BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Influenza adalah
suatu penyakit infeksi akut saluran
pernafasan yang disebabkan oleh virus influenza, terutama ditandai oleh demam, menggigil, sakit otot, sakit kepala dan sering disertai pilek, sakit tenggorokan dan batuk non produktif yang disebabkan oleh virus influenza. Lama sakit berlangsung antara 2-7 hari dan biasanya sembuh sendiri.1,3 Influenza Like Illness (ILI) adalah demam dengan temperatur ≥ 37,8° C atau riwayat demam sebelumnya disertai dengan 2 dari 4 gejala klinis yaitu batuk, sakit kepala, mialgia dan sakit tenggorokan yang terjadi dengan onset yang akut dalam 48-72 jam.18
2.2
Epidemiologi Influenza
terdapat
di
seluruh
dunia
dan
penyakit
ini
mempunyai pola musiman, di wilayah bermusim empat terjadi pada musim dingin, dan wilayah tropis terjadi pada musim hujan. Penyakit ini dapat menjalar dengan cepat di lingkungan masyarakat terutama tempat tinggal penduduk yang padat. Walaupun ringan penyakit ini tetap berbahaya untuk mereka yang berusia sangat muda dan orang dewasa dengan fungsi kardiopulmoner yang terbatas. Juga pasien
Universitas Sumatera Utara
yang berusia lanjut dengan penyakit ginjal kronik atau gangguan metabolik endokrin dapat meninggal akibat penyakit yang dikenal tidak
berbahaya.
Salah
satu
komplikasi
yang
serius
adalah
pneumonia bakterial. 19,20 Virus influenza cepat sekali bermutasi untuk berkembang biak dan menghasilkan strain-strain baru terus menerus, sekalipun masih termasuk subtipe semula. Proses ini kita temukan baik pada virus influenza tipe A maupun influenza tipe B. Orang yang telah mempunyai antibodi terhadap strain tertentu, biasanya masih mempunyai antibodi terhadap strain yang lain sekalipun hanya parsial, asalkan masih termasuk subtipe yang sama. Ini yang menyebabkan Kejadian
Luar
Biasa
(KLB)
influenza
tidak
begitu
ditakuti
dibandingkan pandemi influenza. Apabila muncul subtipe yang baru (misalnya H5N1) maka dikhawatirkan bisa menjadi pandemi dengan angka mortalitas tinggi oleh karena belum adanya imunitas terhadap subtipe baru tersebut. 21,22 Wabah yang besar biasanya disebabkan oleh virus influenza tipe A oleh karena sifat perubahan antigennya. Pada abad ke 20 terjadi beberapa kali wabah influenza. Yang paling hebat adalah tahun 1918 disebut Spanish influenza, yang memakan korban 20-40 juta jiwa. Setelah itu berturut-turut Asian flu tahun 1957, Hongkong flu tahun 1968 dan Russian flu tahun 1977.1,2 Pada tahun 1997, 2003 dan 2004 terjadi wabah flu burung
(avian influenza) akibat virus
Universitas Sumatera Utara
influenza A H5N1. Wabah ini mengakibatkan kematian pada unggas di berbagai negara di dunia dan juga mengakibatkan banyak kasus kematian yang fatal pada manusia yang tertular, meskipun penularan dari manusia ke manusia masih belum terjadi. Yang terakhir terjadi adalah pandemi influenza akibat virus influenza A H1N1, yang lebih dikenal dengan flu Mexico. Wabah ini telah mengenai paling sedikt 43 negara di dunia dan tercatat mengenai 12.149 orang dengan angka kematian sebanyak 49 orang. Epidemi influenza A biasanya terjadi mendadak, puncaknya sekitar 2-3 minggu, umumnya berlangsung 2-3 bulan dan sering berhenti mendadak. Wabah influenza B tidak begitu berat. Antigen H dan N influenza B lebih stabil dan wabahnya sering terjadi pada anak sekolah dan anggota militer. Influenza C nampaknya hanya menimbulkan infeksi subklinis, kadar antibodinya tinggi pada populasi umum. 24,25 Di Amerika Serikat, infeksi virus influenza mengakibatkan angka rawat inap terkait dengan influenza sampai dengan 226.000 kasus dan angka kematian terkait dengan influenza sebanyak 36.000 kasus setiap tahunnya. Infeksi virus influenza juga diperkirakan mengakibatkan pengeluaran biaya medis sebanyak 1 sampai 3 miliar dolar AS dan pengeluaran biaya akibat penurunan produktifitas kerja antara 10 sampai dengan 15 miliar dolar AS setiap tahunnya. Jika terdapat keadaan pandemi, biaya yang dikeluarkan bahkan dapat mencapai 71 sampai dengan 167 miliar dolar AS setiap tahun.1,3
Universitas Sumatera Utara
Sebagian besar penderita influenza yang mengalami kematian adalah penderita yang berusia > 65 tahun dan kebanyakan meninggal akibat komplikasi pneumonia. Di Amerika Serikat, jumlah kasus kematian yang terkait dengan infeksi virus influenza diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan kelompok usia lansia. Sebagai tambahan, sebagian besar kasus kematian yang dilaporkan diakibatkan oleh infeksi influenza A H3N2. 1,3 Resiko akan mengalami rawat inap biasanya lebih tinggi pada penderita influnenza yang berusia > 65 tahun, anak-anak dan penderita yang mempunyai penyakit komorbid lain seperti diabetes, gagal jantung, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), pasien dengan kondisi imunodefisiensi dan menderita penyakit malignansi. Dari sekitar 200.000 kasus rawat inap setiap tahunnya diperkirakan bahwa ± 57% diantaranya adalah penderita dengan usia diatas 65 tahun. 1,2
2.3.
Etiologi Pada saat ini dikenal 3 tipe virus influenza yakni A, B dan C. Ketiga tipe ini dapat dibedakan dengan complement fixation test. Tipe A merupakan virus penyebab influenza yang bersifat epidemik. Tipe B biasanya hanya menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada tipe A dan kadang-kadang saja sampai mengakibatkan epidemi. Tipe C adalah tipe yang diragukan sifat patogenisitasnya terhadap
Universitas Sumatera Utara
manusia, mungkin hanya menyebabkan gangguan ringan saja. Virus penyebab influenza merupakan suatu Orthomyxovirus golongan RNA dan berdasarkan namanya jelas bahwa virus ini mempunyai afinitas untuk myxo atau musin.26,27 2.4
Struktur dan komposisi virus Virus influenza tergolong ke dalam famili Orthomyxoviridae dan terdiri dari 3 tipe yaitu influenza A, B dan C. Perbedaan tipe tersebut didasarkan atas perbedaan karakteristik antigenik dari protein NukleoProtein (NP) dan matriks (M) pada virion virus ini. Influenza A selanjutnya dibagi atas berbagai subtipe sesuai dengan antigen permukaan Hemaglutinin (H) dan Neuraminidase (N). Selain itu juga dilakukan penamaan strain virus influenza A berdasarkan tempat asal ditemukannya virus, nomor isolasi dan tahun diisolasi. Sebagai contoh adalah influenza A/Hiroshima/52/2005 (H3N2). 1,28 Sampai saat ini virus influenza A dikenal mempunyai 16 subtipe H dan 9 subtipe N yang mana hanya subtipe H1, H2, H3, N1 dan N2 yang diketahui sebagai penyebab beberapa pandemi influenza di dunia. Influenza B dan C juga mempunyai struktur yang hampir mirip dengan influenza A, namun antigen H dan N dari kedua tipe virus influenza ini tidak dibagi lagi atas pembagian subtipe sebab variasi pada antigen H dan N jarang dijumpai pada tipe B dan bahkan tidak pernah terjadi pada virus influenza C.1
Universitas Sumatera Utara
Karena infeksi virus influenza A dan B sangat sering dijumpai pada manusia, maka penelitian tentang kedua tipe tersebut berkembang dengan sangat pesat. Influenza A dan B mempunyai morfologi bentuk yang sama. Virion virus berbentuk partikel sferis yang ireguler dengan diameter sekitar 80-120 nm, serta terbungkus oleh suatu lapisan selubung yang tersusun oleh zat lipid yang merupakan tempat munculnya antigen permukaan H dan N. 1,26,27 Genom virus influenza A dan B terdiri dari 8 segmen yang dibungkus
oleh
protein
nukleokapsid
membentuk
struktur
Ribonukleoprotein (RNP). Setiap gen akan memegang peranan dalam proses sintesis protein virus, yaitu polymerase B1 (PB1), polymerase B2 (PB2), polymerase A (PA), hemaglutinin (HA), nukleocapsid protein (NP), neuraminidase (NA), matrix protein (M) yang terdiri dari 2 jenis yaitu M1 dan M2 (hanya pada virus influenza A) , dan yang terakhir non structural protein (NS). Perbedaan antara influenza A dan B terletak pada komponen protein M2 yang hanya dijumpai pada influenza A dan tidak didapati pada influenza B. Untuk influenza C hanya dididapati 7 segmen genom pengkode sintesis protein dengan tidak dijumpainya genom penghasil neuraminidase di permukaan virion.26,27 Virus influenza diselubungi oleh suatu lapisan lipid yang terdiri dari 2 lapisan. Dua glikoprotein virus yaitu HA dan NA terlekat pada selubung virus tersebut. Pada lapisan selubung tersebut didapati juga
Universitas Sumatera Utara
protein M2 yang berfungsi sebagai ion channel pump untuk stabilitas pH di dalam endosom. Struktur protein M1 terletak di bawah selubung dan berfungsi sebagai protein struktural dan membantu pemindahan RNP pada saat terjadi proses replikasi virus. 26 Virus influenza relatif tahan pada suhu 0-40 C selama berminggu-minggu tanpa kehilangan daya hidup. Virus menjadi tidak infeksius pada suhu -200 C dan rusak bila terkena eter atau derivat alkohol. 25
2.5
Struktur hemaglutinin Protein HA virus influenza telah dipelajari secara rinci oleh karena peranannya yang sangat penting dalam hal patogenesis influenza. Apalagi ternyata segmen ini sering mengalami mutasi spontan yang dapat mengakibatkan terjadinya pandemi dan endemi influenza yang baru.1
Universitas Sumatera Utara
Gbr. 1. Struktur virus influenza secara dua dimensi 29
Hemaglutinin merupakan suatu glikoprotein yang mempunyai berat molekul 76.000 kDa dan terletak pada lapisan selubung virus influenza berbentuk seperti jonjot-jonjot (rod-shaped). Hemaglutinin terdiri dari 5 lokasi antigenik yaitu mulai dari titik A, B, C, D, dan E. Fungsi utama dari titik ini adalah sebagai reseptor yang berikatan dengan sialic acid dari sel yang menjadi target infeksi virus influenza, dalam upaya untuk memulai proses fusi partikel virus via membran sel tersebut .26,27 Hemaglutinin terdiri dari 2 sub unit yaitu HA1 dan HA2 yang terikat erat oleh suatu jembatan disulfida. HA dari virus influenza avian, kuda dan babi mempunyai spesifisitas terhadap reseptor α(2,3)-linkage sialic acid, sedangkan HA dari virus influenza manusia spesifik terhadap reseptor α(2,6)-linkage sialic acid. Reseptor α(2,3)-
Universitas Sumatera Utara
linkage sialic acid ditemukan pada mukosa saluran nafas avian, kuda dan mamalia laut tertentu, sedangkan reseptor α(2,6)-linkage sialic acid didapati pada mukosa saluran nafas manusia. Secara khusus, pada sel mukosa trakea babi dapat dijumpai adanya kedua jenis reseptor tersebut, sehingga babi merupakan satu-satunya hewan yang dapat terjangkit baik oleh virus influenza manusia maupun virus influenza non manusia.28 Protein HA cenderung mengalami perubahan sebagai akibat mutasi gen penyandi sintesis protein, padahal protein HA merupakan faktor penentu utama bagi sistem imunitas manusia untuk mengenali antigen influenza dan memproduksi antibodi spesifik terhadap infeksi virus influenza. Akibat perubahan pada HA maka sel imun tidak akan dapat mengenali virus influenza yang menginfeksi manusia atau dengan kata lain akan muncul suatu strain virus influenza baru yang berbeda virulensinya dibandingkan yang sebelumnya dimana hal ini akan mempermudah terjadinya endemi atau pandemi influenza yang baru karena proses imunitas tubuh baik alamiah maupun buatan (imunisasi) yang sudah ada sebelumnya menjadi tidak berguna sebagai proteksi terhadap influenza. 26,27,28
2.6
Struktur neuraminidase Neuraminidase, sama halnya dengan HA, merupakan suatu protein antigenik yang terdapat pada permukaan virion virus influenza.
Universitas Sumatera Utara
NA berbetuk seperti jamur dengan struktur tetramer dan mempunyai berat molekul 220.000 kDa. Neuraminidase berfungsi melepaskan hubungan antara sialic acid dengan reseptornya di protein HA, sehingga memungkinkan pelepasan partikel virus baru keluar dari sel yang terinfeksi dan dapat bergerak bebas menginfeksi sel-sel lainnya (gambar 2). Neuraminidase mempunyai 2 buah titik antigenik yang berperan penting dalam struktur molekulnya.27 Derajat
virulensi
virus
influenza
ditentukan
juga
oleh
kemampuan NA untuk melepaskan ikatan sialic acid dari HA. Spesifitas NA dalam melisis ikatan HA dengan sialic acid tergantung dari urutan rangkaian asam amino yang membentuk titik antigeniknya. Sebagai contoh, NA dari virus influenza avian N2 tidak dapat melepaskan ikatan antara HA dengan α(2,6)-linkage sialic acid, sedangkan NA dari virus influenza manusia N2 dapat melisis ikatan tersebut.26
2.7
Fungsi protein virus influenza lainnya Selain kedua protein permukaan HA dan NA, virus influenza masih memiliki 5 jenis protein lain yang tidak kalah penting fungsinya. Protein M2 berperan penting terutama pada saat proses replikasi virus intra sel yaitu pada saat tahapan pelepasan selubung virus. Saat virion telah memasuki endosom, M2 ion pump channel akan bekerja
Universitas Sumatera Utara
memasukkan ion ke dalam partikel yang mengakibatkan penurunan pH dan selanjutnya menginduksi terbukanya protein M1 dan terlepasnya materi RNP virus memasuki inti sel inang untuk proses replikasi dan sintesis protein virus. Aktivitas dari protein M2 ini merupakan
target
inhibisi
dari
obat
antiviral
amantadin
dan
rimantadin.1,2,28 HEMAGLUTININ AND NEURAMINIDASE ACTIVITY
Gbr. 2. Mekanisme kerja Hemagutinin dan Neuraminidase 5
Protein lain yang non struktural yaitu NS1 dan NS2 diketahui mempunyai peran khusus dalam proses transport RNA viral dari virion ke nukleus dan memfasilitasi transport RNP yang baru dari nukleus ke sitoplasma dalam fase replikasi virus.26 PA, PB1 dan PB2 merupakan segmen genom yang berperan dalam sintesis kompleks enzim polimerase virus influenza. Enzim polimerase berguna untuk proses transkripsi, translasi dan replikasi
Universitas Sumatera Utara
virus pada sel inang. Nukleoprotein (NP) merupakan protein yang membungkus materi RNA menjadi suatu ribonukleoprotein. 28
2.8
Patogenesis Ketika
membicarakan
tentang
patogenesis
infeksi
virus
influenza, maka tidak akan terlepas dari tinjauan aspek virologinya mengingat sifat virus influenza yang khas terutama dalam hal perubahan genetik.Untuk mempermudah maka pembahasan dapat dibagi atas dua bagian besar yaitu faktor viral dan faktor pejamu. 28 Virus influenza mempunyai protein permukaan HA yang mempunyai spesifisitas terhadap sel yang mengandung reseptor α (2,6) linkage sialic acid. Akan tetapi mutasi pada gen virus menyebabkan virus influenza yang biasanya dijumpai pada binatang seperti burung, babi, kuda ataupun mamalia laut dapat menginfeksi manusia. Diduga mutasi terjadi pada titik antigenik HA, yang memungkinkan HA menjadi dapat melekat pada 2 jenis reseptor sialic acid yang berbeda yaitu α (2,3) dan α (2,6). Hal ini dijumpai pada kasus infeksi virus influenza A H5N1 avian pada manusia dan pada saat pandemi flu Spanyol 1918 yang diakibatkan oleh H1N1 avian.2932
Namun
perbedaan
diantara
keduanya
adalah
transmisi
manusia ke manusia pada H5N1 belumlah dijumpai, sedangkan pada H1N1 (1918) hal tersebut terjadi dan menjadi penyebab terjadinya
Universitas Sumatera Utara
pandemi flu Spanyol pada tahun 1918. Taunberger dkk (2005) menemukan bahwa terdapat perbedaan sekuensi gen polimerase PB1, PB2 dan PA antara H1N1 1918 dengan virus H5N1 yang mengakibatkan perbedaan urutan asam amino pada RNA polimerase keduanya. Perbedaan inilah yang diduga sebagai penyebab mengapa transmisi antara manusia pada H5N1 belum terjadi. Hal ini dikonfirmasi oleh Hatta (2007) yang mendapati bahwa substitusi asam amino pada PB2 mempunyai efek peningkatan adaptasi pada manusia,
peningkatan
virulensinya,
dan
adaptasi
kemampuan
replikasi pada temperatur di saluran nafas.28,29 Selain dari kemampuan untuk berikatan dengan reseptor sialic acid spesifik pada epitel kolumnar saluran nafas, virulensi juga ditentukan oleh derajat replikasi, kemampuan virus influenza untuk menginduksi reaksi inflamasi dan mekanisme kemampuan virus untuk menghindari aktivitas sistem imunitas tubuh manusia.28 Replikasi virus ditandai dengan lepasnya ikatan protein virus dengan sel epitel saluran nafas dan beredarnya partikel virus influenza baru, baik ke sel yang berada didekatnya atau akan dibatukkan ke udara bebas. Lepasnya ikatan dengan protein virus membutuhkan suatu enzim protease yang dihasilkan oleh sel epitel saluran nafas. Melalui proses mutasi tertentu, virus influenza yang mempunyai derajat virulensi tinggi mempunyai kemampuan untuk melakukan replikasi tanpa adanya protease. Fenomena ini diamati
Universitas Sumatera Utara
terjadi pada pada virus influenza A H1N1 (1918) dan influenza A H5N1.
Meskipun
masih
kontroversial,
namun
diduga
hal
ini
merupakan jawaban sementara terhadap fakta didapatinya RNA virus influenza A H5N1 di luar saluran nafas, yaitu di saluran cerna dan di darah. 28 Faktor viral load juga dianggap mempunyai peranan penting dalam menentukan derajat kefatalan akibat infeksi virus influenza. Menno (2006) pada penelitiannya terhadap pasien penderita infeksi infuenza A H5N1 di Vietnam mendapatkan bahwa pada kasus infeksi yang fatal didapati viral load yang tinggi pada faring penderita dan juga
didapati
RNA
virus
di
rektum
dan
darah
penderita,
hipersitokinemia (IL 10, IL 6 dan IFN α), dan jumlah limfosit T yang sedikit di darah.30 Walaupun infeksi influenza telah cukup sering diteliti, namun pola inflamasi dan regulasi sistem imun pada pasien influenza masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Infeksi influenza pada saluran nafas akan segera diikuti dengan produksi sitokin pro inflamasi yang bersifat kemoreaktan menarik sel-sel imun menuju ke lokasi infeksi di saluran nafas dan semakin memperberat inflamasi yang ada. Sitokin yang mempunyai peranan terpenting diantaranya adalah Tumor Necrotizing Factor (TNF) α/β, Interleukin (IL)-6, Interferon (INF) α/γ, IL-8 dan Macrophage Inhibitory Factor (MIF)-12. Sitokin-sitokin ini akan berinteraksi dengan organum vasculosum of the lamina
Universitas Sumatera Utara
terminalis (OVLT) untuk membentuk PGE2. Hal ini akan meningkatkan set point thermoregulator hipotalamus dan mengakibatkan terjadinya demam. Sitokin-sitokin ini juga akan memprovokasi timbulnya gejala tambahan lain baik lokal respiratorik maupun sistemik (gambar 3). Beberapa subtipe influenza seperti A H1N1 (1918) dan A H5N1 mempunyai kemampuan yang sangat poten dalam menginduksi sitokin pro inflamasi (terutama TNF α) melalui perangsangan produk antigen genom NS1. Gen NS1 juga mampu menekan kerja interferon tubuh yang merupakan zat anti replikasi virus yang dihasilkan oleh tubuh manusia 27,28 Produksi sitokin ini sendiri diawali oleh proses apoptosis, baik yang bersifat alamiah (sebagai respon pertahanan tubuh untuk membatasi proses replikasi virus), maupun apoptosis yang diinduksi akibat infeksi virus influenza tersebut. Kematian dan kerusakan selsel tersebut akan memicu pelepasan sitokin pro inflamasi dan timbulnya reaksi inflamasi lokal dan sistemik.28 Penyebaran virus influenza terjadi melalui droplet infection dimana virus dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi saluran nafas atau langsung memasuki alveoli, tergantung dari ukuran partikel (droplet). Virus yang tertanam pada membran mukosa akan terpapar dengan mukoprotein yang mengandung sialic acid yang dapat berikatan dengan alpha 2,6 sialioligosakarida yang berasal dari membran sel dimana residu sialic acid yang dapat
Universitas Sumatera Utara
berikatan dengan residu galaktosa melalui ikatan 2,6 linkage. Adanya perbedaan pada reseptor yang terdapat pada membran mukosa merupakan penyebab mengapa virus avian influenza tidak dapat mengadakan replikasi secara efisien pada manusia. Mukoprotein yang mengandung reseptor ini akan mengikat virus sehingga perlekatan virus dengan sel epitel saluran nafas dapat dicegah. Tetapi virus mengandung protein neuramidase pada permukaannya yang dapat memecah ikatan tersebut. Virus selanjutnya akan melekat pada epitel permukaan saluran nafas untuk kemudian bereplikasi di dalam sel tersebut. Replikasi virus terjadi selama 4-6 jam sehingga dalam waktu singkat virus dapat menyebar ke sel-sel didekatnya. Masa inkubasi virus 18 jam sampai 4 hari, lokasi utama dari infeksi yaitu pada sel-sel kolumnar yang bersilia. Sel-sel yang terinfeksi akan membengkak dan intinya disintegrasi dan hilangnya silia selanjutnya akan terbentuk badan inklusi.26,27,28
Universitas Sumatera Utara
Gbr. 3. Patogenesis gejala dan tanda akibat infeksi virus influenza29
Beberapa penelitian menunjukkan tingginya koinsidensi antara infeksi virus influenza dengan infeksi pneumonia bakterial. Ternyata kerusakan dari sel epitel saluran nafas dan gangguan pergerakan silia merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya infeksi bakterial. Omar (1998) menemukan bahwa sel epitel columnar yang terinfeksi influenza mempunyai peningkatan kemampuan perlekatan terhadap bakteri Stafilokokus aureus.29,30 Bahkan Zambon (2001) mendapatkan bahwa koinfeksi bakteri akan memperkuat proses pelepasan HA melalui mekanisme tidak langsung. Mekanisme yang pertama adalah protease dari bakteri akan membantu memperkuat efek protease seluler dalam proses pelepasan hasil replikasi.Mekanisme yang kedua, diduga beberapa enzim bakteri seperti streptokinase atau
Universitas Sumatera Utara
sfafilokinase membantu proses aktivasi beberapa sub tipe virus. Disebutkan juga bahwa infeksi virus influenza dapat memperlemah respon imunitas makrofag terhadap infeksi bakteri. 31-34
2.9
Perubahan antigenik virus influenza
2.9.1 Antigenic shifting dan antigenic drifting Virus influenza merupakan virus yang paling sering mengalami perubahan antigenik secara spontan. Perubahan antigenik ini sangat penting
diketahui
untuk
menganalisa
penyebab
sekaligus
menentukan strategi penatalaksanaan bila terjadi epidemi atau pandemi influenza. Dua jenis perubahan antigenik pada virus influenza adalah antigenic shifting dan antigenic drifting.34,35 Antigenic shifting adalah suatu perubahan mayor pada rangkaian genom RNA virus influenza, yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan drastis pada antigen permukaan HA dan NA. Penyebab antigenik shifting adalah adanya penyusunan ulang (reassortment) materi genetik dari dua subtipe virus influenza A yang berbeda sehingga tampilan antigenik virus baru akan berbeda sepenuhnya
dibandingkan
virus-virus
penyusunnya.
Penyebab
mudahnya terjadi reassortment ini adalah karena rangkaian RNA virus influenza berbentuk segmen-segmen sehingga mudah terjadi pencampuran dan penyusunan ulang. Antigenic shifting ini hanya terjadi pada influenza A saja. Adapun sumber materi genetika untuk
Universitas Sumatera Utara
proses reassortment HA dan NA adalah 16 antigenik HA dan 9 antigenik NA yang terdapat di alam bebas. Munculnya kombinasi tipe HA dan NA yang baru memicu terjadinya endemi yang luas atau bahkan pandemi yang mempunyai angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi.24,35 Adapun perubahan genetik yang bersifat lebih ringan disebut antigenic drifting. Antigenic drifting terjadi karena adanya proses point mutation pada segmen RNA virus influenza yang mengakibatkan perubahan susunan asam amino penyusun protein HA dan NA. Perubahan urutan ini dapat mengakibatkan perubahan pada titik antigenik pada HA dan NA. Akibatnya infeksi virus akan lebih mudah menyebar
karena
imunisasi
yang
sebelumnya
menjadi
tidak
sepenuhnya efektif .1,29 Seringnya terjadi antigenic drifting diduga disebabkan oleh karena rendahya akurasi kerja RNA polimerase pada saat proses replikasi. RNA polimerase mengalami kesalahan replikasi sebanyak 1/104 basa RNA pada setiap siklus replikasi, sementara sebagai gambaran enzim DNA polimerase hanya mengalami kesalahan sebanyak 1/109 basa DNA dalam setiap kali replikasi. Kecepatan perubahan genom yang mensintesis HA pada influenza B adalah sebanyak 1,60 x 10-3 perubahan nukleotida pada setiap titik nukleotida/tahunnya dan influenza A 3,6 x 10-3 perubahan nukleotida pada setiap titik nukleotida/tahunnya Hal ini
mungkin dapat
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan mengapa varian influenza B lebih sedikit dibandingkan influenza A, dan endemi oleh karena influenza B muncul lebih jarang dibandingkan endemi oleh karena influenza A. Sebagai tambahan, influenza B tidak mempunyai binatang reservoar dan hanya mempunyai satu subtipe HA dan NA sehingga tidak mempunyai potensi untuk menimbulkan pandemi.28,29
2.9.2 Kaitan antigenic shifting dengan proses pandemi influenza Sejak diisolasi pertama kali pada tahun 1933, antigenic shifting pada virus influenza telah terjadi beberapa kali. Yang pertama terjadi pada tahun 1957, ketika subtipe H2N2 (Asian influnza) menggantikan keberadaan subtipe H1N1; selanjutnya tahun 1968 ketika virus influenza Hongkong H3N2 muncul dan menggantikan keberadaan subtipe H2N2; dan terakhir tahun 2009 ketika wabah flu Mexico H1N1 strain baru muncul. 1,33 Taunberger (2005) dalam penelitiannya di bidang arkeologi filogenetika virus, mendapatkan bahwa virus H1N1 1918 muncul bukanlah sebagai akibat proses reassortment antar virus influenza, melainkan murni akibat mutasi virus influenza avian sehingga virus tersebut menjadi bisa menginfeksi manusia dan bertransmisi antar manusia. Hal ini terbukti dengan analisa genetika bahwa 8 segmen RNA virus H1N1 1918 mempunyai kesamaan dengan segmen RNA virus influenza avian. Diduga mutasi terjadi tidak hanya pada segmen
Universitas Sumatera Utara
RNA pengkode HA dan NA, tetapi juga pada segmen RNA PA, PB1 dan PB2 sehingga transmisi antar manusia dapat terjadi. 1,33 Sementara virus influenza A H2N2 1957 muncul sebagai akibat reassortment antara H1N1 1918 dengan H2N2 avian. Influenza A H2N2 mendapatkan segmen RNA HA, NA dan PB1 dari virus avian H2N2 dan sisa 5 segmen RNA lain dari subtipe H1N1 1918 yang telah ada sebelumnya.27
Gbr.4 Mekanisme terjadinya pandemi virus influenza30
Pandemi influenza 1968 yang terjadi di Hongkong diakibatkan oleh reassortment baru yang memunculkan virus influenza A H3N2. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa virus H3N2 mendapatkan
Universitas Sumatera Utara
segmen HA dan PB1 dari virus influenza avian H3 dan segmen lainnya dari subtipe H2N2. 28 Pandemi pada tahun 1977 yang dimulai di Rusia terjadi akibat munculnya kembali subtipe H1N1 1918 yang selama hampir 30 tahun tidak pernah beredar. Diduga virus ini tersembunyi pada hewan reservoar, tersimpan dalam keadaan frozen state atau tersembunyi pada mikroorganisme tingkat rendah yang masih belum teridentifikasi jenisnya hingga saat ini. Hal ini terbukti dengan fakta bahwa semua segmen RNA pada H1N1 1977sama persis dengan segmen RNA pada H1N1 1918. 1,6 Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa ada tiga mekanisme penyebab terjadinya pandemi influenza di dunia yaitu (1).akibat proses mutasi pada segmen genetika virus influenza non manusia hingga dapat menginfeksi manusia, (2). mekanisme reassortment dan
(3).
mekanisme pemunculan kembali subtipe yang telah lama hilang dimana pada ketiga keadaan tersebut sistem imunitas manusia tidak dapat memberikan proteksi.6 Mekanisme akibat mutasi pada segmen genetik virus tertentu terjadi pada kasus H7N7 (Inggris), H9N2 (Hongkong), H10N7 (Mesir) dan yang paling mematikan serta mengakibatkan
pandemi
yaitu
influenza
A
H5N1
Hongkong.
Keseluruhan transmisi virus diatas hanyalah terjadi antara avian dengan manusia, serta mutasi yang terjadi tidaklah sampai pada tahap yang memungkinkan terjadinya transmisi manusia ke manusia.28,36
Universitas Sumatera Utara
Virus influenza avian H5N1 bersifat sangat patogen terhadap unggas dan telah menjadi penyebab endemi pada peternakanpeternakan unggas di negara-negara Asia. Baru pada tahun 1997 di Hongkong ditemukan pertama sekali KLB H5N1 pada manusia dengan angka mortalitas 50%, angka insidensi pneumonia mencapai 71% dan angka rawatan di ICU mencapai 80%. Analisa genetik menunjukkan bahwa keseluruhan segmen RNA virus H5N1 berasal dari virus influenza avian, sekaligus sebagai bukti bahwa telah terjadi mutasi pada virus H5N1 avian yang memungkinkan transmisi dari avian ke manusia. 28,33
Gbr. 5. Mekanisme reassortment pada virus influenza A H1N1 Mexico (swine flu)24
Universitas Sumatera Utara
Hingga saat ini infeksi H5N1 telah mengakibatkan pandemi di dunia dengan melibatkan berbagai negara mulai dari China, Mongolia, Khazakstan, Rusia, Vietnam, Thailand, negara-negara Eropa, Timur Tengah dan juga Indonesia. Angka case fatality rate akibat H5N1 diperkirakan mencapai lebih dari 60%. Sejak pemunculannya pada tahun 1997, virus H5N1 terus mengalami perubahan antigenic drifting, hingga dikenal ada 2 clade H5N1, yaitu clade 1 tersebar di Kamboja, Thailand dan Vietnam antara 1997-2006 dan clade 2 beredar di China, India, Timur Tengah, Eropa dan Indonesia mulai dari 2003 sampai dengan sekarang.30 Kombinasi perubahan antigenic shifting yang terakhir dari virus influenza A terjadi pada bulan April 2009 dimana dijumpai strain baru influenza A H1N1 di Mexico. Hingga bulan Mei 2009, H1N1 Mexico (Swine Flu) telah menyebar di 43 negara dengan 12.515 kasus terlaporkan dan 91 diantaranya berujung dengan kematian. 22 Analisa genetik menunjukkan bahwa H1N1 Mexico merupakan reassortment antara H3N2 babi yang terdapat di Amerika Utara dan virus influenza babi dari Eropa yang beredar pada tahun 1992. Segmen RNA PA, PB1, PB2, HA, NP dan NS dari H1N1 Mexico berasal dari virus H1N2 babi di Amerika Utara. Virus H1N2 babi ini sendiri merupakan reassortment dari virus klasik H1N1 babi, H3N2 manusia dan virus influenza avian yang masih belum dapat diidentifikasi. Sedangkan segmen NA dan NP dari virus H1N1 Mexico
Universitas Sumatera Utara
berasal dari virus influenza A babi yang terdapat di Eropa pada tahun 1992. Diduga proses reassortment ini muncul sebagai akibat infeksi lebih dari 1 macam virus influenza di babi disertai dengan tambahan mutasi tertentu yang memungkinkan virus H1N1 Mexico dapat menular ke manusia dan bertransmisi antar manusia.24
2.10
Gambaran klinis Gejala influenza like illness (ILI) yang mencakup gejala-gejala common cold dan gejala influenza sering kali
serupa, namun
sebenarnya kedua penyakit tersebut berbeda karena disebabkan oleh virus yang berbeda. Common cold disebabkan oleh Rhinovirus sedangkan influenza disebabkan oleh Orthomyxovirus. Gejala yang umum didapatkan pada common cold adalah pilek dengan nasal discharge yang nyata serta nyeri tenggorokan, sedangkan demam, sakit kepala, muntah dan diare biasanya jarang dijumpai. Sebaliknya pada influenza gejala demam mendadak (39-40 0C), sakit kepala, malaise dan muntah lebih sering dijumpai sedangkan pilek dan nyeri tenggorokan lebih jarang ditemukan. Walaupun demikian gejala klinik influenza sendiri mempunyai spektrum yang luas mulai dari gejala subklinik sampai yang fulminan.1,3
Universitas Sumatera Utara
Gejala influenza yang tipikal timbulnya mendadak dengan manifestasi nyeri tenggorokan, sakit kepala, demam, menggigil, mialgia, anoreksia dan malaise yang nyata. Demam biasanya antara 38-400C namun bisa lebih tinggi dan umumnya berlangsung selama 3 hari (rata-rata 5 hari). Gejala respirasi lain yaitu batuk yang biasanya nonproduktif dan rinitis. Nyeri substernal, nyeri abdomen, fotofobia dan diare dapat juga ditemukan namun lebih jarang.17,19,20 Pada pemeriksaan fisik tidak dapat ditemukan tanda-tanda karakteristik kecuali hiperemi ringan sampai berat pada selaput lendir tenggorok. Pemeriksaan paru biasanya normal namun pada 25% kasus bisa juga didapat adanya ronki basah.18 Pada penderita usia lanjut demam bisa tidak ditemukan dan gejala yang ada biasanya berupa anoreksia, kelelahan, rinitis dan confusio. Mortalitas yang tinggi dialami penderita usia lanjut karena pneumonia virus interstitial, yang mengakibatkan saturasi oksigen yang berkurang dengan akibat asidosis dan anoksia. Infeksi sekunder yang berat sekali dan dikenal sebagai pneumonia stafilokokkus fulminan yang dapat terjadi beberapa hari setelah seorang diserang influenza dan kemudian terjadi sesak nafas, diare, batuk dengan bercak merah, hipotensi dan gejala-gejala kegagalan sirkulasi.17,18,19
2.11
Diagnosis
Universitas Sumatera Utara
Diagnosis
influenza
biasanya
disangkakan
berdasarkan
karakteristik tampilan klinis, terlebih lagi influenza sedang berjangkit di suatu wilayah tertentu. Virus dapat terdeteksi pada masa akut dengan memakai spesimen yang berasal dari apus tenggorokan, bilasan nasofaring ataupun sputum.1 Virus influenza dapat diisolasi dari apusan nasofaring dan tenggorokan dalam kurun waktu 5 hari setelah onset gejala terjadi. Kultur dilakukan dengan menginokulasikan virus dari bahan apusan ke dalam kantung amniotik atau alantoik dari embrio ayam ataupun sel-sel tertentu lainnya yang dapat mendukung untuk proses replikasi virus tersebut. Diperlukan waktu paling sedikit 2 hari untuk melihat pertumbuhan virus dan waktu tambahan sekitar 1-2 hari untuk proses identifikasinya. Karena itu, metode pemeriksaan dengan cara kultur biasanya hanya digunakan untuk mengetahui virus penyebab suatu epidemi lokal dan kurang dipergunakan dalam rangka manajemen kasus perorangan.1,3 Pemeriksaan serologi merupakan metode diagnostik influenza lainnya dan biasa dilakukan dengan metode Complement Fixation (CF) dan Hemaglutinine Inhibition (HI). Tipe virus influenza dapat diketahui baik dengan metode immunofluorensens ataupun HI, dan subtipe dari antigen hemaglutinin dapat diketahui dengan metode HI memakai antisera yang spesifik terhadapa tipe tertentu. Metode serologis biasanya dipakai untuk mengetahui etiologi infeksi secara
Universitas Sumatera Utara
secara retrospektif, dimana bila terjadi peningkatan titer antibodi sebesar 4 kali lipat atau lebih dapat merupakan pertanda adanya infeksi akut influenza. Biasanya diperlukan waktu 10-14 hari setelah onset gejala dimulai agar dapat dideteksi adanya peningkatan titer antibodi.1,23 Metode lain yang juga memanfaatkan prinsip imunologi adalah pemeriksaan antigen virus dari apusan nasal ataupun tenggorokan dengan metode rapid antigen detection atau lebih dikenal dengan rapid test. Metode ini dapat mendeteksi adanya antigen virus influenza, sehingga dapat mendeteksi adanya infeksi influenza A atau B dalam waktu yang relatif singkat. 1,3 Saat ini, metode ini yang paling umum disepakati sebagai baku emas diagnosis infeksi virus
influenza adalah dengan metode
pemeriksaan PCR, yang akan mendeteksi materi asam nukleat virus dari bahan sampel. Metode Reverse Transcryptase PCR (RT PCR) supaya sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dan saat ini sudah menggantikan metode kultur sebagai baku emas diagnosis influenza.1
2.12
Diagnosis banding Pada keadaan wabah influenza berupa keadaan epidemi lokal,
diagnosis influenza secara klinis mempunyai akurasi yang cukup baik. Dalam kondisi normal atau hanya dijumpai keadaan infeksi inrluenza yang sporadik , seringkali sulit membedakan influenza dengan berbagai
Universitas Sumatera Utara
kasus infeksi saluran nafas lainnya. Berbagai virus selain influenza seperti virus Parainfluenza, RSV, Adenovirus, Enterovirus, Coronavirus, Rhinovirus atau Metapneumovirus dapat memberikan gambaran klinis yang mirip dengan influenza. Bahkan faringitis Streptococcal dan pneumonia bakterial fase awal dapat memberikan gambaran klinis yang mirip dengan influenza. Namun adanya sputum yang purulen dapat menjadi petunjuk diagnostik yang penting untuk membedakan antara influenza dengan pneumonia bakterial.1,10,11
2.13
Pengobatan Pada kasus influenza yang tidak berkomplikasi ataupun tanpa penyakit
komorbid
lainnya,
dianjurkan
utuk
dilakukan
terapi
simptomatis saja. Pemberian asetaminofen dapat berguna untuk menurunkan demam, mengurangi sakit kepala dan mialgia. Akan tetapi pemberian salisilat harus dihindari pada anak berusia kurang dari 18 tahun karena kekuatiran akan terjadinya efek samping Reye’s syndrome. Bila batuk yang dialami pasien cukup mengganggu dapat diredakan dengan pemberian kodein. Pasien sebaiknya dianjurkan untuk beristirahat dengan cukup dan menjaga hidrasi yang cukup. Saat ini tersedia dua golongan obat anti infuenza yaitu golongan neuraminidase inhibitor dan golongan adamantane. Yang termasuk
Universitas Sumatera Utara
golongan adamantane adalah amantadin dan rimantadin. Laporan surveilans dan penelitian influenza di banyak negara sepanjang tahun 2005 sampai dengan 2006 menyebutkan bahwa >90% virus H3N2 yang diisolasi ternyata telah resisten terhadap amantadin dan rimantadin. Hal ini menyebabkan tidak lagi direkomendasikan saat ini, meskipun dapat dipastikan bahwa obat ini masih akan dapat dipakai lagi manakala sensitivitas virus influenza terhadap obat ini sudah membaik atau bila uji resistensi virus menunjukkan hasil yang sensitif.1,3,26 Obat golongan neuraminidase inhibitor yaitu zanamivir dan oseltamivir baik terhadap influenza A maupun influenza B. Oseltamivir diberikan per oral dengan dosis 75 mg dua kali sehari selama 5 hari, sedangkan zanamivir diberikan per inhalasi, 10 mg dua kali sehari selama 5 hari. Bila diberikan dalam kurun waktu kurang dari 2 hari setelah onset gejal mulai maka obat ini akan dapat mengurangi gejala influenza
menjadi
dibandingkan
bila
lebih
singkat
tanpa
1-5
sampai
mengkonsumsinya.
dengan Zanamivir
2
hari dapat
menimbulkan efek samping bronkospasme pada pasien asma, sementar oseltamivir dilaporkan bisa menimbulkan efek samping mual dan muntah.1,4 Pengobatan
dengan
amantadin
dan
rimantadine
dapat
diberikan pada influenza A yang sensitif dan bila diberikan dalam waktu kurang dari 48 jam setelah onset gejala mulai terjadi maka
Universitas Sumatera Utara
akan dpat mengurangi durasi gejala dan tanda influenza sampai dengan 50%. Dosis amantadin dan rimantadin adalah 200 mg/hari selama 7 hari. Efek samping yang mungkin terjadi akibat pemakaian amantadin adalah gangguan SSP ringan seperti ansietas, insomnia ataupun gangguan konsentrasi. Rimantadin juga dapat menimbulkan efek samping yang mirip dengan amantadin dengan frekuensi yang lebih jarang. 1,3 Obat lain yang masih diteliti untuk penanganan influenza adalah ribavirin. Beberapa laporan peneliitan menyebutkan efektifitas yang
bervariasi
dalam
penanganan
influenza,
sehingga
pemakaiannya sampai saat ini masih belum direkomendasikan.1 Pemberian obat antibiotik sebaiknya diberikan pada kasus influenza yang mengalami komplikasi pneumonia bakterial. Pilihan terapi sebaiknya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan test uji sensitivitas. Jika etiologinya masih belum dapat ditentukan, dapat diberikan terapi antibiotik empirik yang disesuaikan dengan mikroorganisme tersering sebagai penyebab pneumonia bakterial yaitu S. Pneumoniae, S. Aureus dan H. Influenzae 1.
2.14
Pencegahan Pencegahan terhadap infeksi virus influenza dapat dilakukan dengan vaksinasi memakai inactivated vaccine atau live attenuated vaccine. Inactivated vaccine diperoleh dari virus influenza A dan B
Universitas Sumatera Utara
yang diisolasi dari pasien-pasien yang terkena influenza pada musim influenza yang terakhir. Jika infeksi terjadi oleh virus influenza dalam periode waktu yang tidak terlalu lama dengan vaksinasi terakhir, maka diperkirakan akan terdapat daya proteksi sebesar 50-80%. Efek samping yang sering didapati adalah demam yang terjadi dalam waktu 8-24 jam setelah vaksinasi. Pemberian vaksin dianjurkan diberikan sekali setahun sebelum musim influenza berjangkit. Bentuk lainnya adalah live attenuated vaccine, yang mana pemberiannya diberikan
secara
spray
intra
nasal.
Live
attenuated
vaccine
mempunyai daya proteksi yang lebih baik yaitu sekitar 92%. Live attenuated vaccine diperoleh dari hasil reassortment virus-virus influenza A dan B yang beredar pada suatu periode waktu tertentu, sehingga dilaporkan masih akan dapat efektif pada strain yang mengalami antigenic drifting. 1,3 Selain dengan tindakan vaksinasi, pemberian obat anti virus juga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu cara kemoprofilaksis terhadap influenza. Pemberian kemoprofilaksis dengan oseltamivir 75 mg/hari atau zanamivir 10 mg/hari dilaporkan mempunyai efekasi sebesar 88-89% dalam pencegahan influenza A dan B. Pada penelitian sebelumnya pemberian amantadin dan rimantadine 100200 mg/hari mempunyai efektitas sebesar 70-100% dalam mencegah influenza A. Kemoprofilaksis dengan obat-obat anti viral diindikasikan pada
individu
yang
rentan
terhadap
influenza
pada
suatu
Universitas Sumatera Utara
outbreak/musim influenza dimana vaksin influenza yang tersedia tidak efektif terhadap strain yang beredar pada saat itu. Obat anti influenza profilaksis jenis inactivated vaccine dapat diberikan bersamaan dengan pemberian vaksin influenza karena dapat meningkatkan efektifitas profilaksis serta jarang menimbulkan efek samping. 1,3,26
2.15
Rapid Test Metode rapid test untuk diagnostik influenza merupakan metode yang baru digunakan untuk mendiagnosa lebih awal penyakit influenza dalam rangka pemberian obat anti viral. Prinsip dari pemeriksaan rapid test adalah mendeteksi antigen virus yang ada pada sampel dengan memakai antibodi terhadap virus influenza A atau influenza B yang dimasukkan ke dalam stick rapid test. Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan rapid test adalah Swab (apusan) dari hidung dari daerah kartilago lateral ala nasi dan swab tenggorokan dari daerah paratonsiler.
(28,29)
Berdasarkan data yang
ada di laboratorium NAMRU-2 sensitifitas alat ini (Directigen Flu A+B) ini hanya sekitar 50-60%, dengan spesifisitas 95-100%, sehingga harus diingat bahwa hasil negatif tidak berarti bahwa penderita tersebut tidak terinfeksi virus influenza, sementara hasil positif menunjukkan
bahwa
besar
kemungkinan
penderita
tersebut
menderita influenza.(1)
Universitas Sumatera Utara
WHO juga merekomendasikan pemeriksaan rapid test ini pada penderita influenza karena hasil pemeriksaan yang cepat kurang dari 30 menit dapat diketahui apakah positif influenza A atau influenza B. Pengambilan sampel juga dari apusan hidung dan tenggorokan. Secara umum dikatakan sensitifitas rapid test ini 70-75% dan spesifisitasnya 90-95%. (30) Rekomendasi penggunaan rapid test ini pada daerah yang dilakukan surveilans adalah : •
Surveilans
influenza
digunakan
sebagai
petunjuk
pemakaian rapid test secara optimal. •
Selama periode aktifitas influenza yang rendah, jika rapid test ini digunakan hasil positif harus di dikonfirmasi dengan immunofluorescence assay (IFA, kultur virus atau RT-PCR.
•
Pada saat berjangkitnya penyakit influenza, rapid test digunakan
untuk
meningkatkan
kewaspadaan
dan
penanganan klinis. •
Selama periode aktifitas influenza meningkat, secara praktis pemeriksaan influenza dengan melihat definisi influenza. Rapid test direkomendasikan penggunaannya bila berpengaruh terhadap penanganan penderita.
•
Pentingnya pelatihan bagi petugas yang bertugas di laboratorium untuk menggunakan rapid test ini.
Universitas Sumatera Utara
Pada daerah yang tidak dilakukan surveilans influenza rekomendasi WHO adalah: (30) •
Pada daerah yang tidak diketahui aktifitas influenza penggunaan
rapid
test
untuk
diagnosis
tidak
direkomendasikan. •
Jika rapid test digunakan, hasil positif atau negatif harus dikonfirmasi dengan IFA, kultur virus atau RT-PCR.
2.16
Prinsip Dasar Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Proses tersebut mirip dengan proses replikasi
DNA
di
dalam
sel.
Polymerase
Chain
Reaction
membutuhkan templat untai DNA ganda yang mengandung DNA target yang diamplifikasi, enzim DNA polimerase, nukleotida trifosfat dan sepasang primer oligonukleotida. Untuk merancang urutan primer, perlu diketahui urutan nukleotida pada awal dan akhir DNA target. Primer oligonukleotida tersebut disintesis menggunakan alat yang disebut DNA synthesizer. Pada kondisi tertentu, kedua primer menempel pada untai DNA komplemennya yang terletak pada awal dan akhir DNA target. Kedua primer tersebut masing-masing mengenali kedua untai DNA dan berfungsi menyediakan gugus hidroksil bebas pada karbon. Setelah kedua primer menempel pada DNA templat, DNA polimerase mengkatalisis proses pemanjangan
Universitas Sumatera Utara
kedua primer dengan menambahkan nukleotida yang komplemen dengan urutan nukleotida templatnya.(32,36) PCR melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga
tahap
berurutan,
yaitu
denaturasi
templat,
penempelan
pasangan primer pada untai ganda DNA target dan pemanjangan primer. Denaturasi DNA templat pada siklus pertama dilakukan pada temperatur 94-100°C untuk memisahkan kedua untai DNA genom secara sempurna, sehingga kedua primer menempel setelah penurunan
temperatur.
Untuk
siklus
selanjutnya,
denaturasi
dilakukan pada temperatur 90-95°C tetapi optimalisasi perlu dilakukan untuk reaksi thermocycler dan tabung reaksi berbeda. Pada
tahap
kedua,
temperatur
diturunkan
sampai
37-60°C
(tergantung pada primer yang digunakan) sehingga kedua primer menempel pada untai DNA target. Tahap ini menentukan spesifisitas PCR. Setelah primer menempel pad DNA target, DNA polimerase mengkatalisis penambahan nukleotida yang biasanya dilakukan pada temperatur 72°C, yang merupakan temperatur optimum untu Taq/Amplitaq DNA polimerase. Lama tahap pemanjangan tergantung pada panjang DNA yang diamplifikasi. Seringkali tahap pemanjangan terakhir dilakukan lebih lama (sampai 10 menit) untuk menjamin agar semua molekul produk amplifikasi telah dipanjangkan secara sempurna.(34,36)
Universitas Sumatera Utara
Pada akhir siklus pertama, target DNA jumlahnya menjadi dua kali lebih banyak ari jumlah semula. Siklus diulangi kembali, dimulai dengan tahap denaturasi, penempelan dan pemanjangan primer. Produk hasil sintesis pada akhir setiap siklus berfungsi sebagai templat
dalam
siklus
selanjutnya,
sehingga
fragmen
DNA
diamplifikasi secara eksponensial. Jumlah siklus biasanya antara 25 dan 35, tetapi umumnya 30. Jumlah siklus lebih dari 35 tidak menaikkan jumlah produk yang tidak spesifik. Pad akhir PCR diperoleh amplifikasi sebanyak 106 – 109 kali jumlah DNA target awal. (34,36)
Untuk mengaplikasi RNA digunakan suatu tehnik yang melibatkan transkripsi balik (reverse transcription) dan PCR. RNA pertama-tama diubah terlebih dahulu menjadi DNA menggunakan suatu enzim yang mengkatalisis sintesis DNA dari RNA (reverse transcriptase). Secara keseluruhan metode ini disingkat menjadi RTPCR. Setelah DNA terbentuk (disebut cDNA) maka DNA tersebut diamplifikasi dengan enzim DNA polimerase. PCR mengamplifikasi DNA, maka patogen yang mati dapat memberikan hasil positif. RTPCR yang ditujukan untuk mengamplifikasi RNA (mRNA, tRNA, dan rRNA) hanya memberikan hasil positif bila patogen hidup. Hal ini disebabkan karena kestabilan mRNA, tRNA, dan rRNA yang relatif rendah dibandingkan dengan DNA. RT-PCR juga dapat digunakan untuk mendeteksi virus bergenom RNA.(33,34,35)
Universitas Sumatera Utara
2.17
Prosedur Pengambilan dan Pengiriman Sampel PCR Pasien yang memenuhi kriteria inklusi, dianamnesis untuk mengisi selembar kuesioner yang berisi sedikit data pribadi, gejala penyakit sekarang, riwayat berobat dan apakah terdapat riwayat kontak dengan unggas. Dokter kemudian mengambil apus hidung dan apus tenggorok dari pasien, mengikuti prosedur sebagai berikut : 1.
Pertama-tama disiapkan alat-alatnya berupa: 3 buah vial berwarna merah muda yang berisi media transport untuk pertumbuhan virus (media Hanks’ Balance Salt Solution/HBSS), 3 tangkai swab/lidiwaten, sarung tangan,penekan lidah dan perlengkapan untuk keamanan untuk (sarung tangan dan masker) bila diperlukan. Tempelkan stiker pada setiap vial, dan tuliskan nama pasien, jenis apus yang diambil (hidung1, hidung2, atau tenggorok), serta tanggal pengambilan apus ini.
2.
Apus yang pertama diambil adalah apus hidung1. Pakailah sarung tangan, dan buka pembungkus swab pertama. Usapkan swab tersebut pada lubang hidung kanan perlahanlahan sampai sekitar kartilago lateral atas (2-3 cm dari ujung swab), masukkan swab tersebut pada vial pertama (hidung1) dan putuskan tangkainya sehingga vial tersebut dapat ditutup.
3.
Kemudian lakukan hal yang sama seperti (2) pada hidung sebelah kiri dan masukkan pada vial yang berlabel hidung2.
Universitas Sumatera Utara
4.
Kemudian dilakukan pengambilan sampel dari tenggorokan. Siapkan swab ke 3. Instruksikan pasien untuk membuka mulutnya, dan mengucapkan “aaaa” panjang. Tekanlah secara lembut lidah pasien, sehingga rongga mulut dapat terlihat dengan baik. Usapkan swab pada daerah peritonsiler (atau tonsil) kiri dan kanan terlebih dahulu, kemudian diakhiri dengan pharynx. Masukkan swab pada vial untuk tenggorok.Jika sebelum lengkap pengusapan ini pasien terangsang refleks muntahnya, pengambilan sampel dapat diulang kembali untuk tempat
yang
belum
dilaksanakan
setelah
pasien
siap.
Masukkan sampel ke dalam vial yang telah dilabel untuk tenggorokan, kemudian ditutup. 5.
Perhatikan apakah semua vial sudah diberi label dan dilengkapi, serta lembaran kuesioner telah diisi. Simpanlah semua sampel pada kulkas dibagian bawah (2-8 C), atau jika ada disimpan di revco (-70 C) atau nitrogen cair (-196 C) yang telah disiapkan. Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan cepat (seperti dijelaskan pada prosedur pemeriksaan sampel) adalah sampel yang berasal dari vial hidung1).
6.
Sampel-sampel tersebut setiap minggu dimasukkan dalam styroform yang telah disediakan dan disusun sedemikian rupa sehingga sampel tersebut dikelilingi oleh 4 buah “ice-packs” di dalam styroform atau jika memungkinkan menggunakan es
Universitas Sumatera Utara
kering.Tutuplah (sealed) styroform tersebut dengan rapat, dan kirimkan setiap hari senin setiap minggu ke Bagian Virologi NAMRU-2, JAKARTA. Jl Percetakan Negara no 29, Jakarta.
1.
Prosedur Pemeriksaan sampel Pemeriksaan yang akan dilakukan pada sampel tersebut adalah : a.
Pemeriksaan dilakukan menggunakan sampel hidung1. Prinsip dari pemeriksaan ini adalah antigen virus Influenza A tau B yang terdapat pada sampel akan dideteksi oleh antibodi yang telah ditempatkan pada kit (lubang atas: antibodi terhadap berbagai galur influenza A, dan lubang bawah antibodi terhadap berbagai galur influenza B). Berdasarkan data di NAMRU-2 Sentifitas kit ini hanyalah sekitar 50-60% saja, dengan spesifisitas hampir mencapai 100%, sehingga perlu diingat bahwa hasil negatif tidak berarti bahwa penderita tersebut pasti tidak terkena influenza, sementara itu hasil positif menunjukkan kemungkinan besar penderita tersebut benar-benar
terkena
influenza.
Hasil
pemeriksaan
dituliskan pada lembaran kuesioner. b.
Pemeriksaan untuk mendeteksi RNA virus influenza menggunakan metoda Reverse-trancriptase Polymerase
Universitas Sumatera Utara
Chain Reaction (RT-PCR) Dilakukan terhadap semua sampel baik dari hidung maupun sampel tenggorok. Saat ini semua sampel tersebut akan diperiksa terlebih dahulu untuk Influenza A H5N1 (Influenza burung, atau subtype lain dari flu burung) untuk skrining sampai dipastikan tidak ada lagi resiko dari flu burung. Jika sampel tersebut terbukti negatif, akan dilanjutkan dengan pemeriksaan untuk influenza A H1N1, Influenza A H3N2 dan Influenza B dan isolasi serta identifikasi (4c). Secara ringkas, langkah-langkah pemeriksaan dengan metoda RT-PCR adalah sebagai berikut : 1. RNA virus diekstraksi dari setiap sampel. 2. RNA virus di “reverse-transcriptase” menjadi cDNA. 3. cDNA diamplifikasi dengan PCR. 4. Hasil amplifikasi dianalisa dengan elektroforesa agar untuk menentukan subtipe virus influenza. c.
Kultur, isolasi, dan identifikasi virus sampel yang bebas H5N1 lewat penyaringan dengan metoda RT-PCR, selanjutnya akan dikultur dan jika positif virus influenza akan di-isolasi serta di-identifikasi galurnya. Langkahlangkah kultur, isolasi, identifikasi virus influenza adalah sbb:
Universitas Sumatera Utara
1. Sel Madin Darby Canine Kidney (MDCK) disuspensi dengan Minimum Essential Medium selama 2 hari untuk mendapatkan konfluensi monolayer dimana virus influenza akan hidup. 2. Sampel dari hidung atau tenggorok sebanyak 0.2 ml diinokulasikan pada (1). 3. Kultur yang positif diinkubasi dengan antibodi monoklonal influenza A dan B untuk mengidentifikasi influenza A dan B. 4. Selanjutnya dilakukan test HI untuk mengidentifikasi galur virus influenza menggunakan antisera standar sesuai referensi.
2.15
Kerangka Konsepsional
Hewan
Virus influenza
Mutasi - Antigenic shifting - Antigenic drifting
Manusia
Gejala dan Klinis Influenza
Perubahan antigenik
Universitas Sumatera Utara