BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jarak dan Minyak Jarak Ada beberapa jenis jarak yang ditanam di Indonesia, semuanya dari keluarga Eyhorbiaceae, yaitu jarak kaliki/kastor (Ricimus communis), jarak pagar (Jatropha Curcas), jarak gurita (Jatropha Multifida), dan jarak landi (Jatropha Gossypifolia). Secara ekonomi, tanaman jarak pagar dapat dimanfaatkan seluruh bagiannya, mulai dari daun, buah, kulit batang, getah dan batangnya. Daun bisa diekstraksi menjadi bahan pakan ulat sutera dan obat-obatan herbal, kulit batang juga bisa diekstraksi menjadi tannin atau sekedar dijadikan bahan bakar lokal untuk kemudian menghasilkan pupuk. Bagian getah bisa diekstraksi menjadi bahan bakar. Potensi terbesar jarak pagar ada pada buah yang terdiri biji dan cangkang (kulit). Pada biji terdapat inti biji dan kulit biji. Setelah melalui proses pemerahan, dari inti biji akan dihasilkan bungkil perahan, yang kemudian diekstraksi. Hasilnya berupa minyak jarak pagar dan bungkil ekstraksi. Bungkil ekstraksi bisa menghasilkan pupuk dan sebagai bahan dasar pembangkitan biogas yang produk akhirnya berupa biogas pengganti minyak tanah, serta ekstoksifikasi
yang hasil
akhirnya berupa pakan lemak. Sementara itu kulit biji jarak pagar bisa menghasilkan bahan bakar lokal dan pupuk. Jarak pagar merupakan tanaman semak yang tumbuh cepat dengan ketinggian mencapai 3 – 5 m. Tanaman ini tahan kekeringan dan dapat tumbuh ditempat bercurah hujan 200 milimeter per tahun hingga 1500 milimeter per tahun. Jarak pagar hampir tidak memiliki hama karena sebagian besar bagian tubuhnya beracun. Tanaman ini mulai berbuah setelah berusia lima bulan dan mencapai produktifitas penuh setelah 5 tahun. Biji jarak pagar rata-rata berukuran 18 x 11 x 9 mm, berat 0,62 gram, dan terdiri atas 58,1 % biji inti berupa daging (kernel) dan 41,9 % kulit. Kulit hanya mengandung 0,8 % ekstrak eter. Kadar minyak (trigliserida) dalam inti biji ekuivalen
Universitas Sumatera Utara
dengan 55 % atau 33 % berat total biji. Produktivitas per pohon jarak mencapai 2 – 2,5 kg biji kering. Dalam 1 ha lahan dengan 2000 batang pohon, akan menghasilkan 4 – 5 ton biji kering dalam setahun. Satu ton biji kering akan menghasilkan 200 – 300 liter minyak jarak. Sehingga 1 ha lahan akan menghasilkan 1000 – 1500 liter minyak jarak. (Budi, 2001) Minyak jarak pagar berwujud cairan bening berwarna kuning
dan tidak
menjadi keruh meski disimpan dalam waktu lama. Komposisi proksimat bungkil bebas minyak terdiri dari 12,9 % air, 10,1 % abu, 45,1 % protein kasar, 31,9% serat kasar dan bahan organik tak bernitrogen. Jarak pagar mengandung kurang lebih 80 % daging buah dan 20 % buah yang dilapisi kulit yang tipis. Warna biji adalah putih diwaktu masih muda dan berwarna coklat setelah buah menjadi matang. Detail buah adalah kulit luar (epicarplum), daging buah (mesocarpium), cangkang kulit biji (spermodosis), inti biji jarak (endocarpium). Struktur kimia minyak jarak dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini.
Gambar 2.1. Struktur Minyak Jarak
Universitas Sumatera Utara
Asam lemak penyusun minyak jarak pagar terdiri atas 22,7 % asam jenuh dan 77,3 % asam tak jenuh. Kadar minyak dalam biji sekitar 40 – 60 %. Minyak jarak pagar adalah minyak semi padat yang mempunyai komposisi tetap. Minyak jarak (Ricinus Communis) adalah cairan yang tidak berwarna sampai dengan berwarna kuning pucat dengan bau dan rasa yang sangat ringan bahkan kadang-kadang cenderung tidak sama sekali. Minyak jarak mempunyai titik didih 313oC dan densitas 961 kg/m3. Minyak jarak dan turunnya digunakan dalam pembuatan sabun, pelumas, minyak hidrolik dan minyak rem, cat, pewarna, pelapis, tinta, plastik, wax, farmasi, parfum dll. Jenis dan kadar asam lemak minyak jarak dapat dilihat pada Table 2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1. Jenis dan Kadar asam lemak yang terkandung dalam minyak jarak. No
Jenis Asam lemak
Kadar asam lemak, %
1
Asam Ricinoleic
85-95
2
Asam Oleat
2-6
3
Asam Linoleat
1-5
4
Asam Linolenic
0,5-1
5
Asam Stearat
0,5-1
6
Asam Palmitat
0,5-1
Sumber : Budi, 2001
Minyak adalah sumber asam ricinoleic, sebuah monounsaturated, 18-carbon asam lemak. Diantara asam lemak, asam
ricinoleic acid tidak biasa karena
mempunyai gugus fungsional hidroksil pada karbon ke 12. Gugus Fungsional ini telah menyebabkannya lebih polar dibadningkan dengan lemak lainnya. Reaktifitas kimia gugus alkohol juga menyebabkan derivatisasi kimia yang tidak mungkin dengan kebanyakan minyak lainnya. Dikarenakan kandungan asam ricinoleic, minyak jarak adalah bahan baku kimia yang berharga dan memiliki harga yang lebih mahal
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan minyak biji lainnya. Minyak jarak digunakan sebagai bahan poliol didalam industri poliuretan. Fungsionaliti rata-ratanya (jumlah gugus hidroksil per molekul trigleserida) adalah 2,7, sehingga sering digunakan sebagai poliol rigid.
2.2. Sintesa Poliol Poliol dapat dihasilkan dari minyak-minyak nabati, yaitu dari minyak kelapa sawit, minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak kelapa, minyak jarak, dll. Dengan kandungan trigliserida dan asam lemak tidak jenuh, minyak jarak dapat diubah menjadi poliol melalui proses-proses epoksidasi dan hidroksilasi, (Budi, 2001).
2.2.1. Proses Epoksidasi dan Hidroksilasi Dalam terminologi poliuretan, istilah poliol meliputi semua komponen yang mengandung gugus hidroksil, termasuk diantaranya adalah senyawa polihidroksi trigliserida alam. Polihidroksi trigliserida dibuat melalui epoksidasi minyak diikuti dengan pembukaan cincin epoksida oleh air atau donor hidrogen lain seperti alkohol dan amina. Proses sintesis ini disebut juga dengan proses hidroksilasi. Epoksidasi adalah reaksi oksidasi ikatan rangkap oleh oksigen aktif membentuk senyawa epoksida, dimana reaksi khas dari epoksida ini adalah reaksi pembukaan cincin yang dapat berlangsung dalam suasana asam maupun basa. Pada reaksi epoksida ini yang paling berpengaruh adalah suhu reaksi, bilangan iodin, bilangan hidroksil dan persen oksiran. Epoksidasi trigliserida dan ester akan menghasilkan suatu produk penting dalam industri. Ester yanag dihasilkan dari reaksi epoksidasi mempunyai densitas yang tinggi, volatilitas yang rendah dan lebih tahan terhadap proses oksidasi daripada ester yang tidak diepoksidasi. Salah satu hasil epoksidasi trigliserida dan ester adalah bahan baku pembuatan plastik dan aditif serta bahan baku pipa PVC (poly vinil klorida), (Budi, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Proses hidroksilasi merupakan proses pembentukan gugus hidroksil dengan membuka ikatan rangkap yang terdapat pada gliserida asam lemak tidak jenuh pada minyak jarak. Gugus –OH sangat berperan dalam pembentukan karakteristik poliol yang dihasilkan. Proses hidroksilasi ini merupakan lanjutan dari proses epoksidasi. Pada umumnya epoksidasi menggunakan hidrogen peroksida sebagai pereaksi. Sifat hidrogen peroksida sebagai oksidator tidak cukup kuat sehingga biasanya ditransformasi ke bentuk yang lebih aktif. Asam peroksida yang dibentuk dari reaksi hidrogen peroksida dengan asam alifatis rendah (asam formiat dan asam asetat) merupakan bentuk yang reaktif. Asam peroksida dapat bereaksi sangat cepat dengan senyawa tidak jenuh. Pada suhu 40oC, laju pembentukan asam peroksi formiat (dari H 2 O 2 dan CHOOH) dengan katalis H 2 SO 4 ). Sifat asam formiat yang kuat dapat juga membuka cincin oksiran untuk menghasilkan senyawa turunan hidroksi-formoksi. Dengan adanya air akan terbentuk senyawa dihidroksi asam formiat. Proses hidroksilasi asam oleat dengan hidrogen peroksida dan asam formiat pada suhu 40oC menggunakan perbandingan H 2 O 2 dan HCOOH 1 : 14 mol, (Budi, 2001).
2.2.2. Asam Peroksi Formiat Asam peroksi formiat merupakan suatu oksidator yang digunakan pada proses epoksidasi minyak-minyak nabati. Asam peroksi formiat merupakan produk yang diperoleh dengan mereaksikan asam dengan hidrogen peroksida. Asam peroksi formiat pada dasarnya disebut sebagai zat organik yang berasal dari komponen peroksida dan pada suhu 110oC dapat meledak. Untuk mencegah ledakan biasanya dibuat dan disimpan pada keadaan cair. Asam sering digunakan sebagai oxidizer pada sintesa organik dan sebagai katalis atu resin epoksi awal. Sebagai komponen peroksida organik, asam peroksi formiat dalam mengalami proses epoksidasi, oksidasi, hidroksilasi dan reduksi. Komponen peroksida organik ini merupakan bahan pengoksidasi yang sangat kuat dalam melepaskan oksigen. Penggunaannya secara luas berupa katalis, inisiator, dan bahan crosslinking untuk
Universitas Sumatera Utara
proses polimerisasi pada industri pembuatan plastik dan sebagai bahan kimia intermediet, bahan pembantu proses bleaching, drying dan cleaning.
2.2.3. Poliol Poliol merupakan polimer yang mempunyai komposisi berat, fungsionalitas dan berat molekul yang sangat bervariasi. Berat molekulnya dari 250 – 8000 dan fungsionalitas hidroksil dari 1-8. Karakteristik-karakteristik penting dari poliol yang berkaitan dengan aplikasi untuk poliuretan adalah fungsionalitas hidroksilnya dan distribusinya, berat ekuivalen hidroksil, komposisi rantai polimer dan struktur gugus hidroksil. Sifat-sifat spesifik poliol dapat diperoleh dengan sintesa secara langsung atau pencampuran poliol yang berbeda tipe, reaktivitas, berat molekulnya dan fungsionalitasnya. Ada dua kelompok poliol yang dapat digunakan dalam pembuatan poliuretan, yaitu polieter poliol dan poliester poliol. Sekitar 90 % dari poliol yang digunakn untuk pembuatan poliuretan adalah polieter poliol dengan gugus hidroksil di ujung. Dominasi ini disebabkan oleh keanekaragaman struktur, biaya, performance produk dan kemudahan penanganan poliol tersebut (Budi, 2001).
2.2.4. Polieter Poliol Polieter Poliol (PEP) biasanya merupakan propilen oksida atau etilen oksida kopolimer. PEP dibagi menjadi dua jenis, yaitu yang memiliki berat molekul tinggi, linear atau bercabang dengan rata-rata fungsionalitas hidroksil 2 – 3 dan berat molekul 1000 – 8000, yang kedua yaitu memiliki berat molekul yang rendah, bercabang dengan rata-rata fungsionalitas hidroksil 3 – 7 dan berat molekul 250 – 1000. Adapun karateristik dari polieter poliol dapat dilihat pada Tabel 2.2 dibawah ini :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Karakteristik polieter poliol No
Karakteristik
Berat molekul Tinggi
Berat molekul Rendah
1
Rantai molekul
Lurus
Bercabang
2
Fungsionalitas hidroksil rata-rata
2-3
3–7
3
Berat Molekul
1000 - 8000
250 – 1000
4
Aplikasi
Fleksibel
Rigid/kaku
Sumber : Budi, 2001
2.2.5. Poliester Poliol (PESP) Poliester poliol (PESP) merupakan senyawa kimia yang memiliki variasi berat molekul, komposisi, reaktivitas dan fungsionalitas hidroksil. Karakteristik yang umum dari poliester poliol adalah unit ester yang berulang, dimana unit tersebut dapat berupa aromatik dan alifatik dan merupakan terminal primer atau kelompok hidroksil sekunder. Penggunaan PESP biasanya pada aplikasi poliuretan, tetapi mereka merupakan komponen kondensasi termoplastik polimer atau komponen reaksi polimer seperti epoksi dan resin poliester tak jenuh. PESP dibagi menjadi dua katagori bila didasarkan pada aromatik dan alifatik jenuh dan kebanyakan berbentuk linear dan berat molekulnya 2000 – 4000. Digunakan untuk membentuk senyawa dengan tingkat kemurnian tinggi dan biasanya jenis ini biaya pembuatannya mahal dan sulit ditangani (karena memiliki viskositas yang tinggi). Katagori kedua terdiri dari jenis PESP yang memiliki berat molekul rendah yang didasarkan pada pendayagunaan atau material mentah yang tidak bagus seperti etilen terefalat atau dimetil terefalat bagian dasar distilasi. PESP jenis ini memiliki kombinasi yang unik dari segi biaya dan karakteristik kelembaman dan dapat menjadi zat atau bahan yang sangat diperlukan pada pembuatan busa kaku, (Budi, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Poliueretan Poliuetan dihasilkan dengan mereaksikan polyol dan isocianate dengan kehadiran blowing
agent
dan
aditif.
Isocianate
yang
umum
digunakan
adalah
diphenylmethylene diisocyanates (MDI) and toluene diisocyanates (TDI). Sekarang ini, sumber penghasil poliol adalah bahan berasas minyak bumi. Dengan menurunnya cadangan minyak bumi, sangatlah penting untuk mencari bahan yang dapat diperbaharui
untuk
menghasilkan
poliol
dengan
karakteristik
yang
dapat
dibandingkan dengan karakteristik poliol berasas minyak bumi. Bahan-bahan yang berasal dari minyak/lemak dipandang sebagai salah satu bahan alternative dan memberikan daya tarik tersendiri. (Siwayanan et al., 2002) Blowing agent yang biasa digunakan adalah chlorofluorocarbons (CFC’s). Bagaimanapun juga efek racun CFC’s terhadap lapisan ozon telah menyebabkan pencarian terhadap jenis blowing agent yang lain. Sehingga air sebagai sebuah blowing agent dianggap sebagai jawaban, karena tidak akan memberikan efek terhadap pengrusakan lingkungan dan harganya murah. Blowing agent digunakan untuk menciptakan gelembung-gelembung gas didalam proses polimerisasi antara polyols dan isocyanate. Aditif ditambahkan untuk mengontrol dan memodifikasi reaksi poliuretana itu sendiri dan juga sifat akhir polimer. Aditif ini termasuk katalis, chain extenders, cross-linking agent, surface active materials dan flame retardants. Katalysts mengontrol pembusaan dan laju curing dan menjadikan pembuatan poliueratan pada laju ekonomis. Katalis yang paling sering digunakan adalah tertiary amines dan senyawa organometalic compounds. Chain extenders/cross-linkers adalah molekul kecil diols atau diamines yang memperpanjang segment rigid dan juga densitas rantai hydrogen poliuetan. Yang paling sering digunakan adalah diethanolamines (DEA), triethanolamines
(TEA),
aminoethy-lethanolamine
dan
glycerol.
Surfactants
memainkan peran yang kompleks dan multifungsi dalam pembentukan PU, seperti mengontrol ukuran dari sel, struktur dan stabilitas strukturnya. Surfaktan nonionic
Universitas Sumatera Utara
organosilicone-polyether sangat banyak digunakan. Flame retardants adalah additive yang menghalangi ignisani polimer lebih susah dan mengurangi laju pembakarannya. Yang paling sering digunakan adalah turunan organic halogen, senyawa phosphorous, antimony trioxide dan aluminium trihydrate. (Siwayanan et al., 2002) Struktur dan karakteristik PU yang unik umumnya disebabkan karena tiga reaksi penting dari isosianat dengan poliol, isosianat dengan air dan isocianate dengan amina.
Reaksi 1:
Reaksi 2:
Reaksi 3:
Universitas Sumatera Utara
Reaksi pertama adalah reaksi dasar untuk pembentukan kelompok uretan dan dapat dikatakan sebagai reaksi propogasi rantai. Reaksi kedua adalah pembentukan uretan polimer. Isosianat bereaksi dengan air untuk membentuk asam karbamik yang tidak stabil yang akan terdekomposisi menjadi amina dan karbon dioksida. Karbon dioksida yang dihasilkan dijebak didalam jaringan polimer yang menghasilkan pembentukan gelembung-gelembung pada sel, yang akan memberikan busa poliuretan. Isosianat juga bereaksi dengan amina primer atau sekunder untuk membentuk urea tersubstitusi (reaksi 3). (Tan and Ahmad, 2001). Salah satu dari sifat poliuretan yang paling diinginkan adalah kemampuannya membentuk busa. Kemampuan ini membutuhkan pemebentukan gas pada saat yang sama dengan terjadingya polimerisasi uertan. Gas yang terbentuk dapat berupa karbon dioksida, baik yang dihasilkan dengan merekasikan isosianat dengan air maupun dengan menambahkan gas atau dihasilkan dengan mendidihkan cairan yang volatil. Reaksinya dapat dilihat dibawah ini.
Gas Karbon dioksida dihasilkan oleh reaksi air dan isosianat
Reaksi menghasilkan karbon dioksida melibatkan air yang direaksikan dengan isosianat untuk membentuk asam karbamat yang tidak stabil pada langkah pertama, yang selanjutnya terdekomposisi menjadi karbon dioksida dan amina. Amina bereaksi lebih lanjut dengan lebih banyak lagi isosianat untuk membentuk urea tersubstitusi. Air mempunyai berat molekul yang sangat rendah, sehingga meskipun persen berat air mungkin kecil namun proporsi molar air mungkin tinggi dan banyak jumlah urea
Universitas Sumatera Utara
yang terbentuk. Urea tidak terlalu larut dalam campuran reaksi dan cenderung membentuk fase segmen keras terpisah yang mengandung sebagian besar poliurea. Konsentrasi dan pengaturan dari poliurea dapat mempunyai dampak yang
jelas
terhadap sifat busa poliueretan 2.3.1. Poliueratan Termoplastik Poliueretan termoplastik adalah golongan plastik poliuretan dengan banyak sifat yang berguna, termasuk elastis, transparan, dan tahan terhadap minyak, gemuk dan abrasi. Secara teknis merupakan elastomer termoplastik yang terdiri dari blok kopolimer linear tersegmentasi yang terdiri dari segmen keras dan lembut. Poliueretan termoplastik dibentuk dengan reaksi pertama yaitu diisosianat dengan rantai pendek diol (disebut chain extenders) dan kedua reaksi diisosianat dengan rantai panjang diol. Secara parktis tidak tidak terbatas kemungkinan untuk kombinasi dengan memvariasikan struktur dan berat molekul dari tiga senyawa reaksi menyebabkan variasi produk yang sangat banyak dapat terjadi. Resin akhir mengandung rantai polimer linear didalam struktur blok. Rantai tersebut mengandung segmen polaritas rendah yang agak panjang (disebut dengan segmen lembut), dan segmen polaritas tinggi yang pendek (disebut dengan segmen keras). Kedua tipe segmen tersebut dihubungkan bersama dengan ikatan kovalen sehingga membentuk blok kopolimer. Polaritas dari bagian keras menciptakan atraksi kuat antara mereka yang menyebabkan agregrasi derajat tinggi dan teartur pada fase ini, yang membentuk area cristalin atau psedo kristalin yang berlokasi didalam matrik lembut dan fleksibel. Hal ini disebut dengan separasi fase antara kedua blok yang dapat dianggap penting atau tidak, tergantung pada polaritas dan berat molekul rantai fleksibel, kondisi produksi, dll. Area kristalin atau psedo kristalin bersifat sebagai cross-link fisikal yang dihitung sebagai derajat elastisitas tinggi dari termoplastik poliuretan, dimana rantai fleksibel akan memberikan sifat elongasi kepada polimer. Termoplastik poliuertan mempunyai banyak aplikasi termasuk panel instrumen
Universitas Sumatera Utara
atutomotive, alat-alat daya, alat-alat olahraga, alat-alat kesehatan, sepatu, film, alatalat eloktronika seperti telepon genggam, dll.
2.3.2. Methylene Diphenyl Diisocyanate (MDI) Isosianat yang digunakan untuk menghasilkan poliuretan harus memiliki dua atau lebih gugus isosianat pada masing-masing molekulnya. Isosianat yang umum digunakan adalah aromatic diisocyantes, toluene diisocyanate (TDI) and methylene diphenyl diisocyanate (MDI). TDI and MDI
lebih murah dan lebih reaktif
dibandingkan isosianat yang lain. TDI and MDI dengan grade industri adalah campuran isomer dan MDI sering mengandung bahan polimerik. MDI dan TID dugunakan untuk membuat busa fleksibel (untuk membuat busa slabstock untukk kasur atau busa untuk kursi mobil), busa rigid (untuk busa insulasi untuk lemari pendingin/refrigerator), elastomer (untuk tapak sepatu), dll. Isosianat dapat dimodifikasi dengan meraksikannya sebagian dengan poliol atau mencampurkan dengan beberapa bahan lain untuk mengurangi volatilitas poliuretan (meningkatkan toksisitasnya), mengurangi poin freezing untuk membuat penanganannya lebih mudah atau untuk meningkatkan sifat akhir polimer. Struktur dari isosianat dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Formula Molekular MDI adalah C 15 H 10 N 2 O 2 , berbentuk padatan berwarna putih atau kuning pucat. MDI mempunyai densitas 1,230 g/cm3, mempunyai titik leleh pada suhu 30oC dan titik didih pada suhu 314oC. MDI lebih kurang berbahaya dibandingkan dengan golongan isosianat yang lainnya. Tekanan uapnya yang sangat rendah mengurangi bahayanya selama penanganan dibandingkan dengan TDI dan HDI. Tetapi sebagaimana layaknya isosianat yang lain, MDI adalah pemicu alergi dan sensitif.
2.4. Pati Polimer Biodegradable Alami Polimer biodegradable adalah bidang yang masih baru. Sejumlah polimer biodegradable telah disintesa baru-baru ini dan beberapa mikroorganisme dan enzim yang mampu untuk menguraikannya telah diidentifikasi. Pada negara yang sedang berkembang, polusi lingkungan oleh polimer sintetik telah menjadi berbahaya. Sehingga usaha telah dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini yaitu memodifikasi struktur polimer yang digunakan setiap hari sehingga dapat diuraikan. Biodegradasi adalah sebuah proses alami dimana bahan-bahan kimia organik didalam lingkungan diubah menjadi senyawa yang lebih sederhana, dimineralisasi dan didistribusikan kembali melalui lingkaran elemen seperti karbon, nitogen dan sulphur. Biodegradasi hanya dapat terjadi didalam biosphere dimana mikroorganisme memainkan peranan utama didalam proses biodegradasi. Biopolimer adalah polimer yang terbentuk didalam alam selama lingkaran pertumbuhan semua organisme, sehingga disebut dengan polimer alami. Sintesanya melibatkan katalisa enzim, reaksi pertumbuhan rantai polimerisasi dari monomer aktif, yang biasanya terbentuk didalam sel oleh proses metabolik kompleks. (R Chandra and R. Rustgi, 1998) Untuk aplikasi bahan, perhatian sering ditujukan terhadap polisakarida yaitu selulosa dan pati, tetapi selain itu juga pada polimer karbohidrat komplek yang dihasilkan oleh bakteria dan fungi, terutama polisakarida seperti xanthan, curdlan,
Universitas Sumatera Utara
pullulan dan asam hyaluronik. Polimer terakhir ini mengandung lebih satu jenis unit karbohidrat, dan pada banyak kasus polimer ini secara teratur diatur struktur rantainya. Pati adalah kombinasi fisikal dari polimer bercabang (amilopektin) dan dan linear (amilase), tetapi hanya mengandung satu jenis karbohidrat yaitu glukosa. Salah satu hasil perkebunan yang banyak terdapat di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah Sagu. Batang sagu merupakan gudang penyimpanan pati atau karbohidrat, yang lingkup pemanfaatannya dalam industri sangat luas, seperti industri pangan, pakan, alkohol, dan bermacam-macam industri kimia lainnya (Haryanto dan Pangloli, 1992). Pati sagu mengandung sekitar 27% amilosa dan 73% amilopektin (Haryanto dan Pangloli, 1992). Untuk lebih meningkatkan nilai ekonomi dari batang sagu, pati sagu dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan plastik biodegradable. Selulosa dan pati terbentuk dari ratusan ribu unit berulang d-glucopyranoside. Unit-unit ini dihubungkan bersama-sama oleh ikatan asetal yang terbentuk antara karbon atom hemiasetal, C1 dari struktur siklik glukosa dalam satu unit dan sebuah gugus hidroksil pada atom C3 (untuk selulosa dan amilase) atau C6 (untuk unit cabang pada amilopektin) pada unit yang berdekatan. Jenis struktur ini terjadi karena didalam larutan aqeous. Glukosa dapat hadir baik didalam bentuk aldehid asiklik maupun hemisetal siklik, dimana bentuk yang terakhir adalah struktur yang dimasukkan kedalam polisakarida. Bentuk siklik juga dapat hadir sebagai satu dari dua isomer, isomer-a dengan gugus OH aksial pada cincin atau isomer-b dengan gugus OH equatorial. Pada pati, cincin glucopyranoside hadir dalam bentuk a sementara didalam selulosa unit berulang hadir dalam bentuk b. Karena perbedaan ini, enzim yang mengkatalis reaksi hidrolisa setal selama biodegradasi dari masingmasing kedua sakarida ini adalah berbeda dan tidak dapat dipertukarkan. Gambar Struktur beberapa polisakarida dapat dilihat dibawah ini. (R Chandra and R. Rustgi, 1998)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Gambar struktur beberapa polisakarida
Table 2.3 menunjukkan berbagai bentuk granula berbagai jenis pati, sedangkan ringkasan perbedaan antara amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Tabel 2.4 dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Bentuk granula berbagai jenis pati Rasio Sumber Diameter amilosa/ Bentuk granula pati (μm) amilopektin Jagung 3-26 26/74 Bulat, poligonal Kentang 5-100 24/76 Oval, spherical Gandum 2-35 25/75 Bulat, lencular Tapioka 4-35 17/83 Oval, truncated Beras 3-8 17/83 Polygonal,angular Sagu 5-65 25/75 Oval, truncated Ubi Jalar 5-25 18/82 Polygonal Sumber : Swinkels, 1997
Tabel 2.4. Perbedaan antara amilosa dan amilopektin Amilosa Struktur molekul Linier Berat molekul 103 – 10 6 Film Kuat, fleksibel Pola difraksi sinarKristalin X Pembentukan Cepat kompleks Sifat larutan - Konfigurasi Teratur - Stabilitas Cepat teretrogradasi Sumber : Theresia, 2003
Suhu gelatinisasi 62-72 58-68 58-64 59-69 68-78 60-72 58-72
Amilopektin Bercabang 10 5 – 106 Kaku Amorf Lambat, sukar
Tidak teratur Lambat teretrogradasi
2.5 . Karakteristik Pati Karakteristik pati tidak hanya dapat dipelajari dari ukuran dan bentuk granula tetapi dapat juga dilihat dari viskositas, faktor retrogradasi dan sifat gelatinisasinya (Schenk dan Hebeda, 1992). Laju retrogradasi dipengaruhi oleh suhu, ukuran, bentuk, dan kepekatan molekul-molekul pati oleh keberadaan bahan lain (Dreher, dkk, 1984). Gelatinisasi mula-mula terjadi pada daerah yang amorf. Perubahan yang paling mudah diamati selama pemanasan suspensi pati adalah kenaikan kejernihan dan kekentalannya. Kekentalan pasta berlanjut meningkat, karena
Universitas Sumatera Utara
penggelembungan granula lebih lanjut. Kenaikan kekentalan ini akhirnya mencapai puncaknya, yaitu pada suhu yang dikenal dengan suhu pembentukan pasta. Kekentalan selanjutnya turun, pada saat terjadi perusakan granula yang terjadi karena pengadukan. Akhirnya keseimbangan tercapai antara granula yang utuh dan pecahan-pecahan granula yang tersebar berupa koloid (Haryadi, 1993). 2.6 . Penggunaan Sagu Sebagai Sumber Pati Tanaman sagu termasuk keluarga Palmae dari genus Metroxylon. Tanaman sagu menyerupai tanaman kelapa dengan ketinggian mencapai 25 m dengan diameter 70-100 cm. Panjang batang yang dapat dipanen mencapai 8-16 m dengan ciri memiliki kulit batang berwarna coklat dan daun berwarna hijau tua seperti terlihat pada gambar 2.2.(Rahayu dkk., 2000). Batang sagu merupakan gudang penyimpanan pati atau karbohidrat, yang lingkup pemanfaatannya dalam industri sangat luas, seperti industri pangan, pakan, alkohol, dan bermacam-macam industri kimia lainnya. Komposisi komponen yang terkandung di dalam pati sagu dapat dilihat pada Tabel 2.5. Secara mikroskopis struktur batang sagu dari arah luar terdiri dari lapisan sisa-sisa pelepah daun, lapisan kulit luar yang tipis dan berwarna kemerah-merahan, lapisan kulit dalam yang keras dan padat berwarna coklat kehitam-hitaman, kemudian lapisan serat dan akhirnya empelur yang mengandung pati dan serat-serat (Haryanto dan Pangloli, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. Batang dan tepung sagu
Tabel 2.5. Komponen makronutrien pati sagu (100 gram) Komponen Kalori (kal) Protein (g) Lemak (%) Karbohidrat (%) Air (%) Natrium (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Fosfat (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B (mg) Sumber : Swinkles, 1997
Pati Sagu 355,00 0,08 0 89,00 11,14 5,50 5,81 1,50 0,02 0 0,01
2.7 . Karakteristik Pati Sagu Pati sagu biasanya terdapat dalam granula yang berbentuk oval atau bulat telur dan beberapa granula terpotong bagian atasnya. Ukuran granula pati sagu berkisar antara 50-60 μ (Rahayu dkk, 2000). Granula-granula tersebut bila dicampur dengan air dingin akan mengalami peristiwa hidrasi reversible, yaitu penyerapan air oleh molekul pati. Tapi bila molekul pati yang dicampur dengan air dingin kemudian
dipanaskan maka akan terjadi gelatinisasi atau
Universitas Sumatera Utara
pembentukan gel (hidrasi reversible). Suhu gelatinisasi pati sagu adalah 6072 o C (Rahayu dkk, 2000). Pati sagu mengandung sekitar 27% amilosa dan 73% amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat pati. Apabila kadar amilosa tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung meresap air lebih banyak dan bersifat lebih higroskopis (Haryanto dan Pangloli, 1992).
2.8. Pati sebagai Biofilm Pati adalah polimer yang berasal dari tanaman. Tumbuhan-tumbuhan utama yang diproduksi menjadi pati adalah jagung, kentang, nasi dan sagu. Dalam semua tumbuhan ini, pati diproduksi didalam bentuk granul (butiran), yang bervariasi ukuran dan komposisinya dari tanaman ke tanaman. Secara umum, polimer linear, amilase membuat sekitar 20 % berat granul, dan polimer bercabang amilopektin adalah sisanya. Amilase adalah kristalin dan dapat mempunyai berat molekular ratarata sehingga 500.000, tetapi dapat larut dalam air mendidih. Amilopketin tidak larut dalam air mendidih, tetapi didalam penggunaannya didalam makanan, kedua jenis ini mudah dihirolisa pada jalur asetal oleh enzim. Jalur 1,4 didalam kedua komponen pati ini diserang oleh amilase dan jalur 1,6 didalam amilopketin diserang oleh glukosidase. Pati telah digunakan sebagai bahan baku pembuatan film dikarenakan harga yang meningkat dan penurunan tersedianya resin pembentukan film konvensional. Film dari pati memiliki permebilitas yang rendah sehingga menarik digunakan sebagai pengemas makanan. Penelitian pada pati termasuk investigasi terhadap kapasitas adsorptif, modifikasi kimia dari molekul, perilakunya dibawah agitasi dan suhu tinggi dan ketahannya terhadap gesekan termomekanikal. Meskipun pati adalah polimer, kestabilannya dibawah tekanan tidak tinggi. Pada suhu diatas 150oC, rantai glukosida mulai pecah dan diatas 250oC butir pati secara endotermal runtuh. Pada suhu rendah, sebuah fenomena yang dikenal sebagai retrogradasi teramati. Ini adalah pengorganisasian kembali ikatan-ikatan hidrogen dan pelurusan rantai molekular
Universitas Sumatera Utara
selama pendinginan. Pada kasus ekstrim dibawah 10oC, pengendapan diamati. Jadi, meskipun pati dapat di dispersikan kedalam air panas dan dicetak sebagai film, fenomena diatas menyebabkan kerapuhan didalam film. (R Chandra and R. Rustgi, 1998) Dalam aplikasinya didalam plastik biodegradable, pati dicampurkan dengan butiran alaminya yang dijaga tetap utuh, atau dilelehkan dan dicampur didalam sebuah level molekular dengan polimer yang sesuai. Didalam kedua bentuk tersebut, fraksi pati didalam campuran yang dapat diakses oleh enzim, dapat didegradasi dengan amilase atau glukosidasae. Molekul pati mempunyai dua gugus fungsional penting, gugus OH yang mudah mengalami reaksi-reaksi pengganti dan ikatan C-O-C yang mudah mengalami rantai terpecah. Gugus Hidroksil dari glukosa mempunyai karakter nukleofilik. Dengan reaksi gugus OH nya, modifikasi dari beberapa sifat dapat diperoleh. Crosslinking atau bridging gugus OH merubah struktur kedalam sebuah jaringan sehingga akan meningkatkan viskositas, mengurangi daya penyimpanan air dan meningkatkan tahanan terhadap geseran termo mekanikal. Pati acetilated mempunyai beberapa keuntungan sebagai fiber struktural atau polimer pembentukan film dibandingkan dengan pati alami. Asetilasi pati adalah reaksi yang sangat dikenal dan sangat mudah disintesa. Pati asetat lebih hidrophobic daripada pati dan telah ditunjukkan mempunyai tahanan terhadap sifat tensile yang lebih baik didalam keadaan aqueous. Keuntungan yang lain adalah pati asetat mempunyai solubilitas yang lebih baik dibandingkan dengan pati dan sangat mudah untuk dicetak menjadi film dari solven yang sederhana. Pati asetat disiapkan dengan asetilasi pati dengan piridin/asetat anhidrida dan dicetak menjadi film dari larutan 90% asam format. Film ini dapat digunakan untuk membran didalam bioreaktor yang kemudian dapat didegradasi dengan penambahan enzim kedalam sistem. Pati telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai aditif untuk plastik dengan berbagai macam tujuan. Pati ditambahkan sebagai filler kepada berbagai macam sistem resin untuk membuat film yang kedap air tetapi tidak kedap uap air. Pati sebagai filler biodegradable didalam LDPE telah dicoba. Polyetilen film yang
Universitas Sumatera Utara
diisi dengan pati menjadi berpori setelah ekstraksi pati. Film yang berpori ini dapat langsung diserbu oleh mikroorganisme dan dengan cepat jenuh dengan oksigen, sehingga meningkatkan degradasi polimer dengan cara biologi dan oksidasi. Kemungkinan mengkombinasikan pati secara kimia atau produk turunan pati dengan resin komersial dimana pati akan bertindak sebagai filler dan agen cross linking mungkin memberikan pendekatan yang layak untuk menggabungkan pati kedalam plastik. Dikarenakan isosianat sangatlah reaktif dengan gugus hidroksil, isosianat dapat digunakan untuk mempersiapkan sejumlah resin reaktif yang akan ber cross link dengan pati. Penambahan pati kepada resin isosianat akan mengurangi biaya dan meningkatkan tahanan pelarut dan memperbaiki sifat-sifatnya. Pati dapat dimodifikasi dengan gugus non polar, seperti asam lemak ester, sebelum reaksi isosianat untuk meningkatkan derajat kereaktifitasnya. Sebuah metode dikembangkan untuk memasukkan pati sebagai filler dan agen crosslinking didalam poliester termodifikasi diisosianat untuk menghasilkan elastomer. Disamping itu pati dapat ditambahkan kedalam sistem uretan untuk menghasilkan foam penyerap. Metodemetode itu menunjukkan bahwa produk pati menyebabkan foam menjadi lebih tahan api dan mudah diserang oleh mikroorganisme tanah. (R Chandra and R. Rustgi, 1998)
2.9 . Polimerisasi Polimerisasi yaitu pembentukan polimer dari monomer-monomernya yang ditentukan oleh jumlah ikatan yang dibentuk monomer pada reaksi, kinetika reaksi (mekanisme rantai atau bertahap), reaksi kimia pembentukan ikatan baru, jumlah dan macam monomer (homopolomer, kopolimer). Polimerisasi bertahap lebih pelan, mudah dikontrol seperti pati kondensasi, melalui pembentukan gel (Hartomo, dkk, 1992). Polimer hasil pertanian mempunyai sifat termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak menjadi film kemasan. Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembentukan film dapat dijelaskan melalui fenomena fase transisi gelas. Pada fase tertentu diantara fase cair
Universitas Sumatera Utara
dengan padat, masa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu dan kondisi lingkungan yang tertentu. Fase transisi gelas biasanya terjadi pada bahan berupa polimer. Sedangkan suhu dimana fase transisi gelas terjadi disebut sebagai titik fase gelas (glassy point). Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dapat dikehendaki seperti film kemasan (Latief, 2001). Sifat fisik polimer ditentukan oleh struktur kimianya. Gerakan rantai polimer bergantung pada kemampuan berotasi disekitar rantai utama, yang ditentukan oleh fleksibilitas dan interaksi rantai. Rantai utama yang terdiri dari ikatan tunggal (jenuh) sangat mudah bergerak sehingga memiliki Tg yang rendah. Kristanilitas juga berpengaruh besar terhadap sifat-sifat fisik dan mekanik polimer. Derajat kristanilitas menunjukkan besarnya daerah kristalin pada suatu polimer. Semakin besar derajat kristal polimer maka sifat mekanik polimer akan bertambah (Mulyati, 2002).
2.10. Plasticizer Plasticizer adalah bahan yang mempunyai titik didih yang tinggi dan biasa digunakan sebagai bahan di dalam pembuatan pernis dan plastik tertentu. Plasticizer bersifat tidak menguap akan tetapi hanya menjaga fleksibilitas dan daya rekat dari selulosa film dari pernis atau fleksibilitas lembar plastik dan film (David, 1982). Plasticizer adalah cairan (kadang-kadang padatan) yang mempunyai titik didih yang ketika dicampur dengan suatu polimer memberikan material suatu sifat yang lebih lembut dan lebih fleksibel (Kumar dan Gupta, 1998). Plasticizer berfungsi pada polimer polar untuk mengurangi ikatan hidrogen. Dalam
seluruh
polimer,
plasticizer
memaksa
rantai
untuk
berpisah,
memberikan kemampuan berpindah yang lebih besar terhadap polimer dan juga untuk mengurangi kekuatan van der walls rantai-rantai. Plastisasi dapat mengurangi interaksi antar polimer, dengan demikian mengurangi kekuatan
Universitas Sumatera Utara
dari struktur dimensi polimer dan mengalami perubahan bentuk tanpa pemutusan (Ritchie, dkk, 1972). Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan plastik biodegradable dapat dilihat dari karakteristik film yang dihasilkan. Karakteristik film yang dapat diuji adalah karakteristik mekanik, permeabilitas dan daya adsorbsi. Karakteristik mekanik suatu film terdiri dari : kuat tarik (tensile strength), kuat tusuk (puncture strength), persen pemanjangan (elongasion to break) dan elastisitas
(elastic/young
modulus).
Parameter-parameter
tersebut
dapat
menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang berkaitan dengan stuktur kimianya (Latief, 2001).
2.11. Sorbitol Sorbitol merupakan pemanis alami yang manisnya hanya setengah kali manis gula tebu. Dikenal sebagai D-sorbitol, D-glucitol dan nama-nama lain sebagai merek dagang. Rumus molekulnya C 6 H 14 O 6 dengan berat molekul 182,17. Sorbitol mudah larut dalam air hingga 83,5% dan juga larut dalam alkohol dingin. Sorbitol selain dipakai sebagai bahan pemanis, juga dipakai sebagai pelemas plastik dan humektan/pengatur kelembaban. Sorbitol mempunyai titik didih 110–120o C (Hart, 1990). Kristal sorbitol mengandung ½ atau 1 molekul H 2 O. Kandungan kalori pangan sorbitol adalah 3,994 kal/mg. Kristal sorbitol meleleh pada suhu sedikit dibawah 100o C, mudah larut dalam air (sampai 83%), dapat juga larut dalam alkohol panas dan sedikit larut dalam alkohol dingin, juga larut dalam methanol, isopropanol, butanol, sikloheksanol, fenol, aseton, asam asetat, dimetilformida, pirin dan asetanida. Praktis tidak larut dalm solven (pelarut) organik yang lain (Sudarmadji, 1989).
Universitas Sumatera Utara
CH2 - CH - CH - CH - CH - CH2
OH OH OH OH OH OH
-
Gambar 2.4. Struktur Sorbitol
2.12. Gliserol Gliserol merupakan polialkohol yang diperoleh sebagai hasil samping pembuatan sabun. Gliserol merupakan cairan kental tidak berwarna, bersifat higroskopis, berasa manis dan larut dalam air dalam segala perbandingan. Menurut Yilmaz, dkk (1998), gliserol adalah plasticizer yang paling biasa digunakan untuk pembuatan pati termoplastik. Hart (1990), juga menyebutkan bahwa gliserol mempunyai titik didih 290ºC. Gliserol mempunyai sifat sebagai penghilang warna dan aroma yang tidak dikehendaki, sebagai pemanis, meningkatkan tekstur menjadi lebih baik, dan sebagai humektan (Bender, 1975). Menurut Peraturan Departemen Kesehatan No.722 /MENKES /PER/ IX/88, gliserol termasuk dalam bahan tambahan makanan yang diizinkan penggunaannya. Sebagai humektan, gliserol berfungsi untuk menyerap uap air yang ada di udara sehingga dapat mempertahankan kadar air di dalam makanan (Anonim, 2000).
CH2 – CH – CH2
OH OH OH
-
Gambar 2.5. Struktur Gliserol
Universitas Sumatera Utara
2.13. Nisbah Pati dengan Air Konsentrasi pati terhadap air akan mempengaruhi kekentalan larutan pembentuk lapisan plastik dan ketebalan dari film yang terbentuk (Paetau, dkk, 1994). Semakin kental larutan pati semakin tebal lapisan film yang terbentuk. Semakin tebal lapisan yang terbentuk menghasilkan lebih banyak gugus hidrofilik yang sangat mudah untuk berinteraksi dengan air (Mali, 2004). Air merupakan faktor yang penting bagi polimer film berbasiskan pati. Air juga dapat berfungsi sebagai plasticizer yang efektif pada pati. Material dengan
kandungan
air
lebih
tinggi
mampu
mengkristal
lebih
cepat
dibandingkan material yang secara keseluruhan mengandung plasticizer yang lebih tinggi (Mali, dkk, 2004). 2.14.
Cross-link (Ikatan Silang)
Cross-link adalah sebuah ikatan yang menghubungkan rantai satu polimer dengan polimer yang lain. Ikatan tersebut dapat berupa ikatan kovalen dan ikatan ionik. Rantai polimer dapat berupa polimer sintetik atau polimer alami. Ketika terminologi cross-link digunakan didalam bidang ilmu polimer sintetis, hal ini biasanya mengarah kepada penggunaan cross-link untuk mempromosikan perbedaan sifat fisik polimer. Ketika cross-link digunakan didalam bidang biologi maka hal ini mengarah kepada penggunaan pemeriksaan untuk menghubungkan protein bersama untuk memeriksa interaksi protein-protein, sebagaimana juga metodologi cross-linking yang lainnya. Ketika cross-link ditambahkan kedalam molekul panjang karet, maka fleksibilitasnya akan menurun, kekuatan dan titik leleh (melting point) akan meningkat. Ketika rantai polimer dihubungkan bersama oleh cross-link, mereka akan kehilangan sebagian dari kemampuannya untuk bergerak sebagaimana rantai polimer individual. Sebagai contoh, sebuah cairan polimer (dimana rantainya mengalir bebas) dapat dirubah menjadi sebuah padatan atau gel oleh cross-linking rantai bersamaan.
Universitas Sumatera Utara
Didalam kimia polimer, ketika sebuah sintetik polimer harus di cross-linking, biasanya hal ini berarti bahwa keseluruhan polimer telah terbuka terhadap metodologi cross-linking. Hasil modifikasi sifat mekanis tergantung pada densitas cross-link. Densitas cross-link yang rendah menurunkan viskoasitas dari leelhan polimer. Densitas intermediet cross-link merubah polimer getah menjadi bahan-bahan yang mempunyai sifat elastomerik dan mempunyai kuat tarik yang tinggi. Densitas crosslink yang sangat tinggi dapat menyebabkan bahan-bahan menjadi sangat rigid atau glassy seperti bahan phenol-formaldehid (http://en.wikipedia.org/wiki/Cross-link). Cross-link dapat terbentuk dengan reaksi kimia yang dapat diinisiasi dengan panas, tekanan, perubahan pH atau radiasi. Sebagai contoh, pencampuran resin yang tidak terpolimerisasi ataupun yang sebagian terpolimerisasi dengan bahan kimia yang spesifik yang disebut dengan reagen crosslinking menghasilkan reaksi kimia yang membentuk cross-link. Cross-linking juga dapat disebabkan didalam bahan-bahan yang termoplastik melalui pencahayaan terhadap sebuah sumber radiasi, seperti elektron-beam, radiasi gamma, atau sinar UV. Sebagai contoh pemrosesan elektron digunakan untuk cross-link tipe C dari cross-linked poliuretan. Cross-link adalah karakteristik sifat bahan-bahan termoplastik. Dalam sebagian besar kasus, cross-lingking adalah tidak dapat balik (irreversibel) dan bahan termosetting yang dihasilkan akan terdegradasi atau terbakar jika dipanaskan tampa meleleh. Terutama jika bahannya adalah plastik komersial, ketika sebuah bahan terjadi cross-link, produk menjadi sangat keras atau tidak dapat direcycle. Didalam beberapa kasus, meskipun ikatan cross-link sangat berbeda secara kimia, dari ikatan pembentuk polimer prosesnya dapat balik (reversibel). Kovalen kimia cross-link yang stabil secara mekanis dan termal, jadi setelah terbentuk sulit untuk terpecah. Oleh karena itu, produk cross-linked seperti ban mobil tidak dapat didaur ulang dengan mudah. Sebuah kelas polimer yang dikenal sebagai elastomer termoplastik mengandalkan fisik cross-link dalam mikro struktur mereka untuk mencapai stabilitas, dan secara luas digunakan dalam aplikasi non-ban, seperti
Universitas Sumatera Utara
trek mobil salju, dan kateter untuk penggunaan medis. Mereka menawarkan berbagai jauh lebih luas daripada sifat cross-linked elastomer konvensional karena domain yang bertindak sebagai cross-link yang reversibel, sehingga dapat direformasi oleh panas. Domain menstabilkan mungkin non-kristalin (seperti dalam stirena-butadiena kopolimer blok) atau kristal seperti Kopoliester termoplastik Polimer sintetis cross-link memiliki banyak kegunaan, termasuk dalam ilmu biologi, seperti aplikasi dalam membentuk gel polyacrylamide untuk gel elektroforesis. Karet sintetis yang digunakan untuk ban dibuat dengan cross-link karet melalui proses vulkanisasi. Juga sebagian artikel karet cross-linked untuk membuat mereka lebih elastis. Kayak Hard-shell juga sering dibuat dengan polimer silang. Cross-link sering diukur dengan percobaan swelling. Sampel cross-link ditempatkan dalam pelarut yang baik pada suhu tertentu, dan perubahan massa atau perubahan volume yang akan diukur. Semakin banyak cross-link, semakin sedikit swelling yang diperoleh . Berdasarkan derajat swelling, Parameter Interaksi Flory (yang menghubungkan interaksi pelarut dengan sampel, dan densitas pelarut, tingkat teoritis cross-link dapat dihitung menurut Teori Flory Jaringan. Dua standar ASTM adalah
umum digunakan
untuk
menggambarkan
tingkat
cross-link
dalam
termoplastik. Dalam ASTM D2765, sampel ditimbang, kemudian ditempatkan dalam pelarut selama 24 jam, ditimbang lagi sementara bengkak, kemudian dikeringkan dan ditimbang berat akhir. Derajat swelling dan bagian terlarut dapat dihitung. Dalam standar ASTM lain F2214, sampel ditempatkan dalam instrumen yang mengukur perubahan tinggi dalam sampel, yang memungkinkan pengguna untuk mengukur perubahan
volume.
Densitas
cross-link
kemudian
dapat
dihitung
(http://en.wikipedia.org/wiki/Cross-link).
2.15.
Plastik
Plastik adalah polimer rantai panjang dari atom yang mengikat satu sama lain. Rantai ini membentuk banyak unit molekul berulang atau "monomer". Istilah plastik mencakup produk polimerisasi sintetik atau semi-sintetik, namun ada beberapa
Universitas Sumatera Utara
polimer alami yang termasuk plastik. Plastik terbentuk dari kondensasi organik atau penambahan polimer dan bisa juga terdiri dari zat lain untuk meningkatkan performa atau nilai ekonomi. Plastik merupakan material yang secara luas dikembangkan dan digunakan sejak abad ke 20 yang berkembang secara luar biasa penggunaannya dari hanya beberapa ratus ton pada tahun 1930-an, menjadi 220 juta ton/tahun pada tahun 2005. Berikut adalah pengelompokan plastik yaitu plastik konvensional dan plastik biodegradabel. 2.15.1. Plastik Konvensional Ratusan juta ton plastik yang digunakan di bumi ini, maka ratusan juta ton juga sampah plastik yang dihasilkan dan menjadi polutan utama dunia. Karena bahan dasar plastik adalah phthalate ester, di(ethylhexyl) phthalate (DEHP) yang bersifat stabil, sukar diuraikan oleh mikroorganisme sehingga kita terus-menerus memerlukan area untuk pembuangan sampah. Makanan yang dikemas dalam bungkus plastik, terdapat migrasi zat-zat monomer dari bahan plastik ke dalam makanan, terutama jika makanan tersebut tidak cocok dengan kemasan atau wadah penyimpannya. Migrasi monomer terjadi karena dipengaruhi oleh suhu makanan atau penyimpanannya (Koswara S, 2006). Plastik mudah terbakar, ancaman terjadinya kebakaran pun semakin meningkat. Asap hasil pembakaran bahan plastik sangat berbahaya karena mengandung gas-gas beracun seperti hidrogen sianida (HCN) dan karbon monoksida (CO). Hidrogen sianida berasal dari polimer berbahan dasar akrilonitril, sedangkan karbon monoksida terjadi saat hasil pembakaran tidak sempurna. Hal inilah yang menyebabkan sampah plastik sebagai salah satu penyebab pencemaran udara dan dalam waktu yang panjang dapat mengakibatkan efek berupa pemanasan global pada atmosfer bumi. Sampah plastik yang berada dalam tanah yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme menyebabkan mineral-mineral dalam tanah baik organik maupun anorganik semakin berkurang, hal ini menyebabkan jarangnya cacing dan mikoorganisme tanah yang hidup pada area tanah tersebut, dikarenakan sulitnya
Universitas Sumatera Utara
untuk memperoleh makanan dan berlindung. Selain itu kadar O 2 dalam tanah semakin sedikit, sehingga mikroorganisme tanah sulit untuk bernafas dan akhirnya mati. Ini berdampak langsung pada tumbuhan yang hidup pada area tersebut. Tumbuhan
membutuhkan
mikroorganisme
tanah
sebagai
perantara
dalam
kelangsungan hidupnya (Ahmann D & Dorgan JR, 2007). Film dari campuran pati dan plasticizer dapat digunakan sebagai kemasan, namun harus memenuhi standar sifat mekanik tertentu. Umumnya kemasan komersil yang digunakan yaitu plastik dari polietilen. Kemasan berbahan pati harus memiliki kesamaan sifat mekanik untuk dapat menggantikan polietilen sebagai polimer sintetik. Sifat fisik dan mekanik dari polietilen berdasarkan ASTM D638 diperlihatkan pada Tabel 2.6 berikut.
Tabel 2.6. Sifat fisik dan mekanik dari polietilen Sifat Mekanik Tensile strength (MPa) Elongation (%) Sumber : Dayanti, 2006
Film Pati Kulit Singkong
Film Pati Sorgum
LDPE
HDPE
10
10-40
0,406
6,9711
620
500
1,27
16,48
2.15.2 . Plastik Biodegradabel Plastik biodegradabel adalah pastik
yang dapat digunakan layaknya seperti
plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, maka plastik biodegradable merupakan bahan plastik yang ramah terhadap lingkungan (Theresia, 2003). Budiman (2003), menjelaskan bahwa biodegradabel berarti proses pengomposan (composting). Polimer biodegradabel adalah molekul-molekul besar
(macromolecules)
yang
dapat
dihancurkan
atau
diuraikan
oleh
Universitas Sumatera Utara
mikroorganisme, khususnya bakteri dan jamur. Polimer-polimer yang mampu dikomposkan
(compostable)
harus
memenuhi
beberapa
kriteria,
yaitu
mengandu-ng salah satu dari jenis ikatan asetal, amida atau ester, memiliki berat molekul dan kristalinitas rendah, serta memiliki hidrofilitas tinggi. Senyawa
utama
yang
dimanfaatkan
untuk
mendapatkan
plastik
biodegradabel adalah karbohidrat (selulosa dan pati) dan protein. Saat ini keberadaan beras dan ubi kayu di Indonesia termasuk di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, maka penggunaan pati sagu diharapkan dapat menjadi alternatif potensial untuk menjadi sumber bahan baku plastik biodegradabel di Indonesia. Sebenarnya pohon sagu lebih produktif dibandingkan padi, dimana dapat menghasilkan pati 4 kali lebih banyak (Tony dan Whitten,1996). Plastik biodegradabel berbahan dasar tepung dapat didegradasi oleh bakteri pseudomonas dan bacillus dengan memutus rantai polimer menjadi monomermonomernya. Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Plastik berbahan dasar tepung aman bagi lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik tradisional membutuhkan waktu sekitar 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara plastik biodegradabel dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat (Frinault, 1997). Hasil degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai pakan ternak atau sebagai pupuk kompos. Plastik biodegradabel yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik biodegradabel, karena hasil penguraian mikroorganisme dapat meningkatkan unsur hara dalam tanah. Sampai saat ini masih diteliti berapa cepat atau berapa banyak polimer biodegradabel ini dapat --diuraikan alam. Disamping itu, penambahan tepung pada pembuatan polimer biodegradabel menambah biaya pembuatan plastik. Namun, ini menjadi potensi yang besar di Indonesia karena terdapat berbagai tanaman penghasil tepung seperti singkong, beras, kentang dan tanaman lainnya,
Universitas Sumatera Utara
apalagi harga umbi-umbian di Indonesia relatif rendah. Dengan memanfaatkan sebagai bahan plastik biodegradabel, akan memberi nilai tambah ekonomi yang tinggi. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan, karena ada kemungkinan kelak Indonesia menjadi produsen terbesar plastik biodegradabel di dunia. Jerman, India, Australia, Jepang dan Amerika adalah negara yang paling intensif
mengembangkan
riset
plastik
biodegradabel
dan
mempromosikan
penggunaannya menggantikan plastik konvensional. Produk industri berbahan dasar plastik mulai menggunakan bahan biodegradabel. Fujitsu, perusahaan komputer besar di Jepang telah menggunakan plastik biodegradabel ini pada semua casing produknya (Isobe, 1999). Komonitas internasional sepakat, penggunaan bahan polimer sintetis yang ramah lingkungan harus terus ditingkatkan. Sementara itu penggunaan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Padahal sudah jelas potensi bahan baku pembuatan plastik biodegradabel sangat besar di Indonesia. Oleh kerana itu perlu dukungan dari semua pihak terutama pemerintah selaku regulator, industri kimia dan proses, serta kerja sama seluruh masyarakat untuk mendukung penerapan plastik biodegradabel menggantikan plastik konvensional.
2.16 . Termoplastik Termoplastik membutuhkan panas untuk membuat nya menjadi dapat terbentuk dan setelah pendinginan akan berubah kembali kepada bentuk semula. Bahan-bahan ini dapat dipanaskan ulang dan membentuk bentuk baru beberapa kali tampa adanya perubahan yang berarti pada sifatnya. Perilaku ini adalah akibat ketidakhadiran crosslink kimia pada polimer ini, bahkan setelah dilelehkan. Sebagai contoh thermoplatik adalah poliethilena, polipropilena, polimethil metacrilat, polikarbonat, dll. Thermoplastik dapat selanjutnya dibagi menjadi amorphous, kristalin, atau semikristalin berdasarkan dari packing molecularnya atau strukturnya.
Universitas Sumatera Utara
2.16.2 . Amorphous Dalam struktur amorphous, rantai molekular tidak mempunyai urutan dan berbelit secara acak, kusut dan bergulung antara rantai polimer. Jika tidak ada pengisi atau pigmen warna hadir maka palstik amorphous dapat diidentifikasi karena transparan. Kehadiran kelompok anting-anting besar seperti polistirena, polimetil metaklirat atau kelompok aromatik kaku kedalam rantai utama seperti polikarbonat atau bahkan amorphos nilon khusus akan mengarah kepada amorphous atau packing acak. Plastik ini umumnya memiliki tahanan kimia yang rendah dan performance suhu elevated yang rendah, meskipun mereka lebih kaku dan kuat. Hal yang terakhir disebutkan keran rantai yang lebih kaku dan tergantung pada bentuk dari unit berulangnya.
2.16.3 . Kristalin dan semi Kristalin Dalam struktur kristalin, molekul-molekul sangat teratur strukturnya atau rantairantainya terbentuk dengan biasa. Rantai polimer tersusun maju mundur yang menhasilkan daerah kristalin yang sangat teratur. Sehingga, polimer yang memiliki daerah mikrokristalin mempunyai densitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk bahan yang sama yang keseluruhannya amorphous. Pada suhu pembentukan, struktur kristalin menjadi amorphous dan kemudian mengkristalisasi kembali ketika menjadi dingin. Sebagai contoh adalah high densitas poliethilena, nilon, floroplastik atau polipropilena. Dalam pencampuran polimer, ketika polimer mengkristalisasi, hal ini menyebabkan tambahan fasa yang lain kepada sistem. Jika kedua polimer didalam campuran mengkristal, maka terbentuk dua fasa kristalin yang berbeda yang mempengaruhi antar muka dan sifat praktikalnya. Dalam kasus ini, situasi menjadi lebih rumit: disini
efek shear dan tekanan mungkin merubah laju kristalisasi,
mungkin memodifikasi mekanisme nukleasi dan mungkin merubah jenis kristal . Semi kristalin platik mengandung daerah kristalin yang dikelilingi oleh area non kristalin amorphous. Rantai polimer mungkin melewati beberapa area amorphous dan kristalin.- Daya pencampuran campuran polimer amorphous dan semi kristalin
Universitas Sumatera Utara
terbatas pada fase meleleh dan amorphous. Pada pendinginan, polimer semi kristalin sebagain memisah dan mengkristal.
2.17.
Karakteristik Kemasan Plastik
Plastik merupakan suatu polimer yang ringan dan kedap air yang banyak digunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti pembungkus makanan, alas makanan dan minuman, untuk keperluan sekolah, kantor dan sebagainya. Hal ini dikarenakan plastik memiliki sifat unggul seperti ringan tetapi kuat, transparan, tahan air serta harganya relatif murah dan terjangkau oleh semua kalangan masyarakat. Namun, plastik yang beredar di pasaran saat ini merupakan polimer sintetik yang terbuat dari minyak bumi yang sulit untuk terurai di alam. Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan plastik biodegradable dapat dilihat dari karakteristik film yang dihasilkan. Karakteristik film yang dapat diuji adalah karakteristik mekanik dan nilai biodegradabilitasnya. Adapun pengertian masing-masing karakteristik tersebut adalah :
2.17.1 . Karakteristik Mekanik Karakteristik mekanik suatu film kemasan terdiri dari : kuat tarik (tensile strength), kuat tusuk (puncture strength), persen pemanjangan (elongation to break) dan elastisitas (elastic/young modulus). Parameter-parameter tersebut dapat menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang berkaitan dengan struktur kimianya. Selain itu, juga menunjukkan indikasi integrasi film pada kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses pembentukan film. Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh film selama pengukuran berlangsung. Kuat tarik dipengaruhi oleh bahan pemlastik yang ditambahkan dalam proses pembuatan film. Sedangkan kuat tusuk menggambarkan tusukan maksimum yang dapat ditahan oleh film. Film dengan struktur yang kaku akan menghasilkan nilai kuat tusuk yang tinggi atau tahan terhadap tusukan. Adapun persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum film sebelum terputus. Berlawanan dengan itu, adalah elastisitas
Universitas Sumatera Utara
akan semakin menurun jika seiring dengan meningkatnya jumlah bahan pemlastis dalam film. Elastisitas merupakan ukuran dari kekuatan film yang dihasilkan.
2.17.2 . Biodegradabilitas Alasan utama membuat kemasan plastik berbahan dasar bioplimer adalah sifat alamiahnya yang dapat hancur atau terdegradasi dengan mudah. Umumnya setelah sampah kemasan dibuang ke tanah, akan mengalami proses penghancuran alami baik melalui proses fotodegradasi (cahaya matahari, katalisa), degradasi kimiawi (air, oksigen), biodegradasi (bakteri, jamur, alga, enzim) atau degradasi mekanik (angin, abrasi). Proses-proses tersebut dapat berlangsung secara tunggal maupun kombinasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas kemasan setelah kontak dengan mikroorganisme, yaitu : sifat hidrofobik, bahan aditif, proses produksi, struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan. Proses terjadinya biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam dimulai dengan tahap degradasi kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul, menghasilkan polimer dengan berat molekul yang rendah. Proses berikutnya (secondary process) adalah
serangan mikroorganisme (bakteri, jamur dan alga) dan aktivitas enzim
(intracellular, extracellular). Contoh mikroorganisme diantaranya bakteri phototrop (Rhodospirillium,
Rhodopseudomonas,
Chromatium,
Thiocystis),
pembentuk
endospora (Bacillus, Clostridium), gram negatif aerob (Pseudomonas, Zoogloa, Azotobacter,
Rhizobium),
Actynomycetes,
Alcaligenes.
Umumnya
kecepatan
degradasi pada lingkungan limbah cair anaerob lebih besar dari pada limbah cair aerob, kemudian dalam tanah dan air laut.
2.18. Pengembangan Teknologi Kemasan Plastik Biodegradable Upaya pengembangan teknologi kemasan plastik biodegrdable dewasa ini berkembang sangat pesat. Berbagai riset telah dilakukan di negara maju (Jerman, Prancis, Jepang, Korea, Amerika Serikat, Inggris dan Swiss) ditujukan untuk menggali berbagai potensi bahan baku biopolimer. Di Jerman pengembangan untuk
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan polimer biodegradable pada polyhydroxybutiyrat (PHB), Jepang (chitin dari kulit Crustaceae, zein dari jagung, pullulan). Aktivitas penelitian lain yang dilakukan adalah bagaimana mendapatkan kemasan thermoplastik degradable yang mempunyai masa pakai yang relatif lebih lama dengan harga yang lebih murah. Pengembangan lain yang sangat penting adalah perbaikan sifat-sifat fisik dan penggunaan bahan pemlastis. Penggunaan kemasan plastik biodegradable misalnya sebagai botol sampo, dari bahan PHBV (produksi Wella AG dan ICI) dengan harga Rp.75.000/kg (tahun 1995), bahan celluloseacetat untuk barang-barang cetakan, harga Rp.25.000/kg, campuran chitosan dengan cellulosa (di Jepang) sebagai pelindung terhadap oksigen, harga Rp.15.000/kg dan pullulan (di Jepang) sebagai kemasan pangan beku (mentega, keju) dengan harga Rp.60.000 sampai Rp.70.000/kg. Kemasan plastik biodegradable ini penggunaannya masih terbatas pada produk farmasi, kosmetik dan container (Yamada, 1995). Kendala utama yang dihadapi dalam pemasaran kemasan ini adalah harganya yang relatif tinggi dibandingkan film kemasan polyethylene (PE). Sebagai perbandingan untuk PHBV sekitar US$ 8 – 10/lb, sedangkan untuk film PE hanya US$ 0.30 – 0.45/lb. Biaya produksi yang tinggi berasal dari komponen bahan baku (sumber karbon), proses -fermentasi (isolasi dan purifikasi polimer) dan investasi modal. Upaya untuk menekan harga tersebut adalah menggunakan substrat dari metanol, molasses dan hemicellulose hydrolysate. Di Indonesia penelitian dan pengembangan teknologi kemasan plastik biodegradable masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena selain kemampuan sumber daya manusia dalam penguasaan ilmu dan teknologi bahan, juga dukungan dana penelitian yang terbatas. Dipahami bahwa penelitian dalam bidang ilmu dasar memerlukan waktu lama dan dana yang besar. Sebenarnya prospek pengembangan biopolimer untuk kemasan plastik biodegradable di Indonesia sangat potensial. Alasan ini didukung oleh adanya sumber daya alam, khususnya hasil pertanian yang melimpah dan dapat diperoleh sepanjang tahun. Berbagai hasil pertanian yang
Universitas Sumatera Utara
potensial untuk dikembangkan menjadi biopolimer adalah jagung, sagu, kacang kedelai, kentang, tepung tapioka, ubi kayu (nabati) dan chitin dari kulit udang (hewani) dan lain sebagainya. Kekayaan akan sumber bahan dasar seperti tersebut di atas, justru sebaliknya menjadi persoalan potensial yang serius pada negara-negara yang telah maju dan menguasai ilmu dan teknologi kemasan biodegradable, khususnya di Jerman. Negara tersebut dengan penguasaan IPTEK yang tinggi bidang teknologi kemasan, merasa khawatir kekurangan sumber bahan dasar (raw materials) dan akan menjadi sangat tergantung pada negara yang kaya akan sumber daya alam. Teknologi kemasan plastik biodegradable adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk keluar dari permasalahan penggunaan kemasan plastik yang non-biodegradable, berkurangnya cadangan minyak bumi, kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan lestari serta resiko kesehatan. Negara-negara maju seperti Jerman, Prancis, Swiss, Jepang, Amerika Serikat dan Inggris telah mengembangkan berbagai jenis kemasan biodegradable untuk kemasan produk farmasi, kosmetik dan pangan. Produk tersebut berkembang oleh dukungan tersedianya dana riset dan penguasaan teknologi proses yang baik. Namun demikian, pengembangan teknologi kemasan biodegradable masih menghadapi kendala harga yang mahal dan penggunaannya yang terbatas. Berbagai cara telah dilakukan yakni memperbaiki proses produksi, mencari bahan biopolimer lain dan perbaikan sifat-sifat fisik kemasan. Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam (hasil pertanian), potensial menghasilkan berbagai bahan biopolimer, sehingga teknologi kemasan plastik biodegradable mempunyai prospek yang baik (Madeka dan Kokini, 1996).
2.19. Fourier Transformation Infra Red (FTIR) Transformasi Fourier spektroskopi inframerah (FTIR) adalah teknik yang digunakan untuk mendapatkan spektrum inframerah penyerapan, emisi, fotokonduktivitas atau
Universitas Sumatera Utara
hamburan Raman dari padat, cair atau gas. Spektrometer FTIR secara bersamaan mengumpulkan
data
spektral
dalam
berbagai
spektrum
yang
luas.
Ini
menganugerahkan keuntungan yang signifikan atas spektrometer dispersif yang mengukur intensitas sedikit rentang panjang gelombang pada suatu waktu. FTIR telah membuat spektrometer inframerah dispersif semua tapi usang (Kecuali kadangkadang dalam inframerah dekat), membuka aplikasi baru spektroskopi inframerah. Istilah spektroskopi inframerah Transformasi Fourier berasal dari fakta bahwa Transformasi Fourier (proses matematis) diperlukan untuk mengubah data mentah menjadi spektrum yang sebenarnya. Tujuan dari spektroskopi serapan apapun (FTIR, ultraviolet-tampak ("UVVis") spektroskopi, dll) adalah untuk mengukur seberapa baik sampel menyerap cahaya pada panjang gelombang masing-masing. Cara yang paling mudah untuk melakukan hal ini, "dispersif spektroskopi" teknik, adalah untuk bersinar sinar cahaya monokromatik pada sampel, mengukur seberapa banyak cahaya yang diserap, dan ulangi untuk setiap panjang gelombang yang berbeda. (Ini adalah bagaimana UV-Vis spektrometer bekerja, misalnya.) Transformasi Fourier spektroskopi adalah cara yang kurang intuitif untuk memperoleh informasi yang sama. Daripada bersinar sinar monokromatik cahaya pada sampel, teknik ini menyinarkan cahaya yang mengandung banyak frekuensi cahaya sekaligus, dan mengukur seberapa banyak cahaya yang diserap oleh sampel. Selanjutnya, cahay dimodifikasi mengandung kombinasi yang berbeda dari frekuensi, memberikan titik data kedua. Proses ini diulang berkali-kali. Setelah itu, komputer mengambil semua data ini dan bekerja mundur untuk menyimpulkan apa penyerapan itu pada setiap panjang gelombang. (http://en.wikipedia.org/wiki/Fourier_transform_infrared_spectroscopy) Sinar dijelaskan di atas dihasilkan dengan memulai dengan source cahaya broadband satu berisi spektrum penuh panjang gelombang yang akan diukur. Cahaya bersinar menjadi Michelson interferometer,
konfigurasi tertentu cermin, salah
satunya digerakkan oleh motor. Sebagai cermin ini bergerak, masing-masing panjang
Universitas Sumatera Utara
gelombang cahaya dalam berkas secara berkala diblokir, ditransmisikan, diblokir, ditransmisikan, dengan interferometer, karena gelombang gangguan. Panjang gelombang yang berbeda, disesuaikan pada tingkat yang berbeda, sehingga pada setiap saat, sinar yang keluar dari interferometer memiliki spektrum yang berbeda. Seperti disebutkan, pemrosesan komputer diperlukan untuk mengubah data mentah (penyerapan cahaya untuk setiap posisi cermin) ke dalam hasil yang diinginkan (penyerapan cahaya untuk setiap panjang gelombang). Proses yang diperlukan ternyata algoritma umum yang disebut Transformasi Fourier (maka nama, "Transformasi Fourier spektroskopi"). Data mentah kadang-kadang disebut "interferogram". FTIR dapat digunakan di semua aplikasi di mana spektrometer dispersif digunakan di masa lalu. Selain itu, keuntungan beragam dan menyeluruh telah membuka daerah baru aplikasi. Ini termasuk : 1.
GC - IR ( kromatografi gas - spektrometri inframerah). Sebuah kromatografi gas dapat digunakan untuk memisahkan komponen campuran. Fraksi yang mengandung komponen tunggal diarahkan ke spektrometer FTIR , untuk memberikan spektrum inframerah sampel . Teknik ini melengkapi GC - MS ( kromatografi gas - spektrometri massa ) . Metode GC - IR sangat berguna untuk mengidentifikasi isomer , yang menurut sifatnya memiliki massa yang sama . Kunci keberhasilan penggunaan GC - IR adalah bahwa interferogram dapat ditangkap dalam waktu yang sangat singkat , biasanya kurang dari 1 detik . FTIR juga telah diterapkan pada analisis fraksi kromatografi cair .
2.
TG - IR ( spektrometri thermogravimetry - inframerah ) IR spektrum gas berevolusi selama dekomposisi termal diperoleh sebagai fungsi suhu .
3.
Micro - sampel . Sampel kecil, seperti dalam analisis forensik, dapat diperiksa dengan bantuan mikroskop inframerah di ruang sampel . Sebuah gambar dari permukaan dapat diperoleh dengan scanning. Contoh lain adalah penggunaan FTIR untuk mengkarakterisasi bahan artistik dalam lukisan-lukisan tua -master.
Universitas Sumatera Utara
4.
Emisi spektrum, Alih-alih merekam spektrum cahaya yang ditransmisikan melalui sampel, spektrometer FTIR dapat digunakan untuk memperoleh spektrum cahaya yang dipancarkan oleh sampel. Emisi tersebut dapat disebabkan oleh berbagai proses, dan yang paling umum adalah luminescence dan hamburan Raman . Sedikit modifikasi yang diperlukan untuk spektrometer FTIR penyerapan untuk merekam spektrum emisi dan karena itu banyak spektrometer FTIR komersial menggabungkan kedua penyerapan dan emisi / mode Raman.
5.
Spektrum photocurrent, Mode ini menggunakan standar , spektrometer FTIR penyerapan . Sampel yang diteliti ditempatkan bukan detektor FTIR , dan photocurrent nya, yang disebabkan oleh sumber broadband spektrometer , digunakan untuk merekam interferrogram , yang kemudian diubah menjadi spektrum fotokonduktivitas sampel. ( http://en.wikipedia.org/wiki/Fourier_transform_infrared_spectroscopy)
Penggunaan spektrum inframerah untuk penentuan senyawa organik biasanya antara 650 – 4.000 cm-1 (15,4 – 2,5
μm). Daerah dibawah frekuensi 650 cm-1
dinamakan inframerah jauh dan daerah diatas frekuensi 4000 cm-1 dinamakan inframerah dekat. Letak puncak serapan dapat dinyatakan dalam satuan frekuensi v (detik-1 atau Hz), panjang gelombang (μm), atau bilangan gelombang v (cm-1). Pada umumnya digunakan satuan bilangan gelombang (cm-1) dan hanya sebagian kecil yang menggunakan panjang gelombang (μm). Hasil analisis dengan sinar inframerah berbentuk kurva kontinu pada grafik dengan sistem koordinat kartesian yang ordinatnya merupakan persen transmitansi dan absisnya merupakan bilangan gelombang (cm-1). Kurva kontinu pada grafik ini juga disebut spektrum. Tabel 2.t dibawah ini menunjukkan range nilai bilangan gelombang beberapa senyawa organik. (Fessenden, 1983).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.7 Nilai bilangan gelombang senyawa organik No
Senyawa Organik
Bilangan Gelombang (cm-1)
1
Alkohol
3000 – 3700
2
Asam Karboksilat
2500 – 3000
3
Asam Karboksilat Anhidrid
1800 – 1900
4
Ester Jenuh
1720 – 1780
5
Eter Jenuh
1050 – 1150
6
Trigliserida
1748 – 1751
7
Asam Format
1720 - 1724
Sumber : Fessenden, 1983
Gambar 2.6 Alat Fourier Transformation Infra Red (FTIR). Sumber http://en.wikipedia.org/wiki/Fourier_transform_infrared_spectroscopy
Universitas Sumatera Utara
2.20. Scanning Electron Microscop (SEM) Mikroskop elektron adalah sebuah mikroskop yang mampu untuk melakukan pembesaran objek sampai 2 juta kali, yang menggunakan elektro statik dan elektro magnetik untuk mengontrol pencahayaan dan tampilan gambar serta memiliki kemampuan pembesaran objek serta resolusi yang jauh lebih bagus daripada mikroskop cahaya. Mikroskop elektron ini menggunakan jauh lebih banyak energi dan radiasi elektromagnetik yang lebih pendek dibandingkan mikroskop cahaya. Mikroskop pemindai elektron (SEM) yang digunakan untuk studi detil arsitektur permukaan sel (atau struktur jasad renik lainnya), dan obyek diamati secara tiga dimensi. Gambar mikroskop electron ditunjukkan pada gambar 2.5 dibawah ini Cara terbentuknya gambar pada SEM berbeda dengan apa yang terjadi pada mikroskop optic dan TEM. Pada SEM, gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron baru (elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut dipindai dengan sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada layar monitor CRT (cathode ray tube). Di layar CRT inilah gambar struktur obyek yang sudah diperbesar bisa dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan, sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi. Agar pengamat dapat mengamati preparat dengan baik, diperlukan persiapan sediaan dengan tahap sebagai berikut : 1. melakukan fiksasi, yang bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah struktur sel yang akan diamati. fiksasi dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa glutaraldehida atau osmium tetroksida. 2. dehidrasi, yang bertujuan untuk memperendah kadar air dalam sayatan sehingga tidak mengganggu
proses
pengamatan.
3.
pelapisan/pewarnaan,
bertujuan
untuk
memperbesar kontras antara preparat yang akan diamati dengan lingkungan sekitarnya. Pelapisan/pewarnaan dapat menggunakan logam mulia seperti emas dan platina. Gambar Mikroskop electron dapat dilihat pada Gambar dibawah ini (Mikroskop elektron - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.mht)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7. Mikroskop Elektron (Sumber : Mikroskop elektron - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.mht)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8. Scanning Electron Microscopy (Sumber http://central-laboratory.um.ac.id/)
2.20.1. Teknik pembuatan preparat pada mikroskop elektron Materi yang akan dijadikan objek pemantauan dengan menggunakan mikroskop elektron ini harus diproses sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu sampel yang memenuhi syarat untuk dapat digunakan sebagai preparat pada mikroskop elektron (Mikroskop elektron - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.mht) Teknik yang digunakan dalam pembuatan preparat ada berbagai macam tergantung pada spesimen dan penelitian yang dibutuhkan, antara lain : 1.
Kriofiksasi yaitu suatu metode persiapan dengan menggunakan teknik pembekuan spesimen dengan cepat yang menggunakan nitrogen cair ataupun helium cair, dimana air yang ada akan membentuk kristal-kristal yang menyerupai kaca. Suatu bidang ilmu yang disebut mikroskopi cryo-elektron (cryo-electron microscopy) telah dikembangkan berdasarkan tehnik ini. Dengan pengembangan dari Mikroskopi cryo-elektron dari potongan menyerupai kaca (vitreous) atau
Universitas Sumatera Utara
disebut cryo-electron microscopy of vitreous sections (CEMOVIS), maka sekarang telah dimungkinkan untuk melakukan penelitian secara virtual terhadap specimen biologi dalam keadaan aslinya. 2.
Fiksasi - yaitu suatu metode persiapan untuk menyiapkan suatu sampel agar tampak realistik (seperti kenyataannya ) dengan menggunakan glutaraldehid dan osmium tetroksida.
3.
Dehidrasi - yaitu suatu metode persiapan dengan cara menggantikan air dengan bahan pelarut organik seperti misalnya ethanol atau aceton.
4.
Penanaman (Embedding) - yaitu suatu metode persiapan dengan cara menginfiltrasi jaringan dengan resin seperti misalnya araldit atau epoksi untuk pemisahan bagian.
5.
Pembelahan (Sectioning)- yaitu suatu metode persiapan untuk mendapatkan potongan tipis dari spesimen sehingga menjadikannya semi transparan terhadap elektron. Pemotongan ini bisa dilakukan dengan ultramicrotome dengan menggunakan pisau berlian untuk menghasilkan potongan yang tipis sekali. Pisau kaca juga biasa digunakan oleh karena harganya lebih murah.
6.
Pewarnaan (Staining) - yaitu suatu metode persiapan dengan menggunakan metal berat seperti timah, uranium, atau tungsten untuk menguraikan elektron gambar sehingga menghasilkan kontras antara struktur yang berlainan di mana khususnya materi biologikal banyak yang warnanya nyaris transparan terhadap elektron (objek fase lemah).
7.
Pembekuan fraktur (Freeze-fracture) - yaitu suatu metode persiapan yang biasanya digunakan untuk menguji membran lipid. Jaringan atau sel segar didinginkan dengan cepat (cryofixed) kemudian dipatah-patahkan atau dengan menggunakan microtome sewaktu masih berada dalam keadaan suhu nitrogen ( hingga mencapai -100% Celsius). Patahan beku tersebut lalu diuapi dengan uap platinum atau emas dengan sudut 45 derajat pada sebuah alat evaporator en:evaporator tekanan tinggi.
Universitas Sumatera Utara
8.
Ion Beam Milling - yaitu suatu metode mempersiapkan sebuah sampel hingga menjadi transparan terhadap elektron dengan menggunakan cara pembakaran ion( biasanya digunakan argon) pada permukaan dari suatu sudut hingga memercikkan material dari permukaannya. Kategori yang lebih rendah dari metode Ion Beam Milling ini adalah metode berikutnya adalah metode Focused ion beam milling, dimana galium ion digunakan untuk menghasilkan selaput elektron transparan pada suatu bagian spesifik pada sampel.
9.
Pelapisan
konduktif
(Conductive
Coating)
-
yaitu
suatu
metode
mempersiapkan lapisan ultra tipis dari suatu material electrically-conducting . Ini dilakukan untuk mencegah terjadinya akumulasi dari medan elektrik statis pada spesimen sehubungan dengan elektron irradiasi sewaktu proses penggambaran sampel. Beberapa bahan pelapis termasuk emas, palladium (emas putih), platinum, tungsten, graphite dan lain-lain, secara khusus sangatlah penting bagi penelitian spesimen dengan SEM.
2.21. Tensile testing Tensile testing juga dikenal sebagai tension testing yang merupakan sebuah peralatan dasar dalam mengukur kekuatan bahan dimana sampel diberikan regangan yang tidak aksial sampi mengalami patahan. Hasil dari test ini biasanya digunakan untuk memilih sebuah bahan untuk aplikasi tertentu untuk mengontrol kualitas dan untuk memprediksikan bagaimana sebuah bahan akan bereaksi dibawah jenis-jenis gaya yang lain. Sifat-sifat yang dapat diukur melalui sebuah test tensiles adalah kekuatan yang ultimat, elongasi maksimum, dan pengurangan area. Dari pengukuranpengukuran ini karakteristik-karakteristik berikut ini dapat juga diukur seperti Modulus Young, Rasio Poison, kekuatan hasil (yield strength), dan strain-hardening (Tensile Testing - Wikipedia, the free encyclopedia.mht) .
Universitas Sumatera Utara
2.21.1. Peralatan dan Proses Tensile Test Mesin testing yang umum digunakan dalam tensile testing adalah mesin testing universal. Jenis ini mempunyai dua crosshead, satu yang diatur untuk panjang specimen dan yang lainnya digunakan untuk test keregangan specimen. Ada dua jenis nya yaitu : hydraulic powered dan electromagnetically powered machines. Mesin tersebut harus mempunyai kemampuan yang sesuai untuk bahan specimen yang ditest. Ada tiga parameter yang harus diperhatikan yaitu kapasitas daya, kecepatan, ketepatan dan akurasi. Kapasitas daya yang dimaksudkan adalah mesin harus mampu untuk menghasilkan daya yang cukup untuk mematahkan specimen. Mesin tersebut juga harus bisa secara akurat dan tepat mengukur panjang gage dan daya yang diberikan (Tensile Testing - Wikipedia, the free encyclopedia.mht). Proses pengetesan melibatkan penempatan specimen didalam mesin testing dan memberikan tekanan kepadanya sehingga patah. Selama tekanan diberikan, elongasi seksi gage dicatat melawan daya yang diberikan. Data tersebut dimanipulasi sehingga tidak terlalu sepsifik terhadap bentuk geometri dari sampel. Pengukuran elongasi digunakan untuk menghitung engineering strain, ε, menggunakan persamaan dibawah ini:
Dimana: ΔL adalah selisih panjang L 0 adalah panjang awal L adalah panjang akhir Pengukuran gaya digunakan untuk menghitung engineering stress, σ, menggunakan persamaan berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Dimana : F adalah gaya dan A adalah cross section. Mesin melakukan kalkulasi ini skarena gaya meningkat sehingga point-point data dapat disajikan dalam bentuk kurva stress-strain curve.
Gambar 2.9. Tensile Test (Sumber : Tensile Testing - Wikipedia, the free encyclopedia.mht)
2.22. Thermal Gravimetric Analysis (TGA) TGA adalah sebuah alat yang mengukur perubahan berat yang berhubungan dengan perubahan suhu. Analisa ini disandarkan kepada ketelitian dari tiga pengukuran yaitu berat, suhu dan perubahan suhu. Sebuah kurva kehilangan berat akan membutuhkan
Universitas Sumatera Utara
transformasi sebelum hasil bisa diinterpretasikan. Sebuah kurva kehilangan berat dapat mengidentifikasi point dimana kehilangan berat paling kelihatan. TGA biasanya dilakukan dalam penelitian dan testing untuk mengukur karakteristik bahan seperti polimer, untuk mengukur suhu degradasi, menyerap kandungan kelembaban bahan, level komponen inorganic dan organic didalam bahan, titik dekomposisi eksplosif dan sisa pelarut. Alat ini juga sering digunakan untuk mengestimasi kinetika korosi didalam oksidasi suhu tinggi (Thermal Gravimetric Analysis/TGA- Wikipedia, the free encyclopedia.mht). TGA-DTA/DSC mengukur aliran panas (heat flow) dan perubahan berat (TGA) didalam bahan sebagai sebuah fungsi suhu atau waktu didalam atmosphere yang terkontrol. Pengukuran secara serempak dua sifat bahan ini tidak hanya meningkatkan produktifitas tetapi juga menyederhakan interpretasi akhir. Informasi pelengkap yang diterima membolehkan terjadinya perbedaan endothermic dan eksotermik bahkan tampa adanya kehilangan berat (misalnya melting dan kristalisasi) dan hal-hal lain yang melibatkan kehilangan berat (misalnya degradasi). 2.22.1. Peralatan dan metodologi Analiser biasanya mengandung timbangan yang sangat akurat dengan sebuah pan (biasanya platinum) yang diisi dengan sampel. Sebuah proses yang berbeda menggunakan Kristal quartz mikro balance telah ditemukan untuk mengukur sampel yang lebih kecil/microgram. Sampel ini ditempatkan didalam sebuah oven elektrik yang dipanaskan dengan sebuah thermocouple untuk secara akurat mengukur suhu. Atmosfer dapat diberikan dengan sebuah gas yang inert untuk mencegah oksidasi atau reaksi-reaksi lain yang tidak diinginkan. Sebuah computer digunakan untuk mengontrol instrument ini. Analisa dilakukan dengan meningkatkan suhu sampel secara bertahap dan memplotkan berat (dalam persen) terhadap suhu. Suhu didalam beberapa metode testing biasanya mencapai 1000oC. Setelah data diperoleh, kurva smoothing dan
Universitas Sumatera Utara
oeprasi-operasi lainnya mungkin dapat dilakukan untuk menemukan titik yang tepat untuk infleksi/perubahan. Sebuah metode yang dikenal dengan TGA resolusi tinggi seringkali digunakan untuk memperoleh akurasi yang lebih tinggi didalam area dimana kurva derifatif puncak. Dalam metodologi ini, suhu meningkat secara lambat sejalan dengan peningkatan kehilangan berat. Hal ini lebih membuat indentifikasi suhu yang lebih akurat dimana sebuah puncak terjadi.
Gambar 2.10. Thermal Gravimetric Analysis (Sumber: Thermal Gravimetric Analysis/TGA-Wikipedia, the free encyclopedia.mht).
Universitas Sumatera Utara
2.23. Diiferential Scanning Calorimetric (DSC) Diferensial kalorimetri pemindaian atau DSC adalah teknik thermoanalytical di mana perbedaan dalam jumlah panas yang dibutuhkan untuk meningkatkan suhu dari sampel dan referensi diukur sebagai fungsi temperatur. Kedua sampel dan acuan dipertahankan pada suhu yang sama pada hampir seluruh waktu percobaan. Secara umum, program suhu untuk analisis DSC dirancang sedemikian rupa sehingga suhu tempat sampel meningkat secara linear sebagai fungsi waktu. Sampel referensi harus memiliki kapasitas panas yang didefinisikan dengan baik selama rentang temperatur yang akan dipindai. Teknik ini dikembangkan oleh E.S. Watson dan MJ O'Neill pada tahun 1962, dan diperkenalkan secara komersial pada 1963 di Konferensi Kimia Analitik dan Spektroskopi Terapan Pittsburgh. Adiabatik diferensial scanning kalorimeter yang dapat digunakan dalam biokimia pertama dikembangkan oleh PL Privalov dan D.R. Monaselidze pada tahun 1964. DSC Istilah ini diciptakan untuk menggambarkan instrumen ini yang mengukur energi secara langsung dan memungkinkan pengukuran tepat dari kapasitas panas. Prinsip dasar yang mendasari teknik ini adalah bahwa ketika sampel mengalami transformasi fisik seperti fase transisi, lebih atau kurang panas akan perlu mengalir ke sana dibandingkan ke referensi untuk mempertahankan keduanya pada suhu yang sama. Sedikit atau lebih panas harus mengalir ke sampel tergantung pada apakah proses ini eksotermik atau endotermik. Sebagai contoh, sampel padat meleleh menajadi cairan maka akan memerlukan lebih banyak panas yang mengalir ke sampel untuk meningkatkan suhu pada tingkat yang sama dengan referensi. Hal ini disebabkan penyerapan panas oleh sampel karena mengalami fase transisi endotermik dari padat menjadi cair. Demikian juga, jika sampel mengalami proses eksotermik (seperti kristalisasi) maka lebih sedikit panas yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu sampel. Dengan mengamati perbedaan aliran panas antara sampel dan referensi, diferensial scanning kalorimeter mampu mengukur jumlah panas yang diserap atau
Universitas Sumatera Utara
dilepaskan selama transisi tersebut. DSC juga dapat digunakan untuk mengamati perubahan fisik yang lebih halus, seperti transisi kaca. Hal ini banyak digunakan dalam pengaturan dalam industri sebagai instrumen pengendalian kualitas karena dapat diterapkan dalam mengevaluasi kemurnian sampel dan untuk mempelajari polimer curing. Hasil percobaan DSC adalah kurva fluks panas dibandingkan suhu atau terhadap waktu. Ada dua konvensi yang berbeda: reaksi eksotermis dalam sampel ditunjukkan dengan puncak positif atau negatif, tergantung pada jenis teknologi yang digunakan dalam percobaan. Kurva ini dapat digunakan untuk menghitung entalpi atau transisi. Hal ini dilakukan dengan mengintegrasikan puncak yang berhubungan dengan transisi yang diberikan. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa entalpi transisi dapat dinyatakan dengan menggunakan persamaan berikut: ΔH=KA di mana ΔH adalah entalpi transisi, K adalah konstanta kalorimetrik, dan A adalah luas area di bawah kurva. Konstanta kalorimetrik akan bervariasi dari satu instrumen ke instrumen lain, dan dapat ditentukan dengan menganalisis sampel yang terkarakterisasi dengan baik dengan entalpi transisi yang diketahui.
Diferensial kalorimetri pemindaian dapat digunakan untuk mengukur sejumlah properti karakteristik sampel. Dengan menggunakan teknik ini adalah mungkin untuk mengamati fusi dan kristalisasi serta suhu transisi gelas Tg. DSC juga dapat digunakan untuk mempelajari oksidasi, serta reaksi kimia lainnya. Transisi kaca dapat terjadi karena suhu padatan amorf meningkat. Transisi ini muncul sebagai langkah dalam dasar sinyal DSC yang terekam. Hal ini disebabkan sampel mengalami perubahan dalam kapasitas panas. Tidak ada perubahan fase formal yang terjadi. Dengan meningkatnya suhu, padatan amorf akan menjadi kurang kental. Di beberapa titik molekul dapat memperoleh cukup kebebasan gerak secara spontan mengatur diri menjadi bentuk kristal. Hal ini dikenal sebagai suhu kristalisasi (Tc). Transisi ini dari amorf padat menjadi kristalin padat adalah proses eksotermik, dan
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan puncak dalam sinyal DSC. Suhu meningkat sehingga sampel akhirnya mencapai suhu leleh (Tm). Proses peleburan menghasilkan puncak endotermik dalam kurva DSC. Kemampuan untuk menentukan suhu transisi dan entalpi membuat DSC alat yang berharga dalam memproduksi diagram fase untuk berbagai sistem. (http://en.wikipedia.org/wiki/Differential_scanning_calorimetry). DSC digunakan secara luas untuk memeriksa bahan polimer untuk menentukan transisi termal mereka. Transisi termal yang diamati dapat dimanfaatkan untuk membandingkan bahan, bagaimanapun, transisi tidak unik mengidentifikasi komposisi . Komposisi bahan yang tidak diketahui dapat diselesaikan menggunakan teknik seperti IR . Titik leleh dan suhu transisi kaca untuk sebagian besar polimer yang tersedia dari kompilasi standar, dan metode ini dapat menunjukkan degradasi polimer dengan penurunan titik leleh yang diharapkan, Tm, misalnya. Tm tergantung pada berat molekul polimer dan sejarah termal, sehingga nilai yang lebih rendah mungkin memiliki titik leleh lebih rendah dari yang diharapkan. The persen konten kristal polimer dapat diperkirakan dari puncak kristalisasi/leleh grafik DSC dan sebagai referensi panas fusi dapat ditemukan dalam literatur. DSC juga dapat digunakan untuk mempelajari degradasi termal dari polimer menggunakan pendekatan seperti sebagai oksidatif Onset Suhu/Waktu (OOT), namun, pengguna risiko kontaminasi dari sel DSC dapat menjadi problematik. Gambar alat DSC tertera dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.11. Diiferential Scanning Calorimetry (DSC). Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Differential_scanning_calorimetry).
Universitas Sumatera Utara