BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batu Kapur
Batu kapur ialah jenis batuan sedimen yang mengandung senyawa karbonat. Pada umumnya batu kapur yang banyak terdapat adalah batu kapur yang mengandung kalsit. Batu kapur memiliki warna putih, putih kekuningan, abu–abu hingga hitam. Pembentukan warna ini tergantung dari campuran yang ada dalam batu kapur tersebut, misalnya : lempung, kwarts, oksida besi, mangan dan unsur organik. Batu kapur terbentuk dari sisa–sisa kerang di laut maupun dari proses presipitasi kimia. Berat jenis batu kapur berkisar 2,6 - 2,8 gr/cm3, dalam keadaan murni dengan bentuk kristal kalsit (CaCO3), sedangkan berat volumenya berkisar 1,7 – 2,6 gr/cm3. Jenis batuan karbonat dapat dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu batu kapur (limestone) dan dolomit (dolostone) (Boggs, 1987).
Di Indonesia terdapat beberapa batuan yang mengandung senyawa karbonat, antara lain ialah batu kapur, batu kapur kerang dan batu kapur magnesium. Batu kapur merupakan salah satu bahan galian industri yang potensinya sangat besar dengan cadangan di perkirakan lebih dari 28 milyar ton yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Menurut Data dan Informasi Pertambangan Propinsi bali Tahun 2001, Propinsi Bali sendiri memiliki potensi batu kapur dan masih tersisa sekitar 11.220.945.960 m3 dengan luar areal 25.559 Ha pada akhir tahun 2000. Produksi batu kapur di Bali sebagian besar dipergunakan untuk bahan bangunan, biasanya digunakan untuk pondasi gedung maupun jalan raya (Salain, 2009).
Batu kapur murni digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan kaca, kalsinasi dan beberapa kapur digunakan dalam pengolahan dari campuran struktural semen. Batu kapur digunakan dalam pembuatan dari bubuk pemucat
dimana digunakan dalam bidang tekstil dan kertas gulung. Kini batu kapur banyak digunakan sebagai bahan baku semen Portland (Zubkov, 1967). Komposisi dari batu kapur yang dianalisa dengan pengujian XRF dapat ditunjukan pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Batu Kapur Hasil Pengujian dengan XRF (X Ray Flourescence) No
Komposisi Kimia
% Wt
1
Ca
92,1
2
Fe
2,38
3
Mg
0,9
4
Si
3,0
5
In
1,4
6
Ti
0,14
7
Mn
0,03
8
Lu
0,14 (Arifin, 2010)
2.2 Bahan Pengisi
Bahan pengisi adalah bahan yang banyak digunakan untuk ditambahkan pada bahan polimer yang dapat meningkatkan sifat-sifatnya dan kemampuan pemprosesan atau untuk mengurangi ongkos. Bahan pengisi dapat digunakan sebagai penguat, perbaikan temperatur deformasi termal, pelindung, ketahanan cuaca dan perbaikan sifat pencetakan (Surdia, 1995).
Telah dibuat yang mencakup penggabungan dari antioksidan dan UV stabilisasi dalam komposisi plastik. Disini ada contoh yang penting dalam cabang teknologi plastik, menggunakan zat tambahan untuk memodifikasi kekuatan dari suatu material. Beberapa zat tambahan sengaja dibuat untuk konsentrasi yang rendah antara 0.1 – 1%.
Zat tambahan digunakan dalam konsentrasi yang rendah meliputi antioksidan, UV stabilisasi, minyak pelumas (untuk proses fasilitas dan
anti
bloking (untuk modifikasi permukaan film) dan pigmen warna. Zat tambahan diciptakan pada dasarnya untuk menambah sifat mekanik atau ekonomis dari penggunaan zat pengisi (Arthur, 1986).
Penggunaan bahan pengisi secara luas dapat menghasilkan perubahan berikut dalam sifat – sifat termoplastik suatu matrik polimer yaitu : -
Bertambahnya densitas
-
Bertambahnya modulus elastisitas, pemadatan dan pengerasan bahan
-
Peningkatan kekuatan kualitas permukaan
-
Berkurangnya pernyusutan bahan (Schlumpf, 1990).
Penggunaan dari zat pengisi mineral telah digunakan, pada umumnya banyak yang menggunakan kalsium karbonat sebagai zat pengisi. Keuntungan dari penggunaan kalsium karbonat ini adalah untuk meningkatkan kekakuan dan meningkatkan jumlah hasil produksi. Hasil dari temperatur yang rendah dan konduktivitas termal yang tinggi dan lain sebagainya merupakan semua keuntungan dalam pemakaian kalsium karbonat (Gachter, 1990).
Kalsium karbonat merupakan suatu bahan pengisi anorganik yang terkenal dalam industri plastik hal ini dikarenakan CaCO3 terdapat dalam berbagai kombinasi baik dalam ukuran dan jenis kristal partikel, harganya relatif murah dan kemurniannya yang tinggi serta dapat digunakan dalam kuantitas yang besar (Washabaugh, 1998).
2.3 Kegunaan dari Kalsium Karbonat di Dalam Termoplastik
Pada dasarnya kalsium karbonat ialah zat pengisi yang penting digunakan pada plastik. Kalsium karbonat merupakan bahan filler anorganik dalam plastik yang banyak digunakan pada beberapa polimer karena mudah terurai dan berwarna putih disamping banyak tersedia dialam dan harga tidak mahal (Seymor, 1985).
Berikut adalah keuntungan kalsium karbonat sebagai zat pengisi yaitu : a. Kemurnian kimia yang tinggi, tidak memiliki ion logam berat yang dapat mengkatalisasi proses penyimpanan pada polimer. b. Tidak ada tendensitas untuk membentuk penggumpalan. c. Non-abrasif, lembut digunakan pada bagian mesin. d. Meningkatkan daya kekakuan dan modulus elastisitas. e. Mengurangi penyusutan, meningkatkan warna. f. Meningkatkan kualitas permukaan pada penyelesaian produk. g. Meningkatkan daya tumbukan, dalam hal ini untuk meningkatkan daya lapis. h. Meningkatkan stabilitas dan daya tahan pemeraman terutama ketika digunakan sebagai pelapis. i. Tidak beracun, tidak berbau dan tahan panas sampai 600oC. j. Biaya yang rendah, dikarenakan dapat meningkatkan keuntungan di bagian berat dan volume (Gachter, 1990).
2.4 Plastik
Plastik dibagi menjadi dua klasifikasi utama berdasarkan pertimbangan ekonomis serta kegunaannya yaitu plastik komoditi dan plastik teknik. Plastik-plastik komoditi dicirikan oleh volumenya yang tinggi dan harga yang murah. Plastik ini sering dipakai dalam bentuk barang yang bersifat pakai-buang (disposable) seperti lapisan pengemas, namun ditemukan juga pemakaiannya dalam barang-barang yang tahan lama. Plastik teknik lebih mahal harganya dan volumenya lebih rendah, tetapi memiliki sifat mekanik yang unggul dan daya tahan yang lebih baik. Plastik ini mampu bersaing dengan logam, keramik dan gelas dalam berbagai aplikasi lainnya. Pada tabel 2.2 menjelaskan jenis – jenis plastik komoditi.
Tabel 2.2 Plastik-Plastik Komoditi Jenis Plastik Komoditi Sifat Plastik Komoditi Polietilena massa jenis Lapisan pengemas, isolasi kawat, dan kabel, rendah (LDPE) barang mainan, botol fleksibel, perabotan, bahan pelapis Polietilen massa jenis Botol, drum, pipa, saluran, lembaran, film, tinggi (HDPE) anyaman, karet dan kabel Polipropilena (PP) Bagian-bagian mobil dan perkakas, tali, anyaman, karet, film Polivinilklorida (PVC) Bahan bangunan, pipa tegar, bahan untuk lantai, isolasi kawat dan kabel, film, dan lembaran Polistirena (PS) Bahan pengemas (busa dan film), isolasi busa, perkakas, perabotan, perabotan rumah, barang mainan (Steven, 2007)
2.5 Polietilena
Polietilena adalah bahan termoplastik yang digunakan secara luas oleh konsumen sebagai produk kantung plastik. Polietilena adalah polimer yang terdiri dari rantai panjang monomer. Di industri polietilena disingkat dengan PE dimana molekul etana C2H4 adalah CH2 = CH2. Dua grup CH2 bersatu dengan ikatan ganda. Polietilena dibentuk melalui proses polimerisasi dari etena. Bisa diproduksi melalui proses polimerisasi radikal, adisi ionik, adisi anionik, adisi kationik dan ion koordinasi seperti gambar 2.1
Gambar 2.1 Struktur Etilen dan Polietilen (Bandrup, 1989).
2.5.1 Sifat – Sifat HDPE
High density polyethylene (HDPE) merupakan polietilen (PE) yang linier dengan berat jenis 0.94 – 0.97 g/cm3, dengan berat molekul 50.000 – 250.000 dan memiliki sifat kekristalan yang tinggi. HDPE ini terbentuk oleh polimerisasi sejenis dan tidak sejenis pada fase cairan atau gas pada tekanan dan temperatur yang relatif rendah. HDPE memiliki kekerasan yang baik dalam temperatur rendah, tahan terhadap zat kimia dan memiliki sifat dielektrik yang baik (Zebarjad, 2006).
Sifat dari HDPE meliputi titik lebur kristalin yang lebih rendah dibandingkan pada PP yaitu 120 – 135oC dengan sedikit sekali proses pendinginan dan laju kristalisasi yang cepat. Kekakuan HDPE sebanding dengan polipropilen tetapi tidak mudah rusak dan tahan terhadap goresan. Nilai viskositas rendah akan membuat rapuh jika konsentrasi tegangan diberikan, tetapi berat molekul yang besar akan membuat jadi keras meskipun pada temperatur rendah. Polimer dengan berat molekul rendah mungkin akan tertarik hingga robek jika diisi dengan bahan kimia. Densitasnya ialah 4% - 6% lebih besar dibandingkan dengan PP.
Sifat HDPE mudah terbakar meskipun sudah menggunakan anti terbakar ataupun meningkatkan sifat karakteristik dari polietilen berdensitas tinggi ini (Arthur, 1986).
2.6 Maleat Anhidrida Maleat anhidrida (C4H2O3) larut dalam aseton dan air, tidak berwarna atau berwarna putih padat dalam keadaan murni dengan abu yang sangat tajam, memiliki massa molar 98.06 g/mol, berwarna kristal putih dan memiliki densitas 1.314 g/cm3. Maleat anhidrat adalah senyawa vinil tidak jenuh yang merupakan bahan mentah dalam sintesa resin polyester, pelapisan permukaan karet seterjen,
bahan aditif dan minyak pelumas, plastisizer, kopolimer dan ikatan ini berperan dalam reaksi adisi (Parker, 1984). Adapun struktur bangun dari maleat anhidrida ditunjukkan pada gambar 2.2
Gambar 2.2 Struktur Maleat Anhidrida
2.7 Grafting Maleat Anhidrat Pada Polietilena
Proses grafting maleat anhidrat (MA) pada plastik polietilena juga merupakan suatu jalur untuk membuat plastik yang mampu didegradasi oleh mikroba dalam tanah yang kemudian dikenal dengan plastik ramah lingkungan. Salah satu cara yang telah ditempuh pada proses grafting adalah dengan proses dalam larutan pada suhu tinggi. Proses ini terasa kurang praktis karena melibatkan banyak langkah dalam mengerjakannya. Untuk itu pada penelitian ini dilakukan dengan cara proses dalam lelehan dengan cara memblending antara polietilena, maleat anhidrat (MA) dan inisiator benzoil peroksida (BPO) dalam fase cair. Karena pada proses lelehan, reaksi yang terjadi lebih dipengaruhi oleh diffussion control daripada chemical control. Dengan demikian, faktor yang mempengaruh pada keberhasilan proses kopolimerisasi tempel ini antara lain adalah suhu proses blending, kecepatan putaran blending, konsentrasi MA dan konsentrasi BPO (Muin, 2005). Mekanisme tahap proses grafting maleat anhidrida terhadap polietilena adalah sebagai berikut: 1. Tahap dekomposisi peroksida tahap ini terjadi penguraian benzoil peroksida akibat adanya pemanasan sehingga menyebabkan terbentuknya benzoil peroksida radikal 2. Tahap inisisasi 3. Pada tahap ini terjadi proses pembentukan bahan polimer radikal yang disebabkan inisiator radikal 4. Tahap propagasi
Tahap pencangkokan monomer terhadap bahan polimer radikal. Dimana akan menghasilkan bahan polimer yang tercangkok monomer yang berbentuk radikal
5. Tahap transfer rantai Pada tahap ini bahan polimer yang tercangkok monomer dalam bentuk radikal akan berikatan dengan bahan polimer yang lain sehingga membentuk rantai polimer panjang 6. Tahap terminasi
Dekomposisi Peroksida O
O
O C
O
0
T= 145 C
C
O
2
C
Benzoil peroksida
O'
BPO radikal
Inisiasi H C
O +
C
H
C
C
H
BPO radikal
H
H
O
H
*
C
C
+ n
H
n
O
OH
HDPE radikal
As. Benzoat
HDPE Propagasi H
C
*
+
C
H
H
H
H
n
C
O
C
C
C
H
O
O C
HDPE radikal
Maleat anhidrat
O
HDPE-g-MA
n
C O
O
Terminasi H
H C
H
H
C
C *C
+
C
H
H
n
*
O
H
H
+
C C
H
H O
O
H
H
C
O
n
O
n
O
disproporsinasi
H
H H
H
+
CH3 C*
H
H
H C
C
C
C
C
*C
H
*
n
H
H O
O
H
H
O
O
O
O Ikat Silang (croslinking)
Gambar 2.3 Mekanisme Reaksi Grafting Polietilena (Mousa, G. 2002)
2.8
Benzoil Peroksida
Benzoil peroksida merupakan senyawa peroksida yang berfungsi sebagai inisiator dalam proses polimerasi dan bahan pembentukan ikatan silang dari berbagai polimer dan material polimer. Senyawa peroksida ini dapat digunakan sebagai pembentuk radikal bebas. Benzoil peroksida mempunyai waktu paruh yang dipengaruhi tekanan dan temperatur, waktu paruh relatif kecil 0,37 jam pada temperatur 100 0C.
Benzoil peroksida
Gambar 2.4 Penguraian Benzoil Peroksida
BPO radikal
Karbon dioksida
Radikal bebas
2.9 Komposit
Komposit polimer merupakan perpaduan antara dua atau lebih bahan yang mempunyai jenis dan mempunyai sifat yang berbeda serta sifat akhir komposit yang berbeda dengan sifat polimer penyusunnya. Komposit yang tersusun dari bahan polimer sebagai matrik dan bahan anorganik sebagai pengisi atau filler yang dicampurkan kedalam matrik, akan menghasilkan komposit dengan sifat akhir yang sangat tergantung pada karakterisktik polimer dan pengisi serta sifat adhesi antar muka matrik pengisi yang menentukan kompatibilitas komposit serta distribusi zat pengisi dalam matrik. Sejauh ini telah dilakukan penelitian bahan komposit dan polipaduan yang mengkaji sifat mekanik, kompatibilitas, sifat termal untuk berbagai keperluan aplikasi (Ari, 2007).
Pencampuran dilakukan untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan dengan berbagai variasi seperti komposisi bahan, temperatur pencampuran dan lainnya. Ada tiga jenis poliblen polimer komersil yaitu polimer sintetik dengan polimer sintetik, polimer sintetik dengan polimer alam dan polimer alam dengan polimer alam.
Proses pencampuran dapat digolongkan menjadi dua jenis, yakni: a.
Blending kimia yaitu menghasilkan suatu kopolimer yang ditandai dengan terjadinya ikatan-ikatan kovalen antar polimer-polimer penyusunnya.
b.
Blending fisik yaitu blending atas dua jenis polimer atau lebih yang strukturnya berbeda yang menghasilkan suatu poliblen. Dengan demikian dalam poliblen ini tidak terjadi ikatan kovalen antar komponenkomponennya. Interaksi yang terjadi dalam sistem ini dapat berupa ikatan hidrogen, interaksi dipol-dipol dan ikatan Van der Walls (Bandrup, 1989).
2.9.1 Nanokomposit
Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam menciptakan material, struktur fungsional maupun piranti alam skala nanometer. Sifat dari nanokomposit telah
dipelajari dengan menggunakan dua zat pengisi anorganik yang berbeda yaitu koloidal dan nano partikel silika. Tidak telalu kelihatan perubahan dari sifat mekanis ketika serbuk silika ditambahkan pada polimer yang murni. Sebaliknya, kehadiran dari silika-sol nanopartikel dalam matrik polimer dapat meningkatkan dua hal yaitu modulus Young dan kekuatan tubrukan (Gracia, 2004).
Material nano partikel adalah material-material berskala kecil yaitu nanometer, termasuk didalamnya adalah nanowire dan karbon nanotube. Disamping itu material dengan ukuran nanometer memiliki sifat yang luas karena menghasilkan sifat yang tidak dimiliki oleh material ukuran besar (Astuti, 2008).
2.10 Pembuatan Komposit Polimer
Pencampuran merupakan suatu metode yang sering digunakan dalam proses perpaduan antara dua jenis ataupun lebih matrik polimer, dalam proses blending ada ketentuan–ketentuan yang harus dilakukan yang antara lain menghomogenkan campuran yang dibentuk sehingga dalam pemeriksaan parameter–parameter penentu sifat dari matrik polimer dapat dilakukan dengan baik sehingga akan didapatkan hasil yang maksimal. Dalam melakukan proses blending sering mengalami kesulitan terutama dalam hal pemilihan alat blending, sering kali didapati hasil dari blending dengan menggunakan alat konvensional tidak seperti yang diharapkan seperti hasil matriks polimer yang terdegradasi pada saat proses pencampuran polimer meskipun telah digunakan bahan tambahan sebagai penyetabil sehingga perlu digunakan suatu metode yang baru dalam membantu proses blending yang nantinya dapat meningkatkan hasil secara kualitatif (Hartomo, 1983).
2.11 Kompatibilitas Bahan Polimer
Kompatibilitas dapat didefenisikan sebagai suatu besaran untuk menjelaskan hasil pencampuran antara matrik polimer dengan matrik polimer lainnya atau antara matrik polimer dengan bahan pengisi. Bila hasil pencampuran antara matrik
tersebut tercampur secara sempurna maka matrik polimer terebut mempunyai kompatibilitas yang tinggi (Wirjosentono, 1995).
2.12 Karakterisasi Polimer
Mengkarakterisasi polimer jauh lebih rumit daripada mengkarakterisasi senyawasenyawa dengan berat molekul rendah. Fokus utama yang dilakukan kimiawan untuk mengkarakterisasi senyawa polimer ditempatkan ke metode-metode spektroskopi dan termal karena paling sering dipakai oleh ilmuwan polimer. Disini juga akan menyinggung analisis permukaan maupun pengujian mekanik dan elektrik.
Karakterisasi yang dilakukan untuk mengetahui dan menganalisa campuran polimer. Karakterisasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah menggunakan Uji Tarik dan Kemuluran, FT-IR (Faurier Transform Infrared Spectroscopy), DSC (Differential Scanning Calorimetry) dan SEM (Scanning Electron Microscopy).
2.12.1 Fourier transform infrared spectroscopy
Pada dasarnya teknik ini sama dengan spektroskopi inframerah biasa, kecuali dilengkapi dengan cara penghitungan “Fourier transform” dan pengolahan data untuk mendapatkan resolusi dan kepekaan yang lebih tinggi. Teknik ini dilakukan dengan penambahan peralatan interferometer yang telah lama ditemukan oleh Michelson pada akhir abad 19. Michelson telah mendapat informasi spektrum dari suatu berkas radiasi dengan mengamati interferogram yang diperoleh dari interfemeter tersebut. Fellet (1970) juga telah menggunakan perhitungan Faurier transform pada spektrofotometer dalam bidang astronomi.
Dua variasi instrumental dari spektroskopi inframerah (IR) yaitu metode dispertif yang memiliki prisma atau kisi untuk mendispersikan radiasi IR dan metode Fourier transform (FT) yang menggunakan prinsip interferometri.
Kelebihan-kelebihan dari FT-IR mencakup persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembangan spektrum yang cepat. Karena instrument ini memiliki komputer yang terdedikasi maka memiliki kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum. FT-IR bermanfaat dalam meneliti paduan-paduan polimer. Sementara paduan yang tidak dapat bercampur memperlihatkan suatu spektrum IR yang merupakan super posisi dari spektrum homopolimer, spektrum paduan yang dapat bercampur adalah super posisi dari tiga komponen, dua spektrum homopolimer dan satu spektrum interaksi yang timbul dari interaksi kimia atau fisika antara homopolimer (Steven, 2007).
Sampel yang digunakan untuk analisa dapat berupa padat cair dan gas. Metode penyiapan untuk polimer antara lain melarutkan polimer ke dalam suatu pelarut seperti karbon bisulfida, karbon tetra klorida atau kloroform, pembuatan film transparan dan metode pellet Kbr. Hubungan kuantitatif antara konsentrasi (C) dan adsorbansi (A) pada spektroskopy infra merah diberikan oleh persamaan Lambert – Beer : A=εCL
(2.1)
Keterangan: ε = Absorbsifitas molar L = Tebal sampel (jarak yang ditempuh sinar IR yang menembus sampel)
Hubungan intensitas radiasi, absorbansi (A) didefenisikan sebagai : A = log lo/l
(2.2)
Dimana: lo = Intensitas radiasi sebelum melewati sampel l = Intensitas radiasi setelah melewati sampel
Untuk mengukur serapan gugus dari serapan spectrum infra merah digunakan cara dasar tangen. Seperti terlihat pada gambar 2.5 dengan menggunakan metode garis AC, maka harga lo adalah panjang BE dan I = DE, sehingga harga absorbansi adalah :
BE
A = log
(2.3)
DE
Hal ini dilakukan mengingat transmisi 100% tidak pernah dicapai karena adanya serapan dari medium (serapan latar belakang).
100
Transmitans (%)
A
B
Serapan Latar
C
belakang 0 D E Bilangan gelombang (cm-1)
Gambar 2.5 Pengukuran absorbansi dan transmitasi dan spektrum IR
2.12.2 Uji Kekuatan Tarik Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengatami sifat kekuatan tarik σ menggunakan alat pengukur tensometer atau dinamometer, bila terhadap bahan diberikan tegangan secara praktris kekuatan tarik diartikan sebagai besarnya beban maksimum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama dibawah pegaruh tegangan, spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka defenisi kekuatan tarik dinyatakan dengan luas penampang semula Ao. σt =
Keterangan : σt
: Kekuatan tarik bahan (Kgf/mm2)
(2.4)
Fmaks
: Tegangan Maksimum (Kgf)
Ao
: Luas Permukaan Mula – mula (mm2)
Selama deformasi dapat diasumsikan bahwa volume spesimen tidak berubah sehingga perbandingan luas penampang semula dengan penampang setiap saat
=
dengan l dan lo masing-masing adalah panjang spesimen akhir
dan semula. Bila didefenisikan besaran kemuluran sebagai nisbah pertambahan panjang terhadap spesimen semula ε=∆l/l o, maka diperoleh hubungan :
A=
(2.5) (Wirjosentono, 1995)
Korelasi Kekuatan tarik dan kemuluran pada uji mekanik pada suatu bahan polimer dapat dilihat pada gambar 2.6 Tegangan putus
Tegangan
Perpanjangan Lumer
Kuat tarik
Tegangan lumer
Regangan
Gambar 2.6 Kurva tegangan regangan bahan polimer
Tabel 2.3 Kekuatan Tarik, Tekan dan Lentur Bahan Polimer Polietilena
Kekuatan Tarik (MPa)
Perpanjangan Modulus (%) Elastisitas (MPa)
Kekuatan Tekan (MPa)
Kekuatan Lentur (MPa)
HDPE
21 -38
15 – 100
4 – 10
22
7
LDPE
7 – 14
90 – 650
1.4 – 2.4
-
(Dieter, 1986)
Tujuan pengujian kekuatan sifat mekanik ini ialah untuk mengatahui ketahanan suatu bahan terhadap pembebanan pada titik lentur dan juga untuk mengetahui keelastisan suatu bahan (Surdia, 1995).
2.12.3 Diffrential Scanning Calorimetry
Sejumlah sifat – sifat termal polimer dibahas termasuk titik lebur kristal, suhu transisi gelas, nyala dan stabilitas panas. Suhu transisi gelas paling umum diukur dengan kalorimetri scanning diferensial (DSC), analisis termal diferensial (DTA) atau analisis termomekanik (TMA)
Diffrential Scanning Calorimetry merupakan model yang lebih akhir dan telah menjadi metodi pilihan untuk penelitian – penelitian kuantitatif terhadap transisi termal dalam polimer.Dalam metode DSC dan DTA suatu sampel polimer dan referensi inert dipanaskan biasanya dalam atmosfer nitrogen dan kemudian transisi – transisi termal dalam sampel tersebut dideteksi dan diukur. Pemegang sampel yang paling umum dipakai adalah cawan aluminium sangat kecil dan referensinya berupa cawan kosong atau cawan yang mengandung bahan inert dalam daerah termperatur yang diinginkan misalnya alumina bebas air. Ukuran sampel bervariasi dari sekitar 0,5 sampai sekitar 10 mg. meskipun kedua metode memberikan tipe informasi yang sama dan dicatat perbedaan temperatur (ΔT) Antara keduanya. Ketika terjadi suatu transisi dalam sampel tersebut, misalnya reaksi transisi gelas atau reaksi ikat silang, temperature sampel akan tertinggal dibelakang temperatur referensi
jika transmisi tersebut endotermik dan akan
mendahului jika transmisi tersebut eksotermik. Dengan DSC sampel dan referensi diberikan dengan pemanasnya sendiri–sendiri dan energi diberikan untuk menjaga suhu–suhu sampel dan referensi tetap konstan.
Keuntungan utama DSC ialah bahwa luas area–area peak termogram berkaitan langusng dengan perubahan entalphi dalam sampel, oleh karenanya bisa dipakai untuk pengukuran – pengukuran kapasitas panas, panas fusi, entalphi reaksi dan sejenisnya (Steven, 2007).
Eksoterm
Oksidasi
Endoterm
∆T
Kristalisasi
Leleh Transisi Gelas Dekomposisi
Temperatur
Gambar 2.7 Pola Umum Kurva DSC
Fenomena-fenomena yang digambarkan oleh kurva diatas yaitu transisi orde pertama memberikan puncak yang sempit. Transisi ini diakibatkan oleh konfigurasi struktur. Transisi orde kedua atau transisi gelas menggambarkan perubahan yang curam dan kurva transisi ini memperlihatkan perubahan yang curam dan kurva transisi ini memperlihatkan perubahan sifat fisika polimer dari kaca menjadi kenyal. Reaksi kimia seperti polimerisasi, oksidasi dan ikatan silang menghasilkan puncak yang lebar.
2.12.4 Thermogravimetri Analysis
Pengujian kestabilan bahan polimer dengan menggunakan Thermogravimetri Analysis (TGA) merupakan suatu teknik mengukur perubahan jumlah dan laju berat dari material sebagai fungsi dari temperatur atau waktu dalam atmosfer yang terkontrol. Pengukuran digunakan untuk menentukan komposisi material dan memprediksikan stabilitas termalnya pada temperatur mencapai 1000 0C. Teknik ini dapat mengkarakterisasi material yang menunjukkan kehilangan atau pertambahan berat akibat dekomposisi, oksidasi atau dehidrasi.
Thermogravimetri adalah teknik untuk mengukur perubahan berat dari suatu senyawa sebagai fungsi dari suhu ataupun waktu. Hasilnya biasanya berupa rekaman diagram yang kontinyu. Sampel yang digunakan, dengan berat beberapa milligram, dipanaskan pada laju konstan, berkisar antara 1-20
0
C/menit,
mempertahankan berat awalnya (Wi) sampai mulai terdekomposisi pada suhu Ti. Pada kondisi pemanasan dinamis, dekomposisi biasanya berlangsung pada range suhu tertentu.
2.12.5 Scanning Electron Microscopy
Scanning electron mikroscopy merupakan suatu alat yang dapat menggambarkan bentuk suatu bayangan pada permukaan suatu benda, struktur permukaan dari pada benda yang diuji dengan SEM berfungsi untuk mempelajari struktur pemukaan itu secara langsung.
Pada dasarnya alat ini berkerja dengan menggunakan sinyal yang dihasilkan dari elektron yang untuk dipantulkan atau dengan kata lain berkas sinar elektron sekunder. SEM menggunakan prinsip scanning dengan prinsip utamanya ialah suatu berkas elektron diarahkan dari satu titik ke titik yang lain pada permukaan suatu spesimen.
Jika seberkas elektron ditembakan pada suatu permukaan spesimen maka sebagian dari pada elektron itu akan dipantulkan kembali dan sebagian yang lainnya akan diteruskan. Jika permukaan spesimen ditembakkan tidak rata, banyak lekukan, lipatan ataupun lubang – lubang maka tiap bagian permukaan itu akan memantulkan elektron dengan jumlah dan arah yang berbeda dan jika ditangkap oleh detektor akan diteruskan ke layar dan akan diperoleh gambaran yang jelas dari permukaan spesimen dalam bentuk tiga dimensi (Nur, 1997).