BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anatomi dan Fisiologi Telinga Telinga merupakan salah satu pancaindra yang berfungsi sebagai alat
pendengaran dan keseimbangan yang letaknya berada di lateral kepala. Masingmasing telinga terdiri dari tiga bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam (Wibowo dan Paryana, 2007).
2.1.1 Telinga luar Telinga luar (auris externa) terdiri dari daun telinga (auricula/pinna), liang telinga (meatus acusticus externus) sampai gendang telinga (membrana tympanica) bagian luar. Telinga luar terletak pada pars tympanica ossis temporalis dan pada bagian belakang berbatasan dengan processus mastoideus (Wibowo dan Paryana, 2007).
Gambar 2.1 Telinga Luar (Netter, 2010)
Telinga luar berfungsi sebagai penyalur suara dan sebagai proteksi telinga tengah. Fungsi telinga luar sebagai penyalur suara tergantung dari intensitas, frekuensi, arah, dan ada atau tidaknya hambatan dalam penyalurannya ke gendang telinga. Sedangkan fungsinya sebagai proteksi telinga tengah yaitu menahan atau
Universitas Sumatera Utara
mencegah benda asing yang masuk ke dalam telinga dengan memproduksi serumen, menstabilkan lingkungan dari input yang masuk ke telinga tengah, dan menjaga telinga tengah dari efek angin dan trauma fisik (Emanuel dan Letowski, 2009).
2.1.2 Telinga tengah Telinga tengah (auris media) berada di sebelah dalam gendang telinga sekitar 3-6 mm. Atap rongga telinga tengah adalah tegmen tympani dari pars petrosa ossis temporalis yang berbatasan dengan cavitas cranii. Dinding lateral telinga tengah berbatasan dengan gendang telinga beserta tulang di sebelah atas dan bawahnya. Dinding depannya berbatasan dengan canalis caroticus yang di dalamnya terdapat arteri karotis interna. Dinding medial telinga tengah ini berbatasan dengan tulang pembatas telinga dalam yang terlihat menonjol karena terdapat prominentia canalis facialis di bagian posterior atas. Telinga tengah ini juga secara langsung berhubungan dengan nasofaring yaitu melalui tuba eustachius (Wibowo dan Paryana, 2007).
Gambar 2.2 Telinga Tengah (Netter, 2010) Telinga tengah berfungsi untuk menyalurkan suara dari udara dan memperkuat energi suara yang masuk sebelum menuju ke telinga dalam yang berisi
Universitas Sumatera Utara
cairan. Fungsi telinga tengah dalam memperkuat energi suara dibantu oleh tulangtulang kecil seperti maleus, incus, dan stapes sehingga energi suara tadi dapat menggetarkan cairan di koklea untuk proses mendengar (Sherwood, 2011).
2.1.3 Telinga dalam Telinga dalam dibatasi oleh tulang temporal (pars petrosa) (Wibowo dan Paryana, 2007). Telinga dalam terdiri dari koklea dan aparatus vestibularis yang memiliki dua fungsi sensorik yang berbeda. Koklea
berfungsi sebagai sistem
pendengaran karena mengandung reseptor untuk mengubah suara yang masuk menjadi impuls saraf sehingga dapat didengar. Aparatus vestibularis berfungsi sebagai sistem keseimbangan yang terdiri dari tiga buah canalis semisirkularis, dan organ otolit yaitu sacculus dan utriculus (Sherwood, 2011).
Gambar 2.3 Telinga Dalam (Netter, 2010)
Universitas Sumatera Utara
2.2
Fungsi Keseimbangan Fungsi keseimbangan diatur oleh beberapa organ penting di tubuh yang input
sensoriknya akan diolah di susunan saraf pusat (SSP). Fungsi ini diperantarai beberapa reseptor, yaitu: - Reseptor vestibular - Reseptor visual - Reseptor somatik Reseptor vestibular sebagai pengatur keseimbangan diatur oleh organ aparatus vestibularis (labirin) yang berada di telinga dalam. Labirin ini terlindung oleh tulang yang paling keras. Labirin terbagi menjadi 2 bagian, yaitu labirin tulang dan labirin membran. Di antara labirin tulang dan labirin membran ini terdapat suatu cairan yang disebut perilimfa sedangkan di dalam labirin membran terdapat cairan yang disebut endolimfa (Bashiruddin et al., 2010). Labirin berfungsi untuk menjaga keseimbangan, mendeteksi perubahan posisi, dan gerakan kepala. Di dalam aparatus vestibularis selain mengandung endolimfa dan perilimfa juga mengandung sel rambut yang dapat mengalami depolarisasi dan hiperpolarisasi tergantung arah gerakan cairan (Sherwood, 2011). Labirin terdiri dari : - Labirin kinetik: Tiga kanalis semisirkularis - Labirin statis: Organ otolit (sakulus dan utrikulus) yang terdapat sel-sel reseptor keseimbangan pada tiap pelebarannya.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Labirin tulang dan membran (Netter, 2010) 2.2.1
Kanalis semisirkularis Kanalis semisirkularis berorientasi pada tiga bidang dalam ruang. Pada tiap
ujungnya melebar dan berhubungan dengan urtikulus, yang disebut ampula. Di dalam ampula terdapat reseptor krista ampularis yang terdiri dari sel-sel rambut sebagai reseptor keseimbangan dan sel sustentakularis yang dilapisi oleh suatu substansi gelatin yang disebut kupula sebagai penutup ampula. Sel-sel rambut terbenam dalam kupula dan dasarnya membentuk sinap dengan ujung terminal saraf afferen yang aksonnya membentuk nervus vestibularis. Nervus vestibularis bersatu dengan nervus auditorius membentuk nervus vestibulocochlear (Ganong, 2008). Kanalis semisirkularis berfungsi untuk mendeteksi akselerasi atau deselarasi rotasi kepala seperti ketika memulai atau berhenti berputar, berjungkir, balik atau memutar kepala. Akselerasi dan deselarasi menyebabkan sel rambut yang terbenam di dalam cairan endolimfa bergerak. Pada awal pergerakan, endolimfa tertinggal dan kupula miring ke arah berlawanan dengan gerakan kepala sehingga sel-sel rambut menekuk. Ketika stereosilia (rambut dari sel-sel rambut) menekuk ke arah kinosilium (rambut dari sel-sel rambut), maka terjadi depolarisasi yang memicu pelepasan neurotransmitter dari sel-sel rambut menuju ke saraf afferent. Dan
Universitas Sumatera Utara
sebaliknya jika menekuk ke arah berlawanan akan terjadi hiperpolarisasi. Ketika pergerakan perlahan berhenti, sel-sel rambut akan kembali lurus dan kanalis semisirkularis mendeteksi perubahan gerakan kepala (Sherwood, 2011).
Gambar 2.5 Fungsi Keseimbangan (Despopoulos dan Silbernagl, 2003)
Universitas Sumatera Utara
2.2.2
Organ otolit Organ otolit (makula atau otokonia) terdapat dalam labirin membran di lantai
utrikulus dan semivertikal di dinding sakulus. Makula juga mengandung sel sustentakularis dan sel rambut. Bagian atasnya ditutupi oleh membran otolit dan di dalamnya terbenam kristal-kristal kalsium karbonat (otolit-batu telinga). Lapisan ini lebih berat dan insersi lebih besar dari cairan di sekitarnya. Serat-serat saraf dari sel rambut bergabung dengan serat-serat dari krista di bagian vestibuler dari nervus vestibulokoklearis (Ganong, 2008). Fungsi organ otolit adalah memberikan informasi mengenai posisi kepala relatif terhadap gravitasi dan juga mendeteksi perubahan dalam kecepatan gerakan linier (bergerak garis lurus tanpa memandang arah) (Sherwood, 2011). Utrikulus berfungsi pada pergerakan vertikal dan horizontal. Ketika kepala miring ke arah selain vertikal, rambut akan menekuk sesuai kemiringan karena gaya gravitasi
dan
akan
mengalami
depolarisasi
atau
hiperpolarisasi
sesuai
kemiringannya. Contoh pergerakan horizontal adalah saat berjalan. Pada posisi ini insersinya menjadi lebih besar dan menyebabkan membran otolit tertinggal di belakang endolimfa dan sel rambut, sehingga menyebabkan rambut tertekuk ke belakang. Jika pergerakan ini dilakukan secara konstan maka lapisan gelatinosa akan kembali ke posisi semula (Sherwood, 2011). Sakulus fungsinya hamper sama dengan utrikulus namun berespon secara selektif terhadap kemiringan kepala menjauhi posisi horizontal, misalnya: bangun dari tempat tidur, lompat atau naik eskalator (Sherwood, 2011). Krista dan makula dipersarafi oleh nervus vestibularis yang badan selnya terletak di ganglion vestibularis. Serat saraf kanalis semisirkularis berada pada bagian superior dan medial nukleus vestibularis dan sebagian mengatur pergerakan bola mata. Serat dari utrikulus dan sakulus berakhir di nukleus descendens menuju ke serebelum dan formasio retikularis. Nervus vestibularis juga menuju ke talamus dan korteks somatosensorik (Ganong, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.3
Vertigo Pusing merupakan salah satu masalah keseimbangan yang sering dikeluhkan
masyarakat. Pusing yang dikeluhkan pasien seperti perasaan benda sekeliling berputar terhadapnya sekitar 21%, pusing ringan dan hilang timbul sekitar 29%, atau pusing dan menganggap dirinya berputar terhadap sekelilingnya sekitar 13%. Gejala pusing dapat hilang beberapa hari, minggu sampai bulan (Hannaford et al., 2005). Vertigo berasal dari bahasa latin, vertere artinya memutar. Derajat ringan sampai yang paling ringan dari vertigo disebut dizziness dan giddiness. Vertigo adalah persepsi dari perasaan bergerak atau berputar terhadap objek di sekitarnya. Dizziness adalah rasa pusing tidak spesifik seperti goyah, rasa disorientasi ruangan seperti berbalik (Joesoef, 2002).
2.3.1 Etiologi Menurut Mohammad Maqbool (2000), ada beberapa hal yang menjadi penyebab vertigo dan supaya mempermudah mengingatnya dapat disingkat menjadi VERTIGO: Tabel 2.1 Etiologi vertigo V = Vascular
a.
Vertebrobasilar insufficiency
b.
Stroke
c.
Migraine
d.
Hypotensi
e.
Anemia
f.
Hypoglycaemi
g.
Meniere’s disease
E = Epilepsy R = Receiving any treatment
a.
Antibiotic
b.
Cardiac drugs
c.
Antihypertensive drugs
d.
Sedative dan transquillisers
e.
Aspirin
Universitas Sumatera Utara
T = 1. tumour
f.
Quinine
a.
Primary -
Acoustic neuromas
-
Glioma
-
Intraventricular tumour
b.
2. Trauma
Metastatic -
Meningeal
-
Carcinomatosis
- To labyrinth (temporal bone fracture) - To
brainstem
(cervical
vertebrae
fractures) 3. Tyroid I = Infection
- Hypofunction a. Bacterial – Labyrinithitis b. Viral – Vestibular neuronitis c. Spirochaetal – Syphilis
G = Glial disease (multiple sclerosis) O = Ocular diseases or imbalance
2.3.2 Klasifikasi Vertigo terbagi menjadi 2 yaitu vertigo vestibular dan vertigo nonvestibular. Data menunjukkan dari 1003 sampel, 243 orang mengalami vertigo vestibular, 742 orang mengalami vertigo nonvestibular, dan 18 orang tidak dapat dibedakan antara vertigo vestibular dan vertigo nonvestibular. Vertigo vestibular memiliki kriteria sebagai berikut: vertigo rotasi, vertigo posisi atau pusing permanen dengan mual dan gangguan keseimbangan lainnya. Vertigo rotasi diartikan sebagai perasaan dirinya berputar atau objek yang berputar. Vertigo posisi diartikan sebagai perasaan pusing karena perubahan posisi kepala seperti berbaring dan bangkit dari tidur (Neuhauser et al., 2008). Vertigo vestibular dibagi lagi menjadi vertigo vestibular perifer dan vertigo vestibular sentral. Vertigo vestibular perifer lebih sering sekitar 65% dibandingkan vertigo vestibular sentral sekitar 7%. Vertigo vestibular perifer yang paling sering
Universitas Sumatera Utara
yaitu benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) 32%, Meniere's disease 12% dan vertigo vestibular lainnya sekitar 15-20%. Sedangkan vertigo vestibular sentral yang paling sering yaitu space-occupying lesions (SOL) pada fossa posterior sekitar 1%, infark serebelum sekitar 1,9% {abstrak} (Sekine, 2005).
2.3.3 Gejala klinis Jika fungsi keseimbangan terganggu, gejala yang paling sering dirasakan pasien yaitu perasaan berputar terhadap sekitar, perasaan seperti hendak terjatuh, pingsan, pandangan kabur, dan bingung. Gejala lainnya seperti: penderita datang ke dokter untuk konsultasi medis karena sakitnya, izin dari pekerjaan, mempengaruhi aktivitas sehari-hari, dan menghindari untuk meninggalkan rumah karena gejala tersebut (Neuhauser et al., 2008).
2.4
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
2.4.1
Definisi Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan penyebab pusing
yang paling sering dialami khususnya pada usia tua (Caldas et al., 2009). Sekitar 2030% dari diagnosis klinis pusing adalan BPPV (von Brevern et al., 2005). BPPV merupakan suatu sindroma dari gejala sisa penyakit telinga dalam sehingga bukanlah suatu penyakit tertentu (S., Andradi, 2002). BPPV adalah gangguan vestibuler dengan gejala pusing berputar yang tibatiba dan nistagmus yang dipicu oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan saraf pusat (SSP) (Ropper dan Brown, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2
Epidemiologi Menurut penelitian Mizukoshi et al. (1988) di Jepang, insidensi BPPV
sekitar 10,7 per 100.000 populasi sementara di Toyama diperkirakan sekitar 17,3 per 100.000 populasi. Penelitian lain yang dilakukan di Amerika menyebutkan bahwa insidensi BPPV sekitar 64 per 100.000 populasi per tahunnya dengan usia lebih dari 40 tahun. Sekitar 64% dari kasus BPPV ini diderita oleh wanita dan jarang pada usia di bawah 35 tahun tanpa ada riwayat trauma kepala (John, 2012). Dalam penelitian lain yang dilakukan di Israel menyebutkan bahwa sekitar 25,6% pasien didiagnosa BPPV dari keseluruhan kunjungan ke dokter
(Pollak,
2009).
2.4.3
Etiologi Menurut Caldas et al. (2009) penyebab BPPV adalah sebagai berikut: a. Idiopatik (penyebab terbanyak) sekitar 74,8% b. Trauma kepala sekitar 15,0% c. Insufisiensi vertebrobasiler sekitar 10,8% d. Meinere disease sekitar 55,4% e. Vestibuar neuritis sekitar 29,2% f. Penyakit telinga dalam lainnya 4,6%
2.4.4 Faktor resiko Beberapa penelitian menyatakan bahwa wanita memiliki prevalensi lebih tinggi menderita BPPV dibandingkan laki-laki sekitar 74% dari sampel. Hal ini disebabkan karena pengaruh hormon (Dorigueto et al., 2009). Selain itu, usia lebih dari 60 tahun 7 kali lebih beresiko dibandingkan usia antara 18-39 tahun. Onset ratarata penderita sekitar usia 49,4-80 tahun. Dalam penelitian yang sama disebutkan juga beberapa faktor resiko lain yang berhubungan dengan BPPV antara lain: a. Depresi b. Hipertensi c. Peningkatan lipid darah d. Diabetes
Universitas Sumatera Utara
e. Penyakit jantung koroner f. Stroke g. Indeks Massa Tubuh (IMT) h. Merokok, dan i. Migrain Faktor resiko di atas masih belum ada penelitian yang menghubungkannya dengan BPPV, tetapi secara teori hal tersebut dapat berkaitan dengan kerusakan pembuluh darah salah satunya di telinga dalam sehingga dapat menginduksi terjadinya BPPV (von Brevern et al., 2006).
2.4.5 Klasifikasi Menurut Atlas dan Parnes (2001) dalam penelitian Dorigueto et al. (2009), BPPV terbagi 3 jenis menurut waktunya, yaitu: a. Hilang sendiri (self-limited). Gejala hilang dalam beberapa minggu sampai bulan setelah dilakukan statocone repositioning maneuvers (SRM). b. Kambuh lagi (recurrent). Gejala hilang timbul dalam jangka waktu tertentu setelah dilakukan SRM. c. Menetap (persistent). Gejala menetap kurang lebih 1 tahun.
2.4.6 Patofisiologi Menurut Andradi S. (2002), terdapat 2 teori penyebab BPPV, yaitu: a.
Kupulolitiasis Bagian atas makula utrikulus terdapat partikel yang berisi kalsium
karbonat yang berasal dari fragmen otokonia. Oleh karena proses degenerasi dari makula utrikulus, kalsium karbonat terlepas dan menempel di permukaan kupula kanalis semisirkularis khususnya bagian posterior (karena letaknya di bawah makula utrikulus). Hal ini menyebabkan daerah ini lebih berat dari cairan endolimfa di sekitarnya sehingga menjadi lebih sensitif dengan sedikit perubahan arah gravitasi. Salah satu gejala yang timbul yaitu nistagmus kurang dari 1 menit.
Universitas Sumatera Utara
b.
Kanalitiasis Menurut teori ini, partikel kalsium karbonat yang lepas tidak melekat
pada kupula tetapi mengambang di endolimfa kanalis semisirkularis. Dengan adanya perubahan posisi kepala, parikel tersebut bergerak ke posisi paling bawah. Pada saat ini, endolimfa bergerak menjauh dari ampula dan merangsang nervus ampularis. Nistagmus bertahan lebih dari 1 menit.
2.4.7 Gejala klinis Gejala yang sering dikeluhkan pasien BPPV seperti vertigo yang timbul mendadak dan kadang disertai nistagmus karena perubahan posisi kepala misalnya miring ke satu sisi saat berbaring, bangkit dari posisi tidur, perubahan posisi saat tidur, dan gerakan leher yang hiperekstensi. Gejala lainnya seperti mual, muntah, tidak seimbang seperti melayang, takut jatuh, sakit kepala, cemas, gangguan tidur, tinnitus, gangguan mengingat, hipersensitif terhadap suara, dan lain sebagainya (Vaz et al., 2013).
2.4.8 Diagnosis Menurut Andradi S. (2002), beberapa hal yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis BPPV, seperti: a.
Anamnesis Pasien mengeluh vertigo berputar yang timbul mendadak pada perubahan posisi kepala kurang dari 30 detik dan dapat disertai mual dan kadang-kadang muntah.
b.
Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan kecuali penyebab mendasar BPPV adalah kelainan neurologi fokal atau sistemik.
Universitas Sumatera Utara
c.
Test Dix Hallpike (Dix Hallpike Maneuver) Test ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: -
Inform concern pasien sebelum melakukan tindakan.
-
Pasien duduk di ujung meja periksa.
-
Kepala menghadap ke kiri atau kanan sekitar 450, lalu dengan cepat badan pasien dibaringkan sehingga kepala menggantung di ujung meja periksa.
-
Lihat ada/tidaknya nistagmus dan keluhan vertigo. Pertahankan posisi selama 10-15 detik setelah itu pasien duduk kembali seperti posisi semula.
-
Ulangi maneuver dengan posisi kepala ke sisi berlawanan. Ulangi 23 kali untuk melihat fatigue maneuver.
Nistagmus adalah suatu gerakan refleks yang menyentak pada mata saat awal dan akhir rotasi untuk mempertahankan fiksasi penglihatan di titik diam saat tubuh berputar. Saat rotasi tubuh, mata bergerak lambat dengan arah berlawanan dengan arah rotasi untuk mempertahankan fiksasi penglihatan (Ganong, 2008). Test Dix Hallpike dilakukan untuk menilai tipe BPPV dari riwayat perubahan posisi dan pola nistagmus. a. Kanalis semisirkularis posterior Rotasi dan sentakan nistagmus ke arah vertikal atas (lesi di labirin kanan: berlawanan arah jarum jam, sedangkan lesi di labirin kiri: searah jarum jam).
Gambar 2.6 Pola nistagmus pada kanalis semisirkularis posterior telinga kiri (Hornibrook, 2011)
Universitas Sumatera Utara
b. Kanalis semisirkularis anterior Rotasi dan sentakan nistagmus ke arah vertikal bawah (lesi di labirin kanan: berlawanan arah jarum jam, sedangkan lesi di labirin kiri: searah jarum jam).
Gambar 2.7 Pola nistagmus pada kanalis semisirkularis anterior telinga kiri (Hornibrook, 2011) c. Kanalis semisirkularis lateral Nistagmus yang terjadi ke arah horizontal.
Gambar 2.8 Pola nistagmus pada kanalis semisirkularis lateral telinga kiri (Hornibrook, 2011) Kanalis posterior frekuensinya lebih sering dari kanalis anterior dan lateral sekitar 78,8% dari semua kasus. Hal ini terjadi karena partikel kasium karbonat
Universitas Sumatera Utara
bergerak ke bawah yang merupakan posisi kanal posterior. Kasus terbanyak BPPV bersifat unilateral 91,8% (Caldas et al., 2009).
Gambar 2.9 Dix-Hallpike maneuver (Ropper and Brown, 2005) 2.4.9 Penatalaksanaan a. Canalith Repositioning Treatment (CRT) Dilakukan setelah test Dix Hallpike abnormal. Caranya: -
Dimulai dengan posisi Dix Hallpike. Jika kanal telinga yang terganggu sebelah kanan, maka CRT juga kanan dan sebaliknya.
-
Pertahankan posisi saat berbaring dengan kepala yang menggantung di tepi meja periksa sekitar 1-2 menit.
Universitas Sumatera Utara
-
Kemudian kepala diputar perlahan ke kiri (450) dan pertahankan beberapa saat.
-
Selanjutnya badan pasien dimiringkan sehingga pasien menghadap ke lantai.
-
Terakhir pasien kembali ke posisi duduk dengan kepala menghadap ke
depan.
Hindarkan
kepala
menunduk,
berbaring,
dan
membungkukkan badan selama sehari. Test ini bertujuan untuk mendorong partikel keluar dari kanalis semisirkularis dan masuk kembali ke utrikulus. Gejala yang sering dikeluhkan pasien setelah test ini seperti: kaku leher, spasme otot karena kepala tegak dalam beberapa waktu, vertigo berat saat test, sering merasa mual dan muntah. Oleh karena itu, pasien disarankan untuk duduk tenang beberapa saat sebelum pulang.
Gambar 2.10 Canalith Repositioning Treatment (CRT) = Epley Maneuver (Solomon, 2000)
Universitas Sumatera Utara
b. Liberatory (Semont) Maneuver Test ini dilakukan sesuai dengan kanal yang terlibat. Misalnya kanal posterior kanan, maka test juga dilakukan ke arah kanan dengan posisi kepala diputar menghadap ke kiri dan sebaiknya. -
Pasien duduk di meja periksa dengan kepala diputar menghadap ke kiri 450.
-
Kemudian secara cepat pasien dibaringkan ke sisi kanan dengan kepala menggantung.
-
Setelah 1 menit, pasien kembali ke posisi duduk awal secara cepat dan kemudian ke posisi side lying kiri (posisi baring ke sisi kiri) dengan posisi kepala menoleh 450 ke kiri. Pertahankan selama 1 menit.
-
Terakhir kembali ke posisi duduk awal secara perlahan.
Catatan : jika yang terlibat kanal anterior kanan: test dilakukan ke arah kanan dengan posisi kepala diputar menghadap ke kanan, begitu juga sebaliknya.
Gambar 2.11 Liberatory (Semont) Maneuver (Solomon, 2000)
Universitas Sumatera Utara
c. Brandt-Daroff exercises Latihan ini dapat dilakukan pasien di rumah tanpa bantuan therapist. Caranya : -
Pasien dalam posisi duduk kepala menoleh ke arah berlawanan dari posisi pencetus vertigo (misalnya kepala menoleh ke kanan). Tahan selama 30 detik.
-
Kemudian berbaring dengan cepat ke sisi berlawanan (sisi kiri). Tahan selama 30 detik.
-
Secara cepat duduk kembali.
-
Selanjutnya posisi kepala menoleh ke sisi sebelahnya (ke kiri). Tahan selama 30 detik.
-
Berbaring ke sisi berlawanan (kanan) selama 30 detik dan kembali duduk seperti semula.
Latihan ini dilakukan secara rutin 10-20 kali, 3 kali sehari minimal 2 hari.sampai vertigo menghilang.
Gambar 2.12 Brandt-Daroff exercises (Solomon, 2000)
Universitas Sumatera Utara