mengurangi asupan air 2 jam sebelum tidur, mencegah mengonsumsi minuman berkafein, orang tua membangunkan anaknya pada malam hari untuk miksi denga cara mengidupkan lampu atau mengusapkan handuk dingin diwajahnya, latihan menahan miksi untuk memperbesar kapasitas kandung kemih agar waktu antara miksi menjadi lebih lama, minta anak membantu membersihkan serta mengganti alas tempat tidur nya dan mengganti piyama sendiri, serta memberi hadiah bila anak tidak mengompol (Gray dan Moore, 2009; Meadow dan Newell, 2003; Sekarwan, 1993).
2.
Miksi sebelum tidur, dimana anak diharuskan pergi ke toilet untuk buang air kecil sebelum tidur pada setiap malamnya (Gauthier, Edelmann, dan Barnett, 1982).
3.
Menggunakan alarm, yang dilakukan selama 4-6 minggu disertai dengan pemberian hadiah agar dapat lebih efektif. Alarm dipasang sebelum tidur dan berbunyi atau bergetar saat miksi (Gray dan Moore, 2009; Hogmann dan Dech, 2007, Sekarwan, 1993, Tanagho, 2008).
4.
Psikoterapi, dengan cara adanya konseling pada anak dan harus dijelaskan pada orang tua bahwa hal ini akan berhenti dengan sendirinya dan agar lebih efektif dilakukan beberapa terapi, jadi diharapkan agar orang tua tidak menghukum anak karena nocturnal enuresis akan memperberat keadaan anak tersebut (Gray dan Moore, 2009; Tanagho, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.8.3 Indikasi terapi Nocturnal enuresis bukanlah sebuah penyakit, dan akan menghilang dengan sendirinya. Oleh karena itu sebenarnya masalah ini tidak perlu diterapi akan tetapi dicegah, dimana orang tua dituntut untuk melakukan beberapa tindakan untuk menanggulangi masalah ini. Adapun hal yang sebaiknya dilakukan berupa perubahan kebiasaan serta pengajaran terhadap anak untuk miksi sebelum tidur. Sedangkan penggunaan obat-obatan tdak begitu disarankan, karena hanya bersifat sementara (Gauthier, Edelmann, dan Barnett, 1982).
2. 9
Komplikasi dan Prognosis Nocturnal enuresis dapat sembuh spontan tanpa diobati pada 10-20%
kasus per tahun. Penyembuhan terjadi bila orang tua dan anak sabar menunggu (Sekarwana, 1993). Akan tetapi, bila tidak ada penanganan dan peran orang tua dalam mengatasi nocturnal enuresis, dapat berkembang menjadi gangguan psikogenik atau kecemasan (Tanagho, 2008 ).
Universitas Sumatera Utara