6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan dengan orofaring.8 Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan rongga hidung melalui koana, bagian superior berbatasan dengan dasar tengkorak, bagian posterior berbatasan dengan fasia prevertebralis dari atlas dan axis, sedangkan bagian inferior berbatasan dengan palatum mole dan orofaring setinggi ismus faring. Pada kedua dinding lateral nasofaring terdapat ostium tuba Eustachius dengan tonjolan tulang rawan di bagian superoposterior yang disebut torus tubarius. Di bagian posterior torus tubarius ini terdapat lekukan kecil yang agak datar disebut resesus faringeal lateralis atau fosa Rosenmuller, merupakan tempat tersering awal mula kanker nasofaring.9
Gambar 2.1 Anatomi Rongga Hidung8 Nasofaring mendapat perdarahan dari cabang - cabang langsung arteri carotis eksterna yaitu arteri palatina ascendens dan descenden, arteri faringeal ascendens, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Sedangkan plexus venanya berhubungan dengan plexus pterigoid di atas dan vena jugularis interna dibawah. Daerah nasofaring diinervasi oleh plexus
Universitas Sumatera Utara
7
faringeal yang merupakan gabungan dari nervus glossofaringeus (IX), nervus vagus (X), dan serabut ganglion simpatis dari sevikalis.8,9,10
2.2
Histologi Nasofaring Epitel permukaan dari nasofaring membentuk tonjolan dan lipatanlipatan yang disebut dengan kripta. Secara histologis mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis silindris bersilia atau pseudostratified ciliated columnar epithelium yang ke arah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng berlapis atau stratified squamous epithelium. Diantara pertemuan atap nasofaring dan dinding lateral di daerah fosa Rosenmuller terdapat epitel peralihan atau transitional epithelium yang menjadi tempat asal dari tumbuhnya tumor nasofaring. Dipandang dari sisi onkologi, tempat peralihan antara dua epitel yang berbeda jenis merupakan tempat yang biasa untuk terjadinya karsinoma.9,11
2.3
Karsinoma Nasofaring
2.3.1 Definisi Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring merupakan kanker ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.11
2.3.2 Epidemiologi Kejadian karsinoma nasofaring meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Namun, KNF juga dapat terjadi pada setiap usia. Kasus banyak ditemui pada penderita usia antara 45 – 54 tahun dan jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 20 tahun.8 Kasus karsinoma nasofaring di kebanyakan Negara di dunia termasuk Amerika Serikat, masih tergolong jarang. Ada kurang dari satu kasus untuk setiap 100.000 orang setiap tahun. Pada tahun 2015, sekitar 3.200 kasus yang terjadi di Amerika Serikat.8
Universitas Sumatera Utara
8
KNF cukup unik dan lebih umum pada daerah tertentu seperti Asia dan Afrika Utara, terutama di Cina Selatan. Indonesia termasuk salah satu Negara dengan prevalensi penderita karsinoma nasofaring yang termasuk tinggi di luar Cina Selatan. Di Indonesia, karsinoma nasofaring menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke-1 dibidang Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring. Prevalensi karsinoma nasofaring di Indonesia adalah 6,2/100.000 penduduk dengan 13.000 kasus karsinoma nasofaring baru setiap tahunnya. Insiden kejadian karsinoma nasofaring di Medan pada tahun 2000 adalah 4,3/100.000 penduduk.9,11
2.3.3 Etiologi Karsinoma Nasofaring Etiologi karsinoma nasofaring masih belum diketahui secara pasti. Namun para ahli percaya bahwa etiologi karsinoma nasofaring ialah multifaktorial termasuk genetik, virus, dan lingkungan. 1. Faktor Genetik Karsinoma nasofaring memang tidak termasuk dalam tumor genetik. Namun berdasarkan fakta-fakta yang ada terdapat perbedaan frekuensi yang nyata diantara beberapa kelompok etnik, yaitu adanya peningkatan risiko pada keluarga penderita KNF. Beberapa penelitian menunjukan bahwa gen HLA (Human Leukocyte Antigen) serta gen pengkode enzim sitokrom p4502E(CYP2E1) adalah gen yang rentan terhadap karsinoma nasofaring.1,2,9,10 Telah ditemukan bahwa gen HLA-A2-Bw46, HLAA24, dan B17 dapat meningkatkan resiko terjadinya karsinoma nasofaring 2-3 kali.10,12 2. Infeksi Virus Eipstein-Barr Terdapat indikasi kuat bahwa Virus Eipstein-Barr memiliki hubungan langsung terhadap kasus karsinoma nasofaring, terutama pada tipe yang undifferentiated. Dimana ditemukannya antibodi terhadap
Universitas Sumatera Utara
9
Eipstein-Barr
Virus
(EBV)
pada
serum
penderita
karsinoma
13
nasofaring. Pada suatu studi prospektif ditemukan bahwa peningkatan antibody IgA terhadap antigen kapsid virus (VCA) Epstein Barr (EB) merupakan spesifik marker dari karsinoma nasofaring pada tempat dengan insidens yang tinggi serta dapat secara efektif memprediksi perkembangan dari karsinoma nasofaring tersebut.12 Aktivasi dari EBV juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan yang bersifat karsinogenik dan defisiensi imun. Mekanisme dari virus EBV ini merusak jaringan epitel masih belum jelas.8,9 Namun, dalam penelitian in vitro didapatkan bahwa infeksi EBV yang menetap pada sel epitel menyebabkan sel epitel menjadi rentan terhadap paparan karsinogen lingkungan.13 3. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya karsinoma nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan karsinoma nasofaring masih belum dapat dijelaskan.1,9,11 Bahan makanan yang mengandung nitrosamine seperti ikan asin juga berperan dalam terjadinya karsinoma nasofaring.16 Merokok dan alkohol juga merupakan faktor resiko karsinoma nasofaring. Penelitian menunjukkan adanya paparan alkohol dan asap rokok jangka panjang memegang
peranan
yang
penting
untuk
terjadinya
karsinoma
nasofaring.8,11,12,13
2.3.4 Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring 1. Virus Eipstein Barr EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring. Sebagian besar infeksi EBV tidak menimbulkan gejala. EBV menginfeksi dan menetap secara laten pada 90% populasi dunia. Transmisi utama melalui saliva, biasanya pada negara berkembang yang kehidupannya padat dan kurang bersih. Virus Epstein-Barr dapat memasuki sel-sel epitel
Universitas Sumatera Utara
10
orofaring, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (life-long).14 2. Ikan Asin Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan risiko karsinoma nasofaring adalah konsumsi ikan asin. Hal ini disebabkan akibat proses pengawetan dengan garam yang tidak efektif sehingga
menimbulkan
akumulasi
nitrosamine
yang
bersifat
12,14
karsinogenik. 3. Tembakau
Rokok mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk nitrosamine yang meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali.12,14 4. Asap Beberapa
peneliti
menyatakan
bahwa
insidens
karsinoma
nasofaring yang tinggi di Cina Selatan dan Afrika Utara disebabkan karena asap dari pembakaran kayu bakar. Pajanan asap hasil kayu bakar lebih dari 10 tahun meningkatkan 6 kali lipat terkena karsinoma nasofaring.14 5. Obat Herbal Pada studi epidemiologi di Asia dan China Selaran, penggunaan obat traditional Cina berhubungan dengan peningkatan risiko karsinoma nasofaring 2-4 kali lipat. Bahan material tertentu pada obat traditional Cina dapat menginduksi aktivasi dari EBV yang laten pada tubuh individu.12 6. Pajanan Pekerjaan Pajanan pekerjaan terhadap fume, asap, debu atau bahan kimia lain meningkatkan risiko karsinoma nasofaring 2 sampai 6 kali lipat. Stimulasi dan inflamasi jalan nafas kronik, berkurangnya pembersihan mukosiliar, dan perubahan sel epitel mengikuti tertumpuknya debu kayu di nasofaring memicu terjadinya karsinoma nasofaring ini.12,14
Universitas Sumatera Utara
11
7. Pajanan Lain Riwayat infeksi kronik telinga, hidung, tenggorok dan saluran napas bawah meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Bakteri yang menginfeksi saluran nafas dapat mengurai nitrat menjadi nitrit, kemudian dapat membentuk bahan N-nitroso yang karsinogenik.12,14 8. Familial Clustering Kerabat pertama, kedua, ketiga pasien karsinoma nasofaring lebih berisiko terkena karsinoma nasofaring. Kasus familial biasanya pada tipe II dan III, sedangkan tipe I non familial.14 9. Human Leukocyte Antigen Genes Di Cina Selatan dan populasi Asia lain, Human Leukocyte AntigenA2-B46 dan B-17 berhubungan dengan peningkatan dua sampai tiga kali lipat risiko karsinoma nasofaring.12,14 10. Variasi Genetik Lain Polimorfi di sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) dan CYP2A6 dan ketiadaan Glutation S-transferase. M1 (GSTM1) dan atau GSTT1 berhubungan dengan peningkatan risiko dua sampai lima kali lipat terkena karsinoma nasofaring.14
2.3.5 Histopatologi Karsinoma Nasofaring Klasifikasi WHO membagi karsinoma nasofaring atas tipe karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (WHO Tipe 1) ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge atau keduanya, karsinoma tidak berkeratinisasi (WHO Tipe 2) ditandai dengan batas sel yang jelas, dan karsinoma tidak berdiferensiasi (WHO tipe 3) ditandai oleh pola pertumbahan syntisial, selsel poligonal ukuran besar, anak inti yang menonjol dengan adanya tampilan sel radang. WHO Tipe 3 merupakan tipe histopatologi yang paling sering terutama di Asia Tenggara.11,12
Universitas Sumatera Utara
12
2.3.6 Stadium Karsinoma Nasofaring Klasifikasi TNM menurut American Joint Committee on Cancer/AJCC 2010:8,9,15 Tumor Primer (T) Tx
: Tumor primer tidak dapat dinilai
T0
: Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis
: Karsinoma in situ
T
: Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan /kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring
T2
: Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring
T3
: Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal.
T4
: Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya saraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ruang mastikator.
KGB Regional (N) NX
: KGB regional tidak dapat dinilai
N0
: Tidak ada metastasis ke KGB regional
N1
: Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.
N2
: Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular.
N3
: Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa supraklavikular.
N3a
: Diameter terbesar lebih dari 6 cm
N3b
: Meluas ke fossa supraklavikular
Metastasis Jauh (M) M0
: Tanpa metastasis jauh
M1
: Metastasis jauh
Universitas Sumatera Utara
13
Stadium: Stadium 0 – Tis, n0, M0 Stadium I - T1, n0, M0 Stadium IIA - T2a, n0, M0 Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0), (T2a, N1, M0), (T2b, N0, M0) Stadium III - (T1, N2, M0), (T2a, N2, M0), (T2b, N2, M0), (T3, N0, M0), (T3, N1, M0), (T3, N2, M0) Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0), (T4, N2, M0) Stadium IVB - Setiap T, N3, M0 Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1
2.3.7 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring Gejala penyakit karsinoma nasofaring tidak khas dan tidak spesifik,, selain itu nasofaring merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Hal ini mengakibatkan penyakit karsinoma nasofaring sering didiagnosis saat stadium lanjut dibandingkan dengan keganasan kepala leher lainnya. Secara garis besar penderita karsinoma nasofaring akan memiliki empat gejala yaitu gejala hidung, gejala telinga, gejala neurologis, dan pembesaran kelenjar limfe servikal. 2.3.7.1 Gejala Dini a. Gejala Telinga Gejala pada telinga yang paling sering muncul adalah gangguan pendengaran disertai rasa penuh pada telinga dan rasa berdengung.15 Hal ini disebabkan adanya penyumbatan pada tuba eustaskhius oleh massa tumor. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dan perlu diperhatikan. Jika
berlanjut, akan terjadi otitis media serosa sampai
dengan perforasi membran timpani aibat cairan yang diproduksi semakin banyak dan berakibat gangguan pendengaran.2,9,11
Universitas Sumatera Utara
14
b. Gejala hidung Gejala epistaksis merupakan gejala tersering yang terjadi pada hidung. Keluarnya darah ini biasanya sedikit dan berulang-ulang. Ini disebabkan oleh adanya iritasi ringan pada mukosa tumor yang rapuh. Sumbatan hidung menetap biasanya dijumpai pada kasus KNF yang masa tumornya telah menyumbat koana. Juga dapat dijumpai gejala berupa pilek kronis kadang disertai gangguan penciuman.2,9,11,12
2.3.7.2 Gejala Lanjut a. Limfadenopati servikal Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran yang terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Penyebaran ini dapat menjadi unilateral atau bilateral.16 Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum sel tumor menyebar ke bagian tubuh yang lebih jauh.17 Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang kedokter.12,17 b. Gejala Neurologis Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan paralisis saraf V.1,16,18 c. Gejala akibat metastasis jauh Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.17
Universitas Sumatera Utara
15
2.3.8
Diagnosis Karsinoma Nasofaring
2.3.8.1 Anamnesis Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita karsinoma nasofaring. Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering menyebabkan penderita karsinoma nasofaring berobat. Gejala hidung, telinga, gangguan neurologis juga sering dikeluhkan penderita KNF. Penting juga untuk ditanya apakah ada riwayat penyakit KNF pada keluarga.9
2.3.8.2 Pemeriksaan Fisik • Inspeksi/ palpasi: benjolan pada leher (lateral) 17 • Massa di nasofaring (rinoskopi, nasofaringoskop) 1. Rinoskopi Posterior Pemeriksaan
nasofaring
secara
konvensional
dengan
menggunakan kaca rinoskopi posterior. Namun pada pemeriksaan ini sering ditemukan kesulitan terutama pada pasien dengan variasi anatomi atau yang tidak kooperatif.11 2. Endoskopi a. Nasofaringoskopi rigid Nasofaringoskop dapat dilakukan dengan dua cara yaitu transnasal (teleskop dimasukkan melalui hidung), transoral (teleskop dimasukkan melalui mulut).1,11 b. Nasofaringosopi lentur Flexibible fibrescope merupakan alat yang bersifat lentur dengan dilengkapi alat biopsi pada ujungnya. Dengan alat ini kita dapat melihat nasofaring secara langsung.1,11 • Otoskopi, tes pendengaran 17 • Pemeriksaan saraf kranial 17
Universitas Sumatera Utara
16
2.3.8.3 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.9,11
CT-Scan leher dan kepala Pemeriksaan ini dapat mendeteksi penyebaran tumor ke jaringan sekitar yang belum terlalu luas. dan juga dapat mendeteksi erosi dari tulang dasar tengkorak dan penjalaran tumor ke intrakranial. 1,9,11,19
Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI nasofaring lebih baik dan akurat dibandingkan dengan CT-Scan nasofaring dalam mendeteksi dan menetapkan stadium dari karsinoma nasofaring.9,11 MRI dapat memperlihatkan baik bagian superficial maupun dalam jaringan lunak nasofaring, serta memberdakan antara massa tumor dengan jaringan normal. Namun MRI mempunyai keterbatasan dalam menilai perluasan yang melibatkan tulang.19
Positron Emission Tomography (PET) Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya tumor residual atau rekuren pada nasofaring. Dimana baik MRI maupun CT Scan tidak sensitive mendeteksi keadaan ini.11,19\
b. Pemeriksaan serologi Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini. Berupa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus Epsten-Barr (EBV) yaitu lgA anti VCA dan lgA anti EA.1,9 Pemeriksaan Serologi ini juga dapat dilakukan untuk screening dan deteksi dini terutama pada keluarga penderita KNF. Dimana pada penelitian Margi dkk di Makassar mendapatkan adanya peningkatan
Universitas Sumatera Utara
17
antibodi IgA terhadap EBV pada keluarga penderita KNF. Ini mengindikasikan keluarga penderita KNF merupakan kelompok resiko terjadinya KNF, sehingga screening ini baik untuk dilakukan.20 c. Biopsi nasofaring Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: dari hidung atau dari mulut. Agar biopsi dapat dilakukan dengan tepat sasaran, sebaiknya biopsi dilakukan di bawah kontrol endoskopi dan dengan bantuan anastesi.9,12,14
2.3.9 Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring Penatalaksanaan karsinoma nasofaring terdiri dari beberapa bentuk yaitu: radiasi, kemoterapi, pembedahan, atau kombinasinya. Karsinoma nasofaring tidak dapat diangkat melalui pembedahan disebabkan oleh lokasinya secara anatomis (berdekatan dengan basis tengkorak). Karena itu, radioterapi merupakan pilihan pertama untuk penanganan karsinoma nasofaring.9 a. Radioterapi Radioterapi merupakan modalitas utama dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring, karena tumor ini bersifat radiosensitif19 dengan angka harapan hidup 5 tahun sekitar 84% pada stadium I dan 68% pada stadium II. Namun angkanya berkurang pada pasien dengan stadium yang lebih lanjut. Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar 80-100%.11 b. Kemoterapi Kemoterapi merupakan alternatif lain untuk karsinoma nasofaring pada stadium lanjut. Kombinasi radioterapi dan kemoterapi telah diterima kebanyakan ahli onkologi sebagai standart terapi untuk karsinoma nasofaring stadium lanjut.11
Universitas Sumatera Utara
18
c. Pembedahan Terapi bedah tidak banyak mendapat peran dalam penganggulangan karsinoma nasofaring. Terapi bedah ini dapat berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Tindakan bedah (diseksi leher) terbatas hanya
untuk
reseksi
sisa
masa
tumor
pasca
radioterapi.
Nasofaringektomi merupakan operasi paliatif pada kasus kambuh atau adanya residu di nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.14
2.3.10 Komplikasi Karsinoma Nasofaring Toksisitas dari radioterapi mencakup: Xerostomia atau mulut kering yang diakibatkan oleh penurunan laju saliva pada mulut akibat kerusakan dari kelenjar saliva.21 Mukositis oral akibat paparan radiasi yang menginduksi kematian sel basal dari mukosa epitel. Gejala dapat berupa eritema, edema, dan sakit saat menelan.21 Dysfagia dapat terjadi berkaitan dengan neurotoksin langsung pada taste buds, xerostomia, infeksi, dan kondisi patologis lainnya.21 Trismus merupakan sindroma musculoskeletal yang terjadi akibat radiasi dan operasi. Termasuk fibrosis jaringan, dan diskontinuitas mandibular akibat operasi.21 Toksisitas pada kulit berupa eritema, hiperpigmentasi, deskuamasi pada kulit. Beberapa faktor resiko yang dapat memicu toksisitas pada kulit adalah status nutrisi yang tidak baik, adanya riwayat terpapar sinar matahari yang ekstensif, juga penyakit seperti DM dan penyakit vascular (scleroderma atau lupus).21
2.3.11 Prognosis Karsinoma Nasofaring Prognosis karsinoma nasofaring sebenarnya cukup baik pada stadium I. Hanya saja pada stadium I biasanya tidak menujukkan gejala atau gangguan sehingga kebanyakan pasien memeriksakan diri setelah sampai ke stadium yag lebih lanjut, dimana sudah menimbulkan gejala atau gangguan.11
Universitas Sumatera Utara
19
Adapun angka harapan hidup penderita karsinoma nasofaring dalam waktu 5 tahun (five year survival rate) menurut American Joint Commitee on Cancer (AMJC) Cancer Staging Manual edisi ke-7:8
Stadium
Angka Harapan Hidup
I
72%
II
64%
III
62%
IV
38%
Tabel 2.3.11 Prognosis Pasien KNF
2.4
Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring
2.4.1 Definisi Radioterapi Radioterapi atau terapi radiasi adalah metode pengobatan penyakitpenyakit
malignansi
dengan
menggunakan
radiasi
ion,
dengan
meningkatkan proses ionisasi pada daerah tertentu yang bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting.22
2.4.2 Mekanisme Kerja Radiasi ion bekerja pada DNA sel kanker untuk menghilangkan kemampuan reproduktifitas sel. DNA sel berduplikasi selama mitosis, sel dengan
tingkat
aktifitas
mitotik
yang tinggi
lebih
radiosensitif
dibandingkan dengan sel dengan tingkat aktifitas mitotik yang lebih rendah. Radioterapi bekerja dengan merusak sel DNA kanker. Kerusakan ini disebabkan oleh photon, elektron,proton, neutron, atau sinar peng-ion yang secara langsung ataupun tidak langsung mengionisasi atom yang membentuk rantai DNA.22
Universitas Sumatera Utara
20
2.4.3 Dosis Radiasi a. Radiasi eksterna Dosis diberikan 180-200 cGy per fraksi, yang diberikan 5 kali seminggu sehingga dosis mencapai 66-70 Gy dengan memperhatikan lapangan radiasi.23 b. Radiasi Interna/ brakiterapi Untuk kasus primer yang telah memperoleh radiasi eksterna sebanyak 60 Gy maka dosis brakhiterapi tambahan adalah 300 cGy per fraksi, 2 fraksi per hari dengan interval enam jam selama 3 hari. Sedangkan bila radiasi ekseterna 70 Gy maka brakiterapi diberikan hanya 2 hari dengan 2 fraksi per hari 300 cGy.23
2.4.4 Teknik Radioterapi Ada 2 cara utama pemberian radioterapi, yaitu : a. Radiasi eksterna / teleterapi Radiasi eksterna merupakan metode pengobatan dengan radioterapi di mana terdapat jarak antara sumber radiasi dengan pasien. Jarak ini dapat berbeda, tergantung pada peralatan yang dipakai, tujuan pengobatan, metode pengobatan, serta berbagai modifikasi yang akan dilakukan.22 Pada radiasi eksterna cakupan daerah yang memperoleh radiasi cukup luas, meliputi bukan hanya tumor primer dan jaringan sehat sekitarnya saja tetapi juga kelenjar getah bening setempat. Namun makin luas cakupan radiasi makin banyak jaringan sehat yang terikut serta terkena radiasi, dan ini tentunya tidak menguntungkan bagi pasien. Pada umumnya efek samping radiasi dikaitkan dengan terkenanya jaringan sehat yang terkena radiasi.21
b. Radiasi interna / brakiterapi Sumber radiasi dimasukkan ke dalam rongga nasofaring pada tempat tumor berada atau berdekatan dengan tumor guna memberikan dosis
Universitas Sumatera Utara
21
maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan sehat di sekitarnya. Terapi ini diberikan pada kasus yang telah memperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal yang masih terbatas pada daerah nasofaring.22
2.4.5 Respon Radiasi Setelah diberikan terapi radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO, yaitu:22 - Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar - Partial Response
: pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih
- No Change
: ukuran kelenjar getah bening yang menetap
- Progressive disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih
2.4.6 Komplikasi Oral Radioterapi pada Kanker Nasofaring Radioterapi memegang peranan penting pada perawatan kanker nasofaring. Daerah yang diradiasi melibatkan keseluruhan nasofaring dan kelenjar getah bening pada leher. Tidak dapat dihindari, daerah yang diradiasi juga melibatkan rongga mulut, maksila, mandibula, dan kelenjar saliva. Bagaimanapun, radioterapi ini memberikan manfaat pada jaringan, tetapi juga memiliki efek samping yang tidak dapat dihindarkan.22 Rongga mulut mempunyai resiko yang tinggi terhadap perawatan radioterapi, sebab radioterapi yang digunakan untuk merusak sel kanker juga dapat merusak sel normal rongga mulut dengan menghentikan pertumbuhan sel-sel secara cepat dan mencegah reproduksi sel-sel di dalam mulut, sehingga akan sulit bagi jaringan mulut untuk mengadakan
Universitas Sumatera Utara
22
perbaikan. Sebagai hasilnya, komplikasi oral dapat terjadi seperti mukositis,
kandidiasis,
xerostomia,
dysgeusia,
karies
gigi,
osteoradionekrosis, dan nekrosis pada jaringan lunak.22 Komplikasi pada mulut terjadi selama pemberian radioterapi hingga radioterapi telah selesai. Komplikasi ini tergantung pada volume dan daerah yang diradiasi, dosis total, fraksinasi, umur,dan kondisi klinis pasien yang berhubungan dengan perawatan radioterapi. Hanya dengan sedikit kenaikan pada dosis sudah dapat menaikkan insidens komplikasi oral secara signifikan. Komplikasi akut yang dapat terjadi adalah mukositis, kandidiasis, dysgeusia dan xerostomia (mulut kering), sedangkan yang bersifat kronis adalah karies gigi, osteoradionekrosis, dan nekrosis pada jaringan lunak.22
2.5
Hubungan Radioterapi dengan Penurunan Berat Badan Pasien KNF Selain keuntungan yang diperoleh dari radioterapi ini, juga terdapat kerugian yang didapat berupa komplikasi atau efek samping akut maupun kronis khususnya pada bagian mulut dari pasien karsinoma nasofaringyang menjalani radioterapi. Salah satu komplikasi akut yang terjadi pada pasien karsinoma nasofaring yang mendapatkan terapi adalah mukositas oral yakni inflamasi pada mukosa mulut berupa eritema dan ulser.5 Keadaan ini dapat mengakibatkan keluhan pada pasien berupa rasa sakit pada rongga mulut. Hal ini mengakibatkan pasien menjadi sulit untuk makan, minum, sakit saat menelan (disfagia) dan berbicara. Efek samping yang lain adalah Xerostomia (mulut kering), ini diakibatkan pengaruh radioterapi terhadap kelenjar penghasil saliva di rongga mulut sehingga menurunkan produksi saliva dan akhirnya menurunkan laju aliran saliva pada mulut pasien.24 Dysgeusia juga dapat terjadi pasca radioterapi yakni hilangnya rasa pengecapan pada pasien sehingga pasien sering kehilangan nafsu makan.22
Universitas Sumatera Utara
23
Beberapa efek samping ini dapat mengurangi konsumsi secara oral pada pasien. Keadaan ini jika berlangsung terus akan dapat mempengaruhi status nutrisi pada pasien. Dimana hal ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana ditemukan penurunan status nutrisi pada pasien karsinoma nasofaring yang mendapat radioterapi. Hal ini dapat dilihat dari penurunan berat badan pada pasien karsinoma nasofaring yang mendapat radioterapi dan terdapat perbedaan bermakna dari BMI pasien sebelum dan setelah radioterapi. 5,6 Penurunan berat badan pada pasien yang lebih dari 20 % dapat meningkatkan toksisitas dan mortalitas selama terapi. Penurunan berat badan yang terus menerus akan dapat mengakibatkan malnutrisi pada pasien dimana akan berakibat pada penurunan proses penyembuhan luka pada pasien, pasien juga mengalami penurunan sistem imun akibat kurangnya asupan gizi yang dapat mengakibatkan pasien rentan untuk terkena infeksi atau penyakit yang lain seperti kandidiasis oral yang juga diakibatkan penurunan produksi dari saliva mulut pasien.24 Penurunan berat badan juga mengakibatkan penurunan toleransi terhadap radioterapi. Hal ini dapat mengakibatkan pasien dapat tidak melanjutkan radioterapi dan akhirnya membutuhkan waktu perawatan yang lebih lama.5,22 Penurunan berat badan juga dapat mempengaruhi kualitas hidup pada pasien dimana pada penelitian di Universitas Brawijaya ditemukan bahwa pasien yang mengalami penurunan status nutrisi yang dapat dilihat dari BMI memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan nutrisi yang baik.22 Selain itu penurunan berat badan ini juga berpengaruh pada prognosis pasien ini kedepannya. Dimana seperti pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa pasien dengan penurunan berat badan yang besar memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien dengan penurunan berat badan sedikit.6,7
Universitas Sumatera Utara