BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Orangutan
Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan klasifikasi berdasarkan tingkat hirarkinya sebagai berikut : Kingdom Phylum
: Animalia : Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Primata
Family
: Homonidae
Genus
: Pongo
Species
: Pongo abelii Lesson, 1827 (orangutan sumatera) : Pongo pygmaeus Linnaeus, 1760 (orangutan kalimantan) (http://www.iucnredlist.org/details/39780. Diakses tanggal 14 Mei, 2009).
2.2 Morfologi dan Biologi Orangutan
Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di pohon dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : tubuh besar dengan berat berkisar antara 50-90 kg, tubuh ditutupi oleh rambut berwarna coklat kemerahan, tidak berekor, orangutan jantan pada kedua pipinya berjipek (bantalan pipi), dan ukuran tubuh yang jantan dua kali lebih
Universitas Sumatera Utara
besar dari pada yang betina (Gambar 2.1). Secara genetik orangutan memiliki kemiripan dengan manusia (http://www.cpoi.or.id. Diakses tanggal 14 Mei, 2009).
A
B
Gambar 2.1 Orangutan Sumatera (Pongo abelii); A. Jantan, B. Induk & Anak Menurut MacKinnon (1974), Rikjsen (1978), dan Galdikas (1984), tahapan perkembangan kehidupan orangutan di alam dapat dibedakan dalam beberapa kategori, morfologi dan tingkah laku, dengan tahapan perkembangannya sebagai berikut :
a. Bayi (infant); kisaran umur 0-2,5 tahun, dengan berat badan 2-6 kg. Warna tubuh umumnya jauh lebih pucat dari pada individu dewasa dengan bercak-bercak putih di seluruh tubuhnya. Mempunyai rambut panjang-panjang dan berdiri di sekitar muka, kulit di sekitar mata berwarna pucat. Seluruh tingkah lakunya masih tergantung induk dan tidur bersama-sama induk dalam sarang.
b. Kanak-kanak (juvenile); kisaran umur 2,5-7 tahun dengan berat badan 6-15 kg. Warna tubuh lebih gelap dari individu bayi dengan bercak-bercak putih pada tubuh yang hampir pudar, tetapi wajahnya masih menyerupai bayi. Dalam melakukan beberapa aktivitas sudah dapat dilakukan sendiri, tetapi masih bersama-sama dengan induknya. Tidur masih dalam satu sarang bersama induknya, tetapi kemudian akan membuat sarang sendiri dekat sarang induknya.
Universitas Sumatera Utara
c. Remaja (adolescent); kisaran umur 7-10 tahun dengan berat badan 15-30 kg. Warna tubuh lebih pucat dari individu dewasa dengan ukuran tubuh yang lebih kecil. Rambut di sekitar muka masih panjang dan berdiri.
d. Betina pra-dewasa; kisaran umur 10-12 tahun dengan berat badan 30-40 kg. Warna tubuh agak gelap.
e. Betina dewasa; kisaran umur 12-35 tahun dengan berat badan 30-50 kg. Warna tubuh sangat gelap kadang-kadang berjengot.
Dalam beraktivitas, anak yang masih tergantung induk akan melakukan hal yang sama dengan induknya (Maple, 1980). Demikian juga dengan pemanfaatan waktu makan antara induk dan anaknya. Waktu anak masih bergantung pada induknya, maka anak akan mengikuti aktivitas induknya, misalnya anak akan mengambil makanan dari mulut induknya, seperti buah, daun dan serangga (Rijksen, 1978).
Jolly (1972) menyatakan bahwa pada umumnya, primata (orangutan) lebih banyak mengandalkan proses belajar (learning) dalam kehidupanya dibandingkan hewan mamalia lainnya. Masa kanak-kanak primata baik non manusia dan manusia merupakan masa yang relatif penting dari seluruh kehidupannya, sehingga banyak yang harus dipelajari oleh primata muda untuk tumbuh normal.
2.3 Penggunaan Kawasan Sebagai Sumber Pakan Orangutan Penggunaan kawasan sebagai sumber pakan bagi orangutan sangat ditentukan oleh pola berbunga atau berbuahnya suatu jenis pohon di hutan serta variasi kualitas sumber pakan. Di daerah hutan hujan tropis, pola berbunga atau berbuahnya suatu jenis pohon serta variasi kualitas sumber pakan mempunyai waktu yang sangat terbatas dan bersifat terpencar (Horr, 1972, dalam Galdidas, 1986). Menurut Carpenter (1938 dalam Meijaard et al, 2001) sifat nomadis musiman pada sebagian
Universitas Sumatera Utara
besar anggota komunitas orangutan pada umumnya berdasarkan penyebaran makanan menurut ruang dan waktu serta variasi kualitas sumber pakan.
Menurut Meijaard et al (2001) produksi masal suatu jenis tumbuhan yang umumnya menghasilkan biji, bunga dan buah, akan terjadi sesuai dengan kondisi musim di lingkungannya, sehingga beberapa jenis tumbuhan akan berbuah pada saat yang bersamaan. Untuk produktivitas tumbuhan hal tersebut sangat diuntungkan, tetapi untuk hewan pemakan buah, kelimpahan makanan yang bersamaan hanya dapat dinikmati selama musim produktif saja. Pada musim berikutnya, bahaya kelaparan akan dihadapi oleh pemakan buah (orangutan). Sehubungan dengan keadaan tersebut orangutan untuk dapat memenuhi kebutuhan akan pakan harus berpindah ke daerah lain yang masih terdapat sumberdaya pakannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Stasiun Penelitian Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh Tenggara) sejak awal 1970, didapatkan persentase orangutan dalam memenuhi akan pakannya dengan cara pengelaju sebesar 60 %, dengan cara menetap sebesar 30 %, sedangkan dengan cara mengembara sebesar 10 % (Meijaard et al, 2001). Ditambahkan oleh Utami et al (1997) dan Meijer (2002) bahwa perilaku penggunaan sumber pakan dan daerah jelajah pada orangutan dipengaruhi oleh tingkat dominasi individu. Sedangkan ukuran komunitas dan pasangan individu dalam suatu komunitas orangutan dipengaruhi oleh faktor ekologi dan sosial.
Menurut Bismark (1984) pada saat aktivitas harian dilakukan, orangutan berjalan antara 100 – 1.800 m dengan rata-rata 480 m perhari, secara terperinci dicatat oleh Meijaard et al (2001) bahwa jelajah harian orangutan betina yang menggendong bayi umumnya berjalan antara 500 – 700 m perhari. Sedangkan jantan dewasa berjalan sedikit lebih jauh, yaitu rata-rata antara 600 – 800 m per hari. Pada semua kelompok umur, pengunaan jelajah harian paling luas dan jauh dilakukan oleh betina remaja dan dewasa muda tanpa anak, yaitu mencapai 600 – 1.000 m per hari. Sedangkan jantan pra-dewasa umumnya berjalan hampir sejauh wanita muda.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Meijaard et al (2001) habitat kecil yang terbaik adalah habitat yang mampu mendukung beberapa orangutan sepanjang tahun, sedangkan habitat yang tidak baik adalah habitat yang hanya mampu mendukung satu ekor orangutan dalam beberapa minggu. Fakta tersebut mempunyai peranan penting dalam merancang suatu kawasan konservasi.
2.4 Aktivitas Makan Orangutan
Aktivitas makan merupakan waktu yang dipakai seekor orangutan untuk menggapai, mendapatkan, mengunyah dan menelan makanan pada suatu sumber pakan (Galdikas, 1986). Aktivitas tersebut merupakan salah satu dari aktivitas harian utama yang dilakukan orangutan. Aktivitas harian lainnya terdiri dari: aktivitas bergerak, istirahat dan sosial (MacKinnon, 1974).
Data aktivitas makan populasi liar orangutan di Ketambe (Sumatera) telah menunjukkan bahwa hampir 49,3 % dari total aktivitas harian digunakan sebagai aktivitas makan (Maple, 1980). Di Tanjung Puting (Kalimantan) penggunaan aktivitas makan dilakukan hingga 50 % – 60 % dari total aktivitas hariannya (Galdikas, 1984). Besarnya aktivitas makan dibandingkan aktivitas harian lainnya dikarenakan aktivitas makan merupakan aktivitas penting dalam menggantikan energi yang hilang (Rijksen, 1978).
Rodman (1978) menyatakan bahwa aktivitas utama orangutan didominasi oleh kegiatan makan kemudian aktivitas istirahat, bermain, berjalan-jalan di antara pepohonan dan membuat sarang. Kegiatan membuat sarang ini umumnya dilakukan dalam persentase waktu yang relatif kecil. Menurut Fakhrurradhi (1998) di Suaq Balimbing rata-rata dalam satu hari orangutan menggunakan waktu 65 % untuk melakukan aktivitas makan, 16 % untuk bergerak pindah, 17 % untuk beristirahat, 1 % untuk membuat sarang dan 0,5 % untuk aktivitas sosial.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Pola Makan Orangutan Orangutan termasuk hewan pelahap buah-buahan (frugivora ). Disamping itu juga memakan daun, bunga dan kambium, serta rayap dan semut guna mendapatkan protein. Sedangkan untuk mendapatkan kandungan mineral, kadang-kadang orangutan juga memakan tanah. (http://www.cpoi.or.id. Diakses tanggal 14 Mei, 2009).
Meijaard et al (2001) menyatakan bahwa orangutan selain memakan buahbuahan sebanyak ± 60 % dan daun ± 25 %, sumber makanan lain yang disukai orangutan adalah kulit batang ± 15 %, serangga ± 10 % dan beberapa jenis makanan lain seperti : tanah, madu dan bunga (± 2 %). Ketika buah menjadi jarang, orangutan menggunakan sampai 18% dari waktu makannya (rata-rata 12 %) untuk memakan lapisan bawah kulit pohon tertentu, khususnya Ficus spp., tetapi juga pohon lainnya dari suku Moraceae, misalnya Payena sp. Pada habitat yang berkualitas baik, penggunaan buah sebagai sumber pakan dilakukan sebesar 57 % oleh orangutan jantan dan hampir 80 % oleh orangutan betina. Selanjutnya Rodman (1973) dalam Bismark (1984) menyatakan bahwa besarnya waktu yang digunakan orangutan dalam menggunakan bagian tumbuhan berbeda berdasarkan jenis kelamin dan bagian tumbuhan yang dimakan. Adapun waktu yang digunakan orangutan berdasarkan perbedaan jenis kelamin terhadap variasi bagian tumbuhan yang dimakan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikuti ni:
Tabel 2.1 Persentase Penggunaan Bagian Tumbuhan oleh Individu Orangutan Berdasarkan Perbedaan Jenis Kelamin (Rodman, 1973 dalam Bismark, 1984). Buah Daun Kulit kayu Bunga Serangga Jenis kelamin (%) (%) (%) (%) (%) Jantan 67,1 23,2 4,9 2,8 1,9 Betina 58,6 22,0 16,6 2,1 0,8 Di Ketambe sedikitnya 4 keragaman pakan yang digunakan orangutan dalam memenuhi kebutuhan energinya (Meijaard et al, 2001), sedangkan di Tanjung Puting, hampir 97 % pengamatan aktivitas makan per hari diketahui bahwa orangutan terlihat memakan campuran berbagai bahan makanan yang berasal dari sekurang-kurangnya
Universitas Sumatera Utara
dua bagian tumbuhan yang berbeda. Buah dan daun muda merupakan kombinasi bagian tumbuhan yang paling sering digunakan (Galdikas, 1984). Berdasarkan penggunaan keragaman pakan yang digunakan orangutan, disimpulkan oleh Meijaard et al (2001) bahwa orangutan merupakan tipe pengumpul atau pencari makan yang oportunis, yaitu memakan apa saja yang dapat diperolehnya. Namun tidak seperti pada simpanzee, sebab indikasi orangutan sebagai pemburu aktif tidak pernah tercatat dalam data pengamatan lapangan.
2.6 Status Perlindungan Orangutan Sumatera (Pongo abelii)
Jumlah populasi orangutan liar telah menurun secara terus menerus dalam beberapa dekade terakhir akibat hilangnya hutan dataran rendah, namun beberapa tahun terakhir kecepatan penurunan populasi orangutan terus meningkat. Hasil lokakarya Pengkajian Status Populasi dan Habitat (Population and Habitat Viability Analysis/PHVA) yang dilaksanakan pada Januari 2004 memberikan gambaran terkini tentang sebaran dan status populasi orangutan di Sumatera dan Kalimantan. Perkiraan populasi orangutan di Sumatera saat ini berkisar 6.667 individu (Departemen Kehutanan, 2007).
Kondisi orangutan pada saat ini sudah diambang kepunahan sehingga dibutuhkan upaya konservasi dan perlindungan yang harus segera dilakukan. Salah satu undang-undang yang sangat penting terhadap perlindungan orangutan adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, termasuk turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar dan Perturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar yang menetapkan bahwa orangutan adalah satwa yang dilindungi. Dalam upaya konservasi orangutan kemudian dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 53/ Menhut-IV/ 2007 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007 – 2017. Di tingkat internasional IUCN (International Union for Conservation and Natural Resources) pada tahun 2008 menetapkan orangutan sumatera (Pongo abelii) ke dalam kategori terancam punah (Criticaly Endangered) dan Convention on International Trade of
Universitas Sumatera Utara
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) memasukkan orangutan ke dalam Appendix I (kategori satwa yang tidak dapat diperdagangkan).
Berbagai usaha penegakan hukum perlindungan orangutan telah dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan keberadaan orangutan. Salah satunya dengan jalan menangkap para pemburu, penyelundup dan pemelihara ilegal orangutan, serta menyita orangutan yang mereka miliki. Usaha ini berharga bagi pemulihan kondisi populasi orangutan, karena diharapkan mampu menciptakan efek jera bagi pelanggar hukum tersebut. Selain itu orangutan sitaan tersebut memiliki potensi untuk dilepasliarkan kembali (Meijaard et al, 2001).
2.7 Sejarah Perkembangan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS)
PPOS yang berada di Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bohorok merupakan bekas stasiun rehabilitasi orangutan yang didirikan pada tahun 1972 oleh Regina Frey dan Monica Borner dengan bantuan dana dari Frankfrut Zoological Society (FZS) dari Jerman. Tujuan didirikannya stasiun rehabilitasi tersebut sebagai upaya untuk merehabilitasi orangutan bekas peliharaan masyarakat sebelum dikembalikan ke alam. Pengelolaan stasiun rehabilitasi orangutan tersebut kemudian diserahkan penuh kepada pemerintahan Indonesia pada tahun 1980.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 280/ Kpts II/ 1995, stasiun rehabilitasi tersebut ditutup. Akan tetapi hingga tahun 2003 masih terjadi penerimaan orangutan sitaan dari masyarakat dilokasi ini. Penerimaan orangutan dilakukan karena kawasan hutan Bohorok dipandang lebih mendekati habitat alami orangutan dibandingkan kebun binatang. Sedangkan pelepasan orangutan dilakukan untuk menghindari kepadatan orangutan disekitar stasiun rehabilitasi.
Data yang diperoleh dari Resort Bukit Lawang pada tahun 2008, Seksi Konservasi Wilayah III Balai Besar Taman Nasional Gunung leuser (BBTNGL),
Universitas Sumatera Utara
jumlah orangutan yang diterima dari tahun 1973 sampai dengan tahun 2003 adalah sebanyak 229 individu dengan rincian: mati dalam proses rehabilitasi (53 individu), diliarkan kembali ke habitatnya (26 individu), liar sendiri (138 individu), dikirim ke Kebun Binatang Malaysia (1 individu), dikirim ke Kebun Binatang Medan (1 individu), berada di sekitar tempat pemberian makan (9 individu) dan dikandang karantina (1 individu). Untuk individu anak orangutan dari tahun 1993 sampai dengan 2008 tercatat: 16 individu anak yang meninggal, 6 individu anak orangutan liar sendiri dan 6 anak orangutan tidak diketahui keberadaannya.
Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera untuk saat ini merupakan sebuah perubahan nama dari stasiun rehabilitasi. Karena fungsi kawasan ini berorientasi pada wisata. Menurut pernyataan Rifan pada tahun 2009 (Staf BBTNGL), PPOS merupakan sebuah program yang masih memerlukan sosialisasi dengan para stakeholder karena telah banyaknya pihak yang selama ini terlibat dalam pengelolaan wisata di Bukit Lawang. Program yang direncanakan adalah aktivitas wisata terbatas yang berbasis ekologi.
Universitas Sumatera Utara