BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman katuk (Sauropus androgynus (L).Merr.) merupakan salah satu tanaman yang banyak dimanfaatkan penggunaannya sebagai tanaman obat di Indonesia dan Malaysia (Wang dan Lee 1997). Tanaman ini juga dapat tumbuh di negara-negara seperti Cina, Vietnam, Philipina, dan juga Malaysia (Setyowati 1997 dan Suprayogi 2000). Tanaman ini juga digunakan sebagai sayur-mayur oleh masyarakat bagian Asia Barat dan Asia Tenggara (Bender dan Ismail 1975, dalam Suprayogi 2000). Selain untuk sayur-mayur, tanaman katuk juga dimanfaatkan sebagi obat tradisional pada masyarakat India (Padma Vathi dan Rao 1990). Bebeda dengan negara Taiwan, tanaman katuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pengobatan pada penyakit hipertensi, hiperlipidemia, konstipasi, dan pengontrol berat badan (Ger et al. 1997). Tanaman katuk tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Tanaman katuk (Anonim 2004).
1.1 Sifat Botani Tanaman Katuk (Sauropus androgynus (L).Merr) Menurut Tjitrosoepomo (2007) katuk dalam taksonomi tumbuhan termasuk dalam golongan : Divisi
: Spermatophyta
Anak Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotiledonae
Anak kelas
: Monoclamydae (Apetalae)
Bangsa
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Sauropus
Spesies
: Sauropus androgynus Di daerah Jawa, tanaman katuk sering disebut babing, katuken, sedangkan
di sunda disebut katuk. Berbeda dengan di Madura, tanaman katuk disebut kerakur (Anonim 1992). Ada 3 jenis sauropus yang dikenal di daerah Jawa yaitu (Sauropus androgynus (L).Merr) atau katuk, Sauropus rhammoide B1 atau katuk badak, dan Sauropus machrantus hassk (Prajogo dan Santa 1997). Beberapa laporan menyebutkan kandungan nutrisi yang terdapat dalam tanaman katuk yaitu energi 59 kal%, protein 4,8%, lemak 1,0%, Ca 204 mg%, fosfor 83 mg%, besi 7,0%, vitamin A 10,370 SI%, Vitamin B 0,10 mg%, Vitamin C 239 mg%, dan air 81,0% (Depkes 2007). Menurut Sukendar (1997), daun katuk merupakan daun tunggal yang diketiaknya terdapat bunga, memiliki daun tunggal, dengan jumlah daun bercabang 11-21 helai. Warna pada permukaan atas daun hijau dengan bercak putih dan permukaan bawah berwarna hijau muda. Tepi daun rata, pangkal tumpul, dan ujungnya lancip. Bunga jantan seperti iwang dengan kelopak dan mahkota masing-masing berjumlah 3, berwarna hijau kemerahan, saling berlekatan, tebal dan berdaging. Benang sari 6 buah dengan serbuk sari berwarna putih kekuningan. Bunga jantan mempunyai kelopak dan mahkota serupa, masing-masing berjumlah 3, berwarna merah kecoklatan, berlepasan, tidak mudah luruh, dan menempel pada buah.
1.2 Manfaat Daun Katuk
Katuk merupakan tanaman yang banyak dikonsumsi sebagai sayuran oleh masyarakat di pulau Jawa. Daun berikut bagian pucuk batang termasuk salah satu sayuran yang sangat digemari dan sangat dianjurkan untuk dikonsumsi oleh kaum ibu yang sedang menyusui karena mengandung nutrisi yang berguna bagi tubuh. Mengkonsumsi daun katuk dapat meningkatkan produksi ASI (Suprayogi 2000). Tanaman katuk telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Bali sebagai tanaman obat keluarga (TOGA), pelancar Asi, bahan makanan, dan tanaman hias (Sumantera 1997). Sebagai bahan makanan, katuk dikenal sebagai sumber vitamin A dalam bentuk karoten sebanyak 10 mg/100 g daun segar, vitami C sebanyak 164 mg/100 g daun segar, protein 6,4 mg/100 g daun segar, dan thiamin 0,1 mg/100 g daun segar (Yuliani dan Marwati 1997). Mahyudin (1986) mengatakan bahwa tanaman katuk juga dikenal sebagai jamu atau obat tradisional, sehingga dipercaya orang bahwa daya tahan tubuh selama sakit dapat meningkat dengan pemberian daun katuk. Selain itu daun katuk juga terbukti memiliki khasiat antara lain sebagai obat bisul dan borok dan juga mampu memperbaiki fungsi pencernaan serta metabolisme tubuh (Suprayogi 1995). Air rebusan dari akar tanaman ini dapat menurunkan panas tubuh pada saat demam dan juga melancarkan air seni, sedangkan akar tanaman yang digiling digunakan sebagai obat luar untuk frambusia (Heyne 1987). Pemberian sediaan infusium daun katuk sebesar 10% dan 15% secara oral dapat meningkatkan produksi air susu mencit pada percobaaan secara nyata. Diduga kandungan senyawa aktif dari daun katuk serupa dengan hormon steroid diantaranya prolaktin dan oksitosin (Agil 1991, dalam Suprayogi 2000). Suprayogi (1995) telah membuktikan bahwa pemberian suspensi daun katuk mampu meningkatkan kecernaan terhadap pakan, diantaranya bahan kering, protein, dan lemak serta dapat menyebabkan terjadinya metabolisme glukosa di hati dan peningkatan absorbsi glukosa di dalam saluran pencernaan. Santoso dan Sartini (2001) juga mengemukakan, dengan pemberian daun katuk dalam pakan ayam broiler sebagai tambahan mampu mengurangi akumulasi lemak tubuh sehingga kadar kolesterol karkas semakin berkurang. Lebih lanjut diketahui bahwa pemberian daun katuk juga dapat mempercepat usia dewasa kelamin pada ayam dan rataan konversi pakan yang dapat mempengaruhi peningkatan produksi telur. Desni (2005) melaporkan bahwa penambahan daun katuk sebesar 15%
dalam pakan ayam petelur memperlihatkan efek positif bagi peningkatan kualitas karkas, peningkatan berat kuning telur, dan vitamin A serta menurunkan kadar kolesterol pada kuning telur hingga mencapai 16,82% serta peningkatan hormon ekstradiol. Suprayogi (2000) juga melakukan pengamatan efek farmakologis dan toksisitas ekstrak alkohol daun katuk pada kambing laktasi. Pemberian ekstrak alkohol daun katuk selama 14 hari dengan dosis 1,89 g/hari mampu meningkatkan produksi air susu kambing laktasi yang diikuti dengan kualitas air susu yang tetap stabil. Suprayogi (2002) juga mengungkapkan dalam pengujian toksisitas akut pada tikus putih (Wistar) terhadap penentuan nilai LD50 menggunakan sediaan teh katuk sebesar 36,68 gram/kg bb dengan kisaran dosis lethal antara 28,14 58,12 gram/kg bb menunjukkan efek non toksik. Suprayogi (2000) melaporkan bahwa dengan pemberian secara oral sediaan daun katuk kering giling sebanyak 7,44 g/hari pada kambing laktasi selama 35 hari mampu meningkatkan produksi air susu sebanyak 7,75%. Peningkatan yang kecil terjadi pada pemberian secara oral sediaan ekstrak alkohol daun katuk, yaitu hanya sebesar 0,89%. Peningkatan produksi air susu tersebut diduga karena senyawa aktif daun katuk mampu menigkatkan populasi sel-sel sekretoris kelenjar ambing (diindikasikan oleh total DNA) yang diikuti oleh peningkatan aktifitas sintesis sel-sel sekretoris tersebut (diindikasikan oleh total RNA). Disamping itu pada saat yang sama senyawa aktif daun katuk mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi didalam darah yang menuju ke kelenjar ambing (prekursor air susu). 1.3 Komposisi Nutrisi dan Senyawa Aktif Daun Katuk
Suprayogi (2000) mengemukakan bahwa terdapat komponen yang menyerupai papaverin dalam daun katuk. Komponen tersebut dikenal sebagai Papaverine Like-Compound yang kemungkinan mempunyai efek kimia, farmakologi, dan efek biologi yang menyerupai papaverin. Penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian sebelumnya oleh Bender dan Ismail (1975) dalam Suprayogi (2000), yang melaporkan adanya senyawa alkaloid (papverin) sebesar 5,8 PPV/Kg daun katuk segar yang diduga mempunyai efek fisiologis dalam tubuh. Kandungan nutrisi daun katuk bervariasi, hal ini tergantung dari tipe tanah dimana katuk tumbuh, umur, dan bagian tanaman yang dianalisis (Puspaningtyas et al. 1997). Berdasarkan beberapa hasil penelitian mengenai banyaknya kandungan
nutrisi yang terdapat dalam daun katuk, terdapat beberapa komposisi nutrisi daun katuk (per 100 gram daun katuk segar) yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi nutrisi daun katuk (per 100 gram daun katuk segar). Nutrisi
Anonymous (1992)
Padma Vathi and Rao (1990)
Depkes RI (1972)
Kadar air Protein Lemak Karbohidrat Serat kasar Karoten Tiamin Riboflavin Vitamin C Kalsium Posphor Besi Abu
6,4 g 1,0 g 9,9 g 1,5 g 10020 µg 0,1 mg 164 mg 98 mg 3,5 mg 1,7 mg
69,9 g 7,4 g 1,1 g 1,8 g 5600,0 µg 0,50 mg 0,21 bmg 244,0 mg 771,0 mg 543,0 mg 8,8 mg -
81,0 g 4,8 g 1,0 g 11,0 g 10020,0 µg 0,1 mg 204,0 mg 204,0 mg 83,0 mg 3,0 mg -
Suprayogi (1995) mengemukakan bahwa dengan pemberian papaverin cenderung mengurangi kecernaan lemak kasar. Hal ini disebabkan adanya efek penghambatan terhadap sintesis cairan empedu yang mengakibatkan sekresi cairan empedu menurun. Andriyanto (2004) juga menemukan adanya penurunan kadar lemak kasar dan berat karkas akibat penambahan tepung daun katuk pada pakan ayam broiler. Agusta et al. (1997) melaporkan bahwa terdapat 6 komponen kimia yang terdapat dalam daun katuk, yaitu: Monomethyl succinate (C5H8O4), 2phenilmalonicacid (C9H8O4), 2-methyl-cyclopentanol acetate (C8H14O2), benzoid acid (C7H6O2), 2-pyrrolidinone (C4H7NO), dan methylpyroglutamate (C6H9NO3). Empat senyawa dari enam senyawa ini yaitu monomethyl succinate, 2-phenyl malonic acid, 2-methyl cyclopentanolacetate, dan methyl pyroglutamate dapat dihidrolisis melalui reaksi kimia tertentu didalam saluran pencernaan menjadi produk metabolik yang berbentuk succinate, mallonate, acetate, dan glutamic acid. Keempat senyawa tersebut dapat berperan sebagai senyawa eksogenous yang berfungsi dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Agusta et al. 1997). Suprayogi (2000) mengemukakan bahwa dengan menggunakan alat GCMS
(Gas
Chromatography-Mass.
Spectrometry),
diperkirakan
daun
katuk
mengandung 5 senyawa aktif utama yaitu Octadecanoic acid; 9-ecosine; 5,8,11heptadekatrienoicacid;
9,12,15-
Octadekatrienoicacid
dan
11,14,17-
eicosatrienoicacid yang berperan sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis
senyawa eicosanoid dan 2 senyawa lain yaitu androstan-17-one-3-ethyl-3 hydroxy 5 alpha berfungsi sebagai prekursor atau intermediet-step dalam sintesis senyawa hormon-hormon steroid (progesteron, estradiol, testosteron, dan glukokortikoid) dan senyawa 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid, yang dapat berfungsi sebagai eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus Krebs. Suprayogi (2000) melaporkan bahwa daun katuk mampu meningkatkan metabolisme glukosa di hati dengan menunjukkan efek surplus glukosa fluks. Suprayogi (2000) juga melaporkan dengan menggunakan analisa GC-MS, daun katuk mempunyai tujuh senyawa aktif utama. Senyawa aktif yang terkandung dalam daun katuk tersebut dapat mempengaruhi fungsi fisiologis dalam tubuh, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Tujuh senyawa aktif utama tanaman katuk dan pengaruhya terhadap fungsi fisiologis jaringan. No.
Senyawa
Fungsi fisiologis
1.
Octadecanoic acid
2.
9-Ecosine
Sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis senya wa eicosanoids (prostaglandin, prostacycline, thrombo xane, lipoxanes, dan leukotrienes)
3.
5,8,11-heptadekatrienoicacid
4.
9,12,15-octadekatrienoicacid
5.
11,14,17-eicosatrienoicacid
6.
Androstan-17-one -3-ethyl-3 hydroxy 5 alpha Senyawa 1-6 secara bersamaan
7.
3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid Senyawa 1-7 secara bersamaan
Sebagai prekursor/ intermediet-step dalam sintesis hor mon steroid (progesteron, estradiol, testosteron, dan gl ukokortikoids) Memodulasi hormon-hormon mammogenesis dan lakt ogenesis serta aktifitas fisiologis yang lain Sebagi eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus Krebs Berkhasiat sebagai: a) Pemacu produksi ASI b) Peningkatan fungsi pencernaan c) Peningkatan pertumbuhan badan d) Pemicu jumlah darah e) Mengatasi kelelahan f) Mengatasi penyakit pembuluh darah g) Mengatasi gangguan reproduksi pada pria maupu n wanita
(Sumber: Suprayogi 2000) Wang dan Lee (1997) melaporkan terdapat 6 senyawa aktif DK yang
ditemukan dengan menggunakan pelarut etanol (EtOH), yaitu 3 senyawa flavonol, yaitu 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glucosyl-7-O-αL-rhamnosyl
kaempferol,
dan
3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-7-O-α-L-
rhamnosyl-kaempferol. Selain 3 senyawa diatas, 3 senyawa lain yang juga ditemukan
yaitu
senyawa
5’-deoxy5”methylsulphinyl-adenosine,
three
nucleotides-adenosine, dan uridine. Suprayogi (2004) menguatkan temuan tersebut, bahwa dengan menggunakan pelarut etilasetat (EtAc) juga ditemukan senyawa-senyawa flavonol tersebut yaitu 3-O-β-D-glucosyl-kaempferol, 3-O-βD-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol, dan kaempferol. Senyawa kaempferol tersebut dapat diketahui sebagai antioksidan kuat. 2.4 Ekstraksi Ekstraksi bahan obat merupakan penarikan zat pokok (senyawa) yang diinginkan dari bahan mentah obat (simplisia) dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana senyawa yang diinginkan dapat larut. Bahan mentah obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan tidak perlu diproses lebih lanjut kecuali dikumpulkan dan kemudian dikeringkan. Ekstrak tidak mengandung hanya satu senyawa saja tetapi berbagai macam senyawa, tergantung pada bahan obat yang digunakan dan kondisi ekstraksi (Ansel 1989). Pembuatan ekstrak dimaksudkan agar senyawa berkhasiat yang terdapat di dalam simplisia terdapat dalam bentuk yang menpunyai kadar yang tinggi dan hal ini memudahkan senyawa berkhasiat tersebut dapat diatur dosisnya. Dalam sediaan ekstrak dapat distandardisasikan kadar senyawa berkhasiat, sedangkan kadar senyawa berkhasiat dalam simplisia sukar didapat yang sama untuk setiap penggunaan. Kandungan bahan aktif yang tersari dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain derajat kehalusan bahan yang disari, cara penyarian, jenis cairan penyari, lama penyarian, dan perbandingan jumlah simplisia dengan cairan penyari serta suhu penyarian (Ansel 1989). Simplisia merupakan suatu bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan, biasanya berupa bahan yang dikeringkan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam ekstraksi, yaitu jumlah simplisia, derajat kehalusan, cara pemanasan, cara penyaringan, penambahan air ekstrak, dan perhitungan dosis pemakaian. Pada dasarnya metode ekstraksi terdapat beberapa macam, diantaranya yaitu maserasi (perendaman), perkolasi, digesti, infusi, dan dekoksi (Wientarsih dan Prasetyo 2006) Pelarut adalah suatu cairan yang digunakan dalam proses pemecahan
ikatan suatu persenyawaan untuk selanjutnya membentuk suatu larutan. Energi yang dibutuhkan untuk memecahkan ikatan-ikatan ini diambil dari energi yang dilepaskan karena terbentuknya ikatan antara partikel yang dilarutkan dengan partikel pelarut. Untuk memecahkan ikatan persenyawaan dibutuhkan energi yang cukup besar, karena persenyawaan yang berikatan ion hanya larut di dalam air atau pelarut sangat polar lainnya. Begitu juga persenyawaan kovalen polar hanya larut didalam pelarut polar dan persenyawaan kovalen non-polar yang hanya larut didalam persenyawaan non-polar (Winarno et al. 1973). Pelarut yang digunakan dapat berupa etanol, heksan, etilasetat, dan air. Air dalam farmakope Indonesia ditetapkan sebagai salah satu cairan penyari. Air dapat melarutkan garam glikosida, tanin, minyak, alkaloid, dan gula. Air dipertimbangkan sebagai penyari karena stabil, tidak beracun, alamiah, tidak mudah menguap, mudah diperoleh, murah, dan tidak mudah terbakar (Depkes RI 1995). Air memiliki daya ekstraksi yang menonjol sebagai bahan untuk jamu yang aktif secara terapeutik dan juga mampu mengekstraksi sejumlah besar bahan dasar (simplisia). Disamping itu, penggunaan air sebagai bahan penyari juga mempunyai kerugian, yaitu tidak selektif. Hal ini dikarenakan air sebagai tempat tumbuhnya kapang, mikroba, dan kamir, sehingga dalam penggunaannya perlu ditambahkan pengawet. Air dapat melarutkan enzim sehingga menyebabkan reaksi enzimatis yang mengakibatkan penurunan mutu (Depkes RI 1995). Sebaliknya etanol merupakan penyari yang lebih selektif dibandingkan air. Hal ini dikarenakan kapang dan mikroba sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas. Etanol bersifat netral, tidak beracun, dan daya absorbsinya baik, karena dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan dan sekaligus memperbaiki stabilitas bahan obat yang terlarut. Bobot jenis etanol tidak lebih dari 0,7964. Etanol merupakan senyawa yang jernih (tidak berwarna), mudah menguap, berbau khas, dapat meyebabkan rasa terbakar pada lidah, dan mudah menguap walaupun pada suhu rendah dan mendidih pada suhu 78oC serta mudah terbakar. Sifat lain dari etanol yaitu dapat mengendapkan bahan putih telur dan menghambat kerja enzim. Etanol 80 % sering digunakan dan dapat menghasilkan bahan aktif yang optimal (Voight 1994). Lain halnya dengan heksan, yaitu merupakan senyawa yang mengandung 98,0% sampai dengan 100,5% C13H6Cl6O2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan, berwarna putih agak cokelat, tidak berbau, dan agak berbau fenol. Heksan juga tidak larut dalam air, namun mudah larut dalam etanol, aseton, eter, kloroform, dan larutan encer alkali hidroksida tertentu (Depkes RI
1995). Pelarut organik lain yaitu etilasetat. Etilasetat merupakan cairan tidak berwarna dengan bau khas, rasa aneh, seperti aseton, dan membakar. Etilasetat didapat secara destilasi lambat campuran asam asetat, etil alkohol, dan asam sulfat. Berdasarkan kelarutannya, etilasetat dapat larut dalam eter, alkohol, minyak atsiri, dan minyak lemak (Depkes RI 1995). Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan yang bertujuan memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari golongan utama kandungan yang lain. Pemisahan jumlah dan jenis senyawanya menjadi fraksi yang berbeda tergantung pada jenis tumbuhan maupun simplisianya. Senyawa-senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar dan senyawa yang bersifat non-polar akan masuk ke pelarut non-polar (Harborne 1987). 2.5 Anatomi, Fisiologi, dan Patologis Organ Hati dan Ginjal 2.5.1 Hati 2.5.1.1 Anatomi Hati Hati tikus terdiri dari empat lobus utama, separuh bergabung satu sama lain. Lobus bagian dorsal dibagi menjadi bagian lobus kanan dan lobus kiri. Lobus lateral kiri tidak terbagi dan lobus lateral kanan yang dibagi menjadi bagian anterior dan posterior. Lobus caudal terdiri dari dua lobus yaitu lobus dorsal dan ventral (Harada et al. 1996). Permukaan hati tikus dilapisi oleh lapisan jaringan ikat yang liat dan tembus pandang. Hati tersusun dalam lobulus yang didalamnya mengalir darah melewati deret sel-sel hati melalui sinusoid dari daerah porta hepatika kedalam vena sentralis tiap lobulus. Darah yang lewat sinusoid adalah campuran darah dari cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika. Setiap lobulus hati terbangun dari berbagai komponen, yaitu sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kuppfer dan kanalikuli biliaris. Sel-sel Kuppfer yang berada di dalam lumen sinusoid bertindak sebagai makrofag yang memiliki fungsi fagositik (Ganong 2003). Hati mendapat vaskularisasi ganda, yaitu melalui vena porta dan arteri hepatika. Darah yang berasal dari saluran pencernaan dan organ abdomen termasuk limpa, pankreas, dan kantung empedu masuk melalui vena porta. Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap dan siap untuk diproses lebih lanjut oleh hati. Selain nutrisi, pembuluh darah porta dapat menjadi jalan masuk
untuk berbagai mikroorganisme dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau juga disimpan. Sebanyak 75-80 % darah pada organ hati tikus berasal dari vena porta. Sedangkan dari arteri hepatika mengalir sekitar 20-25 % darah yang kaya akan oksigen (Mac Lachan dan Cullen 1995). 2.5.1.2 Histologi Hati Gambaran histologi hati tikus normal saat lahir masih mengandung cukup banyak jaringan hematopoietik. Fokus hematopoietik menghilang antara 9 dan 13 hari pasca persalinan. Untuk minggu pertama, lobulus hati tidak dapat dibedakan, tetapi pada postpartum 9 hari, hubungan dari pembuluh darah dan lobulus menjadi jelas (Harada et al. 1996). 2.5.1.3 Fisiologis Hati Secara fisiologis, hati merupakan kelenjar terbesar yang memiliki fungsi kompleks yang meliputi: fungsi eksokrin (sintesis dan sekresi empedu dan kolesterol), fungsi endokrin (sintesis dan sekresi glukosa dan protein seperti albumin, globulin, fibrinogen, lipoprotein, dan prothrombin ke dalam darah); metabolisme (protein, karbohidrat, lemak, hemoglobin, obat, steroid, deiodination dari triiodothyronine, dan tiroksin); glikogenolisis (katabolisme glikogen menjadi glukosa) dan glyconeogenesis (pemeliharaan dari konsentrasi glukosa normal dalam darah); konjugasi (zat beracun, hormon steroid); esterifikasi (asam lemak bebas untuk trigliserida); penyimpanan (glikogen, lemak, zat besi, dan vitamin); detoksifikasi (berbagai racun); hematopoiesis (di dalam embrio dan saat dewasa), dan fagositosis (benda asing) (Harada et al. 1996). Hepatosit pertama kontak dengan banyak asam amino, lipida, karbohidrat, vitamin, mineral, dan xenobiotik yang masuk ke hati dari hasil penyerapan bahanbahan tersebut di saluran pencernaan. Bahan-bahan nutrisi tersebut kemudian dimetabolisme dan akhirnya didistribusikan ke darah dan sebagian ke cairan empedu. Glukosa dan asam asetoasetat adalah sumber energi utama di hati. Namun, hati juga mensintesis lipid untuk penyimpanannya. Hati memainkan peran penting di dalam metabolisme dan penyimpanan vitamin dan mineral, terutama besi, tembaga, dan zink. Hati menjadi pusat metabolisme asam empedu, mengkonversi kolesterol menjadi asam empedu, menghasilkan empedu, dan mengalirkan empedu dari hati ke usus dua belas jari. Pembentukan empedu oleh hati penting dalam membantu penyerapan dan pencernaan nutrisi di usus (Harada
et al. 1996). 2.5.1.4 Patologi Hati Fungsi hati yang utama adalah melakukan detoksifikasi untuk menghindari terjadinya kerusakan seluler akibat adanya racun. Hal ini disebabkan hati menerima suplai darah sekitar 80 %, dari vena porta yang mengalir dari saluran pencernaan. Bahan-bahan toksik dari saluran cerna seperti yang berasal dari tumbuhan, fungi, dan produk bakteri akan diabsorbsi kedalam pembuluh darah portal dan ditransfer ke hati (Mac Lachlan dan Cullen 1995). Hati dapat mengalami beberapa perubahan. Kerusakan pada hati dapat bersifat irreversible (tetap) dan reversible (sementara) (Mac Lachlan dan Cullen 1995). Degenerasi merupakan kerusakan yang reversible, dimana sel mengalami perubahan dari struktur normalnya. Penyebab degenerasi sel bermacam-macam antara lain gangguan metabolisme, toksin, dan trauma. Apabila degenerasi sel berlangsung terus-menerus, maka dapat menyebabkan kematian sel (nekrosa) (Mac Lachlan dan Cullen 1995). 2.5.1.5 Kematian Sel Hati Nekrosis hepatoseluler dapat ditemukan pada hati tikus yang mengalami penuaan. Morfologi yang khas adalah nekrosis koagulasi dengan sitoplasma eosinofilik dan inti karyopyknosis, karyorhexis atau karyolysis. Etiologi dari nekrosis sebagian besar tidak jelas tetapi dapat disebabkan oleh iskemia, racun, infeksi virus atau bakteri (Herada et al. 1996). Secara histopatologi, nekrosis ditandai dengan adanya sel radang (leukosit). Kematian sel nekrosis dikarenakan adanya kerusakan sistem membran sel yang menyebabkan lisis dan kematian sel. Pola nekrosis hati memiliki beberapa jenis, seperti sentrilobular, midzonal atau periportal. Jika nekrosis parah dan terus-menerus, dapat menyebabkan fibrosis dan hiperplasia hepatoseluler. Hati yang demikian telah mengalami chirrosis (Harada et al. 1996). Bentuk sel lain dapat berupa apoptosis. Apoptosis adalah bentuk kematian sel yang telah mengalami suatu proses aktif kehancuran seluler secara spontan, dapat disebut sebagai programmed cell death (kematian sel terprogram) (Harada et al. 1996). Kunci dari program ini adalah sebuah protein yang bernama caspase, tanpa protein ini apoptosis tidaklah mungkin terjadi. Caspase disekresikan oleh mitokondria suatu sel, dan dengan bantuan beberapa mediator kimiawi, protein
caspase kemudian akan mengaktifasi apoptosis pada sel (Green 2007). Secara histopatologi, apoptosis ditandai dengan bentuk inti sel yang mengalami karyopiknosis, karyorexis, dan karyolysis (inti menghilang). Fragmentasi selnya membentuk badan apoptotik dengan kromatin gelap dan tidak mengundang akumulasi sel radang (leukosit). Induksi apoptosis dapat dirangsang oleh rangsangan fisiologis atau patologis. Bentuk perluasan apoptosis yaitu meningkatnya jumlah individu sel di suatu area jaringan; bersifat individual dan tidak membentuk kelompok yang padat. Kematian sel apoptosis melalui mekanisme kerusakan genetik (fragmentasi kromosom atau DNA) sehingga membran sel tetap utuh (Harada et al. 1996). 2.5.2 Ginjal 2.5.2.1 Anatomi Ginjal Ginjal tikus mempunyai permukaan halus, berwarna merah kecoklatan, dan terdapat di dalam ruang abdominal, di daerah lumbar bagian atas. Pada umumnya ginjal berbentuk seperti kacang dengan hillus renalis, yaitu tempat masuknya pembuluh darah dan keluarnya ureter. Ginjal tikus terbagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan medulla, dengan perbandingan rata-rata 1 banding 2-3 (Seely 1996).
Gambar 2 Nefron memperlihatkan bagian-bagiannya, fungsi, serta pembuluh darahnya (Louis 1988). Unit fungsional terkecil dari ginjal yaitu nefron. Nefron tersebut terdiri dari struktur vaskuler yang utama, yaitu glomerulus dan struktur non vaskuler yaitu kapsula Bowman, tubulus kontortus proksimal, ansa Henle pars acendens
dan pars decendens, tubulus kontortus distal, dan tubulus kolektivus (lihat pada Gambar 2) . Glomerulus adalah massa kapiler yang membentuk kumparan berawal dari arteriol aferen dan keluar dari glomerulus menjadi arteriol eferen. Tekanan darah pada arteriol aferen relatif cukup tinggi sedangkan pada arteriol eferen relatif lebih rendah, sehingga memungkinkan terjadinya filtrasi glomerulus. Sel-sel darah dan molekul-molekul yang besar, seperti protein secara efektif tertahan oleh pori-pori membran filtrasi sedangkan air, kristaloid, dan pada protein berat molekul rendah dapat lewat dari saringan glomerulus dengan mudah (Wilson 1997). Setelah darah dfiltrasi oleh glomerulus, terjadi proses reabsorbsi selektif oleh epitel tubuli di tubulus proksimalis. Fungsi tubulus proksimal ialah mengurangi isi filtrat glomerulus sebanyak 80 sampai 85 persen melalui transport dan pompa natrium aktif. Glukosa, asam amino, protein, dan bikarbonat direabsorbsi (lihat Gambar 1). Pada umumnya semua glukosa direabsorbsi, akan tetapi bila kadar dalam darah sangat tinggi (misalnya pada diabetes) kemampuan reabsorbsi terlampaui dan glukosa terdapat dalam kemih. Sehingga dapat menyebabkan glukosuria (Wilson 1997). Pada disfungsi glomerulus dimana terlihat glomerulus yang bocor, dan bahan-bahan toksik tiba di tubulus dalam kadar yang berlebihan melalui ruang Bowman. Hal ini menyebabkan sel epitel tubulus mengalami degenerasi bahkan kematian jika terlalu banyak bahan-bahan yang harus direabsorbsi kembali. Dalam lengkung Henle, Cl- ditranspor secara aktif keluar dari bagian ascendens dan diikuti secara pasif oleh Na+. NaCl selanjutnya secara pasif berdifusi masuk bagian descendens lengkung. Saat filtrat bergerak ke bawah melalui bagian descendens, konsentrasi filtrat mencapai maksimum pada ujung lengkung. Proses ini penting dalam pemekatan kemih. Kemudian saat filtrat bergerak keatas melalui bagian ascendens, konsentrasi makin lama makin encer sehingga menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung. Mekanisme ini merupakan suatu mekanisme aliran balik (countercurrent) yang terpusat pada lengkung Henle (Wilson 1997). Asam urat, kalium, dan hidrogen disekresi kedalam tubulus distal. Air dan Cl- ditransport melalui transport pasif. Saat filtrat bergerak disepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat. Ketika filtrat turun melalui duktus koligen, sekali lagi konsentrasi filtrat meningkat. Pada bagian akhir duktus koligen, sekitar 99 persen air sudah direabsorbsi dan hanya sekitar 1 persen filtrat yang diekskresi
sebagai kemih (Wilson 1997). Berdekatan dengan glomerulus, sel-sel otot polos dalam tunika media arteriol aferen bersifat epiteloid, berinti bulat dan sitoplasma bergranula. Sel-sel ini adalah sel Jugsta-Glomerular (JG). Dalam arteriol aferen, sel JG berdekatan dengan endotel dan berhubungan erat dengan macula densa (suatu bagian khusus tubulus distal yang terdapat diantara arteriol aferen dan eferen) (lihat Gambar 3). Sel JG menghasilkan enzim yang disebut rennin (Wilson 1997).
Gambar 3 Korpuskulus ginjal, sel-sel mesangial (diantara kapiler) dan apparatus JG (macula densa dan sel JG) (Berne dan Levy 1988). Rennin adalah suatu enzim yang penting pada pengaturan tekanan darah. Terdapat dua teori mengenai pengaturan pengeluaran rennin. Menurut teori yang satu, sel JG berfungsi sebagai baroreseptor (sensor tekanan) yang sensitif terhadap aliran darah melalui arteri aferen. Penurunan tekanan arteri akan merangsang peningkatan granularitas sel-sel JG dan peningkatan sekresi rennin. Teori lain menyebutkan, sel-sel macula densa tubulus distal bertindak sebagai kemoreseptor yang sensitif terhadap kadar natrium dari cairan tubulus. Peningkatan kadar natrium akan mempengaruhi sel-sel JG (erat berhubungan dengan macula densa)
sehingga meningkatkan pengeluaran rennin (Wilson 1997). Pengeluaran rennin mempengaruhi angiotensinogen (suatu protein plasma untuk menghasilkan angiotensin 1). Kemudian angiotensin 1 diubah menjadi angiotensin II yang menyebabkan peningkatan tekanan darah melalui efek vasokonstriksi perifer dan dilepasnya aldosteron. Peningkatan kadar aldosteron akan merangsang reabsorbsi Na+ dan H2O. Sehingga terjadi peningkatkan volume plasma. Peningkatan volume plasma ikut berperat dalam peningkatan tekanan darah yang selanjutnya akan mengurangi iskemia ginjal (Wilson 1997). Eritropoietin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh se-sel interstitium peritubulus ginjal sebagai respon terhadap anemia. Hal ini dapat merangsang pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang (Corwin 2009). 2.5.2.2 Fisiologis Ginjal Ginjal merupakan organ utama yang berperan terhadap homeostatis cairan tubuh dan elektrolit. Ginjal juga merupakan organ utama yang terkena efek toksisitas jika tubuh terpapar zat toksik. Fungsi utama ginjal adalah mengeluarkan limbah metabolisme, memusnahkan bahan toksik, mengatur cairan, garam, keseimbangan asam basa, serta mengatur tekanan darah (Dellman dan Brown 1992). Selain itu ginjal berfungsi menyaring filtrat dan membawanya melalui tubulus. Ginjal juga memiliki fungsi sebagai penyingkir buangan metabolisme normal dan mengekskresikan xenobiotik serta metabolitnya (Lu 1995). 2.5.2.3 Patologi Ginjal Ginjal merupakan organ yang mempunyai fungsi utama dalam mengekskresikan nitrogenous wastes seperti ureum, uric acid, kreatinin, dan ammoniak. Pada studi toksisitas, fungsi ginjal dapat dievaluasi melalui urinalisis dan serum darah. Serum darah yang diperiksa adalah kreatinin dan ureum (Seely 1996). Ureum disintesis dari ammonia selama proses katabolisme protein. Kadar ureum yang tinggi menunjukkan adanya gangguan fungsi ginjal (Meyer 1992). Parameter lain yang digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal adalah kadar kreatinin. Kreatinin merupakan hasil degradasi dari kreatin dan merupakan produk akhir dari metabolisme otot. Kreatinin disintesis dari asam amino arginin dan glisin di dalam hati dan ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus dapat meningkatkan konsentrasi kreatinin dalam serum (Mayer 1992). Jika terjadi peningkatan konsentrasi kreatinin, menunjukkan adanya gangguan fungsi ginjal.
Kerusakan yang terjadi pada ginjal dapat bersifat akut atau kronis karena kerusakan yang berlangsung lama. Hilangnya fungsi ginjal pada gagal ginjal akut dan
kronis
tersebut
mengakibatkan
ketidakmampuan
tubuh
dalam
mempertahankan homeostasis cairan, elektrolit, dan asam-basa. Sehingga terjadi akumulasi adanya bahan toksik. Gangguan pada ginjal seperti nephrotoxin (racun, polutan, dan obat-obatan yang merusak ginjal) dapat menyebabkan terhambatnya proses pembentukan urin. Gangguan yang paling jelas pada kasus gagal fungsi ginjal adalah kemampuan filtrasi glomerulus yang menurun. Akibatnya jumlah urin berkurang, tekanan darah menurun, dan timbul racun metabolisme dalam darah, terutama limbah metabolisme nitrogen seperti urea dan kreatinin (Corwin 2009) Salah satu bagian ginjal yang sering mengalami kelainan adalah glomerulus. Menurut Confer dan Panciera (1995), kerusakan yang terjadi sering disebabkan oleh adanya deposisi imun kompleks, thrombosis, emboli, dan infeksi virus pada komponen glomerulus. Kerusakan dapat menyebabkan berbagai dampak secara morfologi maupun fungsional. Secara morfologis, kerusakan glomerulus ditandai dengan terjadinya nekrosa, proliferasi sel membran, dan infiltrasi leukosit. Rusaknya glomerulus secara fungsional ditandai dengan berkurangnya perfusi aliran darah. Jika aliran darah berkurang dapat mengurangi laju filtrasi glomerulus, proses reabsorbsi, serta sekresi tubulus. Hal ini mengakibatkan aliran dalam tubulus tersumbat dan menghambat aliran urin. Jika berlanjut mengakibatkan retensi cairan dan elektrolit. Rusaknya glomerulus juga dapat ditandai dengan lolosnya protein dan makromolekul dalam jumlah besar. Hal
ini
mengakibatkan
hiperlipidemia,
dan
terjadinya
proteinuria.
peningkatan Kejadian
ekskresi
proteinuria
urin,
udema,
menyebabkan
hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dalam darah, yang mengakibatkan udema pada paru-paru. Hal ini mengakibatkan difusi O2 menjadi terganggu. Jika berlanjut tubuh menjadi hipoksia yang kemudian gagal nafas. Pada akhirnya dapat menyebabkan kematian pada hewan (Sowden dan Betz 2009). Epitel tubuli ginjal dapat mengalami degenerasi dan nekrosa. Kematian epitel tubuli ginjal dapat menyebabkan nekrosa maupun apoptosis. Seperti di hati, epitel tubuli ginjal juga mengalami apoptosis (Harrison 1999). 2.6 Efek Samping Setelah Mengkonsumsi Daun Katuk Daun katuk memiliki banyak manfaat untuk kesehatan bagi semua
makhluk hidup. Menurut Suprayogi (2000) daun katuk dapat menanggulangi penyakit kurang darah atau anemia. Penelitian dilanjutkan dengan pemberian ekstrak daun katuk ke dalam air minum, dan ditemukan bahwa pemberian ekstrak daun katuk menurunkan akumulasi lemak perut, hati dan lemak karkas. Pemberian ekstrak daun katuk sebesar 4,5 g/l air memberikan akumulasi lemak yang paling rendah. Penelitian tersebut diperkuat dengan pemberian ekstrak daun katuk ke dalam ransum broiler sebesar 18 g/kg ransum mampu menurunkan akumulasi lemak pada perut (Santoso 1997). Di balik kelebihannya, daun katuk menyimpan sejumlah kekurangan. Selain membantu proses metabolisme di dalam tubuh, glukokortikoid hasil metabolisme senyawa aktif daun katuk dapat mengganggu penyerapan kalsium dan fosfor (Santoso 2001). Pujiyati (1999) melaporkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk (EDK) dengan dosis 1.89 g/ekor/hari dan suspensi daun katuk (SDK) dengan dosis 7.44 g/ekor/hari pada domba laktasi yang diberikan selama 5 minggu menyebabkan terjadinya degenerasi lemak pada hati yang kemungkinan diakibatkan oleh senyawa aktif yang terkandung dalam daun katuk. Suprayogi (2000) juga melaporkan, dengan pemberian ekstrak daun katuk sebesar 3.29% dengan dosis 1,89 g/ekor/hari dan suspensi daun katuk sebesar 7.55% dengan dosis 7.44 g/ekor/hari menyebabkan terjadinya peningkatan sel epitel metaplasia menjadi sel goblet pada bronkhiolus yang kemungkinan disebabkan oleh adanya senyawa aktif kelompok Eicosanoid yang terdapat dalam DK, seperti octadecanoid aacid, 9-ecosine, 5,8,11-heptadekatrienoic acid, 9,12,15- Octadekatrienoic acid ethyl ester, dan 11,14,17-eicosatrienoic acid methyl ester. Ger dan Yang et al. (1997) juga melaporkan terjadi Bronkhiolitis Obliterans (BO) di Taiwan setelah mengkonsumsi daun katuk sebesar 150-303 g/hari selama 46-320 hari. Kasus yang terjadi di Taiwan akibat mengkonsumsi daun katuk menjadi dasar untuk menganalisis kembali senyawa tersebut dengan menggunakan GC-MS (Gas Chromatography-Mass. Spectrometry). Ternyata keracunan yang diduga akibat PPV seperti diatas tidak dapat dibuktikan karena pada sampel tidak ditemukan adanya PPV, begitu juga dengan sampel darah pasien yang mengalami keracunan (Chang et al. 1998). Diperkirakan keracunan disebabkan akibat mengkonsumsi daun katuk secara berlebihan dalam bentuk jus dan penggunaanya dalam jangka waktu yang lama. Hal ini diketahui setelah menghitung dosis PPV melebihi dosis yang direkomendasikan oleh The Unitate States Pharmacopeia (1950) yaitu 300-400 mg/hari katuk kering. Penelitian Suprayogi (2000) juga membuktikan bahwa kasus BO yang terjadi di Taiwan
bukan disebabkan oleh daun katuk karena tidak ditemukan kerusakan pada saluran pernafasan, tetapi ada peningkatan epitel sel bronkhiolus yang mengalami metaplasia menjadi sel goblet. Di Amerika, sejak tahun 1995 daun katuk goreng, salad daun katuk, dan minuman banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebagai obat antiobesitas (pelangsing tubuh). Penelitian dilakukan terhadap 115 kasus bronkiolitis obliterasi (110 perempuan dan 5 pria), berumur antara 22-66 tahun yang sebelumnya mengkonsumsi daun katuk. Pada uji fungsi paru terlihat obstruksi sedang sampai parah. Pengobatan dengan campuran kortikosteroid, bronkodilatasi, eritromisin, dan zat imunosupresi hampir tidak berkhasiat. Setelah 2 tahun bronkiolitis obliterasi berkembang menjadi parah dan terjadi kematian pada 6 pasien (6,1 %). Di Taiwan 44 orang mengkonsumsi jus daun katuk mentah (150 g) selama 2 minggu - 7 bulan, terjadi efek samping dengan gejala sukar tidur, tidak enak makan dan sesak nafas. Gejala hilang setelah 40-44 hari menghentikan konsumsi jus daun katuk. Hasil biopsi dari 12 pasien menunjukkan bronkiolitis obliterasi.(9) Sejumlah 178 pasien mengkonsumsi jus daun katuk mentah dengan dosis 150 g / hari (60.7 %), digoreng (16.9 %), campuran (20.8 %), dan digodok (1.7 %), selama 7 bulan - 24 bulan. Terdapat efek samping setelah penggunaaan selama 7 bulan berupa gejala obstruksi bronkiolitis sedang sampai parah. Konsumsi selama 22 bulan atau lebih menyebabkan gejala bronkiolitis obliterasi yang permanen (Ger dan Yang et al. 1997). Pemberian ekstrak daun katuk kering dan katuk hijau dengan dosis 1.68 g/kg/BB pada mencit selama kebuntingan menimbulkan degenerasi lemak pada organ hati dan ginjal. Hal ini merupakan efek samping yang tidak diinginkan walaupun kejadiannya hanya bersifat sementara (reversible) dan tergolong masih dalam tingkat rendah (Hendarsari 2005). 2.7 Karakteristik dan Data Biologis Tikus Sebagai Hewan Percobaan 2.7.1 Karakteristik Tikus Putih (Rattus sp.) Robinson (1979) mengklasifikasikan tikus putih sebagai hewan percobaan dengan taksonomi sebagai berikut: kelas Mamalia, ordo Rodentia, subordo Myomorpha, famili Muridae, subfamili Murinae, genus Rattus, spesies Rattus sp. Gambar tikus putih tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Tikus putih (Rattus sp.). Tikus merupakan mamalia yang umum digunakan sebagai hewan percobaan. Tikus putih (Rattus sp.) galur Sprague Dawley yang merupakan jenis outbred tikus albino serbaguna yang digunakan secara ekstensif dalam beberapa riset medis, termasuk dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan ketenangan dan kemudahan dalam penanganannya (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus merupakan hewan laboratorium yang memiliki banyak keunggulan. Hal ini dikarenakan banyak gen tikus relatif mirip dengan manusia, dalam binatang menyusui (mamalia), kemampuan berkembangbiak tikus sangat tinggi, dan relatif cocok untuk digunakan dalam eksperimen massal. Selain itu, tipe bentuk badan tikus kecil, mudah dipelihara, dan obat yang digunakan di badannya dapat relatif cepat terdistribusi (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Melihat kenyataan diatas, tikus sering digunakan sebagai hewan pengujian obat sebelum diberikan kepada manusia. 2.7.2 Data Biologis Tikus Putih (Rattus sp.) Sebagai hewan percobaan, data biologis tikus penting dalam membantu menyeragamkan hasil penelitian dunia medis. Berikut ini terdapat data biologis tikus putih (Rattus sp.), yaitu diantaranya: Konsumsi pakan perhari
: 5 gram/100 gram BB
Konsumsi air minum perhari
: 8-11 mL/ 100 gram BB
Diet Protein
: 12 %
Ekskresi Urin Perhari
: 5,5 mL/ 100 gram BB
Lama hidup
: 2,5-3 tahun
Bobot badan dewasa jantan
: 300-400 gram
Bobot badan dewasa betina
: 250-300 gram
Bobot lahir
: 5-6 gram
Dewasa kelamin
: 50 ± 10 hari
Siklus estrus
: 21 hari
Rasio Kawin
: 1 jantan dengan 3 atau 4 betina
Jumlah kromosom
: 42
Suhu rektal
: 37,5º C
Laju respirasi
: 87 x/menit
Denyut jantung
: 300-500x/ menit
(Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
BAB 3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Februari 2010. 3.2 Hewan Coba dan Pemeliharaannya Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina bunting, galur Sprague Dawley. Tikus dikandangkan secara individu dalam bak plastik yang berukuran 40x30x15 cm3 dengan menggunakan kawat untuk menutupi bagian atas kandang. Kandang dialasi dengan sekam yang diganti 3 hari sekali untuk menjaga kebersihan dan kesehatan. Pemberian minum pada tikus dilakukan ad libitum dan pemberian pakan sesuai perlakuan. 3.3 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu peralatan destilasi (mesin pencampur otomatis, vacuum flas, rotary-evaporator), gelas separasi, gelas erlenmeyer, penggiling, peralatan bedah, dan timbangan digital. Bahan yang digunakan adalah daun katuk, pelarut etanol (EtOH), pelarut heksan, pelarut etilasetat (EtAc), aquades (H2O), eter, pakan tikus yang terdiri atas