BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Insulin 2.1.1. Insulin Merupakan Polipeptida Heterodimer Insulin merupakan polipeptida yang terdiri atas dua rantai, yaitu rantai A dan B, yang saling dihubungkan oleh dua jembatan disulfida antar-rantai yang menghubungkan A7 ke B7 dan A20 ke B19. Jembatan disulfida intra-rantai yang ketiga menghubungkan residu 6 dan 11 pada rantai A. lokasi ketiga jembatan disulfida ini selalu tetap, dan rantai A serta B masing-masing mempunyai 21 dan 31 asam amino pada sebagian besar spesies (Granner, 2003).
2.1.2. Insulin Disintesis sebagai Preprohormon Insulin disintesis sebagai suatu preprohormon dan merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari molekul prekusor yang lebih besar. Rangkaian pra atau rangkaian “pemandu” yang bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino mengarahkan molekul tersebut ke dalam sisterna retikulum endoplasma dan kemudian dikeluarkan. Proses ini menghasilkan molekul proinsulin dengan berat molekul 9000 yang menyediakan bentuk yang diperlukan bagi pembentukan jembatan disulfida yang sempurna. Molekul proinsulin menjalani serangkaian pemecahan peptida yang tapakspesifik sehingga terbentuk insulin yang matur dan peptida C yang ekuimolar (Granner, 2003).
2.1.3. Sintesis Insulin Proinsulin disintesis oleh ribosom pada retikulum endoplasma yang kasar, dan pengeluaran enzimatik peptida pemandu (pre) memotong ikatan disulfide serta pelipatan terjadi di dalam sisterna organel ini. Molekul proinsulin diangkut ke apparatus Golgi, di sini proteolisis serta pengemasan ke dalam granul sekretorik
Universitas Sumatera Utara
dimulai. Granul terus mematangkan diri ketika melintasi sitoplasma menuju membran plasma. Proinsulin dan insulin keduanya bergabung dengan seng untuk membentuk heksamer, tetapi karena sekitar 95% dari proinsulin tersebut diubah menjadi insulin, kristal hormon terakhir inilah yang memberikan keistimewaan morfologik kepada granul tersebut. Peptida C dengan jumlah ekuimolar terdapat di dalam granul ini, kendati molekul ini tidak membentuk struktur kristal. Dengan perangsangan yang tepat, granul yang matur akan menyatu dengan membran plasma dan melepaskan isinya ke dalam cairan ekstrasel lewat proses eksositosis (Granner, 2003).
2.1.4. Efek Insulin Efek fisiologik insulin bersifat luas dan kompleks. Efek yang paling banyak diketahui adalah efek hipoglikemik, tetapi terdapat efek lain pada transportasi elektrolit dan asam amino, berbagai enzim, dan pertumbuhan. Efek akhir hormon ini adalah penyimpanan karbohidrat, protein dan lemak. Dengan demikian, insulin dapat dikatakan sebagai hormone of abundance (Ganong, 2003).
2.1.5. Reseptor Insulin Reseptor insulin dijumpai di berbagai jenis sel dalam tubuh, termasuk sel-sel yang ambilan glukosanya tidak ditingkatkan oleh insulin. Reseptor tersebut, yang memiliki berat molekul sekitar 340.000, adalah suatu tetramer yang terdiri dari dua subunit glikoprotein. Kesemuanya disintesis pada suatu mRNA dan kemudian mengalami pemisahan secara proteolisis kemudian berikatan satu sama lain dengan ikatan disulfida. Gen untuk reseptor insulin memiliki 22 ekson dan terletak di kromosom 19. Subunit α mengikat insulin dan terletak ekstrasel, sementara subunit β melintasi membran. Ujung intrasel subunit β memiliki aktivitas tirosin kinase. Subunit α dan β mengalami glikosilasi, dengan residu gula meluas ke dalam cairan interstisium (Ganong, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Pengikatan insulin
mencetuskan aktivitas tirosin kinase subunit
β,
menyebabkan otofosforilasi subunit β pada residu tirosin. Otofosforilasi, yang penting bagi efek biologik insulin, memicu fosforilasi sebagian protein sitoplasma dan defosforilasi pada protein lainnya, umumnya pada residu serin dan treonin. Telah ditemukan empat protein substrat reseptor insulin (IRS) di sel : IRS-1, IRS-2, IRS-3, dan IRS-4. Masing-masing mungkin merupakan sebagian kecil faktor dalam kaitannya dengan kerja insulin. Sebagai, contoh, tikus yang gen reseptor insulinnya dirusak memperlihatkan retardasi pertumbuhan yang parah in-utero, mengalami kelainan SSP dan kulit, dan mati saat lahir akibat kegagalan pernafasan. Namun tikus yang mengalami perusakan IRS-1 hanya mengalami retardasi pertumbuhan tingkat sedang in-utero, dapat bertahan hidup dan resisten insulin tetapi selain itu tetap normal. Dengan demikian, jalur intrasel yang tidak melibatkan IRS-1 tampak ikut serta dalam kerja insulin (Ganong, 2003). Sewaktu berikatan dengan reseptornya, insulin menggumpal dalam bercakbercak dan dimasukkan ke dalam sel melalui proses endositosis yang diperantarai reseptor. Akhirnya kompleks insulin-reseptor masuk ke dalam lisosom, tempat reseptor diperkirakan terurai atau didaur ulang. Waktu paruh reseptor insulin adalah sekitar 7 jam (Ganong, 2003). Jumlah atau afinitas reseptor insulin, atau keduanya, dipengaruhi oleh insulin dan hormon lain, olahraga, makanan, dan faktor lain. Pajanan ke insulin dalam jumlah yang meningkat akan menurunkan konsentrasi (down-regulation) reseptor, dan pajanan ke insulin dalam jumlah menurun akan meningkatkan afinitas reseptor. Jumlah reseptor per sel meningkat pada kelaparan dan menurun pada obesitas dan akromegali. Afinitas reseptor meningkat pada insufisiensi adrenal dan menurun oleh kelebihan glukokortikoid (Ganong, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.1.6. Resistensi Insulin Resistensi insulin adalah kegagalan respon efek fisiologis insulin terhadap metabolisme glukosa, lipid, protein, serta fungsi endotel vaskular. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk maka akan semakin meningkat pula jumlah penderita diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, penyakit kardiovaskular dan dislipidemia maka prevalensi sindroma resistensi insulin akan meningkat pula. Hanter dkk pada penelitiannya terhadap anak-anak pubertas (5-10 tahun) dengan ibu penderita diabetes tipe 1 atau tipe 2 dimana sensitifitas insulin lebih rendah pada anak prepubertas dengan ibu diabetes. Tidak diragukan lagi bahwa resistensi insulin merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya DM tipe 2. sedangkan Haffner dan kawan-kawan mendapatkan tingginya kadar insulin serum pada keluarga penderita DM dibandingkan yang bukan keluarga keturunan penderita DM. resistensi insulin umumnya telah berkembang lama sebelum munculnya penyakit, maka identifikasi dan terapi pasien resistensi insulin berpotensi mempunya nilai prevensi yang besar. Resistensi insulin harus dicurigai pada pasien yang mempunyai riwayat DM satu generasi di atasnya ( First-degree relatives ), pasien dengan riwayat diabetes dalam kehamilan, polycystic Ovary syndrome (PCOS) atau gangguan toleransi glukosa, pasien obesitas. Jansen dan kawan-kawan pada penelitian 531 orang dengan firstdegree relatives, akan meningkatkan resiko timbulnya hiperglikemia, dimana 19% (n=100) menderita DM, 36 % (n=191) dengan kadar gula puasa terganggu dan gangguan toleransi glukosa. Mekanisme yang melatarbelakangi resistensi insulin belum sepenuhnya diketahui meskipun telah dilakukan penelitian-penelitian secara intensif. Adapun gangguan seluler maupun molekuler yang diduga bertanggung jawab adalah : disfungsi reseptor insulin, abberant receptor signaling pathway, dan abnormalitas transport atau metabolisme glukosa. Gangguan pada ambilan dan penggunaan glukosa yang dimediasi oleh insulin dapat menurunkan penyimpanan glukosa sebagai glikogen di otot dan hati. Hal ini bisa timbul, sebagian karena komponen genetik.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa abnormalitas genetik yang berkaitan dengan GLUT 4 Glucose transporter dan hiperglikemia kronis dapat menyebabkan gangguan ambilan glukosa otot melalui down regulation GLUT 4 transporter. GLUT 4 adalah pengangkut utama glukosa yang responsive terhadap insulin dan terletak terutama pada sel otot dan adiposit. Pada keadaan normal di sel otot dan adiposa, GLUT 4 mengalami daur ulang diantara membran plasma dan pool penyimpanan intraseluler. Obesitas sering dikaitkan dengan kejadian resistensi insulin. Pada obesitas, dijumpai penurunan leptin dan peningkatan resistin. Leptin adalah suatu hormone adiposit yang menyebabkan obesitas dan resistensi insulin pada hewan pengerat yang tidak memiliki gennya. Resistin dihasilkan oleh sel lemak, dimana zat ini meningkatkan resistensi insulin (Clare-Salzler, 2007).
2.2. Diabetes Mellitus Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik peningkatan kadar gula darah , gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. DM tipe 2 pada awal penyakit sering tanpa gejala dan tanpa terdiagnosa dalam beberapa tahun. Prevalensi diabetes mellitus sulit ditentukan karena standar diagnosik yang berbeda-beda. Jika menggunakan hiperglikemia puasa sebagai standar diagnostik, maka prevalensi di Amerika Serikat sekitar 1-2 % dengan menggunakan data National Health Interview Survey diperkirakan 3,1% yang dibuat tahun 1993 (Suyono, 2004). Dari berbagai penelitian epidemiologi di Indonesia didapatkan DM sebesar 1,5-2,3% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Dalam Diabetes Atlas 2000 (International Diabetes Federation ) tercantum perkiraan penduduk Indonesia di atas 20 tahun sebesar 125 juta dan dengan perkiraan prevalensi DM sebesar 4,6%, diperkirakan pada tahun 2000 pasien DM akan berjumlah 5,6 juta, merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis. Semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah harus ikut serta dalam usaha
Universitas Sumatera Utara
menanggulangi peningkatan jumlah kasus DM sudah dimulai dari sekarang, pendidikan sangat penting artinya dalam upaya pencegahan diabetes mellitus dengan memasukkan upaya pencegahan primer DM di sekolah (Suyono, 2006). Deteksi dini dan pengobatan segera dapat menurunkan DM tipe 2 dan komplikasinya, oleh karena itu skrening untuk diabetes dapat dilakukan pada orangorang yang mempunyai resiko tinggi. Adapun kelompok dengan resiko tinggi DM yaitu antara lain usia > 45 tahun , berat badan lebih ( IMT > 23 kg/m2 ), hipertensi , riwayat DM dalam garis keturunan, ibu dengan riwayat abortus berulang atau berat badan melahirkan bayi > 4000 gram, kolestrol HDL < 36 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl (Gustaviani, 2006).
2.2.1. Patogenesis Diabetes Melitus tipe 2 Pada tipe ini, faktor genetik berperan lebih penting dibandingkan pada diabetes tipe 1A. diantara kembar identik, angka concordance adalah 60% hingga 80%. Pada anggota keluarga dekat dari pasien diabetes tipe 2 ( dan pada kembar nonidentik), resiko menderita penyakit ini lima hingga 10 kali lenih besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak spesifik diabetes tipe 1A, penyakit ini tidak berkaitan dengan HLA. Penelitian epidemiologik menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetik, masing-masing memberi kontribusi pada faktor resiko dan masing-masing juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pemindaian genom terhadap pasien dan anggota keluarga mereka memastikan bahwa tidak ada satu pun gen yang berperan utama dalam kerentanan terhadap diabetes tipe 2. Saat ini sedang dilakukan penelitian besar-besaran terhadap beberapa region genomic tempat keberadaan gen kandidat (Clare-Salzler, 2007). Dua defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan perifer
berespon terhadap
terhadap insulin (resistensi insulin). Peran defek sekresi, dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara
resistensi insulin, masih terus diperdebatkan dan mungkin sebenarnya berbeda-beda pada pasien yang berbeda dan yang pada stadium penyakit berlainan (Clare-Salzler, 2007). Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif kurang berat dibandingkan yang terjadi pada diabetes tipe 1. Pada kenyataanya, pada awal perjalanan penyakit, kadar insulin bahkan mungkin meningkat untuk mengompensasi resistensi insulin. Namun, kecil kemungkinannya bahwa diabetes tipe 2 hanya disebabkan oleh resistensi insulin. Pada kasus yang jarang, mutasi di reseptor insulin menimbulkan resistensi insulini yang parah, yang jauh lebih berat daripada pasien dengan diabetes tipe 2. Namun, banyak pasien ini mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal karena sel beta normal dapat meningkatkan produksi insulin (Clare-Salzler, 2007). Pada awal perjalanan diabetes tipe 2, sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun, pola sekresi nsulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama skresi insulin (yang cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun. Secara kolektif hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang ditemukan pada awal diabetes tipe 2, dan bukan defisiensi sintesa insulin (Clare-Salzler, 2007). Namun, pada perjalanan penyakit selanjutnya, terjadi defisiensi absolut insulin yang ringan sampai sedang, yang lebih ringan dibandingkan diabetes tipe 1. Penyebab defisiensi insulin pada diabetes tipe 2 masih belum sepenuhnya jelas. Berdasarkan data mengenai hewan percobaan dengan diabetes tipe 2, diperkirakan mula-mula resistensi insulin menyebabkan peningkatan kompensatorik masa sel beta dan produksi insulinnya. Pada mereka yang memiliki kerentanan genetik terhadap diabetes tipe 2, kompensasi ini gagal. Pada perjalanan penyakit selanjutnya terjadi kehinlangan 20%-50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang glukosa. Namun, tampaknya terjadi gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta. Dasar molecular gangguan sekresi
Universitas Sumatera Utara
insulin yang dirangsang oleh glukosa ini masih belum sepenuhnya dipahami. Penelitian
terakhir
menunjukkan
adanya
suatu
protein
mitokondria
yang
,memisahkan respirasi biokimia dari fosforilasi oksidatif (sehingga menghasilkan panas bukan ATP). Protein ini yang disebut uncoupling protein 2 (UCP2), diekspresikan pada sel beta. Kadar UCP2 intrasel yang tinggi menumpulkan respon insulin, sedangkan kadarnya yang rendah memperkuatnya. Oleh karena itu, dihipotesiskan bahwa peningkatan kadar UCP2 di sel beta orang dengan diabetes tipe 2 mungkin dapat menjelaskan hilangnya sinyal glukosa yang khas pada penyakit ini. Banyak perhatian dipusatkan pada masalah ini, karena manipulasi teraupetik (untuk menurunkan) kadar UCP2 dapat digunakan untuk mengobati diabetes tipe 2 (ClareSalzler, 2007). Mekanisme lain kegagalan sel beta pada diabetes tipe 2 dilaporkan berkaitan dengan pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien diabetes tipe 2 ditemukan endapan amiloid pada autopsy. Amilin, komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara normal dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai respon terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh
resistensi insulin pada fase awal diabetes tipe 2 menyebabkan
peningkatan produksi amilin, yang kemudian mengendap sebagai amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta mungkin menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Yang lebih penting amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel beta yang ditemukan pada kasus diabetes tipe 2 tahap lanjut (Clare-Salzler, 2007).
2.3. Komplikasi Diabetes Melitus Komplikasi-komplikasi diabetes mellitus dapat dibagi menjadi 2 kategori: (1) komplikasi metabolik akut, dan (2) komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang.
Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Komplikasi metabolik akut Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1 adalah ketoasidosis metabolik (DKA). Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan mengalami glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan badan keton (asetoasetat,hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolic. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, akan mengalami koma dan akhirnya meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin (Schteingart, 2005). DKA ditangani dengan (1) perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin, (2) pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan (3) pengobatan keadaan yang mungkin mempercepat keadaan ketoasidosis. Pengobatan dengan insulin (regular) masa kerja singkat-diberikan melalui infus intravena kontinu atau suntikan intramuscular yang sering dan infus glukosa dalam air atau salin akan meningkatkan penggunaan glukosa, mengurangi lipolisis dan pembentukan badan keton, serta memulihkan keseimbangan asam-basa. Selain itu, pasien juga membutuhkan penggantian kalium. Karena infeksi berulang dapat meningkatkan kebutuhan insulin pada penderita diabetes, maka tidak mengherankan kalau infeksi dapat mempercepat terjadinya dekompensasi diabetik akut dan DKA. Dengan demikian, pasien dalam keadaan ini mungkin perlu diberikan pengobatan antibiotika (Schteingart, 2005). Hiperglikemia, hiperosmolar, koma non-ketotik ( HHNK) adalah komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2
Universitas Sumatera Utara
yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar dari 600 mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50 %. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolit, dan insulin regular, perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis (Schteingart, 2005). Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin), terutama komplikasi terapi insulin. Pasien diabetes dependen insulin mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak dari yang dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal yang mengakibatkan terjadi hipoglikemia. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, sakit kepala, gemetar, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama, dapat mengakibatkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian. Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun intravena. Kadang-kadang diberikan glukagon, suatu hormon glikogenolisis secara intramuscular untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Hipoglikemia akibat pemberian insulin pada pasien diabetes dapat memicu pelepasan hormon pelawan regulator (glukagon, epinefrin, kortisol, hormone pertumbuhan) yang seringkali meningkatkan kadar glukosa dalam kisaran hiperglikemia (efek Somogyi). Kadar glukosa yang naik turun menyebabkan pengontrolan dibetik yang
buruk. Mencegah hipoglikemia adalah dengan
menurunkan dosis insulin, dan dengan demikian menurunkan hiperglikemia (Schteingart, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Komplikasi Kronik Jangka Panjang Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluhpembuluh
kecil-mikroangiopati-dan
pembuluh-pembuluh
sedang
dan
besar-
makroangiopati. Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini dengan peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membran dasar. Penggunaan glukosa dari sel-sel ini tidak membutuhkan insulin. Bukti histologik mikroangiopati sudah tampak nyata pada penderita Insulin Glucose Tolerance (IGT). Namun manifestasi klinis penyakit vaskular, retinopati atau nefropati biasanya baru timbul 15-20 tahun sesudah awitan diabetes (Schteingart, 2005). Ada
kaitan
yang
kuat
antara
hiperglikemia dengan
insidens dan
berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa aneurisma (pelebaran sakular yang kecil) dari arteriola retina. Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat mengakibatkan kebutaan. Pengobatan yang paling berhasil untuk retinopati adalah fotokoagulasi keseluruhan retina. Sinar laser difokuskan pada retina, menghasilkan parut korioretinal. Setelah pemberian sinar beberapa seri, maka akan dihasilkan sekitar 1800 parut yang ditempatkan pada kutub posterior retina. Pengobatan dengan cara ini nampaknya dapat menekan neovaskularisasi dan perdarahan yang menyertainya (Schteingart, 2005). Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan mengalami insufisiensi ginjal dan uremia. Pada tahap ini pasien mungkin memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal. Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur poliol akibat kekurangan
insulin.
Terdapat
penimbunan
sorbitol dalam
lensa
sehingga
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer (mononeuropati dan polineuropati), saraf-saraf kranial atau saraf otonom. Terserangnya saraf otonom dapat disertai diare nocturnal, keterlambatan pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural dan impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respons katekolamin terhadap hipoglikemia dan tidak menyadari reaksireaksi hipoglikemia (Schteingart, 2005). Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskular ini. Gangguan-gangguan ini berupa : (1) penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini akan menyebabkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai dengan klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta insufisiensi pada serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium (Schteingart, 2005).
2.4. Hati Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25 % berat badan orang dewasa yang menempati sebagian kuadran
Universitas Sumatera Utara
kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks. Batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung den terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sitem porta hepatik. Omentum minor terdapat dari sistem porta yang mengandung arteri hepatica, vena porta dan duktus koledokus. System porta terletak di depan depan vena kava dan di balik kandung empedu. Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Pada daerah antara ligamentum falsiform dengan kadung empedu di lobus kanan kadang-kadang dapat ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang disebut sebagai lobus kaudatus yang biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan ligamentum venosum pada permukaan posterior. Hati terbagi dalam 8 segmen dengan fungsi yang berbeda. Pada dasarnya garis Cantlie yang terdapat dari vena kava sampai kandung empedu telah membagi hati menjadi 2 labus fungsional, dan dengan adanya daerah dengan vaskularisasi relative sedikit, kadang-kadang dijadikan batas reseksi. Pembagian lebih lanjut menjadi 8 segmen didasarkan pada aliran cabang pembuluh darah dan kandung empedu yang dimiliki oleh masing-masing segmen (Amirudin, 2006). Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Di antara lembaran sel hati terdapat terdapat kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan cabang vena porta and arteri hepatica. Sinusoid dibatasi oleh selfagositik (sel kupffer) yang merupakan system retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri dan benda asing lain di dalam tubuh, jadi hati merupakan salah satu organ utama pertahanan tubuh terhadap serangan bakteri dan toksik (Amirudin, 2006). Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang mengelilingi bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk kapiler empedu
Universitas Sumatera Utara
yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran sel hati (Amirudin, 2006).
2.4.1. Fisiologi hati Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Sirkulasi vena porta yang menyuplai 75% dari suplai asinus memegang peranan penting dalam fisiologi hati, terutama dalam hal metabolisme karbohidrat, protein dan asam lemak. Telah dibuktikan bahwa pada zona-zona hepatosit yang memperoleh oksigenasi lebih baik mempunyai kemampuan glukoneogenesis dan sintesis glutation yang lebih baik debandingkan dengan zona lain (Amirudin, 2006). Fungsi utama hati adalah pembentukan dan ekskresi empedu. Hati mengekskresikan empedu sebanyak 1 liter per hari ke dalam usus halus. Unsure utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu. Walaupun bilirubin (pigmen empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak mempunyai peran aktif, tetapi penting sebagai indikator penyakit hati. Dan saluran empedu, karena bilirubin dapat memberi warna pada jaringan dan cairan yang berhubungan dengannya (Amirudin, 2006). Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan disimpan di hati (glikogenesis). Dari depot glikogen ini disuplai glukosa secara konstan ke darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme delam jaringan untuk menghasilkan tenaga dan sisanya diubah menjadi glikogen (yang disimpan dalam otot) atau (lemak yang disimpan dalam jaringan subkutan) (Amirudin, 2006). Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah menghasilkan protein plasma berupa albumin (yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid), protombin, fibrinogen, dan faktor bekuan lainnya. Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah menghasilkan lipoprotein, kolestrol, fosfolipid, dan asam asetoasetat (Amirudin, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2. Kimia darah Pemeriksaan kimia darah digunakan untuk mendeteksi kelainan hati, menentukan diagnosis,mengetahui berat ringannya penyakit, mengikuti perjalanan penyakit dan penilaian hasil pengobatan. Pengukuran kadar aminotransferase, bilirubin serum, alkalin fosfatase, γGT dan albumin sering disebut sebagai tes fungsi hati atau LFTs. Pada banyak kasus testes ini dapat mendeteksi penyakit hati penyakit hati dan empedu asimtomatik sebelum munculnya manifestasi klinis. Tes-tes ini dapat dikelompokkan dalam tiga kategori utama, antara lain : 1). Peningkatan enzim aminotransferase (juga dikenal sebagai transminase), SGPT dan SGOT, biasanya mengarah kepada perlukaan hepatoselular atau inflamasi ; 2). Keadaan patologis yang mempengaruhi system empedu intra dan ekstra hepatic dapat menyebabkan peningkatan fosfatase alkali dan γ GT; 3). Kelompok ketiga merupakan kelompok yang mewakili fungsi sintesis hati, seperti produksi albumin, urea dan factor pembekuan. Pada keadaan terjadinya gagal hati akut, glukosa darah dan pH arteri dapat juga dipertimbangkan sebagai petanda bantuan cadangan fungsional hati. Bilirubin dapat meningkat pada hampir semua tipe patologis hepatobilier (Amirudin, 2006). Nilai tes tersebut di atas biasanya saling tumpang tindih antara berbagai kelainan hati dan kolestasis. Sebagai contoh, obstruksi ekstrahepatis akan menyebabkan peningkatan bilirubin, alkali fosfatase dan γ GT, namun juga dapat ditemukan iritasi dan inflamasi sekunder dari hepatosit sebagai akibat obstruksi bilier sehingga sebagai konsekuensinya, akan terjadi peningkatan transaminase serum. Hal sebaliknya juga sering terjadi. Beberapa bentuk tertentu hepatitis dapat menimbulkan berbagai derajat kolestasis dam sebagai konsekuensinya terjadi peningkatan alkali fosfatase dan γ GT. Oleh karena itu klinisi harus bekerja berdasarkan pada pola yang ada, dan memilih peningkatan enzim mana yang nampaknya paling dominan (Amirudin, 2006) .
Universitas Sumatera Utara
Sangat
penting
untuk
mengingat
kemungkinan
penyakit-penyakit
ekstrahepatis, terutama jika pola LFT nampaknya berbeda dari biasanya atau jika hanya ditemukan satu abnormalitas. Merupakan hal yang sangat jarang, sebagai contoh, ditemukan peningkatan kadar SGOT hingga 20 kali normal tanpa peningkatan parameter lain sehingga factor ekstrahepatis harus dipertimbangkan (misalnya otot) dan selalu ada kemungkinan terjadi kesalahan laboratorium (Amirudin, 2006). Oleh karena itu kombinasi beberapa tes fungsi hati sangat diperlukan pada saat pasien dalam observasi dan disesuaikan dengan tanda klinis. Kadang-kadang diperlukan bantuan pemeriksaan lain, seperti pemeriksaan radiologist (ultrasonografi, CT-scan, MRI) histopatologis dan serologis (Amirudin, 2006).
2.4.3. Diagnostik Enzimatik pada Penyakit Hati Gejala penyakit hati sangat bervariasi dari yang tanpa gejala sampai pada yang berat sekali. Kadang-kadang dapat ditemukan keadaan dengan kelainan hati yang sangat berat tetapi gejala yang dikeluhkan sangat sedikit. Untuk menegakkan diagnosis pasti pada penyakit hati, kita tidak bias hanya melihat salah satu pemeriksaan saja, tetapi harus dimulai dengan membuat anamnesis yang baik, melakukan pemeriksaan fisis yang teliti dan diikuti dengan pemeriksaan biokimia, imunologi dan pemeriksaan penunjang lainnya serta juga pemeriksaan morfologi dan histopatologi hati (Akbar, 2006). Pemeriksaan enzim dapat dibagi dalam beberapa bagian : 1). Enzim yang berhubungan dengan kerusakan sel yaitu SGOT,SGPT, GLDH, dan LDH ; 2). Enzim yang berhubungan dengan kolestasis seperti gamma GT dan fosfatase alkali; 3). Enzim yang berhubungan dengan kapasitas sintesis hati misalnya kolinesterase (Akbar, 2006). Ketika suaatu sel mengalami kerusakan, sel-sel tersebut mungkin akan melepaskan enzim-enzim ke dalam darah, dimana enzim tersebut dapat dijadikan
Universitas Sumatera Utara
sebagai indikator kerusakan sel (Akbar, 2007). Alanine aminotransferase (ALT) adalah salah satu dari enzim tersebut. Peninggiannya dapat menandakan hepatitis atau kerusakan hati lainnya. Aspartate aminotransferase juga memiliki fungsi yang serupa, tetapi ia ditemukan di beberapa jaringan seperti jantung, jadi enzim ini tidak spesifik untuk hati. ALT dan AST adalah salah satu dari enzim-enzim transaminase. ALT dan AST kadang disebut sebagai glutamate pyruvate transaminase (GPT) dan glutamate oxaloacetate transaminase (GOT) (Pratt, 2008). Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis bisa bermacam-macam, mulai dari uji untuk fungsi ekskresi dan metabolisme seperti bilirubinbromsulfoftalein, indosianin hijau, galaktosa, pemeriksaan elektroforesis untuk melihat immunoglobulin dan juga pemeriksaan untuk serologis penanda virus. Disamping itu masih juga diperlukan pemeriksaan untuk amoniak, besi, tembaga, porfirin, antibody mitokondria, alfa feto protein dan sebagainya (Akbar, 2006). Untuk pemeriksaan penyaring, dari sekian banyak enzim-enzim itu agaknya yang paling diperlukan adalah enzim SGPT, gamma GT dan CHE ; SGPT bisa d ipakai untuk melihat adanya kerusakan sel, gamma GT untuk melihat kolestasis dan CHE untuk melihat gangguan fungsi sintesis hati (Akbar, 2006). Dalam menilai kelainan enzim kita harus hati-hati oleh karena seringkali tidak terdapat hubungan antara tingginya kadar enzim dengan derajat kerusakan yang terjadi. Sebagai contoh pada keadaan hepatitis akut, meskipun kerusakan hati yang terjadi sedikit, peninggian enzimnya sangat hebat. Pada keadaan infeksi akut tersebut yang terlihat mencolok adalah peninggian SGPT yang lebih besar dari peninggian SGOT. Apabila terjadi kerusakan mitokondria atau kerusakan parenkim sel, maka yang terlihat meninggi adalah GLDH dan SGOT, dimana SGOTnya akan lebih meningkat dibandingkan dengan SGPT (Akbar, 2006). Pada kasus-kasus perlemakan hati,dapat ditemukan peninggian transaminase 2-3 kali normal. Biasanya konsentrasi garam empedu dalam batas normal (Akbar, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.5. Aminotransferase 2.5.1. Alanine Aminotransferase (ALT) Alanine aminotransferase (ALT) banyak dihasilkan oleh hati, mengkatalisasi transfer dari gugus amino antara L-alanine dan glutamate. ALT juga ditemukan di jantung,otot, dan ginjal dalam jumlah yang kecil. Ketika hati mengalami cedera atau inflamasi, kadar ALT dalam darah biasanya meningkat. Oleh karena itu tes ini biasanya digunakan untuk melihat tanda-tanda penyakit hati (Pratt, 2008).
2.5.2. Aspartate aminotransferase (AST) Aspartate aminotransferase (AST) adalah enzim yang mengkatalisasi transfer dari amino dan gugus keto antara asam-asam alpha-amino dan asam-asam alpha-keto. AST banyak ditemukan di jaringan-jaringan tubuh termasuk jantung, otot, ginjal, otak, dan paru. Enzim ini juga ditemukan di hati. Ketika jaringan tubuh atau organ seperti jantung atau hati mengalami kerusakan, AST dilepaskan ke dalam darah. Jumlah AST di dalam darah berkaitan lengsung dengan kejadian kerusakan jaringan (Pratt, 2008). Tabel 2.1. Serum Aminotransferase Petanda
Nilai Normal
SGOT/AST
5-40 IU/l
SGPT/ALT
5-35 IU/l
Interpretasi Meningkat sesuai inflamasi atau nekrosis hepatosit. Biasanya tidak diperlukan untuk mengukur keduanya, namun rasio AST:ALT >2 cenderung ke penyakit hepatitis alkoholik.
Universitas Sumatera Utara
2.6. Perlemakan Hati Non Alkoholik 2.6.1. Definisi Sampai saat
ini masih terdapat beberapa ketidaksepahaman dalam
terminology penyakit perlemakan hati, misalnya mengenai pemilihan istilah perlemakan hati non alkoholik (nonalcoholic fatty liver = NAFL) atau penyakit perlemakan hati non alkoholik (nonalcoholic fatty liver disease = NAFLD). Pada umumnya
disepakati
bahwa
steatohepatitis
non
alkoholik
(nonalcoholic
steatohepatitis = NASH) merupakan perlemakan hati pada tingkat yang lebih berat (Hasan, 2006). Dikatakan perlemakan hati apabila kandungan lemak di hati (sebagian terdiri atas trigliserida) melebihi 5 % dari seluruh berat hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak praktis, diagnosis dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati, yaitu ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dari keseluruhan hepatosit (Hasan, 2006). Kriteria lain yang juga sangat penting adalah pengertian non alkoholik. Batas untuk menentukan seseorang minum alcohol yang tidak bermakna sempat menjadi perdebatan,tetapi lebih banyak ahli yang menyepakati bahwa konsumsi alkohol sampai 20 gr per hari masih bisa digolongkan non alkoholik (Hasan, 2006).
2.6.2. Epidemiologi Dari banyak penelitian terbukti bahwa abnormalitas tes fungsi hati akibat perlemakan hati maupun steatohepatitis non alkoholik merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan di masyarakat. Angka yang dilaporkan sangat bervariasi karena metodologi survei yang berbeda-beda (Hasan, 2006). Prevalensi perlemakan hati non alkoholik berkisar antara 15-20 % pada populasi dewasa di Amerika Serikat, Jepang dan Italia. Diperkirakan 20-30 % diantaranya berada dalam fase yang lebih berat (steatohepatitis non alkoholik). Sebuah penelitian terhadap populasi dengan obesitas di Negara maju mendapatkan 60
Universitas Sumatera Utara
% perlemakan hati sederhana, 20-25 % steatohepatitis non alkoholik dan 2-3 % sirosis. Dalam laporan yang sama disebutkan pula bahwa 70 % pasien diabetes mellitus tipe 2 mengalami perlemakan hati, sedangkan pada pasien dislipidemia angkanya sekitar 60 % (Hasan, 2006). Di Indonesia penelitian mengenai perlemakan hati non alkoholik masih belum banyak. Lesmana melaporkan 17 pasien steatohepatitis non alkoholik, rata-rata berumur 43 tahun dengan 29 % gambaran histologi hati menunjukkan steatohepatitis disertai fibrosis. Sebuah studi populasi dengan sampel cukup besar oleh Hasan dkk mendapatkan prevalensi perlemakan hati non alkoholik sebesar 30,6 %. Faktor resiko penting
yang
dilaporkan
adalah
obesitas,
diabetes
mellitus
(DM)
dan
hipertrigliseridemia (Hasan, 2006). Steatohepatitis non alkoholik dapat terjadi pada semua usia, termasuk anakanak, walaupun penyakit ini dikatakan paling banyak pada dekade keempat dan kelima kehidupan. Jenis kelamin yang dominant berbeda-beda dalam berbagai penelitian, namun umumnya menunjukkan adanya predileksi perempuan. Obesitas, DM tpe 2, dan dislipidemia juga merupakan kondisi yang sering berkaitan dengan perlemakan hati non alkoholik. Walaupun demikian, steatohepatitis nonalkoholik dapat terjadi pada individu yang tidak gemuk tanpa factor risiko seperti di atas (Hasan, 2006).
2.6.3. Patogenesis Pengetahuan mengenai patogenesis steatohepatitis non alkoholik masih belum memuaskan. Dua kondisi yang sering berhubungan dengan steatohepatitis non alkoholik adalah obesitas dan diabetes mellitus, serta dua abnormalitas metabolik yang sangat kuat kaitannya dengan penyakit ini adalah peningkatan suplai asam lemak ke hati serta resistensi insulin. Hipotesis yang sampai saat ini banyak diterima adalah the two hit theory yang diajukan oleh Day dan James.
Universitas Sumatera Utara
Hit pertama terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit yang dapat terjadi karena berbagai keadaan, seperti dislipidemia, diabetes mellitus dan obesitas. Seperti diketahui bahwa dalam keadaan normal, asam lemak bebas dihantarkan memasuki organ hati melalui sirkulasi darah arteri dan portal. Di dalam hati, asam lemak bebas akan mengalami metabolisme lebih lanjut, seperti proses re-esterifikasi menjadi trigliserida atau digunakan untuk pembentukan lemak lainnya. Adanya peningkatan massa jaringan lemak tubuh, khususnya pada obesitas sentral, akan meningkatkan pelepasan asam lemak bebas yang kemudian menumpuk di dalam hepatosit. Bertambahnya asam lemak bebas di dalam hati akan menimbulkan peningkata oksidasi dan edterifikasi lemak. Proses ini terfokus di mitokondria sel hati sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan mitokondria itu sendiri. Inilah yang disebut sebagai hit kedua. Peningkatan stress oksidatif sendiri dapat juga terjdai karena resistensi insulin, peningkatan konsentrasi endotoksin di hati, peningkatan aktivitas un-coupling protein mitokondria, peningkatan aktivitas sitokrom P-450 2E1, peningkatan cadangan besi dan menurunnya aktivitas anti oksidan. Ketika stress oksidatif yang terjadi di hati melebihi kemampuan perlawanan anti oksidan, maka aktivasi sel stelata dan sitokin pro inflamasi akan barlanjut dengan inflamasi progresif, pembengkakan hepatosit dan kematian sel, pembentukan badan Mallory, serta fibrosis. Meskipun teori two hit sangat popular dan dapat diterima, agaknya penyempurnaan akan terus dilakukan karena makin banyak yang berpendapat bahwa yang terjadi sesungguhnya lebih dari dua hit (Hasan, 2006).
2.6.4. Manifestasi klinis Sebagian besar pasien dengan perlemakan
hati non alkoholik tidak
menunjukkan adanya gejala maupun tanda-tanda adanya penyakit hati. Beberapa pasien melaporklan adanya rasa lemah, malaise, keluhan tidak enak dan seperti mengganjal di perut kanan atas. Pada kebanyakan pasien, hepatomegali merupakan satu-satunya kelainan fisis yang didapatkan. Umumnya pasien dengan perlemakan
Universitas Sumatera Utara
non alkoholik ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya dalam medical check-up. Sebagian lagi datang dengan komplikasi sirosis seperti asites, perdarahan varises, atau bahkan sudah berkembang menjadi hepatoma (Hasan, 2006).
2.6.5. Diagnosis Biopsi hati merupakan baku emas (gold standard) pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dan sejauh ini masih menjadi satu-satunya metoda untuk membedakan steatosis non alkoholik dengan perlemakan tanpa atau disertai inflamasi. Masih menjadi perdebatan apakah biopsy hati perlu dilakukan sebagai pemeriksaan rutin dalam proses penegakan diagnosis perlemakan hati non alkoholik. Sebagian ahli mendukung dilakukannya biopsy karena pemeriksaan histopatologi mampu menyingkirkan etiologi penyakit hati lain, membedakan steatosis dari steatohepatitis, memperkirakan prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke waktu. Alas an dari kelompok yang menentang biopsy hati antara lain prognosis yang umumnya baik, belum tersedianya terapi yang benar-benar efektif, dan risiko serta biaya dari tindakan biopsi itu sendiri. Oleh karenanya pemeriksaan radiologist dan kimia darah terus menerus diteliti dan dioptimalkan sebagai metoda pemeriksaan alternatif yang bersifat non invasif (Hasan, 2006).
2.6.6. Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada pemeriksaan yang bisa secara akurat membedakan steatosis dengan steatohepatitis, atau perlemakan hati non alkoholik dengan perlemakan hati alkoholik. Peningkatan ringan sampai sedang, konsentrasi aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), atau keduanya merupakan kelainan hasil pemeriksaan hasli laboratorium yang paling sering didapatkan pada pasien-pasien dengan perlemakan hati non alkoholik. Beberapa pasien datang dengan enzim hati yang normal sama sekali. Kenaikan enzim biasanya tidak melebihi 4 kali dengan
Universitas Sumatera Utara
rasio AST:ALT kurang dari satu, tetapi pada fibrosis lanjut rasio ini dapat mendekati atau bahkan melebihi satu. Perlu menjadi perhatian beberapa studi yang melaporkan bahwa konsentrasi AST dan ALT tidak memiliki korelasi dengan aktivitas histologis, bahkan konsentrasi enzim dapat tetap normal pada penyakit hati yang sudah lanjut. Pemeriksaan laboratorium lain seperti fosfatase alkali, g-glutamiltransferase, feritin darah atau saturasi transferin juga dapat meningkat, sedangkan hipoalbuminemia, waktu protrombin yang memanjang, dan hiperbilirubinemia biasanya ditemukan pada pasien yang sudah menjadi sirosis (Hasan, 2006). Dislipidemia ditemukan pada 21-83 % pasien dan biasanya berupa peningkatan konsentrasi trigliserida. Karena diabetes merupakan salah satu faktor risiko perlemakan hati non alkoholik, maka tidak jarang terdapat pula peningkatan konsentrasi gula darah (Hasan, 2006).
2.7. Lipid Plasma dan Transportasi Lipid Sebagian besar lipid plasma tidak larut dalam air dan tidak beredar dalam bentuk bebas. Asam-asam lemak bebas (FFA) terikat pada albumin, sementara kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid ditranspor dalam bentuk kompleks lipoprotein. Ada enam keluarga lipoprotein yang dikelompokkan menurut besar dan kandungan lipidnya antara lain, kilomikron, sisa kilomikron, lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas sedang (IDL), lipoprotein densitas rendah (LDL), dan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Secara umum, lipoprotein terdiri dari satu inti trigliserida dan ester kolesteril hidrofobik yang dikelilingi oleh fosfolipid dan protein. Kandungan protein pada lipoprotein disebut apoprotein. Apoprotein utama disebut APO E, APO C, dan APO B. Ada dua bentuk APO B, bentuk yang berberat molekul rendah disebut APO B-48, yang merupakan ciri khas sistem eksogen yang mengangkut lipid eksogen yang dimakan, dan bentuk yang berberat molekul tinggi disebut APO B-100, yang merupakan ciri khas endogen.
Universitas Sumatera Utara
Kilomikron terbentuk di mukosa usus selama absorpsi produk-produk pencernaan makanan. Senyawa ini adalah kompleks lipoprotein yang memasuki sirkulasi melalui pembuluh limfe. Kilomikron dibersihkan dari sirkulasi oleh kegiatan lipoprotein lipase, yang terletak di permukaan endotel pembuluh kapiler. Enzim mengkatalisis pemecahan trigliserida di dalam kilomikron tersebut menjadi FFA dan gliserol, yang kemudian masuk ke sel-sel adiposa dan direesterifikasi. Lipoprotein lipase juga mengeluarkan trigliserida dari VLDL. Kiomikron dan VLDL mengandung APO C. Kilomikron yang kehabisan trigliseridanya tetap berada dalam sirkulasi sebagai lipoprotein kaya kaya kolesterol yang disebut sisa kilomikron. Sis-sisa ini dibawa ke hati, yang mengikat sisa-sisa ini dengan reseptor LDL. Mereka segera diinternalisasi dengan endositosis dengan perantaraan reseptor, dan diuraikan di dalam lisosom. Kilomikron dan sisanya merupakan sistem transpor untuk lipid eksogen yang dimakan. Juga ada sistem endogen yang terdiri dari VLDL, IDL, LDL, dan HDL, yang mengangkut trigliserida dan kolesterol ke seluruh tubuh. VLDL terbentuk di hati mengangkut trigliserida yang terbentuk dari asam lemak dan karbohidrat di hatike jaringan ekstrahati. Setelah trigliseridanya sebagian besar dikeluarkan oleh kerja lipoprotein kinase, VLDL menjadi IDL. IDL menyerahkan fosfolipid dan melalui kerja enzim plasma lesistin-kolesterol asiltransferase (LCAT), mengambil ester kolesterol yang terbentuk dari kolesterol di HDL. Beberapa IDL diambil oleh hati. IDL sisanya kemudian melepaskan lebih banyak trigliserida dan protein, kemungkinana di sinusoid-sinusoid hati dan menjadi LDL. Selama konversi ini mereka kehilangan APO E, tetapi APO B-100 tetap ada. LDL menyediakan kolesterol bagi jaringan. Kolesterol adalah suatu unsur pokok esensial di membran sel dan digunakan oleh sel kelenjar untuk membentuk hormon steroid. Di dalam hati dan kebanyakan jaringan ekstrahepatik, LDL diambil dengan endositosis mediator reseptor di lubang bermantel. Reseptor tersebut
Universitas Sumatera Utara
mengenai komponen APO B-100 dari LDL tersebut. Reseptor tersebut juga mengikat APO E dan tidak mengikat APO B-48. Di dalam proses endositosis berperantara reseptor, setiap lubang bermantel terlepas membentuk vesikel bermantel dan kemudian membentuk endosom. Pompapompa protein di membran endosom menurunkan PH di dalam organel ini. Dalam hal reseptor LDL, tetapi bukan reseptor sisi kilomikron, situasi ini mencetuskan pelepasan reseptor LDL, yang berdaur ulang
ke dalam membran sel. Endosom
kemudian kemudian menyatu dengan satu lisosom, sehingga kolesterol yang terbentuk dari ester-ester kolesteril oleh lipase asam di dalam lisosom menjadi siap untuk memenuhi kebutuhan sel tersebut. Dalam keadaan mantap (steady state), kolesterol meninggalkan dan masuk sel. Kolesterol keluar melalui salah satu dari ABC cassette protein dan kolesterol ini diserap oleh HDL. Lipoprotein ini disintesis di hati dan usus. Sistem HDL memindahkan kolesterol ke hati yang kemudian diekskresikan ke empedu. Dengan cara ini, kolesterol plasma dapat diturunkan (Ganong, 2003).
2.7.1. Triasilgliserol (trigliserida) merupakan bentuk asam lemak cadangan utama Triasilgliserol merupakan ester dari alkohol gliserol dengan asam lemak. Pada lemak alami, proporsi molekul triasilgliserol yang mengandung residu asam lemak yang sama pada ketiga posisi ester sangatlah kecil. Hampir seluruhnya merupakan asil-gliserol campuran (Mayes, 2003).
Universitas Sumatera Utara