BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Motivasi Motivasi berasal dari bahasa latin yaitu movere yang berarti bergerak (move). Motivasi menjelaskan apa yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, dan membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas (Schunk dkk., 2012). Menurut Santrock (2007), motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama. Siswa yang memiliki motivasi belajar akan memperhatikan pelajaran yang disampaikan, membaca materi sehingga dapat memahaminya, dan menggunakan strategi-strategi belajar tertentu yang mendukung. Selain itu, siswa juga memiliki keterlibatan yang intens dalam aktivitas belajar tersebut, rasa ingin tahu yang tinggi, mencari bahan- bahan yang berkaitan untuk memahami suatu topik, serta menyelesaikan tugas yang diberikan. Motivasi terbagi dua, yaitu motivasi intrinsik (memotivasi diri) dan motivasi ekstrinsik (penghargaan). Motivasi intrinsik adalah motivasi untuk melibatkan diri dalam suatu aktivitas karena nilai manfaat dari aktivitas tersebut. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi untuk melibatkan diri dalam suatu aktivitas sebagai suatu cara untuk mencapai sebuah tujuan (Schunk dkk., 2012). Sukadji (2001) mengatakan bahwa motivasi instrinsik cenderung akan memberikan hasl positif dalam proses belajar dan meraih prestasi yang baik. Namun, bukan berarti motivasi ekstrinsik tidak penting. Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang secara relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan yang dilandasi untuk mencapai tujuan tertentu (Mikarsa dkk., 2007). Dalam kegiatan belajar, Sadirman (2004) menyatakan bahwa motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar, dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki siswa dapat tercapai. 7
8
2.2 Motivasi Berprestasi Menurut McClelland (Santrock, 2007) motivasi berprestasi adalah keinginan untuk menyelesaikan sesuatu, untuk mencapai sesuatu standar kesuksesan, dan untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan untuk mencapai kesuksesan. Kemudian lebih lanjut McClelland menambahkan bahwa motivasi berprestasi adalah suatu dorongan yang dimiliki seseorang untuk mencari tantangan, menyukai tugas yang cukup sulit, dan menginginkan semua kemungkinan umpan balik. McClelland (dalam Lussier & Achua, 2009) membagi motivasi kedalam 3 jenis, yaitu: 1. Motivasi untuk berkuasa (Need of Power) Motivasi untuk berkuasa adalah dorongan untuk mengusai dan mempengaruhi orang lain. Dimana seseorang ingin mendominasi dan mengontrol orang lain melalui pengaruhnya. 2. Motivasi untuk berafiliasi (Need of Affiliation) Motivasi ini merupakan suatu dorongan yang mengarahkan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Seseorang dengan need of affiliation yang kuat memiliki hubungan yang baik dan menyenangkan dengan orang lain. 3. Motivasi untuk berprestasi (Need of Achievement) Motivasi untuk berprestasi merupakan dorongan dari dalam diri seseorang untuk mendapatkan kepuasan akan berprestasi. Seseorang yang dominan dengan need of achievement akan berusaha keras untuk berhasil mencapai standar yang telah mereka tetapkan bagi dirinya sendiri. Seseorang dengan need of achievement yang tinggi memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil dalam kompetisi, dan mereka akan mencari situasi dimana mereka dapat mencapai tanggung jawab pribadi untuk menemukan pemecahan masalah, serta menerima umpan balik sebagai wujud tanggung jawab untuk sukses atau gagal.
2.3 Aspek-aspek Motivasi Berprestasi Menurut Atkinson (dalam Sukadji, 2001), motivasi berprestasi dapat tinggi atau rendah, berdasarkan dua aspek yang terkandung didalamnya, yaitu harapan
9
untuk sukses atau berhasil, dan juga ketakutan akan kegagalan. Seseorang dengan harapan untuk berhasil lebih besar dibandingkan dengan ketakutan akan kegagalan dikelompokkan kedalam golongan yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, sedangkan orang yang memiliki ketakutan lebih besar daripada harapan untuk berhasil termasuk kedalam golongan yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah.Kemudian Rabideu (2005) menambahkan, bahwa usaha menghindari kegagalan dapat diartikan sebagai upaya mengerjakan tugas seoptimal mungkin, untuk memperoleh kesempatan yang akan datang. Demikian pula usaha untuk sukses dapat diartikan sebagai pendorong yang memberi kepercayaan diri, sehingga mampu mencapai keberhasilan, dengan mempertimbangan kemampuan untuk menghindari kegagalan. Seseorang dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung mempunyai harapan untuk berhasil yang tinggi, terutama jika dihadapkan dengan tugas yang memiliki resiko sedang dan tinggi. Sementara orang-orang dengan motivasi berprestasi yang rendah sebaliknya.
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi McClelland (dalam Sukadji, dkk 2001) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi, yaitu: a. Harapan orang tua terhadap anak Orang tua yang mengharapkan anaknya agar bekerja keras untuk mencapai sukses akan mendorong anak untuk bertingkahlaku yang mengarah kepada pencapaian prestasi. Dari penilaian, diperoleh bahwa orang tua dari anak yang berprestasi melakukan usaha khusus terhadap anaknya. b. Pengalaman pada tahun-tahun pertama kehidupan. Adanya perbedaan pengalaman masa lalu pada setiap orang sering menyebabkan terjadinya variasi terhadap tinggi rendahnya kecenderungan berprestasi dalam diri seseorang. Biasanya hal itu dipelajari pada masa kanak-kanan awal, terutama melalui interaksi dengan orang tua. c. Latar belakang budaya tempat seseorang dibesarkan. Apabila dibesarkan dalam budaya yang menekankan pada pentingnya keuletan, kerja keras, sikap inisiatif dan kompetitif, serta suasana yang
10
selalu mendorong individu untuk memecahkan masalah secara mandiri tanpa dihantui rasa takut akan kegagalan, maka dalam diri seseorang akan berkembang hasrat untuk berprestasi tinggi. d. Peniruan tingkah laku. Melalui ”observational learning” anak mengambil atau meniru banyak karakteristik dari model, termasuk dalam kebutuhan untuk berprestasi, jika model yang ditiru memiliki motif tersebut dalam derajat tertentu. e. Lingkungan tempat proses belajar berlangsung. Iklim belajar yang menyenangkan, tidak mengancam, memberi semangat dan sikap optimisisme pada siswa dalam belajar, cenderung akan mendorong seseorang untuk tertarik belajar, memiliki toleransi terhadap suasana kompetisi dan tidak khawatir akan kegagalan.
11
Tabel 2.1 Dimensi Motivasi McClelland
Motivator Dominan Berprestasi
Karakteristik •
Memiliki
kebutuhan
yang
kuat
untuk
menetapkan dan mencapai tujuan yang menantang •
Memperhitungkan
pengambilan
resiko
untuk mencapai tujuan •
Suka menerima umpan balik demi kemajuan prestasi
Berafiliasi
•
Kerap bekerja sendiri
•
Ingin menjadi anggota kelompok
•
Ingin disukai dan sangat ingin bergabung dengan kegiatan kelompok
Berkuasa
•
Mendukung kerjasama dalam kompetisi
•
Tidak suka resiko tinggi atau ketidakpastian
•
Ingin mengontrol dan mempengaruhi orang lain
•
Suka memenangkan argumen
•
Menyukai kompetisi dan menang
•
Menyukai status dan pengakuan
Sumber: McClallend (Lussier & Achua, 2009)
2.5 Perkembangan Anak Piaget (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan 4 tahap dalam perkembangan anak, yaitu: 1. Tahap Sensorimotor (usia 0-2 tahun) Dalam tahap ini anak membangun pemahaman mengenai dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman sensori, seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan fisik dan motorik. Pada tahap ini, bayi
12
yang baru lahir memiliki lebih dari sekadar pola-pola refleksif untuk dapat melakukan sesuatu. Akhir pada tahap ini, anak umur 2 tahun memiliki pola sensorimotor kompleks dan mulai menggunakan simbolsimbol sederhana. 2. Tahap Preoperasinal (usia 2-7 tahun) Pada tahap ini, anak mulai menjelaskan dunia dengan kata-kata, gambar, dan lukisan. Meskipun demikian menurut Piaget anak prasekolah masih kurang mampu melakukan operasi (istilah Piaget untuk tindakan mental yang terinternalisasi, yang memungkinkan anak melakukan sesuatu secara mental sebelum dapat dilakukan secara fisik. 3. Tahap Preoperasinal Konkret (usia 7-11 tahun) Subjek penelitian yang dipilih oleh peneliti berada pada tahap perkembangan preoperasional konkret, yaitu dengan rentang usia 7-11 tahun. Dimana pada tahap ini, subjek penelitian yang dipilih oleh peneliti telah dapat berpikir secara logis mengenai kejadian-kejadian yang konkret. Menurut Miller (2011), pada tahap ini anak mengembangkan kemampuan untuk konservasi. Konservasi adalah memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain. Anak-anak umumnya mencapai konservasi benda cair kira-kira pada usia 7 tahun. Ketika mereka bertindak demikian, mereka sedang memasuki tahapan operasi berfikir konkret / operasional konkret. Pada dasarnya anak-anak mencapai pengobservasian dengan menggunakan tiga argumen. a. Anak mungkin berkata, “kita tidak menambah atau mengurangi apapun, jadi mestinya jumlah cairan ini tetap sama”. Ini adalah argumen identitas.
13
b. Anak mungkin berkata, “gelas ini memang lebih tinggi dan yang lain lebar, meskipun begitu jumlah cairannya tetap sama. ”Ini disebut argumen kompensatif. c. Anak mungkin berkata, “mereka masih sama karena kita bisa menuang kembali cairan itu ke tempatnya yang semula” ini disebut argumen inverse. d. Kemampuan mengelompokkan secara memadai. Kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut). Melakukan pengurutan (dari yang kecil sampai yang besar dan sebaliknya). Kemampuan untuk mengurutkan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil. Proses pemikiran diarahkan kepada kejadian riil yang diamati oleh anak. Anak dapat melakukan operasi problem yang sedikit kompleks selama problem itu konkret dan tidak abstrak. 4. Tahap Operasional Konkret (usia 11 tahun-dewasa) Pada tahap ini individu lebih melampaui pengalaman konkret dan berpikir lebih abstrak, remaja menciptakan bayangan situasi ideal, mulai mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan. Dalam pemecahan masalah, individu pada tahap ini mengembangkan hipotesis mengenai mengapa sesuatu terjadi dengan cara tertentu, kemudian menguji hipotesis tersebut dengan cara deduktif.
2.8 Kerangka Berpikir Pendidikan dan pengajaran adalah suatu proses yang sadar tujuan. Tercapai atau tidaknya tujuan pengajaran salah satunya dapat dilihat dari prestasi belajar yang diraih siswa, dengan prestasi yang tinggi, siswa memiliki indikasi pengetahuan yang baik (Sadirman, 2004). Motivasi berprestasi yang dimiliki
14
siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran sangat berperan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran tertentu. Siswa yang bermotivasi tinggi dalam belajar memungkinkan akan memperoleh hasil belajar yang tinggi pula, artinya semakin tinggi motivasinya, semakin intensitas usaha dan upaya yang dilakukan, maka semakin tinggi prestasi belajar yang diperolehnya (Nashar, 2004). Siswa yang termotivasi akan merasa bahwa ia butuh mencapai tujuan karena suatu hal, jika itu didorong oleh motivasi intrinsik maka individu akan melakukannya demi kepuasan, sedangkan jika melakukan sesuatu karena didorong oleh motivasi ekstrinsik itu dapat dikarenakan ia menginginkan sesuatu jika mencapai tujuannya, contohnya seorang anak dijanjikan akan dibelikan sebuah mainan jika ia mendapat juara di kelas, maka ia akan belajar untuk mendapatkan nilai yang baik agar ia mendapatkan mainan tersebut (Mikarsa dkk, 2007). McClelland (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa motivasi berprestasi merupakan salah satu jenis motivasi yang paling penting dalam dunia pendidikan. Menurut Atkinson & Raynor (dalam Schunk dkk, 2012), seseorang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi memiliki harapan untuk sukses lebih besar daripada ketakutan akan kegagalan, lebih memilih tugas dengan resiko sedang, dan tekun dalam usahanya ketika menghadapi tugas yang semakin sulit. Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan, peneliti memilih Sekolah Dasar Standar Nasional (SDSN) Bendungan Hilir 09 Pagi Jakarta yang berada ditengah kota dan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 30/IX Tempino Jambi yang berada jauh dari pusat kota. Menurut hasil observasi peneliti menemukan perbedaan-perbedaan dari kedua sekolah tersebut, seperti contohnya kualitas tenaga pengajar yang berdeda, gaya mengajar yang berbeda, serta sarana dan prasarana untuk menunjang proses pembelajaran yang berbeda. Dimana guru di SDSN Bendungan Hilir 09 rata-rata berusia muda sehingga gaya mengajar di kelas dan pengaturan kondisi kelas lebih kreatif sehingga membuat siswa merasa belajar jadi menyenangkan. Sementara guru di SDN 30/IX Tempino rata-rata berusia diatas 45 tahun sehingga masih menggunakan gaya mengajar yang konvensional. Untuk fasilitas yang terdapat di sekolah, di SDSN Bendungan Hilir 09 Pagi memiliki fasilitas yang lebih lengkap, seperti ruang laboratorium sebagai sarana untuk mata pelajaran Teknologi Informatika dan Komputer (TIK),
15
sedangkan di SDN 30/IX Tempino masih belum tersedia. Sehingga siswa di SDN 30/IX Tempino kurang pengetahuan tentang ilmu komputer dan internet dibandingkan siswa di SDSN Bendungan Hilir 09 Pagi. Dari sisi lapangan sekolah yang disetiap hari Senin digunakan sebagai tempat melaksanakan upacara bendera, di SDN 30/IX Tempino masih berupa lapangan tanah.
16