BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Jantung
2.1.1. Anatomi Jantung Jantung terletak di rongga toraks di antara paru – paru. Lokasi ini dinamakan mediastinum (Scanlon, 2007). Jantung memiliki panjang kira-kira 12 cm (5 in.), lebar 9 cm (3,5 in.), dan tebal 6 cm (2,5 in.), dengan massa rata – rata 250 g pada wanita dewasa dan 300 g pada pria dewasa. Dua pertiga massa jantung berada di sebelah kiri dari garis tengah tubuh (Tortora, 2012). Pangkal jantung berada di bagian paling atas, di belakang sternum, dan semua pembuluh darah besar masuk dan keluar dari daerah ini (Scanlon, 2007). Apeks jantung yang dibentuk oleh ujung ventrikel kiri menunjuk ke arah anterior, inferior, dan kiri, serta berada di atas diafragma. Membran yang membungkus dan melindungi jantung disebut perikardium. Perikardium menahan posisi jantung agar tetap berada di dalam mediastinum, namum tetap memberikan cukup kebebasan untuk kontraksi jantung yang cepat dan kuat. Perikardium terdiri dari dua bagian, yaitu perikardium fibrosa dan perikardium serosa. Perikardium fibrosa terdiri dari jaringan ikat yang kuat, padat, dan tidak elastis. Sedangkan perikardium serosa lebih tipis dan lebih lembut dan membentuk dua lapisan mengelilingi jantung. Lapisan parietal dari perikardium serosa bergabung dengan perikardium fibrosa. Lapisan viseral dari perikardium serosa, disebut juga epikardium, melekat kuat pada permukaan jantung. Di antara perikardium parietal dan viseral terdapat cairan serosa yang diproduksi oleh sel perikardial. Cairan perikardial ini berfungsi untuk mengurangi gesekan antara lapisan – lapisan perikardium serosa saar jantung berdenyut. Rongga yang berisi cairan perikardial disebut sebagai kavitas perikardial. Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan, yaitu epikardium (lapisan paling luar), miokardium (lapisan bagian tengah), dan endokardium (lapisan paling dalam). Seperti yang telah disebutkan di atas, lapisan epikardium merupakan lapisan viseral perikardium serosa yang disusun oleh mesotelium dan jaringan ikat
lunak, sehingga tekstur permukaan luar jantung terlihat lunak dan licin. Miokardium merupakan jaringan otot jantung yang menyusun hampir 95% dinding jantung. Miokardium bertanggung jawab untuk pemompaan jantung. Meskipun menyerupai otot rangka, otot jantung ini bekerja involunter seperti otot polos dan seratnya tersusun melingkari jantung. Lapisan terdalam dinding jantung, endokardium, merupakan lapisan tipis endotelium yang menutupi lapisan tipis jaringan ikat dan membungkus katup jantung. Jantung mempunyai empat ruangan. Dua ruangan penerima di bagian superior adalah atrium, sedangkan dua ruangan pemompa di bagian inferior adalah ventrikel. Atrium kanan membentuk batas kanan dari jantung (Tortora, 2012) dan menerima darah dari vena kava superior di bagian posterior atas, vena kava inferior, dan sinus koroner di bagian lebih bawah (Ellis, 2006). Atrium kanan ini memiliki ketebalan sekitar 2 – 3 mm (0,08 – 0,12 in.). Dinding posterior dan anteriornya sangat berbeda, dinding posteriornya halus, sedangkan dinding anteriornya kasar karena adanya bubungan otot yang disebut pectinate muscles. Antara atrium kanan dan kiri ada sekat tipis yang dinamakan septum interatrial. Darah mengalir dari atrium kanan ke ventrikel kanan melewati suatu katup yang dinamakan katup trikuspid atau katup atrioventrikular (AV) kanan. Ventrikel kanan membentuk pemukaan anterior jantung dengan ketebalan sekitar 4 – 5 mm (0,16 – 0,2 in.) dan bagian dalamnya dijumpai bubungan bubungan yang dibentuk oleh peninggian serat otot jantung yang disebut trabeculae carneae. Ventrikel kanan dan ventrikel kiri dipisahkan oleh septum interventrikular. Darah mengalir dari ventrikel kanan melewati katup pulmonal ke arteri besar yang dinamakan trunkus pulmonal. Darah dari trunkus pulmonal kemudian dibawa ke paru – paru. Atrium kiri memiliki ketebalan yang hampir sama dengan atrium kanan dan membentuk hampir keseluruhan pangkal dari jantung. Darah dari atrium kiri mengalir ke ventrikel kiri melewati katup bikuspid (mitral) atau katup AV kiri. Ventrikel kiri merupakan bagian tertebal dari jantung, ketebalan sekitar 10 – 15 mm (0,4 – 0,6 in.) dan membentuk apeks dari jantung. Sama dengan ventrikel kanan, ventrikel kiri mempunyai trabeculae carneae dan chordae tendineae yang menempel pada muskulus papilaris. Darah dari ventrikel
kiri ini akan melewati katup aorta ke ascending aorta. Sebagian darah akan mengalir ke arteri koroner dan membawa darah ke dinding jantung (Tortora, 2012).
Gambar 2.1. Struktur anatomi jantung bagian dalam Sumber: Tortora, G.J., Derrickson, B., 2012. The Cardiovascular System: The Heart. In: Roesch, B., et al., eds. Principles of Anatomy and Physiology. 13th ed. USA: John Wiley & Sons, 763 2.1.2. Fisiologi Jantung a. Siklus Jantung Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi) dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel mengalami siklus sistol dan diastol yang terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi ke seluruh jantung, sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi jantung. Selama diastol ventrikel dini, atrium juga masih berada dalam keadaan diastol. Karena aliran masuk darah yang kontinu dari sistem vena ke dalam atrium, tekanan atrium sedikit melebihi tekanan ventrikel walaupun kedua bilik tersebut melemas. Karena perbedaan tekanan ini, katup AV terbuka, dan darah mengalir langsung dari atrium ke dalam ventrikel selama diastol ventrikel. Akhirnya, volume ventrikel perlahan – lahan meningkat bahkan sebelum atrium berkontraksi.
Pada akhir diastol ventrikel, nodus sinoatrium (SA) mencapai ambang dan membentuk potensial aksi. Impuls menyebar ke seluruh atrium dan menimbulkan kontraksi atrium. Setelah eksitasi atrium, impuls berjalan melalui nodus AV dan sistem penghantar khusus untuk merangsang ventrikel. Ketika kontraksi ventrikel dimulai, tekanan ventrikel segera melebihi tekanan atrium. Perbedaan tekanan yang terbalik inilah yang mendorong katup AV tertutup. Setelah tekanan ventrikel melebihi tekanan atrium dan katup AV sudah menutup, tekanan ventrikel harus terus meningkat (Sherwood, 2001) sampai tekanan tersebut cukup untuk membuka katup semilunar (aorta dan pulmonal) (Guyton, 2006). Dengan demikian, terdapat periode waktu singkat antara penutupan katup AV dan pembukaan katup aorta. Karena semua katup tertutup, tidak ada darah yang masuk atau keluar dari ventrikel selama waktu ini. Interval ini disebut sebagai periode kontraksi ventrikel isometrik (Sherwood, 2001). Pada saat tekanan ventrikel kiri melebihi 80 mmHg dan tekanan ventrikel kanan melebihi 8 mmHg, katup semilunar akan terdorong dan membuka. Darah segera terpompa keluar dan terjadilah fase ejeksi ventrikel. Pada akhir sistolik, terjadi relaksasi ventrikel dan penurunan tekanan intraventrikular secara cepat. Peningkatan tekanan di arteri besar menyebabkan pendorongan darah kembali ke ventrikel sehingga terjadi penutupan katup semilunar (Guyton, 2006). Tidak ada lagi darah yang keluar dari ventrikel selama siklus ini, namun katup AV belum terbuka karena tekanan ventrikel masih lebih tinggi dari tekanan atrium. Dengan demikian, semua katup sekali lagi tertutup dalam waktu singkat yang dikenal sebagai relaksasi ventrikel isovolumetrik. b. Curah Jantung dan Kontrolnya Curah jantung (cardiac output) adalah volume darah yang dipompa oleh tiap – tiap ventrikel per menit (bukan jumlah total darah yang dipompa oleh jantung). Selama satu periode waktu tertentu, volume darah yang mengalir melalui sirkulasi paru ekivalen dengan volume darah yang mengalir melalui sirkulasi sistemik. Dengan demikian, curah jantung dari kedua ventrikel dalam keadaan normal identik, walaupun apabila diperbandingkan denyut demi denyut, dapat
terjadi variasi minor. Dua faktor penentu curah jantung adalah kecepatan denyut jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah yang dipompa per denyut). Kecepatan denyut jantung rata – rata adalah 70 kali per menit, yang ditentukam oleh irama sinus SA, sedangkan volume sekuncup rata –rata adalah 70 ml per denyut, sehingga curah jantung rata – rata adalah 4.900 ml/menit atau mendekati 5 liter/menit. Kecepatan denyut jantung terutama ditentukan oleh pengaruh otonom pada nodus SA. Nodus SA dalam keadaan normal adalah pemacu jantung karena memiliki kecepatan depolarisasi spontan tertinggi. Ketika nodus SA mencapai ambang, terbentuk potensial aksi yang menyebar ke seluruh jantung dan menginduksi jantung berkontraksi. Hal ini berlangsung sekitar 70 kali per menit, sehingga kecepatan denyut rata – rata adalah 70 kali per menit. Jantung dipersarafi oleh kedua divisi sistem saraf otonom, yang dapat memodifikasi kecepatan serta kekuatan kontraksi. Saraf parasimpatis ke jantung yaitu saraf vagus mempersarafi atrium, terutama nodus SA dan nodus atrioventrikel (AV). Pengaruh sistem saraf parasimpatis pada nodus SA adalah menurunkan kecepatan denyut jantung, sedangkan pengaruhnya ke nodus AV adalah menurunkan eksitabilitas nodus tersebut dan memperpanjang transmisi impuls ke ventrikel. Dengan demikian, di bawah pengaruh parasimpatis jantung akan berdenyut lebih lambat, waktu antara kontraksi atrium dan ventrikel memanjang, dan kontraksi atrium melemah. Sebaliknya, sistem saraf simpatis, yamg mengontrol kerja jantung pada situasi – situasi darurat atau sewaktu berolahraga, mempercepat denyut jantung melalui efeknya pada jaringan pemacu. Efek utama stimulasi simpatis pada nodus SA adalah meningkatkan keceptan depolarisasi, sehingga ambang lebih cepat dicapai. Stimulasi simpatis pada nodus AV mengurangi perlambatan nodus AV dengan meningkatkan kecepatan penghantaran. Selain itu, stimulasi simpatis mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur penghantar khusus. Komponen lain yang menentukan curah jantung adalah volume sekuncup. Terdapat dua jenis kontrol yang mempengaruhi volume sekuncup, yaitu kontrol intrinsik yang berkaitan dengan seberapa banyak aliran balik vena dan kontrol ekstrinsik yang berkaitan dengan tingkat stimulasi simpatis pada jantung. Kedua
faktor ini meningkatkan volume sekuncup dengan meningkatkan kontraksi otot jantung. Hubungan langsung antara volume diastolik akhir dan volume sekuncup membentuk kontrol intrinsik atas volume sekuncup, yang mengacu pada kemampuan inheren jantung untuk mengubah volume sekuncup. Semakin besar pengisian saat diastol, semakin besar volume diastolik akhir dan jantung semakin teregang. Semakin teregang jantung, semakin meningkat panjang serat otot awal sebelum kontraksi. Peningkatan panjang menghasilkan gaya yang lebih kuat, sehingga volume sekuncup menjadi lebih besar. Hubungan antara volume diastolik akhir dan volume sekuncup ini dikenal sebagai hukum Frank-Starling pada jantung. Secara sederhana, hukum Frank-Starling menyatakan bahwa jantung dalam keadaan normal memompa semua darah yang dikembalikan kepadanya, peningkatan aliran balik vena menyebabkan peningkatan volume sekuncup. Tingkat pengisian diastolik disebut sebagai preload, karena merupakan beban kerja yang diberikan ke jantung sebelum kontraksi mulai. Sedangkan tekanan darah di arteri yang harus diatasi ventrikel saat berkontraksi disebut sebagai afterload karena merupakan beban kerja yang ditimpakan ke jantung setelah kontraksi di mulai. Selain kontrol intrinsik, volume sekuncup juga menjadi subjek bagi kontrol ekstrinsik oleh faktor – faktor yang berasal dari luar jantung, diantaranya adalah efek saraf simpatis jantung dan epinefrin (Sherwood, 2001).
c. Tekanan Darah Tekanan darah adalah tekanan hidrostatik yang diakibatkan karena penekanan darah pada dinding pembuluh darah. Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah tertinggi yang dicapai arteri selama sistol, sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan darah terendah yang dicapai arteri selama diastol (Tortora, 2012). Tekanan arteri rata – rata (mean arterial pressure) adalah tekanan rata – rata yang bertanggung jawab mendorong darah maju ke jaringan selama seluruh siklus jantung. Perkiraan tekanan arteri rata – rata dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Tekanan arteri rata – rata = tekanan darah diastolik + 1/3 (tekanan darah sistolik – tekanan darah diastolik) Pengaturan tekanan arteri rata – rata bergantung pada dua kontrol utamanya, yaitu curah jantung dan resistensi perifer total. Kontrol curah jantung bergantung pada pengaturan kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup, sementara resistensi perifer total terutama ditentukan oleh derajat vasokonstriksi arteriol. Pengaturan jangka pendek tekanan darah terutama dilakukan oleh reflex baroreseptor. Baroreseptor sinus karotikus dan lengkung aorta secara terus – menerus memantau tekanan arteri rata – rata. Kontrol jangka panjang tekanan darah melibatkan pemeliharaan volume plasma yang sesuai melalui kontrol keseimbangan garam dan air oleh ginjal ( Sherwood, 2001).
Gambar 2.2. Faktor – faktor yang meningkatkan tekanan arteri rata – rata Sumber: Tortora, G.J., Derrickson, B., 2012. The Cardiovascular System: Blood Vessels and Hemodynamics. In: Roesch, B., et al., eds. Principles of Anatomy and Physiology. 13th ed. USA: John Wiley & Sons, 817 Pengukuran tekanan darah diindikasikan pada semua kondisi yang memerlukan penilaian fungsi kardiovaskular, termasuk untuk skrining. Alat yang
digunakan
dalam
pengukuran
tekanan
darah
adalah
stetoskop
dan
sfigmomanometer. Untuk persiapan sebelum memulai pemeriksaan, pemeriksa harus memastikan pasien tidak menggunakan tembakau, kafein, atau melakukan aktivitas fisik dalam 30 menit terakhir (Williams, et al., 2009). Dalam Cardiovascular Health, Nutrition and Physical Activity Section (2003), prosedur pengukuran tekanan darah adalah sebagai berikut: (1) Memeriksa kelengkapan alat, meletakkan manometer menghadap ke arah pemeriksa, lalu memilih ukuran cuff yang sesuai. (2) mempalpasi lokasi arteri brakialis, lalu melilitkan bagian bladder cuff di medial lengan atas, tepat di atas arteri brakialis, bagian bawah cuff berada 2,5 cm di atas fosa antekubiti, sejajar dengan jantung. Lengan pasien diletakkan di atas meja, diposisikan sedikit fleksi dengan bagian palmar menghadap ke atas. (3) Untuk estimasi tekanan sistol, pemeriksa memompa cuff sampai pulsasi arteri radialis menghilang. Kemudian cuff dikempiskan secara perlahan sampai pulsasi kembali dirasakan. Kemudian, menunggu 15 – 30 detik sebelum dilakukan pengukuran selanjutnya. (4) Menghitung maximum inflation level (MIL) dengan menambahkan estimasi tekanan sistol dengan 30 mmHg. (5) Memasang stetoskop dan meletakkan bell atau diafragma stetoskop di atas arteri brakialis. (6) Memompa cuff sampai level yang telah ditentukan pada poin 4. (7) Mengempiskan cuff secara perlahan dengan kecepatan 2 mmHg per detik. Ketika suara pertama kali terdengar, angka yang ditunjukkan sfigmomanometer adalah tekanan sistol. Sedangkan angka yang ditunjukkan ketika suara menghilang sempurna adalah tekanan diastol. (8) Mengempiskan cuff secara cepat dan sempurna, lalu mendokumentasikan hasil pengukuran tekanan darah.
2.2.
Penyakit Jantung Hipertensi
2.2.1. Definisi Penyakit jantung hipertensi adalah suatu istilah yang digunakan secara umum untuk penyakit jantung yang disebabkan oleh efek peninggian tekanan darah kronis (Riaz, 2012).
2.2.2. Etiologi Penyebab dari penyakit jantung hipertensi adalah hipertensi kronis; akan tetapi, penyebab dari hipertensi sangat bervariasi (Riaz, 2012). Hipertensi adalah peninggian tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik > 90 mmHg, atau sedang mengkonsumsi obat antihipertensi (Pickering, 2008). Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peninggian tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008). Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2 (Yogiantoro, 2006).
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7 Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) Normal < 120 dan < 80 Prehipertensi 120 – 139 atau 80 – 89 Hipertensi Derajat 1 140 – 159 atau 90 – 99 Hipertensi Derajat 2 > 160 atau > 100 Sumber: The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), 2003. 2.2.3. Patogenesis Hipertrofi
Ventrikel
Kiri
(HVK)
merupakan
kompensasi
jantung
menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivitas sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) memacu mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolik
ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan kontraksi miokard (gangguan fungsi sistolik) (Panggabean, 2006).
2.2.4. Patofisiologi HVK pada hipertensi sebenarnya merupakan fenomena yang kompleks, dimana tidak hanya melibatkan faktor hemodinamik, seperti beban tekanan, volume, denyut jantung yang berlebihan, dan peningkatatan kontraktilitas dan tahanan perifer, tetapi juga faktor non hemodinamik, seperti usia, kelamin, ras, obesitas, aktifitas fisik, kadar elektrolit, dan hormonal (Efendi, 2003).
Gambar 2.3. Skema Patofisiologi HVK pada hipertensi Sumber: Efendi, D., 2003. Korelasi Dispersi QT dengan Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Penderita Hipertensi, Universitas Sumatera Utara. Hipertrofi dan dilatasi jantung ini membutuhkan suplai darah yang lebih banyak dan miokardium yang terlalu teregang justru akan menyebabkan kekuatan kontraksi menurun. Hal ini mengakibatkan suplai darah tidak mampu menyetarakan massa otot jantung yang meningkat, sehingga akan berujung pada komplikasi jantung lainnya, seperti penyakit infark miokardium yang diakhiri dengan gagal jantung. Jadi, dapat dilihat bahwa HVK yang disebabkan oleh
hipertensi akan mempermudah berbagai macam komplikasi jantung, termasuk gagal jantung kongestif, aritmia ventrikel, iskemia miokard, dan mati mendadak (Massie, 2002).
2.2.5. Gejala Klinis Gejala dari penyakit jantung hipertensi tergantung dari durasi, keparahan, dan tipe dari penyakit itu (Riaz, 2012). Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak ada keluhan (Panggabean, 2006), oleh karena itu hipertensi dinamakan “The Silent Killer” (Riaz, 2012). Bila simtomatik, maka biasanya disebabkan oleh: a. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar - debar, rasa melayang (dizzy), dan impoten. b. Penyakit jantung/hipertensi vaskular, seperti cepat capek, sesak nafas, sakit dada, bengkak kedua kaki atau perut. Gangguan vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria, pandangan kabur karena perdarahan retina, dan transient cerebral ischemic. c. Penyakit dasar pada hipertensi sekunder, seperti polidipsia, poliuria, kelemahan otot pada aldosteronisme primer, sakit kepala, palpitasi, banyak keringat, dan rasa melayang saat berdiri (Panggabean, 2006).
2.2.6. Diagnosis a. Anamnesis Anamnesis mencakup durasi dari hipertensi, terapi sebelumnya (respon dan efek samping), riwayat keluarga menderita hipertensi dan penyakit kardiovaskular, bukti adanya hipertensi sekunder, bukti adanya kerusakan organ target, dan faktor resiko lain, seperti perubahan berat badan, dislipidemia, merokok, diabetes, dan inaktivitas fisik (Kotchen, 2008).
b. Pemeriksaan Fisik
Tanda fisik dari penyakit jantung hipertensi tergantung dari abnormalitas predomian dari jantung, durasi, dan keparahan dari penyakit jantung hipertensi itu. Pada tingkatan awal dari penyakit, pemeriksaan fisik mungkin berada dalam batas normal. Pulsasi arteri normal pada tingkatan awal penyakit jantung hipertensi. Tetapi pulsasi akan menurun pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. Tekanan darah sistolik dan/atau diastolik meningkat. Tekanan darah mungkin normal pada saat pemeriksaan jika pasien mendapatkan pengobatan antihipertensi yang adekuat atau jika pasien menderita disfungsi ventrikel kiri tingkat lanjut dan ventrikel kiri tidak mampu menghasilkan curah jantung dan volume sekuncup yang cukup untuk menaikkan tekanan darah (Riaz, 2012). Pada auskultasi jantung, bunyi jantung S2 meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta. Kadang ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta. Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dari dilatasi ventrikel kiri. Paru perlu diperhatikan apakah ada suara pernafasan tambahan, seperti ronki basah atau ronki kering/mengi. Pemeriksaan perut ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, limpa, ginjal, dan asites. Auskultasi bising sekitar kiri dan kanan umbilikus menandakan adanya stenosis arteri renalis (Panggabean, 2006). Pada pemeriksaan fisik dapat dicurigai HVK dengan palpasi, didapatkan posisi apeks jantung yang melebar dan sedikit turun ke bawah, dan kadang – kadang disertai dengan pulsasi apeks yang kuat dan berlangsung lama bila penderita berada dalam posisi berbaring dan miring ke kiri (Efendi, 2003).
c. Radiologi Menurut Purwohudoyo (2005), dari segi radiologi, cara yang mudah untuk mengukur jantung apakah membesar atau tidak, adalah dengan membandingkan lebar jantung (A+B) dan lebar dada (C) pada foto toraks Posterior-Anterior (PA) (Cardio-Thoracic Ratio = CTR). CTR = (A+B) ÷ C, (A = jarak jantung kanan terjauh dari garis tengah vertebratorakalis imajiner, B = jarak jantung kiri terjauh
dari garis tengah vertebratorakalis imajiner, C = garis imajiner yang menyinggung kupula diafragma kanan). Normalnya 35% < CTR < 50% dan dikatakan jantung membesar (kardiomegali) bila CTR > 50%. Pembesaran yang berasal dari ventrikel kiri dimanifestasikan dengan ekstensi ke arah inferior kiri dan posterior dari batas kiri bawah jantung. Pembesaran jantung yang terlihat dengan radiologi menandakan HVK sudah dalam tahap lanjut.
d. Elektrokardiografi Elektrokardiografi (EKG) dapat mendeteksi HVK berdasarkan pembesaran ventrikel baik karena pertambahan tebal otot, dilatasi ruang ventrikel, atau keduanya. Penilaian HVK dengan EKG lebih sensitif dibanding dengan radiologi. Pertambahan voltase pada HVK disebabkan oleh pertambahan jumlah atau ukuran serabut otot. Banyak kriteria yang digunakan untuk menentukan HVK dengan EKG, namun biasanya digunakan kriteria Romhilt-Estes atau Sokolow-Lyton (Efendi, 2003).
Tabel 2.2. Kriteria Sokolow-Lyon untuk Diagnosis HVK pada EKG A. Kriteria sadapan anggota badan RI + SIII > 25 mm RaVL > 11 mm RaVF > 20 mm B. Kriteria sadapan dada SVI + RV5 atau RV6 > 35 mm R terbesar + S terbesar > 45 mm RV5 atau RV6 > 26 mm Sumber: Efendi, D., 2003. Korelasi Dispersi QT dengan Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Penderita Hipertensi, Universitas Sumatera Utara. e. Ekokardiografi Ekokardiografi merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis HVK pada penyakit jantung hipertensi (Efendi, 2003). Ekokardiografi lebih sensitif dan spesifik daripada EKG dalam mendiagnosis HVK (57% untuk HVK ringan dan 98% untuk HVK berat). HVK pada penyakit jantung hipertensi simetris, sedangkan hipertrofi yang terjadi pada kardiomiopati asimetris (Riaz, 2012).
Sesuai dengan kesepakatan atau protokol dari American Society of Echocardiography, ada dua macam teknik pemeriksaan, yaitu teknik 2 dimensi dan teknik M mode. Teknik ekokardiografi ditentukan berdasarkan gelombang suara berfrekuensi tinggi (ultrasound) yang melalui struktur intrakardiak. Pantulan yang terjadi ditangkap dan diperagakan pada sebuah oscilloscope, sehingga ukuran atrium kiri, ventrikel kiri, ventrikel kanan, dan aorta dapat ditemukan, demikian pula ketebalan dan pergerakan ventrikel kiri dan septum interventrikuler. Pada M Mode, suatu sinar tunggal terbatas dari ultrasound diarahkan menuju jantung dari sela iga keempat dan kelima di perbatasan parasternal kiri. Bayangan yang dihasilkan oleh pantulan ultrasound direkam pada kertas yang bergerak dengan kecepatan 50 mm/detik. Ekokardiografi 2 dimensi bermanfaat untuk menggambarkan hubungan struktural yang kompleks, terutama pandangan jantung dari parasternal kiri dan posisi apeks (four chamber view). Waktu penggambaran struktural intrakardiak dengan teknik ini lebih sulit dilakukan daripada dengan teknik M mode (Efendi, 2003). Pengukuran dimensi internal ventrikel kiri (Left Ventricle Internal Dimension/ LVID), tebal septum interventrikuler (Interventicular Septal Wall Thickness/ SWT) dan tebal dinding posterior (Posterior Wall Thickness/ PWT) diperoleh dari diagram M-mode yang diambil dari posisi mid ventricular shortaxis view pada sela iga IV dan V di parasternalis kiri. LVIDd (Left Ventricle Internal Dimension at Diastole) diambil antara sisi kiri septum interventrikuler dan endokardium posterior ventrikel kiri pada akhir diastolik. Sesuai metode Devereux didapatkan rumus pengukuran Left Ventricle Mass Index/ LVMI ( g/m2) sebagai berikut: LVMI = (1,04 [ (SWT + PWT+LVID)3 – (LVID)3] – 14)/BSA Wt = Berat badan dalam kg, Ht = tinggi badan dalam cm (standar Dubois). Dikategorikan LVH apabila LVMI >108 g/m2 untuk wanita dan LVMI >131 g/m2 untuk pria. Klasifikasi lebih jauh dari HVK berdasarkan tebal relatif dinding otot jantung (Relative Wall Thickness/ RWT) sesuai dengan kriteria American Society of Echocardiography dibedakan atas hipertrofi konsentrik jika
RWT >0,45 dan hipertrofi eksentrik jika RWT kurang dari 0,45. RWT diperoleh dari rumus berikut : RWT = [ (2xPWT)/LVIDd ] (Efendi, 2003).
2.3.
Gagal Jantung Kongestif
2.3.1. Definisi Gagal jantung kongestif adalah sindroma klinis kompleks yang merupakan hasil dari gangguan fungsional atau struktural jantung dimana terjadi gangguan pengisian ventrikel atau pemompaan darah (Figueroa, 2006). Gangguan jantung ini dapat merupakan hasil langsung akibat disfungsi sistotik ventrikel kiri dan/atau disfungsi diastolik (Yturralde, 2005) ataupun dari bawaan yang menghasilkan sekumpulan gejala (dispnea dan lelah) dan tanda klinis (edema dan ronki paru) (Mann, 2008).
2.3.2. Etiologi Tabel 2.3. Penyebab gagal jantung kiri Gangguan kontraktilitas Infark miokardium Transient myocardial ischemia Beban volume: regurgitasi katup (mitral atau aorta) Kardiomiopati dilatasi Peningkatan afterload (beban tekanan) Hipertensi sistemik Obstruksi aliran: stenosis aorta Obstruksi pengisian ventrikel kiri Stenosis mitral Konstriksi pericardial atau tamponade Gangguan relaksasi ventrikel Hipertrofi ventrikel kiri Kardiomiopati hipertrofi Kardiomiopati restriktif Sumber: Shah, R.V., Fifer, M.A., 2007. Heart Failure. In: Lilly, L.S., ed. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 234 Tabel 2.4. Penyebab gagal jantung kanan Penyebab jantung Gagal jantung kiri Stenosis katup pulmonal Infark ventrikel kanan Penyakit parenkim paru
Penyakit paru obstruksi kronis Penyakit paru interstisial Adult respiratory distress syndrome Infeksi paru kronis atau bronkiektasis Penyakit vaskular paru Emboli paru Hipertensi pulmonal primer Sumber: Shah, R.V., Fifer, M.A., 2007. Heart Failure. In: Lilly, L.S., ed. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 235 2.3.3. Klasifikasi Klasifikasi gagal jantung yang paling banyak digunakan adalah klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA). Klasifikasi NYHA berdasarkan simptom pasien yang didapat dari anamnesis dan bukan berdasarkan pengukuran objektif. Klasifikasi NYHA juga dapat memprediksi mortalitas. Menurut satu studi, tafsiran mortalitas satu tahun pada pasien gagal jantung kelas II, III, dan IV NYHA berturut – turut adalah 7%, 15%, dan 28% (Gopal, 2009).
Tabel 2.5. Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association Kelas Simptom I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik II Pembatasan ringan pada aktivitas fisik, dispnea dan kelelahan pada aktivitas fisik sedang, seperti menaiki tangga dengan cepat III Pembatasan pada aktivitas fisik, dispnea muncul pada aktivitas fisik minimal IV Pembatasan berat pada aktivitas fisik, simptom muncul bahkan pada saat istirahat Sumber: Shah, R.V., Fifer,M. A., 2007. Heart Failure. In: Lilly, L.S., ed. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 242
2.3.4. Patofisiologi Gagal jantung kongestif tidak hanya mengindikasikan ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan aliran oksigen yang adekuat, tetapi juga merupakan suatu respon sistemik untuk mengkompensasi ketidakmampuan itu.
Determinan dari curah jantung adalah kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup. Volume sekuncup ditentukan oleh preload (volume yang masuk ke ventrikel kiri), kontraktilitas, dan afterload (impedansi aliran dari ventrikel kiri). Variabel ini penting dalam memahami patofisiologi dari gagal jantung. Preload biasanya dinyatakan sebagai volume akhir diastolik dari ventrikel kiri dan secara klinis dapat dinilai dengan mengukur tekanan atrium kanan. Kontraktilitas menggambarkan pemompaan oleh otot jantung dan biasanya dinyatakan sebagai fraksi ejeksi. Afterload adalah tahanan yang harus dilawan oleh jantung untuk memompa darah keluar, biasanya dinilai dengan mengukur tekanan arteri rata – rata. Gangguan jantung pada gagal jantung kongestif dapat dievaluasi dari variabel – variabel di atas. Jika curah jantung menurun, kecepatan denyut jantung atau volume sekuncup harus berubah untuk mempertahankan perfusi normal. Jika volume sekuncup tidak bisa dipertahankan, maka kecepatan denyut jantung harus meningkat untuk mempertahankan curah jantung (Figueroa, 2006).
Gambar 2.4. Determinan dari curah jantung Sumber: Figueroa, M.S., Peters, J.I., 2006. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology, Therapy, and Implications for Respiratory Care, University of Texas Health Science Center. Akan tetapi, patofisiologi dari gagal jantung kongestif tidak hanya mencakup abnormalitas struktural jantung, tetapi juga mencakup respon kardiovaskular terhadap perfusi yang menurun dengan cara pengaktivasian dari sistem neurohumoral (Jessup, 2003). Sistem renin-angiotensin akan teraktivasi
untuk meningkatkan preload dengan cara menstimulasi retensi garam dan air, meningkatkan vasokonstriksi, dan memperbesar kontraksi jantung. Pada awalnya, respon ini mencukupi kebutuhan, namun aktivasi berkepanjangan akan mengakibatkan kehilangan miosit dan perubahan pada miosit dan matriks ekstraselular yang masih ada. Miokardium yang tertekan akan mengalami perubahan bentuk dan dilatasi sebagai respon dari hal tersebut. Proses ini juga merusak fungsi paru, ginjal, otot, pembuluh darah, dan beberapa organ lainnya. Perubahan bentuk jantung sebagai dekompensasi juga menyebabkan beberapa komplikasi, seperti regurgitasi mitral akibat peregangan dari anulus katup dan aritmia jantung akibat perubahan bentuk atrium. Pasien dengan peningkatan tekanan diastolik akhir akan mengalami edema paru dan dispnea (Figueroa, 2006).
2.3.5. Gejala Klinis Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatnya tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien menjadi sesak nafas dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi jika kelainannya menyebabkan kelemahan ventrikel kanan, seperti pada hipertensi pulmonal primer/ sekunder, tromboembli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan peningkatan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis (Panggabean, 2006). Pada gagal jantung tahap akhir dapat ditemukan pola pernafasan hiperpnea dan apnea yang disebut sebagai pernafasan Cheyne-Stokes. Beberapa faktor yang menyebabkan pernafasan ini adalah hiperventilasi akibat kongesti paru dan hipoksia. Hiperventilasi menyebabkan kadar CO2 arteri menjadi rendah dan memicu apnea sentral (Gopal, 2009).
2.3.6. Diagnosis Diagnosis
dibuat
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi-Doppler, dan kateterisasi. Kriteria
Framingham dapat digunakan untuk diagnosis gagal kongestif (Panggabean, 2006).
Tabel 2.6. Kriteria Framingham untuk diagnosis gagal jantung kongestif Kriteria Mayor Paroksismal nokturnal dispnea Distensi vena leher Ronki paru Kardiomegali Edema paru akut Gallop S3 Peningkatan tekanan vena jugularis ( > 16 cmH 2 O) Refleks hepatojugular Kriteria Minor Edema ekstremitas Batuk malam hari Dyspnea d’ effort Hepatomegali Efusi Pleura Penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal Takikardia ( > 120 kali/menit) Mayor atau Minor Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan Sumber: Braunwald, E., 2005. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper, D.L et al., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. USA: McGrawHill, 1371 Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan bila minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor (Braunwald, 2005).