5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Depresi
2.1.1. Definisi depresi Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi (World Health Organization, 2010). 2.1.2. Gejala depresi menurut Tomb (2004): 1. Gambaran emosi -
Mood depresi, sedih atau murung
-
Iritabilitas, ansietas
-
Anhedonia, kehilangan minat
-
Kehilangan semangat
-
Ikatan emosi berkurang
-
Menarik diri dari hubungan interpersonal
-
Preokupasi dengan kematian
2.
Gambaran kognitif -
Mengkritik diri sendiri, perasaan tidak berharga, rasa bersalah
-
Pesimis ,tidak ada harapan, putus asa
-
Perhatiannya mudah teralih, konsentrasi buruk
-
Tidak pasti dan ragu-ragu
-
Berbagai obsesi
-
Keluhan somatik (terutama pada orangtua)
-
Gangguan memori
3. Gambaran vegetative -
Lesu, tidak ada tenaga
-
Insomnia atau hipersomnia
-
Anoreksi atau hipereksia
6
-
Penurunan berat badan atau penambahan berat badan
-
Retardasi psikomotor
-
Agitasi psikomotor
-
Libido terganggu
-
Variasi diurnal yang sering
4. Tanda-tanda depresi -
Berhenti dan lambat bergerak
-
Wajah sedih dan selalu berlinang air mata
-
Kulit dan mulut kering
-
Konstipasi
2.1.3. Klasifikasi Depresi menurut Revisi Teks edisi IV dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR) dalam R. Yulianti (2006) : 1. Gangguan depresi mayor unipolar dan bipolar 2. Gangguan mood spesifik lainnya -
Gangguan distimik depresi minor
-
Gangguan siklotimik depresi hipomanik saat ini atau baru saja berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun)
-
Gangguan depresi atipikal
-
Depresi postpartum
-
Depresi menurut musim
3. Gangguan depresi akibat kondisi medik umum dan gangguan depresi akibat zat 4. Gangguan penyesuaian dengan mood:depresi disebabkan oleh stresor psikososial
7
2.1.4. Patofisiologi Struktur neokortikal bagian dorsal merupakan hipometabolik dan struktur limbik bagian ventral merupakan hipermetabolik saat seseorang mengalami depresi. Jalur frontostriatal dalam otak memediasi afek positif yang berkenaan dengan antisipasi, dan abnormalitas yang terjadi dapat mengakibatkan ketidakmampuan
dalam
mengantisipasi
insentif,
sehingga
menyebabkan
predisposisi terjadinya depresi. Bagian medial kiri dari korteks orbitofrontal teraktivasi sebagai respon terhadap reward dan bagian kanan korteks orbitofrontal berespon terhadap punishment. Selanjutnya bagian anterior cingulate gyrus berhubungan dengan struktur otak, dimana fungsi-nya sering terganggu pada depresi. Perigenual cingulate menghubungkan antara fungsi yang sedang berlangsung dan informasi yang berhubungan dengan konsekuensi yang akhirnya menyebabkan motivasi. Dorsal cingulate memonitor respon dan memodulasi perhatian dan fungsi eksekutif dalam kolaborasi-nya dengan korteks bagian dorsolateral (Alexopoulos, 2005). Disfungsi pada frontostriatal bisa menjadi predisposisi terjadinya depresi pada usia lanjut. Disfungsi eksekutif, yang merupakan gambaran klinis abnormalitas frontostriatal, sering terjadi pada depresi yang mengenai lanjut usia dan menetap setelah kejadian simtom terkait mood. Sebagai tambahan, kelainan pada subkortikal yang menekan jalur frontostriatal sering bertambah berat dengan adanya depresi dan disungsi eksekutif. Volume yang rendah pada struktur frontostriatal telah terbukti menyebabkan depresi pada usia lanjut, seiring dengan hiperintensitas pada struktur subkortikal dan hubungan bagian frontal. Abnormalitas makromolekular di genu dan splenium dari corpus callosum, bagian kanan nukleus kaudatus, dan putamen sering ditemukan pada orang lansia dengan depresi. Penurunan pada glia di subgenual anterior cingulate dan abnormalitas neuron di korteks dorsolateral juga sudah diteliti pada pasien yang mengalami depresi (Alexopoulos, 2005). Disfungsi bagian frontostriatal mempengaruhi presentasi dan depresi berat pada lansia, meningkatnya disfungsi eksekutif, retardasi psikomotor dan menyebabkan peningkatan apatis. Disfungsi eksekutif secara umum terlihat dari
8
melambatnya, sedikitnya dan respon yang tidak stabil terhadap antidepresan (Alexopoulos, 2005). Abnormalitas pada white matter berhubungan dengan disfungsi eksekutif dan hasil yang buruk pada depresi di kehidupan akhir/depresi pada lanjut usia. Hipometabolisme pada bagian anterior dari cingulata telah dilaporkan pada pengobatan depresi berat yang resisten, sementara hipermetabolisme timbul pada pasien depresi dengan respon pengobatan yang baik. Meningkatnya amplitudo gelombang negatif pada frontal bagian kiri setelah respon terhadap tugas inhibisi, sebuah fungsi yang dimediasi oleh cingulata bagian anteriortelah diprediksi terhadap perubahan yang terbatas atau melambat pada depresi tipe berat pada individu lanjut usia yang diobati dengan citalopram (Alexopoulos, 2005). Abnormalitas pada amigdala mungkin merupakan predisposisi terhadap depresi. Amigdala memediasi emosi sebagai respon terhadap stimulus yang aversive dan memberi sinyal yang bertanggung jawab pada perilaku coping dan aktivitas otonom (Alexopoulos, 2005). Perubahan yang berkaitan dengan usia dan berhubungan dengan persepsi emosional dapat berkontribusi terhadap terjadinya depresi dan apatis. Stroke dan kelainan subkortikal dapat merusak hubungan antara amigdala, nuklues thalamus bagian medial dorsal, dan orbital, dan korteks prefrontal medial, mempredisposisi depresi (Alexopoulos, 2005). Sebagai tambahan, hiperkortisolemia, dimana meningkat saat penyakit medis yang kronis, berhubungan dengan meningkatnya aktivitas amigdala, menimbulkan pelepasan kortisol dan depresi. Pada episode awal terjadinya depresi berat, pasien mempunyai volume amigdala yang besar dibandingkan mereka yang menderita depresi berulang atau dalam kontrol yang sehat. Peningkatan aktivitas pada bagian otak ini berkaitan dengan simtom depresi dan emosi negatif, dan mungkin sebagai hasil dari inhibisi yang tidak adekuat dari prefrontal bagian sentral (Alexopoulos, 2005). Peningkatan aktivitas dari amigdala dikombinasi dengan modulasi kortikal yang tidak adekuat dengan hasil emosional kemunginan berkontribusi dengan simptom depresi. Abnormalitas hipoccampus juga dapat menjadi predisposisi
9
terjadinya depresi, karena volume dari strukturnya berkurang saat episode awal depresi berat. Walaupun demikian, beberapa tidak setuju dengan teori ini. Meskipun begitu, penurunan dari volume hipoccampus berhubungan dengan durasi depresi pada masa hidup-nya (Alexopoulos, 2005). Selebihnya, penurunan volume hipoccampus telah dilaporkan setelah episode awal depresi berat meski pasien menerima antidepresan. Abnormalitas hipoccampus sesuai dengan populasi lanjut usia, semenjak struktur nya secara khusus rentan terhadap bertambahnya usia dan perubahan yang berhubungan dengan usia. Selebihnya, regio hipoccampus CAI dan subiculum rentan terhadap iskemik dan hiperkortisolemia, sebagai hasil dari stress dan penyakit medis yang kronis (Alexopoulos, 2005). 2.1.5. Etiologi Depresi dalam Wade C. (2008) 1. Faktor Genetik Penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak yang diadopsi dan anak-anak kembar mendukung pemikiran yang menyatakan bahwa depesi berat merupakan suatu gangguan yang bersifat turun temurun (Bierut et. al., 1999). Para ahli kemudian berusaha mencari gen-gen yang sepertinya terlibat, meskipun sepertinya hampir tidak mungkin terdapat sebuah gen tunggal yang dapat menyebabkan depresi yang serius. Seperti pada kasus gangguan stres pasca trauma, predisposisi genetik harus berinteraksi dengan peristiwa yang penuh tekanan untuk dapat menghasilkan suatu gangguan. Para ahli telah mengidentifikasi sebuah gen (disebut sebagai 5HTT) yang memiliki dua bentuk: bentuk yang panjang sepertinya membantu melindungi seseorang dari depresi, dan bentuk yang pendek sepertinya membuat manusia menjadi rentan terhadap depresi (Caspi et.al., 2003). Pada sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 847 masyarakat New Zealand, dimana mereka diikuti oleh para peneliti semenjak proses kelahiran hingga usia 26 tahun, para peneliti menemukan sebanyak 43% dari mereka yang memiliki dua gen dengan bentuk yang pendek (satu dari
10
tiap orang tua) mengalami depresi yang sangat serius setelah melewati suatu situasi yeng penuh tekanan (seperti kehilangan pekerjaan, mengalami kecelakaan yang menyebabkan cacat, kematian salah seorang anggota keluarga, atau mengalami tindakan kekerasan saat masa kanakkanak). Sementara hanya 17% dari mereka yang memiliki dua gen dengan bentuk yang panjang yang akan mengalami depresi, meskipun mereka mengalami stres yang sama dengan mereka yang memiliki dua gen dengan bentuk yang pendek. Mereka yang memiliki satu gen dengan bentuk yang panjang dari salah satu orang tua dan satu gen dengan bentuk yang pendek dari orang tua yang lainnya (33%), memiliki tingkat kerentanan terhadap depresi yang berbeda di antara mereka yang memiliki dua gen dengan bentuk yang pendek maupun dua gen dengan bentuk yang panjang. Gen dapat menyebabkan seseorang mengalami depresi dengan cara mempengaruhi tingkat serotonin dan saraf penghantar lainnya yang terdapat di otak. Gen juga dapat mempengaruhi produksi dari hormon stress, kortisol, yang pada dosis tertentu dapat mengakibatkan kerusakan pada hipoccampus dan amygdala (Sapolsky, 2000; Sheline, 2000). Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
di
Center
for
Epidemiologic Studies Depression Scale, Sweden, sebanyak 16% lansia yang kembar bersaudara terkena depresi dan 19% menunjukan gejala somatis. Faktor genetik ini hanya sedikit berpengaruh terhadap gejala depresi yang terjadi (Gatz et al., 1992). Depresi berat pada lanjut usia ditemukan lebih banyak pada wanita dibandingkan pria (Krause, 1986). Penelitian yang dilakukan oleh Hazzard, pada tahun 1999 mencoba untuk menjelaskan maksud dari pernyataan ini, dimana pada laki-laki ditemukan lebih cepat meninggal dan mortalitas tersebut lebih sering dipengaruhi oleh faktor genetik. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Hickie et al., pada tahun 2001 ditemukan adanya peningkatan mutasi di C677T pada enzim
11
MTHFR (methylene tetrahydrofolate reductase) pada pasien lansia yang memiliki depresi berat. 2.
Pengalaman hidup Salah satu pengalaman yang sering kali menyebabkan seseorang menjadi depresi, adalah peristiwa kekerasan. Kekerasan domestik juga memiliki kontribusi pada banyaknya jumlah kasus depresi yang dialami wanita. Meskipun wanita yang mengalami depresi lebih sering memiliki hubungan dengan tindakan kekerasan, keterlibatan dalam hubungan dengan tindakan kekerasan akan meningkatkan kadar depresi dan kecemasan yang mereka miliki- namun menariknya, hal ini tidak terjadi pada pria (Ehrensaft, Moffitt, & Caspi, 2006). Wanita juga lebih sering mengalami tindakan kekerasan masa kanak-kanak dibandingkan pria, sehingga meningkatkan resiko depresi masa dewasa pada wanita (Weiss, Longhurst, & Mazure, 1999). Sebagai tambahan, kondisi kehidupan yang dimiliki seseorang, seperti peranan yang mereka miliki, status, tingkat kepuasan terhadap pekerjaan dan keluarga, dapat mempengaruhi kecenderungan depresi yang dialami seseorang. Dibanding wanita, pria lebih sering menikah dan bekerja penuh waktu, suatu kombinasi peran yang sangat terasosiasi dengan kesehatan mental dan tingkat depresi yang rendah (Brown, 1993). Dibanding pria, wanita lebih sering hidup dalam kemiskinan dan mengalami penderitaan yang disebabkan oleh diskriminasi, dan sumber tambahan dari depresi (Belle & Doucet , 2003). Adanya stress yang menumpuk selama masa hidup dapat menyebabkan peningkatan sekresi kortisol yang mengakibatkan kerusakan pada neuron di dalam hippocampus (Sapolsky, 1996). Gejala depresi dapat menyebabkan peningkatan sekresi kortisol (Davis et al. 1984). Kortisol menghambat neurogenesis yang menyebabkan penurunan volume hippocampus dan hal ini yang mempengaruhi gejala kognitif pada kejadian depresi (Sapolsky, 2001). Toksisitas neuron akibat glutamat yang
12
menyebabkan penurunan faktor pertumbuhan di dalam otak (Sheline, 2003) dan penurunan neurogenesis (Gould et al. 1999). Stress dini dapat menyebabkan hipersensitifitas terhadap stress yang bersifat permanen, disregulasi aksis Hipotalamus Pituitary Adrenal (HPA) dan pengulangan episode pada depresi yang berat dan permanen (Heim et al. 2000). 3.
Kehilangan hubungan yang bermakna Faktor ketiga adalah kehilangan hubungan penting. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya depresi pada individu yang rentan. Banyak dari mereka yang mengalami depresi memiliki riwayat perpisahan dan kehilangan, baik pada masa lalu, maupun pada masa sekarang; insecure attachment; dan penolakan oleh orang tua (Nolan, Flynn & Garber, 2003; Weisman, Markowitz, & Klerman, 2000). Dalam suatu penelitian ditemukan hubungan yang erat antara kejadian hidup yang berat (contoh: kematian teman dekat, penyakit kronis pada orang didekatnya, penyakit berat yang dimiliki-nya sendiri) dan kesulitan dalam bidang sosial (penyakit yang diderita oleh orang yang dekat dengan pasien, rumah tangga, pernikahan dan hubungan keluarga) dengan awal terjadinya depresi berat pada masa tua (Murphy, 1982). Pada suatu penelitian cross-sectional dan longitudinal, kehilangan teman dekat menunjukan adanya hubungan dengan gejala depresi pada lansia (Prigerson et al. 1994; De Beurs et al. 2001). Sebagai contoh, pada suatu penelitian di panti jompo dengan menggunakan 1810 lansia dan dilakukan selama lebih dari tiga tahun, ditemukan awal terjadinya gejala depresi yang signifikan sebagai akibat dari kematian pasangan hidup atau saudara-nya.
13
4.
Hormonal Hubungan penurunan hormon serotonin dalam depresi ini dapat diamati melalui tritiated imipramine binding (TIB) dalam platelet lansia. Pada lansia dengan depresi berat ditemukan adanya penurunan yang signifikan pada lokasi ikatan tersebut dibandingkan subyek normal dan subyek yang menderita penyakit Alzheimr. Tapi kapasitas ikatan tersebut tidak mengalami penurunan (Nemeroff et al. 1988 dalam Dan dan Celia 2005). Sekresi corticotrophin-releasing factor (CRF) telah menunjukan adanya hubungan dengan kejadian depresi. CRF me-mediasi gangguan tidur dan nafsu makan, menurunkan libido, dan perubahan psikomotor (Arborelius et al., 1999 dalam Dan dan Celia, 2005). Normal-nya, kadar CRF menurun seiring bertambahnya usia (Gottfries, 1990 dalam Dan dan Celia, 2005). Penuaan berhubungan dengan peningkatan respon dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) terhadap CRF (Luisi et al., 1998 dalam Dan dan Celia, 2005). Kadar DHEA yang rendah juga menunjukan hubungan dengan peningkatan kejadian depresi dan peningkatan gejala depresi pada wanita lansia yang tinggal di panti jompo (Yaffe et al. 1998 dalam Dan dan Celia, 2005). Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Liverman & Blazer pada tahun 2004, kadar testosteron lebih rendah pada pria lansia yang memiliki kelainan distimik dibandingkan pria yang tidak memiliki gejala depresi. Pada wanita, substitusi hormon telah menunjukan adanya peningkatan dalam mood (Sherwin & Gelfand, 1998 dalam Dan dan Celia, 2005). Perubahan anatomis menunjukan adanya hubungan dengan disregulasi endokrin dan juga gejala depresi pada lansia. Sebagai contoh, gejala depresi tidak hanya menunjukan adanya hubungan dengan atrofi hippocampus, tapi depresi juga diduga menyebabkan atrofi hipokampus (Sheline et al. 1996; Sapolsky, 2001; Steffens et al., 2002 dalam Dan dan Celia, 2005).
14
2.1.6. Faktor Resiko 1. Ketidakmampuan Fisik Penelitian yang dilakukan oleh Martin dan Nandini (2003) dengan cara menggabungkan 20 penelitian prospektif mengenai faktorfaktor resiko terhadap kejadian depresi pada lanjut usia. Dalam penelitian ini mengindikasikan adanya lima faktor resiko yang berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian depresi pada lansia, salah satunya adalah faktor ketidakmampuan (Cole dan Dendukuri, 2003) 2. Penyakit Kronis Sindrom depresi yang terjadi pada akhir kehidupan seseorang sering terikut dalam konteks penyakit medis dan kelainan neurologi. Diagnosis depresi dapat ditegakan jika terdapat mood depresi atau anhedonia pada pasien yang telah didiagnosa penyakit yang berhubungan dengan depresi (Alexopoulos et al., 2002). Sekitar seperempat dari individu yang memiliki infark miokard atau seseorang yang sedang menjalani kateterisasi pada jantung-nya mempunyai depresi yang berat, dan 25% lain-nya memiliki depresi ringan. Sekitar setengah dari pasien yang memiliki penyakit jantung koroner dan depresi yang berat akan mengalami paling sedikit satu kali episode depresi yang berat, dan 50% dari mereka yang memiliki depresi yang berat pada masa katerisasi jantung akan berlanjut mengalami depresi setahun setelah prosedur tersebut dilaksanakan (Carney dan Freedland, 2003). Semakin banyak masalah medis yang dimiliki maka akan semakin meningkatkan resiko terkena depresi. Selebihnya, ada yang menyatakan bahwa stress, depresi yang berat, dan penyakit medis saling berhubungan. Stress menyebabkan adaptasi (allostasis), akan tetapi ketika mediator yang berperan dalam respon terhadap stress tidak dihambat (keadaan allostatic) maka imunitas terganggu, terjadi
15
arteriosklerosis dan obesitas, demineralisasi tulang, dan terjadi peningkatan atrofi sel otak(Alexopoulos et al., 2002 ; Luber, Meyers, Williams-Russo et al., 2001). Allostatic menandakan peningkatan aktivitas adrenokortikal, meningkatkan kosentrasi Insulin Growth Factor (IGF)-1, dan inisiasi respon inflamasi, telah dilaporkan pada pasien yang memiliki depresi berat (McEwan, 2003). Gejala atau sindrom depresi sering terdapat pada individu yang terkena demensia. Point prevalence dari depresi yang berat sekitar 17% pada pasien dengan penyakit Al-zheimr (Wraggdan Jeste,1989) dan lebih tinggi pada pasien dengan demensia sub-kortikal (Sobin dan Sacheim,1997). Penyakit cerebrovascular dapat merupakan predisposisi, presipitasi
dari
sindrom
depresi.
Hal
ini
berdasarkan
pada
komorbiditas dari sindrom depresi yang diikuti dengan lesi dalam cerebrovascular dan faktor resiko cerebrovascular dan fakta bahwa depresi sering berkembang setelah stroke (Alexopoulos, 1997; Krishnan, Hays, Blazer, 1997). Orang lansia yang memiliki depresi dan masalah vaskular memiliki disabilitas yang lebih tinggi dan fungsi kognitif yang bermasalah dibandingkan mereka yang depresi tapi tidak memiliki kelainan di vascular (Robinson, 2003). Literatur Internasional mengobservasi bahwa gejala depresi merupakan faktor resiko independen dalam peningkatan mortalitas (Krishnan et al., 1997; Bottino, 2003; Steffens et al., 2006). Selebihnya, hubungan antara depresi dan faktor resiko kardiovaskular disebut juga depresi vaskular (Krishnan et al., 1997), yang secara umum
berhubungan
dengan
respon
terhadap
ketidakpuasan
pengobatan medis (Barcelos et al., 2007). Kelancaran verbal dan penamaan suatu objek merupakan masalah dari fungsi kognitif yang sering terjadi pada pasien depresi dengan masalah vaskular. Individu yang terkena lebih apatis, retardasi, dan kekurangan dalam penglihatan, dan kurang-nya agitasi, dan
16
perasaan bersalah dibandingkan orang lansia yang memiliki depresi tanpa ada masalah dalam vaskular-nya (Alexopoulos et al., 1997). Obat-obat yang digunakan dalam pencegahan penyakit serebrovaskular dapat menurunkan resiko depresi yang disebabkan masalah dalam vaskular. Selebihnya, anti-depresan seperti dopamine atau norepinefrin lebih disukai pada depresi karena masalah vaskular dan anti depresan yang bersifat menghambatpemulihan iskemik seperti penghambat adrenergik lebih baik dihindari (Krishnan, Hays, Blazer, 1997; Alexopoulos, 1997). Hipertensi juga berhubungan dengan peningkatan resiko terjadi-nya depresi berat (Rabkin et al., 1983). Dalam suatu penelitian yang menggunakan subyek sebanyak 139 lansia, ditemukan 54% diantaranya saat pemeriksaan neuroimaging memiliki kriteria untuk diagnosis iskemik vaskular di subkortikal (Taylor et al., 2003 dan Krishnan et al. , 2004). Depresi pada vaskular berhubungan dengan hiperintensitas pada white matter, dimana pada scan Magnetic Resonance Imaging (MRI) ditemukan daerah yang putih di dalam parenkim otak (Krishnan et al. 1997; Guttmann et al. 1998). Lesi ini yang menyebabkan kerusakan pada jalur white-matter dan menyebabkan kerusakan sirkuit saraf yang berhubungan dengan kejadian depresi (Taylor et al. 2003). Pada depresi vaskular, lesi yang terletak pada bagian depan white matter berhubungan dengan peningkatan rasio myoinositol– creatinine dan choline–creatinine. Perubahan ini yang menyebabkan perubahan biologis pada jaringan glia, yang berdampak terhadap aktivitas sinaps (Kumar et al. 2002). Depresi sering menyebabkan kesulitan dalam kesembuhan penyakit pada lansia seperti miokard infark dan penyakit jantung lainnya (Sullivan et al. 1997), diabetes (Blazer et al. 2002a), fraktur pinggang (Blazer et al. 2002a), dan stroke (Robinson dan Price, 1982). Status fungsional yang buruk akibat penyakit fisik dan kelainan
17
demensia merupakan penyebab gejala depresi pada lansia (Hays et al. 1997; Bruce, 2001). 3. Kematian Pasangan Depresi karena kehilangan cenderung memiliki jangka waktu yang lebih pendek dibanding depresi karena faktor lain. Selama tahun pertama sejak lansia mengalami kehilangan teman dekat, 10-20% dari pasangan yang selamat tersebut memiliki gejala depresi yang makin kuat, yang secara umum tetap ada jika tidak diobati (Alexopoulos dalam Sadavoy, Jarvik, Grossberg, Meyers, 2004). Lansia memiliki kecenderungan lebih rendah dalam mengalami depresi dibandingkan dewasa muda pada satu bulan pertama masa lajang. Prevalensi depresi yang berat akan berlanjut meningkat selama dua tahun setelah lansia tersebut kehilangan teman dekat (Zisook, Schuchter, Sledgedalam Schneider, Reynolds, Lebowitz, Friedhoff, 1994). 4. Fungsi kognitif Secara
kognitif
orang
dewasa
lebih
cenderung
untuk
mengalami depresi daripada mereka yang tidak memiliki demensia (Steffens et al., 2009) 30-50% lansia dengan penyakit Alzheimer menderita gejala depresi. Meskipun demikian, prevalensi depresi menurun dengan keparahan penyakit Alzheimer (Steffens & Potter, 2007). 5. Faktor Dukungan Sosial Hubungan sosial mempengaruhi respon psikologis terhadap stress, menurunkan aktivasi sistem saraf otonom dan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal,
berhubungan
dengan
peningkatan
tekanan darah, obesitas, hiperkortisolemia dan dislipidemia (Makaya et al., 2011 dalam Valeria et al., 2013).
18
Pada keadaan tidak ada lingkungan sosial yang ramah, reaksi sistem-sistem tersebut meningkat dan bisa berdampak buruk terhadap kesehatan dan umur panjang, mempengaruhi terjadinya suatu penyakit (Seeman, Mc Ewen, 1996 dalam Valeria et al., 2013). Salah satu penyakit yang berhubungan dengan dukungan sosial adalah depresi, dimana prevalensi-nya mencapai 37% di pelayanan kesehatan primer (Li, Friedman, Conwell, Fiscella, 2007 dalam Valeria et al., 2013). Kondisi ini berhubungan dengan penurunan kualitas hidup, angka komorbiditas yang tinggi dan mortalitas yang tinggi. Dukungan sosial melindungi individu dari konsekuensi terkena depresi dengan cara mengurangi efek negatif tekanan sosial. Terdapat hubungan timbal balik antara kejadian gejala depresi dengan besar-nya jejaring sosial (Pinto et al., 2006 dalam Valeria et al., 2013). Dimensi yang bisa diidentifikasi: dukungan materi, yaitu akses pelayanan yang diberikan kepada orang pada saat dia membutuhkan dan sumber materi, termasuk bantuan keuangan; dukungan afektif, yang berkaitan dengan ekspresi cinta dan kasih sayang; dukungan emosional, berkaitan dengan empati, kepercayaan, penghargaan dan ketertarikan; dukungan informasi, mengenai akses individu untuk melakukan konsul, saran dan bimbingan; dan interaksi sosial yang positif, mengacu dengan adanya orang yang membuat dia bergembira dan relaks (Sherbourne, Stewart, 1991 dalam Valeria et al., 2013). Analisis multivariat mendemonstrasikan hubungan antara dukungan sosial dengan kelainan mood. Individu yang tidak mengalami depresi cenderung memiliki dukungan sosial yang memuaskan. Rata-rata skor dukungan sosial yang diobservasi dalam penelitian
ini
konsisten
dengan
penelitian
lain
dimana
ia
mendemonstrasikan rasio likelihood depresi yang lebih rendah pada orang dengan dukungan sosial yang lebih tinggi dibandingkan mereka dengan dukungan soial yang rendah. Di Korea, dengan menggunakan versi lokal MOS, Shin et al., pada tahun 2008 mendiagnosa depresi
19
pada kelompok dengan dukungan sosial yang rendah sebanyak tiga kali lebih banyak dibanding kelompok dengan dukungan sosial yang tinggi, sementara di Thailand, hubungan antara depresi dengan kapasitas fungsional dimodifikasi dengan tingkat dukungan sosial yang ada (Suttajit et al, 2011 dalam Valeria et al., 2013). Penelitian dengan menggunakan sampel yang berusia antara 55-85 tahun, yang berjumlah 2.823 orang dan menggunakan data yang di follow up selama 13 tahun sejak awal terjadinya depresi. Didapatkan bahwa responden dengan dukungan sosial yang rendah lebih sering mengalami depresi dan laki-laki menunjukan prevalensi depresi yang lebih tinggi dibandingkan wanita (Sonnenberg et al., 2013 dalam Valeria et al., 2013) . Melchiorre et al., menginvestigasi hubungan antara dukungan sosial,
demografi,
sosio-ekonomi,
variabel
kesehatan
dan
penganiayaan orang tua dalam penelitian metode cross sectional pada 4.467 orang yang tidak menderita demensia dan berusia antara 60-84 tahun yang tinggal di tujuh Negara Eropa. Mereka memferivikasikan bahwa orang yang memiliki skor depresi rendah merupakan indikasi adanya dukungan sosial yang tinggi (Melchiorre et al. 2013 dalam Valeria et al., 2013). Pada suatu komunitas penelitian di Hong Kong, dukungan sosial yang buruk dan gejala depresi menunjukan adanya hubungan (termasuk besarnya jaringan sosial yang dimiliki, kualitas jaringan sosial tersebut, frekuensi kontak sosial, dan dukungan emosional) (Chi & Chou, 2001 dalam Dan dan Celia, 2005).Dalam suatu penelitian longitudinal, dukungan sosial yang buruk menyebabkan beberapa gejala depresi setelah 3-6 tahun follow up (Henderson et al. 1997 dalam Dan dan Celia, 2005). Jaringan sosial yang buruk menyebabkan insidensi depresi berat pada penelitian yang menggunakan 875 sampel lansia yang tidak mengalami depresi dan di follow up selama 3 tahun. (Forsell & Winblad, 1999 dalam Dan dan Celia, 2005).
20
6. Faktor Jenis Kelamin Prevalensi depresi berat dan depresi tidak berat lebih banyak pada wanita dibandingkan pria. Perbedaan tingkat depresi berdasarkan jenis kelamin ini telah dilaporkan selama tiga dekade (Parker dan Brotchie,2010 dalam Hyun et al., 2013). Respon terhadap terapi dengan menggunakan obat dan tidak menggunakan obat juga menunjukkan perbedaan dalam jenis kelamin (Parker dan Brotchie, 2010 dalam Hyun et al., 2013). Dewey et al., (1993) dalam Zunzunegui (1998) menemukan bahwa wanita lansia dua kali lebih banyak dibandingkan pria dalam terdiagnosa secara psikiatri. Wanita memiliki kadar depresi dan gejala ansietas yang lebih tinggi, sementara pria lebih sering memiliki masalah dalam perilaku dan kebiasaan minum alkohol (Sarasola et al. 1992 dalam Zunzunegui, 1998). Sebuah penelitian kesehatan mental pada orang dewasa di Cantabria menyatakan bahwa prevalensi gejala depresi pada wanita dua kali lebih tinggi dibandingkan pria (Vazquez Barquero et al. 1992 dalam Zunzunegui, 1998). Aktivitas wanita terbatas dari lingkuan luar-nya. Tanggung jawab sosial mereka dihubungkan dengan peran mereka sebagai spouses, ibu, bibi dan nenek. Akhirnya, kontak sosial mereka dengan lingkungan di luar keluarga menjadi jarang (Zunzunegui, 1998). Wanita mempunyai faktor resiko yang lebih tinggi pada gejala depresi: status sosial-ekonomi mereka lebih rendah, kesehatan mereka buruk, dan mereka memiliki dukungan emosional dan kemampuan mengontrol yang rendah dan memiliki beberapa aktivitas sosial yang lebih sedikit dibandingkan pria ( Zunzunegui, 1998). Kekuatan dari hubungan antara faktor resiko dan prevalensi gejala depresi sama pada pria dan wanita, menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam dugaan perbedaan antar kelamin ( Zunzunegui, 1998).
21
Hubungan antara jenis kelamin dan gejala depresi masih signifikan setelah semua faktor resiko di beri kontrol (Zunzunegui, 1998). Barry et al. (2008) dalam Ricardo (2010) mengobservasi kemungkinan depresi yang lebih besar, gejala yang persisten dan laju mortalitas yang rendah pada wanita lansia di Amerika dibandingkan pria. Weissman dan Klerman (1997) dalam Ricardo (2010) menyatakan prevalensi yang lebih besar ditemukan pada wanita dapat dijelaskan secara metodologi, psikopatologi, dan sosial. Keadaan janda, isolasi sosial, dan penurunan estrogen dapat menyebabkan peningkatan prevalensi depresi pada wanita (Almeida, 1999 dalam Ricardo et al. 2010). Pada penelitian yang dilakukan oleh Beekman et al. (1999), sepuluh penelitian mengenai clinically significant depressive symptoms (CSDS) yang menggunakan kalkulasi odds ratio ditemukan prevalensi CSDS yang lebih besar pada wanita lansia (Ferreira et al. 2010). 7.
Faktor Kepribadian Orang dengan psikologi yang rentan mengalami depresi, seperti contoh, Neuroticsm. Pada lansia yang memiliki depresi berat, pikiran pesimis dapat menyebabkan ide bunuh diri setahun kemudian. Lansia yang pernah melakukan usaha bunuh diri, lebih tidak terbuka dibandingkan orang dengan usia muda (Katon, Lin, Von, Korff et al., 1994 dalam George, 2005). Penelitian terbaru menemukan bahwa lansia dengan gangguan personalitas empat kali lebih berisiko terkena gejala depresi (Morse dan Lynch, 2004 dalam Dan dan Celia, 2005 ). Pada
suatu
penelitian
cross-sectional
dan
penelitian
longitudinal, neurotism telah menunjukan adanya hubungan dalam kejadian gejala depresi pada lansia (Henderson et al. 1993, 1997; Lyness et al. 2002 dalam Dan dan Celia, 2005). Kadar neurotism yang
22
rendah lebih sedikit menyebabkan kelainan depresi dibandingkan subyek dengan kadar neurotism yang tinggi (Oldehinkel et al., 2001 dalam Dan dan Celia, 2005). Suatu penelitian longitudinal di Amsterdam, adanya depresi berat dan depresi ringan dan gejala depresi yang menetap lebih dari tiga tahun berkaitan dengan kontrol di lokus eksternal (Beekman et al., 2001 dalam Dan dan Celia, 2005). Kemampuan mengontrol emosi berhubungan dengan penurunan gejala depresi pada lansia dan dampak disabilitas akibat gejala depresi (Jang et al. 2002 dalam Dan dan Celia, 2005). Self-efficacy melalui efeknya dalam dukungan sosial menyebabkan efek langsung terhadap pencegahan gejala depresi (Holahan & Holahan, 1987 dalam Dan dan Celia, 2005). 8. Faktor Keturunan Adanya perubahan dalam struktur otak, faktor keturunan dapat menjadi predisposisi sindrom depresi pada masa akhir kehidupan. Dalam penelitian yang dilakukan di komunitas dengan menggunakan subyek lansia yang kembar, ditemukan keturunan memiliki variasi gejala depresi sebanyak 18%. Lansia dengan gejala depresi lebih sedikit memiliki saudara-nya yang juga depresi dibandingkan pasien muda yang depresi (Gatz, Pedersen, Plomin, Nesselrade, McClearn, 1992 dalam George, 2005). Riwayat pribadi atau riwayat keluarga yang memiliki kelainan depresi mempengaruhi insidensi depresi setelah stroke daripada akibat dari lesi vaskular (Brodaty, Luscombe, Parker, et al., 2001 dalam George, 2005). Tanda genetik untuk depresi pada masa akhir kehidupan belum diidentifikasi. Meskipun demikian, hasil suatu penelitian pada orang yang kembar menunjukan bahwa adanya hubungan antara reseptor serotonin 2A gene promoter A/A genotype dan depresi pada lansia pria, tapi tidak pada lansia wanita. Reuptake gen transporter serotonin
23
tidak berhubungan dengan depresi pada lansia yang kembar (Jansson, Gatz, Berg, et al., 2003 dalam George, 2005). Adanya alel apolipoprotein-E merupakan faktor resiko penyakit Alzheimr dan penyakit cerebrovascular (Saunders, Hulette, Welsh-Bohmer, 1996 dalam George, 2005), yang juga berhubungan dengan kondisi depresi pada masa akhir kehidupan (Kuller, Shemanski, Manolio, 1998 dalam George, 2005). Pasien dengan onset depresi berat yang lama memiliki frekuensi yang lebih tinggi dalam mutasi C677T dari enzim methylene tetrahydrofolate reductase daripada lansia yang sehat (Blazer, Burchett, Fillenbaum, 2002 dalam George, 2005). Penemuan ini menyatakan bahwa predisposisi genetik terhadap depresi pada masa akhir kehidupan dimediasi oleh lesi vaskular (Hickie, Scott, Naismith et al., 2001 dalam George, 2005). 9. Faktor Aktivitas Fisik Barcelos-Ferreira et al. (2009) mengamati bahwa peningkatan pemburukan kognitif dan fungsional, dan latihan fisik yang lebih sedikit
dapat
menyebabkan
peningkatan
prevalensi
Clinically
Significant Depressive Symptoms (CSDS) pada lansia. Dalam suatu penelitian systematic review mengenai prevalensi depresi pada lansia yang tinggal di komunitas, Beekman et al. (1999) dalam Ricardo et al. (2010) mengelompokkan prevalensi depresi ringan dan berat menjadi ketegori yang disebut Clinically Significant Depressive Syndromes dan menemukan prevalensi sebanyak 13,5%. Hasil penelitian ini mirip dengan prevalensi yang ditemukan oleh Barcelos-Ferreira et al. (2009). 10. Faktor Usia Menurut Blazer (1994) dalam Ricardo et al. (2010) lansia cenderung untuk memiliki prevalensi depresi berat yang lebih rendah dan prevalensi gejala depresi yang lebih banyak dibanding dewasa muda. Lansia memiliki lebih banyak kesulitan dalam mengenali gejala
24
depresi dibandingkan dewasa muda sehingga deteks depresi pada lansia lebih rendah (Hasin dan Link, 1988 dalam Ricardo et al. 2010). Selain itu, mortalitas dan resiko terkena penyakit demensia meningkat seiring bertambahnya usia, dan dapat mempengaruhi depresi pada lansia karena adanya hubungan antara depresi dan resiko terkena demensia. Kemungkinan dirawat di rumah sakit lebih banyak yang pada akhirnya dapat menyingkirkan pasien ini dari komunitas (Barcelos-Ferreira et al., 2010) Diantara penelitian yang dievaluasi dalam penelitian ini, hanya dua yang menjelaskan hubungan signifikan antara peningkatan usia (≥ 75 years) dengan prevalensi yang lebih tinggi (Maciel dan Guerra, 2006; Castro-Costa et al., 2008 dalam Ricardo et al., 2010). Sementara dua penelitian lain menyatakan adanya kebalikan dimana pada lansia dengan usia yang lebih muda (≤ 65 years) lebih terlihat gejala-nya (Lebr˜ao and Laurenti, 2005; Blayet al., 2007 dalam Ricardo et al., 2010). 11. Faktor sosial-ekonomi Dalam suatu penelitian cross-sectional, krisis pendapatan berhubungan dengan tingkatan gejala depresi (Black et al. 1998b dalam Dan dan Celia, 2005). Sosial-ekonomi yang tidak baik berhubungan dengan prevalensi dan menyebabkan gejala depresi yang menetap selama lebih dari 2-4tahun pada sampel lansia yang diambil dari panti jompo (Mojtabai & Olfson, 2004 dalam Dan dan Celia, 2005).
25
2.1.7. Dampak Depresi pada Lansia Berdasarkan penelitian secara longitudinal dan di follow up selama 6 tahun yang dilakukan oleh Pennix et al., ketidakmampuan fisik dibagi menjadi dua, yaitu ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari dan ketidakmampuan dalam hal mobilitas. Hasilnya, sebanyak 36,1% responden lansia yang menderita depresi memiliki ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari dan sebanyak 29,3% responden lansia yang tidak menderita depresi memiliki ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari. Sementara pada responden lansia yang memiliki depresi, ditemukan sebanyak 67,3% memiliki ketidakmampuan dalam mobilitas. Sebanyak 48,3% responden lansia yang tidak memiliki depresi. Dibandingakan subyek yang tidak depresi, mereka yang menderita depresi cenderung untuk memiliki aktivitas fisik yang sedikit (Pennix et al. 1999). Depresi berat merupakan faktor resiko independen terjadinya mortalitas pada pria lansia. Peningkatan resiko dalam semua penyebab mortalitas diobservasi pada pasien dengan depresi yang tidak bersifat berat dan mungkin tidak berkaitan dengan depresi tapi berkaitan dengan kemungkinan kondisi komorbid lain pada lansia tersebut (Jeong et al., 2013) Tingkah laku kesehatan yang buruk bisa menyebabkan mortalitas yang banyak pada pasien dengan depresi berat. Kejadian depresi telah menunjukan adanya hubungan likelihood dengan merokok, konsumsi alkohol, penyalahgunaan obat-obat-an, dan kompliansi terapi yang buruk dengan penyakit komorbid yang ada (Roeloffs et al., 2001; Dierker et al., 2002; Kim et al., 2010 dalam Hyun et al., 2013). Disamping itu, depresi berat secara langsung menyebabkan mortalitas pada pria lansia. Dalam penelitian dengan menggunakan analisis multivariat, dibandingkan kontrol yang tidak depresi, pasien dengan depresi berat menunjukan sekitar empat kali lebih berisiko terhadap kejadian semua penyebab mortalitas pada lansia, setelah mengontrol bermacam pendisposisi pada pria lansia (Jeong et al. 2013). Mekanisme biologis seperti pada disregulasi neuro-hormonal dan disfungsi inflamasi dapat secara langsung mempengaruhi mortalitas yang lebih
26
banyak pada pasien dengan depresi berat: pasien dengan depresi berat menunjukan adanya disregulasi pada sistem saraf otonom dan aksis hipotalamuspituitari-adrenal meskipun secara medis mereka normal (Carney et al., 2002; Sherwood et al., 2007 dalam Hyun et al., 2013). Depresi berat sering disertai dengan peningkatan kadar sitokin proinfamasi seperti interleukin-6, C-reactive protein, dan tumor necrosis factor-alpha (Carney et al., 2002; Sherwood et al., 2007 dalam Hyun et al., 2013). Depresi berat juga telah diketahui memiliki faktor resiko independen pada penyakit kardiovaskular dan penyakit kanker (Pratt et al., 1996; Gross et al., 2010 dalam Hyun et al., 2013). Penelitian
preliminar
terbaru
melaporkan
bahwa
depresi
berat
berhubungan dengan percepatan pemendekan telomere (Simon et al., 2006 dalam Hyun et al., 2013). Ide bunuh diri, sering terjadi pada individu dengan depresi yang berat, terjadi lebih sering pada lansia di Australia dengan dukungan sosial yang tidak stabil (Vanderhorst, McLaren, 2005 dalam Valeria et al., 2013). 2.1.7.1 Perbedaan Jenis Kelamin dalam dampak Depresi 1. Peningkatan mortalitas penyakit cardio-cerebrovascular dalam depresi berat mungkin berkaitan dengan mortalitas yang lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Depresi berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas pada stroke (Pan et al., 2011 dalam Hyun et al., 2013) dan penyakit jantung iskemik (Jiang, 2008 dalam Hyun et al., 2013). Penyakit pada vaskular ini sering terjadi pada lansia. Penurunan testosteron dalam usia juga dapat meningkatkan mortalitas dalam penyakit kardiovaskular pada pria. Hal ini disebabkan karena testosteron dapat menurunkan densitas lipoprotein dalam darah dan meningkatkan lipoprotein dengan densitas yang rendah (Viña et al., 2005 dalam Hyun et al., 2013). 2. Depresi telah dihubungkan dengan stress oksidatif secara umum (Irie et al., 2001; Forlenza dan Miller, 2006; Yager et al., 2010 dalam Hyun et
27
al., 2013), dan kerusakan oksidatif memegang peranan dalam mengurangi usia hidup (Johnson et al., 1999 dalam Hyun et al., 2013). Pria memiliki kadar enzim bersifat protektif yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita. Enzim protektif tersebut adalah superoksida dismutase dan katalase. Sehingga tingkat kerusakan oksidatif lebih tinggi pada pria (May, 2007 dalam Hyun et al., 2013). 3. Pria yang depresi lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan wanita yang depresi (Hawton, 2000; Oquendo et al., 2001 dalam Hyun et al., 2013). Upaya bunuh diri pada pria lebih mematikan dibandingkan wanita dan perbedaan ini lebih jelas pada usia tua (Dombrovski et al., 2008 dalam Hyun et al., 2013). 4. Perbedaan jenis kelamin pada penderita depresi berat mempengaruhi dalam perbedaan perilaku hidup yang berbahaya terhadap kesehatan dan kematian akibat kecelakaan. Depresi sering disertai dengan masalah dalam minum alkohol dan mengemudi yang tidak benar (Wingen et al., 2006; Kim et al., 2009; Jeong et al., 2012b dalam Hyun et al., 2013). 2.1.8. Gambaran Umum Puskesmas Darussalam 2.1.8.1.
Sejarah Puskesmas Darussalam merupakan salah satu puskesmas yang menjadi
pusat pembangunan, pembinaan, dan pelayanan kesehatan. Puskesmas ini melayani kesehatan masyarakat di dua kelurahan yaitu : Kelurahan Sei Putih Barat dan Kelurahan Sei Sikambing. Puskesmas ini mulai dibangun sejak tahun 1965 dan diresmikan oleh KDH Sumatera Utara, Bapak Marah Halim. Sejak tahun 1997, Puskesmas Darussalam mendapat predikat kualitas asuransi (jaminan mutu) yaitu tercapainya pelayanan kesehatan secara optimal dan sesuai standar. Puskesmas Darussalam sering menjadi studi banding puskesmas lain-nya
28
2.1.8.2. Data Geografis dan Demografis Puskesmas Darussalam terletak di jalan Darussalam No.40, Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan Petisah, Kodya Medan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Timur : Berbatas dengan Petisah Hulu - Sebelah Selatan : Berbatas dengan Babura Sunggal - Sebelah Barat : Berbatas dengan Kelurahan Sei Sikambing D - Sebelah utara : Berbatas dengan Sei Agul Puskesmas ini mencakup : 2 kelurahan, 23 lingkungan, 5455 Kepala Keluarga dengan jumlah penduduk 20.870 jiwa dan kepadatan penduduk 6,84%. Pada tahun 2013, jumlah total lansia di 2 kelurahan Puskesmas Darussalam adalah sebanyak 2086 jiwa. Dengan perincian: - Kelurahan Sei Putih Barat = 1166 jiwa -
Kelurahan Sei Sikambing D = 920 jiwa
2.1.8.3. Data Jumlah Lansia di Puskesmas Darussalam Berikut jumlah lansia yang mendapatkan pelayanan kesehatan lansia di wilayah kerja Puskesmas Darussalam pada tahun 2014 : - Kelompok umur 60-69 tahun Laki-laki = 239 orang Perempuan = 559 orang - Kelompok umur >70 tahun Laki-laki = 295 orang Perempuan = 452 orang
29
2.1.8.4. Program Puskesmas Darussalam Medan Puskesmas Darussalam Medan telah melaksanakan 7 Program Prioritas Kota Medan: 1. Promosi Kesehatan 2. Kesehatan Lingkungan 3. Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana 4. Perbaikan Gizi masyarakat 5. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular 6. Pengobatan 7. Pencatatan dan Pelaporan (Kota Medan) Dan ditambah 11 Pengembangan yakni: 8. Usaha Kesehatan Sekolah 9. Usaha Kesehatan Gigi dan Mulut 10. Usaha Kesehatan Jiwa 11. Usaha Kesehatan Mata 12. Usaha Kesehatan Usia Lanjut 13. Laboratorium Sederhana 14. Usaha Kesehatan Olahraga 15. Usaha Pengobatan tradisional 16. Usaha Kesehatan Kerja 17. Usaha Perawatan Kesehatan Masyarakat 18. Farmasi 2.1.9. Kuesioner Geriatric Depression Scale Geriatric Depression Scale (GDS) adalah kuesioner yang digunakan untuk melakukan screening adanya depresi. Kuesioner GDS ini dapat digunakan oleh orang yang sehat, memiliki penyakit medis dan memiliki kekurangan fungsi kognitif yang ringan maupun sedang. GDS memiliki sensitivitas 92% dan spesifisitas 89%.
30
Pada suatu penelitian yang membandingkan antara bentuk 30 pertanyaan GDS dan 15 pertanyaan GDS, kedua bentuk tersebut sukses dalam menentukan apakah seseorang depresi atau tidak mengalami depresi dengan korelasi tinggi yaitu (r=84, p <0,01) ( Sheikh dan Yesavage, 1986). Kuesioner versi bahasa Indonesia ini sudah di validasi oleh Martina W.S. Nasrun dan Tjut Meura Salma Oebit pada tahun 1998. Versi panjang dari GDS yaitu terdiri dari 30 pertanyaan dimana peserta dimintakan untuk menjawab ya atau tidak sebagai rujukan bagaimana perasaan mereka selama satu minggu terakhir. Dari 30 butir pertanyaan, 20 buah diantaranya (2, 3, 4, 6, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 18, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 28) mengindikasikan adanya depresi ketika dijawab positif (ya), sedangkan 10 buah pertanyaan lainnya (pertanyaan nomor 1, 5, 7, 9, 15, 19, 21, 27, 29, 30) mengindikasikan depresi ketika dijawab negatif (tidak). Skor >11 lansia mengindikasikan adanya depresi. Skor ≤11 mengindikasikan tidak adanya depresi. 2.1.10. Kuesioner Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia Montreal Cognitive Assessment (MoCA) dapat menilai fungsi berbagai domain kognitif dalam waktu sekitar 10 menit. MoCA terdiri dari 8 ranah kognitif meliputi: fungsi eksekutif, kemampuan visuospasial, atensi dan konsentrasi, memori, bahasa, konsep berfikir, kalkulasi dan orientasi. MoCA tes pertama kali dikembangkan di institusi klinik Quebec Kanada pada tahun 2000 oleh Nasreddine Ziad S, MD. Tes MoCA telah diterjemahkan ke banyak bahasa. Di Indonesia, perangkat ini sudah di validasi oleh Husein N., Lumempouw S., Ramli Y., Herqutanto melalui penelitian yang dilakukan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Uji validitas yang dilakukan dengan metode transcultural World Health Organization (WHO) dan uji realibilitas test-retest dilakukan dengan statistik K (Kappa). Skor tertinggi adalah 30 poin, sementara skor 26 keatas dianggap normal. Cut off point MoCA berdasarkan berbagai studi di luar negeri adalah 26 (Nasreddine Z, Kanada; Smith T, Inggris; dan beberapa penelitan lainnya). Tes MoCA ditekankan pada fungsi eksekutif frontal dan atensi
31
dibandingkan dengan Mini Mental Status Examination (MMSE). Dalam mendeteksi MCI, tes MoCA dianggap lebih sensitif dan lebih tinggi spesifisitasnsya dibandingkan MMSE (Husein et al., 2010).