BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Bahan Tambahan Pangan Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.772/Menkes/Per/IX/88 dan
No.1168/Menkes/PER/X/1999 pengertian Bahan Tambahan Pangan (BTP) secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud
teknologi
pada
pembuatan,
pengolahan,
penyiapan,
perlakuan,
pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan. Penggunaan bahan tambahan pangan bertujuan agar dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan (Cahyadi, 2009). Dalam penggunaan bahan tambahan pangan, para produsen harus mematuhi Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 pasal 9, yakni setiap orang yang memproduksi makanan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun yang dinyatakan terlarang sebagai bahan tambahan pangan, dan menggunakan bahan tambahan pangan wajib yang diizinkan (Saparinto dan Hidayati, 2006). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 telah dicantumkan bahan tambahan pangan yang diizinkan ditambahkan dalam makanan. BTP tersebut diantaranya terdiri dari. 1. Antioksidan (antioxidant) 2. Antikempal (anticaking agent) 3. Pengaturan keasaman (acidity regulator) 4. Pemanis buatan (artificial sweeterner) 5. Pemutih dan pematang telur (flour treatment agent) 6. Pengemulsi, pemantap, dan pengental (emulsifier, stabilizer, thickener) 7. Pengawet (preservative) 8. Pengeras (firming agent)
Universitas Sumatera Utara
9. Pewarna (colour) 10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavor, flavor enhancer) 11. Sekuestran (sequestrant) BTP lain yang biasa digunakan dalam pangan selain BTP yang tercantum dalam peraturan menteri tersebut, misalnya: 1. Enzim, yaitu BTP yang berasal dari hewan, tanaman, atau mikroba, yang dapat menguraikan zat secara enzimatis, misalnya membuat pangan menjadi lebih empuk, lebih larut, dan lain-lain. 2. Penambah gizi, yaitu bahan tambahan berupa asam amino, mineral, atau vitamin, baik tunggal maupun campuran, yang dapat meningkatkan nilai gizi pangan. 3. Humektan, yaitu BTP yang dapat menyerap lembab (uap air) sehingga mempertahankan kadar air pangan. (Cahyadi, 2009) 2.2.
Bahan Pengawet Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah
atau menghambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Biasanya bahan tambahan pangan ini ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak, atau makanan yang disukai sebagai media tumbuhnya bakteri atau jamur, misalnya pada produk daging, buah-buahan, dan lain-lain (Cahyadi, 2009). Zat pengawet terdiri dari senyawa anorganik dan organik dalam bentuk asam dan garamnya. Contoh zat pengawet anorganik yang masih sering digunakan adalah sulfit, hidrogen peroksida, nitrit dan nitrat. Zat pengawet organik yang sering digunakan untuk pengawet adalah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan epoksida. Zat pengawet organik lebih banyak digunakan daripada yang anorganik karena bahan ini lebih mudah dibuat (Cahyadi, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Ternyata, dalam penggunaannya produsen sering menggunakan pengawet yang sebenarnya bukan Bahan Tambahan Pangan (BTP) untuk mengawetkan makanan sehingga penggunaannya sangat membahayakan konsumen. Jenis-jenis bahan pengawet yang dilarang, diantaranya natrium tetraboraks (boraks), formalin, asam salisilat dan garamnya, dietilpilokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi (brominated vegetable oil), nitrofurazon, dan kalium atau potassium bromat. Di antara bahan-bahan tersebut yang paling sering digunakan di masyarakat adalah formalin dan boraks (Yuliarti, 2007). 2.3.
Formalin (Formaldehida) Larutan formaldehida atau larutan formalin dengan rumus molekul CH2O
mempunyai nama dagang formalin, formol, atau mikrobisida mengandung kirakira 37% gas formaldehida dalam air. Biasanya ditambahkan 10–15% methanol untuk menghindari polimerisasi (Windholz et al.,1983 dalam Cahyadi, 2009). Formalin bisa berbentuk cairan jernih, tidak berwarna, dan berbau menusuk, atau berbentuk tablet dengan berat masing-masing 5 gram (Saparinto dan Hidayati, 2006). Struktur kimia dari formaldehida dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut. O
H
C
H
Gambar 2.1. Struktur Kimia Formaldehida Formaldehida mempunyai sifat antimikroba karena kemampuannya menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi asam amino bebas dalam protein menjadi campuran lain. Kemampuan dari formaldehida meningkat seiring dengan peningkatan suhu (Lund, 1994 dalam Cahyadi, 2009). Karena kemampuan tersebut, maka formalin digunakan sebagai pengawet.
Universitas Sumatera Utara
Sebenarnya formalin adalah bahan pengawet yang digunakan dalam dunia kedokteran, misalnya sebagai bahan pengawet mayat dan hewan-hewan untuk keperluan penelitian. Selain sebagai bahan pengawet, formalin juga memiliki fungsi lain sebagai berikut. a. Zat antiseptik untuk membunuh mikroorganisme. b. Desinfektan pada kandang ayam dan sebagainya. c. Antihidrolik (penghambat keluarnya keringat) sehingga digunakan sebagai bahan pembuat deodoran. d. Bahan campuran dalam pembuatan kertas tisu untuk toilet. e. Bahan baku industri pembuatan lem plywood, resin, maupun tekstil. (Saparinto & Hidayati, 2006) 2.3.1. Penyalahgunaan Formalin Besarnya manfaat
formalin di bidang industri tersebut ternyata
disalahgunakan oleh produsen di bidang industri makanan. Biasanya hal ini sering ditemukan dalam industri rumahan karena mereka tidak terdaftar dan tidak terpantau oleh Depkes dan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) setempat (Yuliarti, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Zuraidah (2007) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan formalin pada pedagang tahu di pasar flamboyan kota Pontianak didapatkan bahwa alasan pedagang menambahkan formalin ke dalam makanan adalah karena kepentingan ekonomi. Alasan ekonomi di sini berarti agar pedagang tidak mengalami kerugian bila barang dagangan mereka tidak habis terjual dalam sehari. Selain itu, kurangnya informasi tentang formalin dan bahayanya, tingkat kesadaran kesehatan masyarakat yang masih rendah, harga formalin yang sangat murah, dan kemudahannya didapat merupakan faktor-faktor penyebab penyalahgunaan formalin sebagai pengawet dalam makanan (Saparinto & Hidayati, 2006). Formaldehida merupakan bahan tambahan kimia yang efisien, tetapi penggunaannya dilarang dalam bahan pangan (makanan). Walaupun demikian,
Universitas Sumatera Utara
ada kemungkinan formaldehida digunakan dalam pengawetan susu, tahu, mie, ikan asin, mi basah, dan produk pangan lainnya (Cahyadi, 2009). Berdasarkan hasil investigasi dan pengujian laboratorium yang dilakukan Balai POM di Jakarta, ditemukan sejumlah produk makanan yang memakai formalin sebagai pengawet seperti ikan asin, mi basah, dan tahu (Yuliarti, 2007). 2.3.2. Ciri-ciri Makanan yang Mengandung Formalin Untuk mengetahui kandungan formalin dalam bahan makanan secara akurat dapat dilakukan uji laboratorium dengan menggunakan pereaksi kimia. Akan tetapi kita juga dapat mengetahui ada tidaknya formalin dalam makanan tanpa uji laboratorium. Berikut ciri-ciri beberapa contoh bahan makanan yang menggunakan formalin sebagai bahan pengawet. a. Bakmi basah 1. Tidak rusak sampai 2 hari pada suhu kamar (25° C) dan bertahan lebih dari 15 hari dalam lemari es (suhu 10° C). 2. Bau formalin agak menyengat. 3. Mi tampak lebih mengilap dibandingkan dengan mi normal dan tidak lengket. 4. Tidak dikerubungi lalat. 5. Tekstur mi lebih kenyal. b. Ayam potong 1. Tidak dikerubungi lalat. 2. Daging sedikit tegang (kaku). 3. Jika dosis formalin yang diberikan tinggi maka akan tercium bau formalin.
Universitas Sumatera Utara
4. Dalam uji klinis, jika daging ayam dimasukkan dalam reagen maka akan muncul gelembung gas. c. Tahu, dengan kandungan formalin 0,5–1 ppm 1. Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar (25° C) dan bertahan lebih dari 15 hari dalam lemari es (suhu 10° C). 2. Tekstur lebih keras tetapi tidak padat. 3. Terasa kenyal jika ditekan, sedangkan tahu tanpa formalin biasanya mudah hancur. 4. Bau formalin agak menyengat. 5. Tidak dikerubungi lalat. d. Bakso 1. Tidak rusak sampai 5 hari pada suhu kamar (25° C). 2. Tekstur sangat kenyal dan tidak dikerubungi lalat. e. Ikan asin 1. Tidak rusak sampai lebih dari satu bulan pada suhu kamar (25° C). 2. Tampak bersih dan cerah. 3. Tidak berbau khas ikan asin. 4. Tekstur ikan keras, bagian yang luar kering tetapi bagian dalamnya basah. 5. Tidak dikerubungi lalat dan baunya hampir netral (hampir tidak lagi berbau amis).
Universitas Sumatera Utara
f. Ikan segar 1. Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar (25° C). 2. Mata ikan merah, tetapi warna insang merah tua, bukan merah segar, dan tidak cemerlang. 3. Warna daging putih bersih, dengan tekstur kaku/ kenyal. 4. Bau amis (spesifik ikan) berkurang, lendir pada kulit ikan hanya sedikit, dan tercium bau seperti bau kaporit. 5. Tidak dikerubungi lalat. (Saparindo dan Hidayati, 2006) 2.3.3. Dampak Formalin pada Kesehatan Karakteristik risiko yang membahayakan bagi kesehatan manusia yang berhubungan dengan formaldehida adalah berdasarkan konsentrasi dari substansi formaldehida yang terdapat di udara dan juga dalam produk-produk pangan (WHO, 2002). Selain itu, gangguan kesehatan yang terjadi akibat kontak dengan formalin sangat tergantung pada cara masuk zat ini ke dalam tubuh (Yuliarti, 2007). Pemaparan formaldehida terhadap kulit menyebabkan kulit mengeras, menimbulkan kontak dermatitis dan reaksi sensitivitas. Formalin bisa menguap di udara, berupa gas yang tidak berwarna, dengan bau yang tajam menyesakkan sehingga merangsang hidung, tenggorokan, dan mata. Bila uap formalin dengan konsentrasi 0,03-4 bpj terhirup selama 35 menit, maka akan menyebabkan iritasi membran mukosa hidung, mata, dan tenggorokan. Selain itu, dapat juga terjadi iritasi pernapasan parah, seperti batuk, disfagia, spasmus laring, bronkhitis, pneumonia, asma, edema pulmonal, dapat pula terjadi tumor hidung pada mencit (Cahyadi, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 ditegaskan bahwa formalin dilarang digunakan dalam makanan. Hal itu mengingat bahaya serius yang akan dihadapi jika formalin masuk ke dalam tubuh manusia. Formalin akan menekan fungsi sel, menyebabkan kematian sel, dan menyebabkan keracunan (Khomsan & Anwar, 2008). Setelah menggunakan formalin, efek sampingnya tidak akan secara langsung terlihat. Efek ini hanya terlihat secara kumulatif, kecuali jika seseorang mengalami keracunan formalin dengan dosis tinggi (Saparinto & Hidayati, 2006). Jumlah formaldehida yang masih boleh diterima manusia per hari tanpa akbiat negatif pada kesehatan (Acceptable Daily Intake/ ADI) adalah 0,2 mg per kilogram berat badan (Widmer dan Frick, 2007). Formalin dapat menyebabkan kematian pada manusia bila dikonsumsi melebihi dosis 30 ml. Setelah mengonsumsi formalin dalam dosis fatal, seseorang mungkin hanya mampu bertahan selama 48 jam (Khomsan & Anwar, 2008). Dampak akut formalin terhadap kesehatan terjadi akibat paparan formalin dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang singkat. Efeknya berupa iritasi, alergi, kemerahan, mata berair, mual, muntah, rasa terbakar, sakit perut, pusing, bersin, radang tonsil, radang tenggorokan, sakit dada yang berlebihan, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, diare dan pada konsentrasi yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian. Dampak kronik dari formalin terlihat setelah terkena paparan formalin berulang dalam jangka waktu yang lama dan biasanya formalin dikonsumsi dalam jumlah kecil dan terakumulasi dalam jaringan. Gejalanya berupa mata berair, gangguan pada: pencernaan, hati, ginjal, pankreas, sistem saraf pusat, menstruasi dan pada hewan percobaan dapat menyebabkan kanker, sedangkan pada manusia diduga bersifat karsinogen (Yuliarti, 2007). Dari hasil analisa penelitian kohort pada pekerja di industri formalin, didapatkan hubungan antara paparan formalin dengan kejadian kanker nasofaring dan kemungkinan kejadian kanker pada beberapa bagian saluran nafas bagian atas. Akan tetapi, tidak ditemukan hubungan antara paparan formalin dengan
Universitas Sumatera Utara
kejadian kanker pankreas, otak dan paru-paru (Hauptmann, Lubin, Stewart, Hayes and Blair, 2004 & Bosetti, McLaughlin, Tarone, Pira, and Vecchia, 2008). 2.4.
Tahu Produk tahu berasal dari sari kedelai yang digumpalkan dengan asam
(Suprapti, 2005). Bahan dasar pembuatan tahu adalah kacang kedelai. Oleh karena itu, kandungan protein tahu sangat berkualitas namun jumlah protein dalam tahu hanya 7,8%. Protein tahu tidak terlalu tinggi karena kadar air dalam tahu sangat tinggi, yaitu mencapai 84,8%. Umumnya, makanan dengan kadar air tinggi mengandung protein yang agak rendah (Khomsan dan Anwar, 2008). Karena mengandung kadar air yang tinggi, tahu cepat mengalami penyimpangan bau maupun rasa. Selain itu, kualitas kedelai, sumber air pembuatannya, sanitasi alat-alat pembuatan tahu dan pekerjanya mempengaruhi cita rasa tahu dan kecepatannya dalam mengalami penyimpangan bau (Khomsan dan Anwar, 2008). Jika tidak diawetkan, tahu hanya tahan disimpan selama dua hari bila direndam dalam air sumur atau air keran yang bersih. 2.5.
Analisis Kualitatif Formalin dalam Makanan Formaldehida merupakan suatu senyawa aldehida yang dapat dideteksi
dengan menggunakan reagensia Schiff , yaitu larutan pararosanilin yang telah dihilangkan warnanya oleh sulfur dioksida (Stedman’s, 2003). Eksperimen mendeteksi zat aldehida dalam suatu bahan dinamakan tes Schiff. Tes ini dilakukan dengan meneteskan larutan Schiff kedalam 2 tabung uji. Tabung uji pertama berisi 1 ml ethanol dan 0,3 ml asetaldehida sedangkan tabung uji kedua berisi 1 ml ethanol dan 0,3 ml formaldehida. Hasil positif terhadap aldehida ditandai dengan perubahan warna pada larutan yaitu dari tidak berwarna menjadi warna ungu kemerahan. Eksperimen menunjukkan terdapatnya perubahan warna pada kedua-dua tabung reaksi yang berisi zat aldehida (Keush, 2003).
Universitas Sumatera Utara