BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Baterai Baterai adalah sel elektrokimia yang mengubah energi kimia menjadi energi listrik dengan suatu reaksi elektrokimia. Komponen utama baterai, yaitu: 1. Elektroda negatif (anoda), yaitu elektroda yang melepaskan elektron ke rangkaian luar serta mengalami proses oksidasi pada proses elektrokimia. 2. Elektroda positif (katoda), yaitu elektroda yang menerima elektron dari rangkaian luar serta mengalami proses reduksi pada proses elektrokimia. 3. Penghantar ion (elekrolit), yaitu media transfer ion (Triwibowo, 2011).
2.2 Jenis-jenis Baterai Berdasarkan kemampuannya untuk dikosongkan (discharged) dan diisi ulang (recharged) baterai terbagi menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut : 1. Baterai Primer Baterai primer adalah baterai yang tidak dapat diisi ulang. Setelah kapasitas baterai habis, baterai tidak dapat dipakai kembali. Beberapa contoh baterai jenis ini adalah baterai Seng-Karbon (Baterai Kering), baterai Alkalin dan baterai Merkuri. 2. Baterai Sekunder Baterai sekunder adalah baterai yang dapat diisi ulang. Kemampuan diisi ulang baterai sekunder bervariasi antara 100-500 kali (satu siklus adalah satu kali pengisian dan pengosongan). Beberapa contoh baterai sekunder adalah baterai NiCd, baterai Ni-MH, dan baterai ion lithium (Buchmann, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Baterai Ion Lithium Secara umum, baterai lithium adalah baterai yang digerakkan oleh ion lithium (Prihandoko, 2008). Dalam kondisi discharge dan recharge baterai lithium bekerja menurut fenomena interkalasi, dimana ion lithium melakukan migrasi dari katoda lewat elektrolit ke anoda atau sebaliknya tanpa terjadi perubahan struktur kristal dari bahan katoda dan anoda (Prihandoko, 2008). Proses interkalasi pada baterai ion lithium saat charge dan discharge dapat dilihat di Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Proses Interkalasi pada Baterai Ion Lithium saat Charge dan Discharge.(Triwibowo, 2011) Interkalasi merupakan proses pelepasan ion lithium dari tempatnya distruktur kristal suatu bahan elektroda dan pemasukan ion lithium pada struktur kirstal bahan elektroda yang lain. Sehingga keunggulan bahan anoda dan katoda terletak pada stabilitas kristal dalam proses interkalasi dan bahan elektroda harus mempunyai tempat bagi perpindahan ion lithium yang sering disebut host. Oleh karena itu bahan elektroda harus mempunyai struktur host. Pada umumnya bahan mempunyai tiga kategori/model dalam melakukan interkalasi yang bergantung pada bentuk host strukturnya, yaitu interkalasi dalam satu dimensi, dua dimensi dan tiga dimensi, seperti tergambar di Gambar 2.2.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Tiga Model Host dari Bahan Katoda dan Anoda (Prihandoko, 2008) Baterai lithium termasuk dalam kategori baterai sekunder atau rechargeable battery, maka baik reaksi reduksi maupun oksidasi terjadi ketika sedang diisi muatan listrik (charge) dan ketika dikosongkan/dilepaskan muatan listrik (discharge). Sebelum digunakan, baterai lithium biasanya terlebih dahulu di charge, yang berarti bahwa aliran elektron dari sumber tegangan mengalir dari katoda ke anoda. Untuk kesetimbangan muatan, ion-ion lithium dari katoda mengalir melalui elektrolit dan separator menuju kutub anoda hingga kondisi kesetimbangan tercapai. Ketika baterai lithium dipakai, muatan listrik dalam bentuk elektron mengalir dari kutub anoda melalui beban (load) ke kutub katoda. Untuk mengimbangi pergerakan ini, ion-ion lithium yang berasal dari kutub anoda mengalir melalui elektrolit dan menembus pori-pori separator menuju kutub katoda. Kejadian ini terus menerus terjadi hingga seluruh muatan ion di katoda habis atau mengalamai kesetimbangan muatan. Setelah baterai kosong/habis, proses charging kembali dilakukan.
2.4 Material Katoda Struktur, sifat fisik dan sifat elektrokimia material katoda menentukan kinerja pada baterai ion lithium. Untuk setiap berat material katoda, jumlah ion lithium yang dilepaskan material katoda saat charging dan jumlah ion lithium yang kembali dalam waktu tertentu ke material katoda saat discharging menggambarkan densitas energi dan densitas power sel baterai. Semakin banyak ion lithium dipindahkan dari katoda ke anoda maka semakin besar pula densitas energi sel baterai. Semakin banyak ion lithium yang kembali ke katoda dari anoda setiap detiknya, maka semakin besar densitas powernya. Oleh karena itu, material katoda harus bersifat ion konduktif dan
Universitas Sumatera Utara
elektron konduktif (Triwibowo, 2011). Material katoda merupakan elektroda positif yang mempunyai fungsi sebagai pengumpul ion serta material aktif. Beberapa karakteristik yang harus dipenuhi suatu material sebagai katoda antara lain : a. Material tersebut terdiri dari ion yang mudah melakukan reaksi reduksi dan oksidasi b. Memiliki konduktifitas yang tinggi seperti logam c. Memiliki kerapatan energi yang tinggi d. Memiliki kapasitas energi yang tinggi e. Memiliki kestabilan yang tinggi (tidak mudah berubah strukturnya atau terdegradasi baik saat pemakaian maupun pengisian ulang) f. Harganya murah dan ramah lingkungan (Xu, 2012).
2.5 Lithium Ferro Phospat (LiFePO 4 ) Lithium Ferro phospat atau disebut juga lithium Iron phospat (LiFePO 4 ) merupakan material katoda yang sedang dikembangkan saat ini yang memiliki keunggulan yaitu biaya pembuatan lebih murah, karena bahan–bahan pembentuknya mudah didapatkan dialam, tidak beracun, kapasitas sedang sebesar 170 mAh/g, konduktifitas sebesar 109
S/cm dan ramah lingkungan (Sari, dkk., 2014). LiFePO 4 memiliki struktur olivin yaitu proses interkalasi yang terjadi dalam 1
dimensi atau satu arah yang dapat diaplikasikan pada mobil listrik. Struktur LiFePO 4 dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 Struktur Host Olivin dari Material Katoda LiFePO 4 (Triwibowo, 2011)
Universitas Sumatera Utara
Di sisi lain, meski banyak penelitian dalam fabrikasi dan karakterisasi pada LiFePO4, bahan ini memiliki kelemahan sebagai bahan katoda komersial dalam baterai Li-ion karena tingkat kemampuan yang rendah, yang dikaitkan dengan konduktivitas elektronik yang rendah dan gerakan difusi antar muka yang lambat pada ion lithium LiFePO 4 (Efhana, dkk., 2014) Berbagai
cara
dilakukan
untuk
meningkatkan
konduktifitas
sekaligus
memperbaiki performa baterai, termasuk didalamnya untuk mencapai nilai teoritik kapasitas baterai. Cara yang umum dilakukan diantaranya adalah: a. Memberikan lapisan karbon pada butir serbuk material katoda/carbon coating. Dengan cara ini konduktifitas elektronik akan meningkat. b. Doping agar ion lithium dapat dengan mudah berdifusi (Triwibowo, 2011).
2.6 Lithium Nickel Phosphate (LiNiPO 4 ) LiNiPO 4 (Lithium Nickel Phosphate) terinspirasi oleh perkembangan komersial LiFePO 4 . Para peneliti berusaha untuk menemukan bahan fosfat lain dengan struktur olivine. LiMnPO 4 telah banyak diteliti sejauh ini dan perkembangan terbaru tentang LiMnPO 4 telah menarik perhatian industri baterai ion lithium. Berbeda dengan LiFePO 4 dan LiMnPO 4 , LiNiPO 4 sangat terbatas karena tegangan kerja tinggi yang melebihi batasan stabil elektrolit yang berjalan (Qing, 2013). LiNiPO 4 sangat bagus digunakan dalam bahan aktif material katoda dibandingkan LiFePO 4 , karena LiNiPO 4 dapat meningkatkan tegangan kerja, meningkatkan stabilitas elektrolit, mempercepat difusi ion lithium (Wolfenstine, 2005)
2.7 Pelapisan Carbon dengan Tapioka Pelapisan carbon merupakan salah satu teknik yang paling penting untuk meningkatkan konduktifitas listrik pada material aktif katoda LiFePO 4 . Secara umum carbon (C) memiliki konduktifitas listrik sebesar 10-6 S/cm. (Selviani, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Pelapisan dengan menggunakan karbon dari senyawa organik diharapkan dapat mengatasi masalah konduktifitas listrik & biaya produksi. Untuk di Indonesia, sumber carbon yang dapat digunakan untuk melapisi LiFe 0.9 Ni 0.1 PO 4 adalah tapioka karena disamping peningkatan konduktifitas listriknya yang tinggi juga mudah untuk didapatkan (Rizky,2014). Tapioka memiliki kelebihan antara lain mudah didapat, harga relatif murah, dan kandungan karbon yang cukup tinggi (Lingga, 1992).
2.8 Metode Pembuatan 2.8.1 Metalurgi Serbuk Sintesis material katoda dapat dilakukan melalui beberapa cara, salah satunya solidstate method. Solid state methode merupakan sintesis metalurgi serbuk yang paling sederhana dengan mencampurkan serbuk yang telah ditentukan sampai homogen. Namun metode ini membutuhkan energi yang besar dan waktu yang lama dengan menggunakan temperatur sinter yang tinggi dan waktu sinter yang lama hingga menjadi material aktif katoda (Triwibowo, 2011). Temperatur sintering tersebut digunakan untuk mengikat partikel pada serbuk. Untuk menghilangkan kemungkinan adanya pengotor/impurities pada saat proses pembuatan material aktif katoda maka dibutuhkan proses kalsinasi yaitu proses untuk menghilangkan zat-zat organik yang tidak diperlukan (Oktavia, 2002).
2.8.2 Metode Pirolisis Pirolisis adalah proses penguraian (dekomposisi) bahan kimia dengan pemanasan tanpa oksigen. Pirolisis hanya meninggalkan karbon sebagai sisa yang disebut karbonisasi. Karbonisasi adalah proses pemanasan pada suhu dan waktu tertentu berkisar antara 200oC – 1000oC tanpa adanya oksigen untuk menghasilkan padatan yang berupa karbon (http://id.wikipedia.org/wiki/Pirolisis). Metode ini sering digunakan untuk pelapisan karbon pada serbuk material aktif katoda baterai ion lithium (Yuniarti, dkk 2013).
Universitas Sumatera Utara
2.9 Karakterisasi Sampel 2.9.1 X-Ray Diffraction (XRD) XRD merupakan alat yang digunakan untuk mengkarakterisasi struktur kristal dari suatu bahan padatan. Semua bahan yang mengandung kristal tertentu ketika dianalisa menggunakan XRD akan memunculkan puncak-puncak (Priyono, 2013). Pengamatan struktur kristal dengan XRD dilakukan sebagai tahap awal karakterisasi untuk mengidentifikasi sejauh mana fasa yang terbentuk seperti yang diinginkan (Subhan, 2011). Gejala difraksi akan ditunjukan oleh sinar-X disaat sinar yang merupakan gelombang elektromagnetik ini jatuh pada permukaan sampel. Sinar yang menumbuk atom akan didifraksikan dan dideteksi oleh detektor yang kemudian akan ditampilkan dalam bentuk grafik. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material yang disebut standart ICDD (Triwibowo, 2011).
2.9.2 Scanning Electron Microscopy (SEM) Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan mikroskop elektron yang mampu menghasilkan gambar beresolusi tinggi dari permukaan sampel. Hasil dari SEM hanya ditampilkan dalam warna hitam putih (Mila, 2011). SEM adalah sebuah mikroskop elektron yang didesain untuk mengamati permukaan objek solid secara langsung. Ada beberapa sinyal penting yang dihasilkan oleh SEM. Pada pantulan inelastis didapatkan sinyal elektron sekunder dan karakteristik sinar X sedangkan dari pantulan elastis didapatkan sinyal backscattered elektron. Elektron backscattered (BSE) yaitu ketika elektron beam menembak atom sampel akan tetapi elektron beam tidak mengenai elektron pada atom tersebut. BSE
Universitas Sumatera Utara
ini digunakan untuk menggambarkan kontras dalam komposisi dalam sampel multiphase dan untuk menangkap informasi mengenai nomor atom dan topografi. Elektron sekunder (ES) yaitu ketika elektron beam menembak atom pada sampel dan elektron pada sampel tersebut langsung terlepas. Elektron sekunder ini yang menghasilkan gambar SEM dan biasanya digunakan untuk pencitraan sampel dalam menunjukkan morfologi dan topografi pada sampel. Sinyal – sinyal yang dihasilkan oleh SEM dapat dilihat pada Gambar 2.14. dibawah ini.
Gambar 2.4. Sinyal-Sinyal dalam SEM Kedua sinyal inilah yang akan dideteksi oleh detektor dan dimunculkan dalam bentuk gambar pada monitor CRT. Perbedaan gambar dari sinyal elektron sekunder dengan backscattered adalah elektron sekunder menghasilkan topografi dari benda yang dianalisa, permukaan yang tinggi berwarna lebih cerah dari permukaan rendah sedangkan backscattered elektron memberikan perbedaan berat molekul dari atom– atom yang menyusun permukaan, atom dengan berat molekul tinggi akan berwarna lebih cerah daripada atom dengan berat molekul rendah. SEM memiliki beberapa peralatan utama diantaranya penembak elektron, lensa magnetik, detektor, sampel holder, dan monitor CRT. Prinsip kerja dari SEM yaitu elektron gun menghasilkan elektron beam dari filamen. Pada umumnya elektron gun yang digunakan adalah tungsten hairpin gun dengan filamen berupa lilitan tungsten yang berfungsi sebagai katoda. Tegangan yang diberikan kepada lilitan mengakibatkan terjadinya pemanasan. Anoda kemudian akan membentuk gaya yang
Universitas Sumatera Utara
dapat menarik elektron melaju menuju ke anoda. Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju suatu titik pada permukaan sampel. Sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh koil pemindai. Ketika elektron mengenai sampel, maka akan terjadi hamburan elektron, baik Secondary Electron (SE) atau Back Scattered Electron (BSE) dari permukaan sampel dan akan dideteksi oleh detektor dan dimunculkan dalam bentuk gambar pada monitor CRT (https://materialcerdas.wordpress.com).
2.9.3 Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) Pengujian ini bertujuan untuk mengukur konduktifitas elektronik lembar katoda LiFe 0.9 Ni 0.1 PO 4 /C. Pengujian dilakukan menggunakan metode Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) dengan alat LCR-mter merek HIOKI 3532-50.
Grafik 2.1 Hasil Pengukuran Impedansi Komponen Sel (Triwibowo, 2011) Data yang didapat dituangkan dalam grafik Cole-cole Plot dimana sumbu x adalah impedansi real dari lembar katoda, sementara sumbu y adalah nilai impedansi imajiner. Dengan menarik busur setengah lingkaran memotong sumbu x dan profil garis Warburg dengan sudut ± 45o kemudian akan didapat nilai tahanan lembar katoda. Dari kedua impedansi tersebut maka akan dapat dihitung nilai resistansi dari bahan (R bahan ) dan nilai resistansi dari ion (R ion ). Perhitungan konduktifitas dapat dilakukan
Universitas Sumatera Utara
dari kedua nilai resistansi tersebut. Dimana R bahan selalu nampak pada titik terendah dan R ion merupakan selisish dari nilai tertinggi dan nilai terendah dari setengah lingkaran yang dibentuk. Hasil
pengukuran
impedansi
dihitung
dengan
menggunakan
persamaan
konduktifitas, yaitu: 𝑡𝑡
(2.1)
R tot = R bahan + R ion
(2.2)
σ= dengan
Rtot 𝑥𝑥 A
Keterangan : t
= Tebal sampel (cm)
A
= Luas permukaan sampel (cm2)
R bahan = Resistansi bahan (Ω) R ion
= Resistansi ion (Ω)
R tot
= Resistansi bahan dan ion (Ω)
σ
= Konduktifitas (S/cm)
(Triwibowo, 2011)
Universitas Sumatera Utara