5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi Nasofaring Menurut definisi dari Grey’s Anatomy, nasofaring terletak pada palatum
mole bagian atas (Drake et al., 2007). Di nasofaring, terdapat sekelompok jaringan limfoid yang terletak pada bagian superior dan dinding posterior daerah nasofaring. Jaringan limfoid ini bersama tonsil palatina dan nodus limfoid pada dorsum lidah membentuk suatu lingkaran bersambungan yang disebut dengan lingkaran Waldeyer. Di daerah nasofaring juga terdapat orificium untuk Eustachian Canal yang terletak pada dinding kiri dan kanan nasofaring sejajar dengan permukaan dalam hidung (Ellis, 2006). Pada anak-anak, pharyngeal tonsil terletak pada bagian tengah dinding superior posterior pharynx (Nutting et al., 2009). Dinding anterior nasofaring dimulai dari choanae atau posterior nares yang termasuk permukaan postero – superior palatum mole. Sebaliknya dinding posterior merupakan dinding yang melengkung dan bersambung dengan batasan superior
choanae hingga ke batasan palatum mole yang menggantung. Selain itu, dinding lateral terdapat tuba Eustachian, di mana di sampingnya terdapat pharyngeal recess atau fossa of Rossenmuller. Pada bagian bawah dari tuba Eustachian terdapat lipatan mukosa yang dinamakan salphingopharyngeal fold (Ali, 1965).
Kelenjar Getah Bening Servikal Bagian atas leher dibatasi oleh pinggiran inferior tulang mandibular, ujung
mastoid process dan occipital protuberance. Di bagian lateral dibatasi oleh sternocleidomastoid muscle yang dapat diraba dan pinggiran trapezius muscle (Probst et al., 2006). Terdapat 10 kelompok besar nodus limfe pada daerah leher, antaranya adalah occipital, mastoid, parotid, submandibular, facial, submental,
sublingual, retropharyngeal, anterior cervical, dan nodus limfe bagian lateral di servik (Moyer & Bradford, 2008). KGB di leher bersifat menyatu dan berfungsi sebagai alat penyaring (Probst et al., 2006). Jumlah KGB pada badan manusia
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
6
sebanyak 1.000 nodus dan terdapat 300 nodus KGB pada daerah leher (Probst et
al., 2006). KGB pada persilangan antara vena fasialis dan vena jugular interna menerima aliran limfe dari seluruh bagian kepala dan leher dan merupakan daerah yang rentan terhadap metastasis (Probst et al., 2006). Daerah – daerah KGB leher dibagi enam yaitu I, II, III, IV, V dan VI: (Moyer & Bradford, 2008)
•
Tingkat I terdiri dari KGB pada daerah submental dan submandibular (Moyer & Bradford, 2008). Pembagian tingkat I, yaitu IA (submental) dan IB (submandibular). Daerah IA itu didefinisikan sebagai segitiga yang dibatasi oleh bagian anterior ventral digastric muscle dan tulang hyoid. Sebaliknya tingkat IB meliputi KGB pada batasan anterior ventral digastric
muscle, stylohyoid muscle, dan bagian inferior dibatasi oleh badan mandible (Medina, 2006).
•
Tingkat II terdiri dari KGB 1/3 upper internal jugular vein atau
jugulodigastric yaitu pada daerah basis krani hingga ke bifurkasi karotid (Moyer & Bradford, 2008). Sublevel IIA adalah untuk kelenjar yang berada pada anterior vertical plane yang dilewati oleh spinal accessory nerve, dan
sublevel IIB untuk kelenjar yang terletak di posterior (lateral) vertical plane yang dilewati oleh spinal accessory nerve (Medina, 2006).
•
Tingkat III terdiri dari KGB di pertengahan internal jugular vein pada daerah bifurkasi karotid hingga omohyoid muscle (Moyer & Bradford, 2008). Batas medialnya adalah pada bagian lateral sternohyoid muscle dan batasan lateral adalah pada bagian posterior sternocleidomastoid muscle (Medina, 2006).
•
Tingkat IV terdiri dari KGB di bagian 1/3 inferior jugular yaitu dari
omohyoid muscle hingga ke clavicle (Moyer & Bradford, 2008). •
Tingkat V terdiri dari semua KGB yang terletak pada bagian 1/2 spinal
accessory nerve bawah dan transverse cervical artery (Medina, 2006). Batasan superior dibentuk oleh pertemuan antara sternocleidomastoid
muscle dan trapezius muscle, bagian inferior oleh clavicle, bagian medial oleh sternocleidomastoid muscle dan bagian lateral oleh trapezius muscle.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
7
Suatu horizontal plane yang membagi batasan inferior dari anterior cricoid arch ke dalam sublevel V-A dan sublevel V-B. Pada sublevel V-A yang berada di atas pembagian tersebut, terdapat spinal accessory nodes. Sebaliknya pada sublevel V-B yang berada di bawah plane tersebut, terdapat
KGB
yang
mengikuti
transverse
cervical
vessels
dan
supraclavicular nodes (Medina, 2006). •
Pada Tingkat VI terdapat pre- dan paratracheal nodes, precricoid (Delphian) node, dan perithyroidal nodes. Batas atas adalah tulang hyoid bawah oleh suprasternal notch, dan bagian lateral oleh common carotid arteries (Medina, 2006).
Gambar 2.1 Pembagian leher kepada enam tingkat (Balm et al., 2010) 2.2.
Histologi Secara umum, 60% (±10%) dari permukaan mukosa nasofaring diliputi oleh
epitel skuamosa bertingkat. Pada dinding anterior nasofaring ditemukan sebanyak 60% epitelnya disusun oleh epitel skuamosa bertingkat. Sebanyak 80–90%
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
8
permukaan mukosa dinding posterior disusun oleh epitel skuamosa. Sebaliknya lapisan mukosa yang terdapat pada pharyngeal tonsil dan dinding lateral menunjukkan pola susunan bergantian antara epitel bersilia dan epitel skuamosa. Pada pharyngeal crypts terdapat epitel tipe keratinizing squamous cell, tetapi epitel ini hanya akan muncul pada mereka yang berumur 50 tahun ke atas (Ali, 1965). Sekurang kurangnya 40% dari dinding anterior dan 15–20% dari dinding posterior, diselaputi oleh epitel bersilia. Pada dinding lateral, epitel bersilia ini berupa kelompok kecil yang tersusun dengan pola bergantian antara epitel skuamosa dan epitel transisional. Pada dinding lateral, di daerah pharyngeal recess, ditemukan sel – sel goblet yang banyak (Ali, 1965). Mukosa pada nasofaring membentuk lipatan yang di dalamnya ditemukan aggregasi jarirngan limfe (Nutting et al., 2009). Lapisan ini dikenal sebagai tunika propria yang terdiri dari jaringan ikat kolagen dan fiber elastis disertai pembuluh darah dan limfe (Ali, 1965). Pleksus kelenjar limfa di bagian submukosa ini mengalir ke retrofaring (upper deep posterior cervical) dan kelompok nodus jugulodigastric (Nutting et al., 2009). Selain itu, pada lapisan submukosal juga ditemukan campuran antara kelenjar mucous dan serous (Ali, 1965).
2.3.
Etiologi
2.3.1. Genetik Kasus KNF banyak terdapat di Hong Kong dan juga daerah selatan China (Balfour et al., 2009). Pada masyarakat Tiong Hua, kejadian KNF mempunyai korelasi yang signifikan dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) tipe A2 dan Bw46 (Nutting et al., 2009). Populasi yang mempunyai allel HLA-A2, terutama HLA-A0207 mempunyai peningkatan resiko terkena KNF (Tabuchi et al., 2011). Di samping itu, penelitian studi HLA Linkage mendapati bahwa gen pembawa KNF berada berdekatan dengan lokus HLA itu sendiri (Nutting et al., 2009). Kehilangan allel pada kromosom 3 dan 9 mempunyai dampak pada aktivitas gen tumor suppressor seperti p14, p15, dan p16. Penambahan gen pada kromosom 12 dan kehilangan allel pada 11q, 13q, dan 16q menyebabkan terbentuknya tumor
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
9
karsinoma yang invasif, metastasis tumor berkait dengan mutasi pada p53 dan expresi bentuk molekul cadherins yang abnormal (Chan et al., 2002).
2.3.2. Lingkungan Faktor lingkungan juga memainkan peran utama pada peningkatan kejadian KNF (Balfour et al., 2009). Pada daerah yang endemis, KNF terjadi pada populasi yang muda dengan insidensi meningkat dari umur 20 dan memuncak pada umur 40 hingga 50 (Nutting et al., 2009). Pada suatu penelitian yang dilakukan di dalam pabrik tekstil di Shanghai, China, ditemukan peningkatan kejadian KNF berbanding dengan populasi normal. Para peneliti berpendapat bahwa peningkatan kasus ini adalah disebabkan oleh kehadiran debu kapas dalam udara yang melebihi 143,4mg/m3 (Li et al., 2006). Selain kapas, debu dari tambang batu, tambang timah, kerja kayu, dan kapur dari pabrik karet juga dapat menyebabkan kanker nasofaring (Armstrong et al., 1983; Sriamporn et al., 1992). Penduduk di pinggir pantai lebih banyak mengonsumsi sumber hasil laut dari sayuran dan buah-buahan. Kurangnya konsumsi buah - buahan dan sayuran juga merupakan faktor risiko untuk kejadian kanker. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa makanan yang kaya dengan buah-buahan dan sayuran mempunyai sifat protektif terhadap kanker (Nutting et al., 2009). Selain itu, penduduk pesisiran pantai yang mempunyai sosioekonomi rendah juga lebih banyak mengonsumsi ikan asin karena harganya yang jauh lebih terjangkau. Makanan seperti ikan asin atau daging asin merupakan faktor resiko untuk KNF (Balfour et al., 2009). Daging atau ikan yang diasinkan secara tidak langsung juga menyebabkan penumpukan senyawa nitrosamin yang bersifat karsinogenik (Nutting et al., 2009). Terdapat korelasi signifkan antara konsumsi ikan asin dengan kejadian kanker nasofaring dan ini didukung oleh hasil penelitian (Armstrong et al., 1983; Sriamporn et al., 1992). Di samping itu, konsumsi ikan asin sewaktu anak – anak dapat menyebabkan kejadian KNF saat dewasa nanti. Hal
ini adalah
sebanding dengan hasil penemuan pada imigran Chinese ke Amerika Syarikat dan Canada (Armstrong et al., 1983).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
10
2.3.3. Nikotin Risiko kanker kepala dan leher meningkat sebanyak 2-3% setiap tahun dengan paparan sumber karsinogenik seperti merokok. Konsumsi alkohol dan tembakau merupakan faktor risiko yang utama bagi kejadian kanker upper aerodigestive tract. Semua perokok mempunyai risiko yang sama walaupun wadah tembakaunya mungkin berbeda-beda seperti pipe, cigar, atau keretek. Di samping itu, pengunyahan daun-daun tembakau juga dapat menyebabkan KNF (Balfour et al., 2009). Faktor risiko merokok meningkat jika perokok tersebut juga merupakan peminum alkohol berat, risikonya 35 kali lipat dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol. Peningkatan faktor risiko ini disebabkan oleh sifat alkohol yang merupakan suatu unsur pelarut yang baik dan bahan-bahan karsinogenik lebih mudah melewati mukosa jika ditambahkan dengan alkohol dibandingkan dengan air ludah yang bersifat aqueous (Balfour et al., 2009). Penelitian biokimia terbaru di Taiwan membuktikan bahwa proliferasi sel KNF sebanding dengan dosis nikotin dan waktu paparan (Shi et al., 2012).
2.3.4. Virus Epstein Barr Virus ini hanya menginfeksi sekelompok kecil organisme dan bereplikasi secara lamban. Virus ini memasuki tubuh melalui mukosa. Kemudian ia bereplikasi di dalam sel epitel dan menginfeksi limfosit B dan terus bereplikasi (Bienz, 2005). Virus ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu early replicative antigen, latent phase antigen, dan late antigen (Nutting et al., 2009). Limfosit B juga dapat ditransformasi oleh virus Epstein Barr menjadi ganas lalu menyebabkan penyakit limfoma (Kayser, 2005). Pada penelitian di Eropa, ditemukan bahwa penderita KNF di Eropa mempunyai plasma darah yang terdapat DNA virus Epstein Barr (EBV). Pada penelitian yang sama juga ditemukan adanya korelasi antara tingkat infeksi EBV dengan kejadian relapse pada Karsinoma Nasofaring (Ferrari et al., 2012). Hal ini didukung oleh laporan yang menunjukkan perbaikan pada KNF dengan terapi
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
11
kombinasi yang menggunakan transfusi sel T sitotoksik yang spesifik terhadap EBV dan kemoterapi (Straathof et al., 2005).
2.4.
Patogenesis Pada KNF, sel-sel neoplasma dapat dijumpai di semua daerah nasofaring
dan paling sering ditemukan di Rosenmuller fossa yang terletak pada bagian medial pada medial crura tuba Eustachian (Wei, 2006). Tumor nasofaring ini sering bermula dari Fossa of Rossenmuller dan secara langsung ke bagian anterior, tumor dapat menginvasi kavum nasal posterior atau berekstensi secara inferior sejajar dengan dinding faring sampai ke palatum mole, atau ke bawah untuk mencapai tonsil (Nutting et al., 2009). Pada 35% kasus, dijumpai keterlibatan basis kranii pada pemeriksaan CT scan. Tumor dapat menginvasi sphenoid sinus atau masuk ke cavernous sinus melalui foramen lacerum. Di sini, nervus kranialis III hingga VI dapat rusak dengan keterlibatan nervus V dan VI sering dijumpai pada klinis (Nutting et al., 2009). Keterlibatan parapharyngeal space dapat dijumpai pada 35% hingga lebih dari 85% kasus. Penyebab yang paling utama adalah invasi tumor pada dinding lateral tuba Eustachian yang tidak kuat. Selain itu, ekspansi tumor pada retropharyngeal node juga merupakan faktor penyebab yang lain. Nervus kranialis IX hingga XII yang terdapat pada daerah parapharyngeal space akan berdampak juga. Di samping itu, tumor dapat menginvasi daerah orbit melalui sinus ethmoid dan inferior orbital fissure (Nutting et al., 2009).
2.5.
Tumor Biologi Kanker terjadi melewati proses akumulasi perombakan genetika yang
menghasilkan pertumbuhan klonal sel-sel yang telah ditransformasi (Riet & Richtsmeier, 2006). Clonal origin inilah yang membedakan neoplasia dengan hiperplasia (Longo et al., 2012). Perombakan genetika ini melibatkan pelbagai jenis perubahan pada struktur dan sekuens DNA kelompok sel klonal tersebut (Riet & Richtsmeier, 2006). Berdasarkan data frekuensi kejadian kanker yang meningkat dengan umur, ditambah dengan hasil penelitian molekular genetika, dapat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
12
disimpulkan bahawa kejadian kanker membutuhkan 5 hingga 10 mutasi yang terakumulasi untuk menjadi ganas (Longo et al., 2012). Selain perubahan secara mutasi, sel – sel kanker juga mengalami suatu keadaan yang dinamakan sebagai epigenetic phenomena, di mana ia mempengaruhi ekspresi gen dan sel behavior (Moasser, 2006). Epigenetic yang dimaksudkan adalah perubahan fenotip pada sel yang dapat diturunkan tanpa ada perubahan genotip. Terdapat dua kelompok gen kanker yang utama; yaitu onkogen dan tumor suppressor genes. Kelompok onkogen mempengaruhi pembentukan tumor secara positif. Kelompok tumor suppressor genes, mempengaruhi perkembangan tumor secara negatif (Longo et al., 2012). Para peneliti berpendapat bahwa inaktivasi hanya satu tumor suppressor gene atau aktivasi dari satu onkogen sudah dapat menyebabkan keganasan (Moasser, 2006). Onkogen dapat diaktivasi melalui point mutation, DNA amplifikasi dan chromosomal rearrangement. Point mutation pada RAS gen menurunkan aktivitas RAS GTPase lalu menghasilkan aktivasi secara konstitutif pada protein RAS yang mutan. DNA amplifikasi menghasilkan dampak ekspresi berlebihan pada produk gen tertentu (Longo et al., 2012). Chromosomal rearrangement adalah gen baru yang dibentuk dari gabungan dua gen yang berbeda di mana gen baru tersebut kehilangan mekanisme kontrolnya (Moasser, 2006). Tumor suppressor gene terdiri dari gen – gen yang mempunyai peran dalam DNA damage control, mengawal siklus sel, kematian sel yang terprogram, dan adhesi sel (Moasser, 2006). Mekanisme inaktivasi pada tumor suppressor gene yang paling sering ditemukan adalah point mutation dan deletion yang besar (Longo et al., 2012). Adhesi sel penting karena sel – sel yang kehilangan adhesi dapat lolos ke daerah lain dan bermetastasis (Moasser, 2006). Kerusakan pada gen – gen kawalan inilah yang memicu kejadian keganasan. Tumor ganas diklasifikasikan sebagai karsinoma jika ia berasal dari jaringan ektodermal atau endodermal dan sarkoma jika ia berasal dari jaringan mesodermal (Moasser, 2006). Karsinoma lebih cenderung disebarkan melalui sistem saluran limfe sebaliknya sarkoma selalu disebarkan secara hematogen.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
13
Tumor sarkoma pada leher dan kepala jarang dijumpai dengan jumlah kasus yang kurang dari 1% dari semua keganasan di leher dan kepala (Probst et al., 2006).
2.6.
Diagnosa
2.6.1. Manifestasi klinis Menurut penelitian di Hong Kong, sebanyak 54,4% pasien-pasien kanker nasofaring hanya mempunyai gejala servikal adenopati (Lee et al., 1997; Nutting et al., 2009). Selain itu, lesi primer pada nasofaring dapat menyebabkan obstruksi nasal, discharge, atau pendarahan, dan obstruksi pada tuba Eustachian dapat menyebabkan otitis media dengan effusi disertai otalgia. Penghancuran tulang dan ekspansi pada parapharyngeal space dapat menyebabkan nyeri kepala yang berterusan dan invasi langsung pada nervus trigeminal (V) menyebabkan trigeminal neuralgia. Invasi pada cavernous sinus menyebabkan rusaknya nervus kranialis III, IV, dan VI mencetuskan diplopia atau ophthalmoplegia komplit (Nutting et al., 2009). Nyeri kerongkongan atau odinofagia selalu dilaporkan pada ketelibatan palatum mole dan dinding pharynx. Kerusakan pada nervus kranialis IX hingga XII dapat menyebabkan mucosal hypoesthesia, gangguan pengecapan, palatal incompetence, paralisis hemiglossal dan kelemahan otot yang dipersarafi saraf accessory (Nutting et al., 2009). Kanker stadium lanjut pada kepala dan leher, di daerah manapun selalu mempunyai manifestasi klinis seperti nyeri yang parah, otalgia, obstruksi saluran pernafasan, neuropati kranial, trismus, odinofagia, disfagia, penurunan mobilitas lidah, fistulas, keterlibatan kulit, dan servikal limfadenopati yang mungkin bilateral atau unilateral (Longo et al., 2012). Limfadenopati neoplastik itu sendiri mempunyai gejala seperti berkeringat malam, penurunan berat badan, dan letargi (Conbridge & Steventon, 2006). Keluhan yang sering dialami oleh pasien dengan metastasis ke KGB servikal adalah pembesaran kelenjar unilateral atau bilateral pada leher tanpa adanya nyeri (Probst et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
14
Tabel 2.1. Symptom
Tanda fisik pada penegakan diagnosis (Lee et al., 1997) Only symptom
First symptom*
Pembesaran KGB 2.594 956 (20,1%) leher (54,4%) Cranial nerve palsy 203 (4,3%) 749 (15,7%) Deafness 51 (1,1%) 186 (3,9%) Trismus 3 (0,1%) 70 (1,5%) Proptosis 1 15 (0,3%) Metastasis Distal 0 122 (2,6%) Dermatomyosistis 17 (0,4%) 17 (0,4%) *Pada pasien dengan keluhan lebih dari satu gejala
Total No. Presenting with symptom 3.550 (74,5%) 952 (20,0%) 237 (5,0%) 73 (1,5%) 16 (0,3%) 122 (2,6%) 34 (0,7%)
2.6.2. Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Servikal Pemeriksaan klinis pada leher secara palpasi bukan suatu cara yang efektif untuk mendeteksi metastasis nodus limfe servikal, terutama pada kelenjar yang melibatkan sedikit tumor. Error rate pada pemeriksaan secara palpasi mempunyai rentang antara 20% hingga 50% (Medina, 2006). Oleh sebab itu, pasien dengan keluhan servikal adenopati, harus dicurigai adanya keganasan jika pasien tersebut berumur lebih dari 40 tahun, merokok, dan meminum alkohol (Balm et al., 2010). Sel-sel KNF sering menginvasi bagian posterior triangle pada tingkat V leher atau bagian deep jugular nodes pada tingkat II leher (Ganly et al., 2009). Jika dijumpai adenokarsinoma pada nodus di tingkat I – III leher, kemungkinan besar terjadinya metastasis berasal dari karsinoma kelenjar air liur (Balm et al., 2010). Karsinoma pada kelenjar tiroid selalu mempunyai manifestasi servikal adenopati di tingkat II – IV (Balm et al., 2010). Metastasis adenokarsinoma di tingkat IV – Vb (supraklavikular) ditambah dengan daerah tiroid yang normal, dapat disebabkan oleh keganasan di bagian bawah dari klavikula (Balm et al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
15
Tabel 2.2.
Insidensi Kejadian Metastasis Nodus Limfe Servikal terkait dengan Karsinoma di Bagian Traktus Aerodigestive Atas (Probst et al., 2006) Lokasi Tumor Insidensi kejadian metastasis ke KGB servikal Oral Cavity 30 – 65% Orofaring 39 – 83% Nasofaring 60 – 90% Hipofaring 52 – 72% Supraglottis 35 – 54% Glottis 7 – 9% Kavitas nasal 10 – 20% Kelenjar saliva 35 – 45% Kelenjar tiroid 18 – 84%
Gambar 2.2 Sistem limfa pada bagian servikal (Probst et al.,2006)
2.6.3. Pemeriksaan Nasofaring Posterior Rhinoscopy Pemeriksaan indirek terhadap daerah nasofaring dapat dilakukan dengan menggunakan cermin yang dimasukkan ke dalam mulut (Ellis, 2006). Prosedur ini sulit dilakukan pada anak – anak dan juga pasien yang mudah merasa tercekik (Bull,
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
16
2003). Pasien dengan palatum molenya yang terlalu dekat dengan dinding posterior orofaring menyebabkan pemeriksaan ini kurang berhasil (Bull, 2003). Mekanoreseptor yang terdapat di dinding orofaring adalah sangat sensitif terhadap rangsangan, stimulasi di daerah ini dapat memicu refleks muntah.
Rhinoscopy Nasofaring dapat diinspeksi secara direk melalui Rhinoscope yang dimasukkan ke dalam lubang hidung, melalui permukaan dalam hidung sementara pasien dibius lokal (Ellis, 2006; Bull, 2003). Rhinoscope adalah suatu endoscope fibreoptic yang dilengkapi dengan alat biopsi. Ia dapat dibagi menjadi dua tipe: endoscope fibreoptic rigid dan endoscope fibreoptic flexible. Satu – satunya kekurangan alat ini adalah lapangan pandang yang kecil, kendala ini dapat diatasi dengan menggunakan endoscope ditambah kamera agar lapangan pandang dapat diperbesar melalui monitor (Bull, 2003).
2.6.4. Radiologi Computed Tomography CT scan menggunakan radiasi tipe ionisasi untuk menghasilkan gambaran potongan cross-sectional berdasarkan pada perbedaan pengurangan intensitas Xray oleh pelbagai jenis jaringan (Fischbein & Ong, 2008). Scanner saat ini mendapatkan hasil gambar secara helical, yaitu sumber X-ray dirotasikan secara bersamaan dengan translasi pasien di mana data yang dihasilkan bersifat tiga dimensi. Data ini kemudian dibagikan dan dikonstruksi kembali sebagai gambar potongan silang oleh komputer. Potongan pada orientasi aksial dan bersifat halus (≤3 mm) cukup ideal untuk pencitraan kepala dan leher (Martin et al., 2009).
Magnetic Resonance Imaging MRI menggunakan perbedaan pada sifat kelonggaran jaringan dan spin density untuk menghasilkan gambar yang sensitif terhadap perbedaan densitas jaringan lunak. Tergantung pada parameter yang dipilih, MRI dapat menghasilkan gambar dengan variasi pada karakter jaringan dan kontras yang diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
17
Senyawa kontras yang selalu digunakan adalah suatu agen yang terdapat gadolinium di dalamnya. Kontras ini meningkatkan karaterisasi jaringan dan membantu dalam differential diagnosis. Pada scanning di kepala dan leher, sekuens pencitraan adalah seperti berikut (Martin et al., 2009): •
Sagittal, axial, dan coronal T1-weighted images
•
Axial fast spin-echo T2-weighted images with fat saturation
•
Axial and coronal postgadolinium T1-weighted images with fat saturation
2.6.5. Serologi Banyak penelitian menunjukkan korelasi yang signifikan antara pasien yang positif serologi Epstein Barr Virus dengan kejadian KNF. Titer antibodi IgA terhadap viral capsid antigen dan early antigen complex mempunyai hubungan dengan stadium KNF di mana jika terjadinya penurunan titer maka ia menandakan keberhasilan terapi.
Latent membrane protein yang terdapat pada EBV,
mempunyai sifat onkogenik dan menstimulasi pertumbuhan jaringan (Nutting et al., 2009). Pada pemeriksaan serologi, peningkatan titer IgG dan IgA EBV mempunyai hubungan rapat dengan kejadian Undifferentiated Carcinoma dan Nonkeratinizing Carcinoma nasofaring. Sebaliknya Squamous Cell Carcinoma mempunyai hasil serologi seperti populasi normal (Pathmanathan et al., 1995).
2.6.6. Sitologi Biopsi Jarum Halus SIBAJAH melibatkan aspirasi sel dari massa tumor, diikuti dengan pembuatan hapusan sel dan pemeriksaan secara sitologi (Kumar et al., 2007). Teknik ini selalu digunakan pada lesi tumor yang dapat dipalpasi pada pemeriksaan fisik. Penggunaan alat-alat radiologi canggih membolehkan aspirasi dilakukan pada struktur-struktur yang lebih dalam seperti hati, pankreas, dan KGB panggul (Kumar et al., 2007). Teknik ini mempunyai spesifisitas antara 94% hingga 100% dan sensitivitas antara 92% hingga 98%. Selain itu, SIBAJAH merupakan cara yang paling akurat untuk mendiagnosis tipe keganasan jenis epitel, dengan akurasi yang hampir 100% (Medina, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
18
Jika pada sitologi KGB dijumpai adanya Squamous Cell Carcinoma dan pada pemeriksaan routine THT dan kulit menunjukkan hasil yang negatif maka haruslah dilakukan panendoscopy di bawah anastesi umum untuk memeriksa lapisan mukosa pada aerodigestive tract bagian atas (Balm et al., 2010). Jika biopsi pada servikal adenopati menunjukkan hasil Large Cell Undifferentiated Carcinoma maka ada kemungkinan terdapat lesi primer tipe Squamous Cell Carcinoma di kepala dan leher atau adanya adenokarsinoma (Balm et al., 2010). Keganasan tipe karsinoma sel skuamousa adalah yang terbanyak pada daerah kepala dan leher. Pada pengambilan sampel secara ‘SIBAJAH’, cairan yang diaspirasi mempunyai konsistensi yang sama seperti pus tetapi lebih jernih, kekuningan dan mukoid. Tipe keganasan ini mempunyai karateristik yang tersendiri pada pemeriksaan SIBAJAH, yaitu: (Klijanienko, 2005) •
Disusun secara sangat rapat
•
Bersifat globoid
•
Sel abnormal berkeratin tanpa inti
•
Sel berbentuk bizarre
Gambar 2.3 Karsinoma sel skuamosa berkeratin diaspirasi dari KGB leher (Caraway & Katz, 2006) Pada karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, hapusan SIBAJAH yang ditemukan mempunyai sel basaloid kecil yang mirip karsinoma sel basal, pilomatrixoma, sel kistik adenoid karsinoma yang tidak berdiferensiasi, dan sel tumor yang lain seperti limfoma dan melanoma (Klijanienko, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
19
Gambar 2.4 Sel skuamosa yang basaloid dan tidak berkeratin (Klijanienko, 2005) KNF memiliki tanda clinicopathologic yang berbeda dengan sel skuamosa karsinoma kepala dan leher yang lain. KNF dapat dibedakan dari histologi, faktor distribusi geografi, dan faktor keterlibatan infeksi EBV sebagai faktor penyebab. Sebagian dari KNF menunjukkan pola sitologi sel skuamosa tidak berkeratin dan sebagian kecil sel berkeratin. Terdapat proporsi besar KNF yang mempunyai hasil sitologi sel karsinoma tidak berdiferensiasi (Klijanienko, 2005). Kriteria diagnosis pemeriksaan sitologi untuk karsinoma tidak berdiferensiasi KNF telah ditetapkan sebagai berikut: (Klijanienko, 2005) •
Sel ganas yang tidak berdiferensiasi secara tunggal atau berkelompok
•
Jumlah sitoplasma pucat yang bervariasi dan mudah pecah
•
Inti vesikular yang besar dengan nukleoli sentral yang menonjol
•
Latar belakang yang terdiri dari sel limfoid dengan kecenderungan pada sel plasma.
•
Tes ancillary: sel neoplastik yang positif cytokeratin, negatif untuk marker limfosit, adanya EBV associated nuclear antigen
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
20
Gambar 2.5 Hapusan sel skuamosa karsinoma tidak berdiferensiasi dengan inti dan nukleoli yang membesar (Koss & Melamed, 2006) 2.6.7. Basic Aspiration Technique SIBAJAH merupakan suatu teknik di mana aspirasi dilakukan pada massa yang bersifat cair. Sebaliknya pada massa padat, ujung jarum digunakan sebagai pemotong
untuk
mendapatkan
sampel.
Pemotongan
dilakukan
dengan
menggerakkan ujung jarum kemudian dilakukan aspirasi untuk mendapatkan jaringan yang telah terpotong didalam jarum (Ljung, 2006). Pada lesi target yang dapat dipalpasi, langkah – langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: •
Palpasi: Benjolan atau lesi dipalpasi untuk menentukan ukuran dan jarak dari permukaan kulit. Pada lesi yang kecil (Diameter 1cm), sampel harus diambil pada daerah sentral lesi. Sebaliknya, lesi yang besar (diameter >5cm) mempunyai sentral nekrosis dan sampel harus diambil pada bagian perifer. Lesi sedang (diameter 2-4cm), sampel harus diambil dari bagian sentral dan perifer (Ljung, 2006).
•
Imobilisasi: Untuk mendapatkan sampel, benjolan, dan tumor yang ditusuk haruslah tidak bergerak mengikuti jarum. Lesi tersebut harus diimobilisasi pada stroma padat supaya ujung jarum dapat mempenetrasi target. Tumor dengan diameter >3cm dapat dipegang dengan jari telunjuk dan ibu jari. Tumor yang kecil (1-2cm) dapat dipegang dengan lebih efektif oleh jari telunjuk dan jari tengah. Memfiksasi tumor kecil (<1cm) adalah sangat sulit (Ljung, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
21
•
Pemasukan jarum: Setelah lesi difiksasi, dilakukan pemasukan jarum. Tekanan negatif diberikan dengan menarik syringe plunger hingga 1-2mL. Kemudian mempertahankan tekanan negatif tersebut sepanjang proses pengambilan sampel (Ljung, 2006).
•
Prosedur aspirasi: Setelah tekanan negatif diberikan, ujung jarum harus digerakkan ke atas dan ke bawah. Jumlah sampel yang harus diambil cukup untuk membuat dua hapusan slide, hal ini dapat dicapai dengan menggerakkan jarum sebanyak 15 hingga 20 kali (Ljung, 2006).
•
Pengeluaran jarum: Selepas pengambilan sampel, tekanan negatif harus dihentikan sebelum jarum dikeluarkan. Hal ini untuk menghindari masuknya sampel ke dalam barrel syringe yang sulit untuk dikeluarkan. Setelah jarum dikeluarkan, ujung jarum dikeluarkan dari syringe lalu plunger ditarik ke belakang. Kemudian masukkan ujung jarum kembali pada syringe lalu dorong plunger dan semprotkan sampel pada slide kaca (Ljung, 2006).
2.7.
Histopatologi Semua tumor terbentuk dari parenkim yang terdiri dari sel neoplastik dan
stroma non-Neoplastik yaitu jaringan ikat, pembuluh darah, dan sel inflamasi yang dihasilkan oleh tubuh (Kumar et al., 2007). Menurut WHO, kanker nasofaring dibagikan kepada 3 tipe yaitu: (Longo et al., 2012)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
22
Tipe I: Karsinoma sel skuamosa berkeratin
Gambar 2.6 Karsinoma sel skuamosa berkeratin pada nasofaring (Barnes, 2009) Tipe II: Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin
Gambar 2.7 Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin pada nasofaring (Wenig & Richardson, 2009)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
23
Tipe III: Karsinoma tidak berdiferensiasi
Gambar 2.8 Karsinoma tidak berdiferensiasi pada nasoafaring (Barnes, 2009) Klasifikasi ini berdasarkan pada pemeriksaan sel tumor di bawah mikroskop cahaya. Sel tumor karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin mempunyai susunan stratified atau pavement dengan setiap sel tumor tersusun dengan batas yang jelas. Pada karsinoma tidak berdiferensiasi, batas antara sel tidak jelas dan susunan sel – sel berupa syncytia atau seperti sheet. Inti sel juga berbentuk vesikular dengan nukleoli yang menonjol (Pathmanathan et al., 1995).
Jenis karsinoma tidak
berdiferensiasi dan karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin mempunyai infiltrasi sel – sel limfosit yang nyata. Selain itu, kedua tipe karsinoma ini mempunyai hubungan dengan infeksi EBV (Pathmanathan et al., 1995; Longo et al., 2012). Akan tetapi, pembagian ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada tipe-tipe kanker yang ditemui secara klinis. Tentunya ini merupakan suatu kesulitan bagi pihak Patologi karena biopsi yang ditemui mungkin bersifat campuran di antara ketiga-tiga tipe tersebut (Wei, 2006). Karsinoma tidak berdiferensiasi mempunyai prognosis
yang
lebih jelek berbanding
dengan
karsinoma
berdiferensiasi (Longo et al., 2012). Kendala ini memicu WHO untuk membuat sistem klasifikasi, di mana kanker nasofaring hanya dibagikan kepada dua yaitu sel skuamosa karsinoma berkeratin atau karsinoma tidak berkeratin dengan subdivisi
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
24
differentiated dan undifferentiated pada Nonkeratinizing Carcinoma (Chan et al., 2005).
Gambar 2.9 Sel skuamosa tidak berkeratin tipe differentiated pada nasofaring (Wenig & Richardson, 2009)
Gambar 2.10 Sel skuamosa tidak berkeratin tipe undifferentiated pada nasaofaring (Wenig & Richardson, 2009)
Tipe karsinoma tidak berdiferensiasi sering dijumpai pada masyarakat Chinese yang tinggal di China selatan dan Hong Kong. Sebaliknya, tipe differentiated keratinizing squamous cell carcinoma mempunyai kelompok
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
25
berisiko yang hampir sama dengan keganasan kepala dan leher yang lain (Conbridge & Steventon, 2006). Pada penelitian di Hong Kong, sebanyak 99,7% Karsinoma Nasofaring ditemukan sebagai undifferentiated atau nonkeratinizing karsinoma (Lee et al., 1997).
Klasifikasi TNM American Joint Committee on Cancer 2002
2.8.
Klasifikasi TNM metastasis nodus limfe regional pada tumor nasofaring mempunyai klasifikasi yang berbeda dengan tumor kepala dan leher (Probst et al., 2006).
Tabel 2.3. Tumor Primer Tis T1 T2 T3 T4
Tabel 2.4. N0 N1 N2 N3 N3a N3b
Definisi TNM pada kanker nasofaring (Longo et al., 2012) Kelompok berdasarkan stadium Karsinoma in situ Tumor masih di dalam nasofaring Tumor berekstensi ke jaringan lunak parafaring Tumor melibatkan struktur tulang basis kranii dan/atau sinus paranasal Tumor dengan ekstensi intrakranial dan/atau melibatkan saraf kranial, infratemporal fossa, hipofaring, orbit, atau ruangan masticator
Nodus Limfe Regional (N) (Longo et al., 2012) Tidak ada metastasis nodus limfe regional Metastasis satu atau lebih nodus limfe secara unilateral, ≤6 cm pada dimensi terpanjang, masih di atas supraclavicular fossa Metastasis satu atau lebih nodus limfe secara bilateral, ≤6 cm pada dimensi terpanjang, masih di atas supraclavicular fossa Metastasis satu atau lebih nodus limfe, >6 cm dan/atau pada supraclavicular fossa Panjang dimensi melebihi 6 cm Ekstensi ke supraclavicular fossa
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
26
Tabel 2.5. Stage O Stage I Stage II
Stage III
Stage IVA Stage IVB Stage IVC
Kelompok prognostik: Nasofaring (Longo et al., 2012) Tis T1 T1 T2 T1 T2 T3 T4 Any T Any T
N0 N0 N1 N0-N1 N2 N2 N0-N2 N0-N2 N3 Any N
M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara