BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Anestesi Spinal Anestesi eter pernah dilakukan di dalam praktek obstetrik pada tahun 1847 dan mempunyai keunggulan pada anestesi regional. Tetapi dokter kandungan di Swiss pada tahun 1901 mempopulerkan pemakaian kokain intratekal untuk mengatasi nyeri pada persalinan. Muntah dan tingginya insidensi nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture headache, keduanya mempunyai mortalitas yang tinggi pada persalinan sesar dengan anestesi spinal (Gogarten dan Van Aken, 2000). Pada Agustus 1898, Karl August Bier, dokter bedah Jerman, menginjeksi 10±15 mg kokain ke dalam rongga subaraknoid pada 7 orang pasien, dirinya sendiri dan asistennya, Hildebrant. Bier, Hildebrandt dan 4 subjek lainnya mengeluhkan adanya nyeri kepala setelah punksi dura /post-dural puncture headache. Bier menduga
terjadinya
nyeri
kepala
tersebut
dikarenakan
kehilangan
cairan
serebrospinal. Dalam awal tahun 1900an, banyak laporan tentang aplikasi anestesi spinal dengan jarum spinal yang besar di literatur-literatur medis. Sakit kepala menjadi komplikasi pada 50% subjek. Pada saat itu, nyeri kepala disebutkan akan reda setelah 24 jam(Turnbull dan Shepherd, 2003).
2.2.Patofisiologi Post-dural Puncture Headache 2.2.1. Anatomi Spinal Duramater Spinal duramater adalah sebuah tabung yang membentang dari foramen magnum sampai segmen vertebra kedua sacrum, yang terbentuk dari lapisan-lapisan serat kolagen dan elastik (Nath dan Subrahmanyam, 2011). Spinal duramater berisi medulla spinalis dan cabang-cabang saraf yang menembus keluar. Dura mater bersifat padat, setiap lapisan tersusun dari serat kolagen(Ghaleb, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Serat-serat yang menyusun dura pernah dipercaya terbentuk searah longitudinal.Tetapi pada pembedahan mikroskopik dura mater dari kadaver menunjukkan bahwa serat dural tidak searah longitudinal atau berpola paralel. Dura merupakan suatu struktur berlapis dari lapisan-lapisan yang tersusun secara melingkar sekitar medulla spinalis (Turnbull dan Shepherd, 2003).
2.2.2. Cairan Serebrospinal Cairan serebrospinal / cerebrospinal fluid (CSF) diproduksi sebagian besar dari pleksus koroid (90%) dan sisanya (10%) dari substansi otak (Turnbull dan Shepherd, 2003). Rata-rata orang dewasa memproduksi CSF sekitar 500mL per hari atau 21mL per jam. Sekitar 150mL dari CSF disirkulasi pada satu periode dan akan diabsorbsi oleh villi araknoid. Penyebab dari tejadinya PDPH sebenarnya masih belum pasti. Penjelasan yang paling diterima adalah rendahnya tekanan pada CSF yang bisa disebabkan oleh kebocoran dari dura dan araknoid; jika kebocoran tersebut melampaui rata-rata produksi dari CSF (Ghaleb, 2010). Tekanan CSF di daerah lumbar pada posisi horizontal berkisar antara 5 dan 15 cm H2O. Pada posisi erect (berdiri), tekanan akan meningkat menjadi lebih dari 40 cm H2O (Turnbull dan Shepherd, 2003). Kehilangan 10% dari volume CSF dapat menyebabkan orthostatic headache. Ada dua teori mekanisme dasar untuk menjelaskan PDPH. Pertama, reflex vasodilatasi dari pembuluh darah meningeal karena penurunan tekanan CSF. Kedua, traksi pada struktur intrakranial yang sensitif pada nyeri pada posisi tegak. Traksi pada saraf cervikal bagian atas seperti servikal 1, 2, dan 3 bisa menyebabkan nyeri pada leher dan bahu. Traksi pada saraf kranial ke-5 (trigerminal) bisa menyebabkan frontal headache, sedangkan pada saraf kranial ke-9 (glossofaringeal) dan ke-10 (vagus) akan menyebabkan nyeri pada bagian occipital (Ghaleb, 2010). PDPH disebut sakit kepala yang bervolume / bertekanan rendah (Laverse et al., 2013).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Ukuran Jarum dan Insidensi dari PDPH Insidensi dari PDPH secara langsung berhubungan dengan diameter dari tusukan ke dura mater. Meskipun semakin kecil diameter jarum yang dipakai untuk blok subaraknoid mengurangi resiko terjadinya PDPH, jarum-jarum tersebut secara teknik susah untuk digunakan dan berhubungan dengan penurunan rata-rata kesuksesan dari anestesi spinal, terutama pada dokter yang kurang berpengalaman. Sebab yang lain termasuk lambatnya aliran dari jarum berdiameter kecil, yang menimbulkan pengulangan tusukan. Insidensi PDPH dengan jarum 25G Whitacre (non-cutting) lebih sedikit dari jarum 27G Quincke (cutting) (Ghaleb, 2010). Perubahan model jarum dari Quincke (cutting needle) menjadi jarum pencilpoint yang bertipe atraumatik seperti jarum Whitacre, Sprotte, dan Atraucan mengurangi insidensi PDPH sampai 0-10% (Nath dan Subrahmanyam, 2011). Sebuah literatur membandingkan jarum spinal Whitacre dan Quincke ukuran 27G (0,41mm) pada 529 pasien non-obstetrik yang menjalani operasi dan ditemukan insidensi PDPH dari grup Quincke mencapai 2,7%, sedangkan dari grup Whitacre hanya 0,37%. Penggunaan ukuran jarum yang lebih kecil memerlukan teknik penusukan yang lebih tinggi, yang akan mengarah penusukan ulang jika gagal, keadaan ini akan meningkatkan insidensi PDPH (Nath dan Subrahmanyam, 2011). Nyeri kepala primer seperti migren, tension dan cluster bisa menjadi lebih berat dengan kurangnya istirahat (tidur), perubahan hormonal sewaktu kehamilan ataupun melahirkan, dehidrasi, labilitas emosional dan pola makan yang tidak teratur (Nath dan Subrahmanyam, 2011). Ketika jarum menusuk ke dalam dura, luas dari luka tersebut tergantung pada jumlah serat elastin yang terpotong. Serat-serat yang terpotong tersebut cenderung mengarah ke arah sebaliknya dan menghasilkan luka yang berbentuk bulan sabit (Tsui dan Finucane, 2008). Tidak hanya bentuk dan jenis jarum yang berperan penting dalam munculnya PDPH, tetapi berpergian melalui jalur udara, berada di dataran tinggi, hipoksia, perubahan pada CSF dan tekanan intrakranial, dan duduk
Universitas Sumatera Utara
dalam jangka waktu yang lama juga bisa berperan dalam tingkat keparahan PDPH (Porhomayon et al., 2013). Pada mikroskop elektron menunjukkan bahwa jarum pencil-point lebih traumatik pada dura dari jarum cutting-bevel. Diasumsikan bahwa jarum pencil-point menghasilkan luka yang irreguler pada dura, kemudian reaksi inflamasi dan secara efektif terjadi penurunan CSF daripada tusukan berbentuk U dari jarum cutting-bevel, yang dapat mengurangi resiko PDPH (Ghaleb, 2010).
2.2.4. Duramater dan Respon terhadap Trauma Kegagalan pentupan dari perforasi lapisan dura dapat menimbulkan perlekatan, kebocoran CSF terus menerus, dan meningkatkan resiko infeksi. Pada tahun 1959, bahwa teori proliferasi fibroblastik dipicu oleh ujung luka dari dura telah dibantah. Studi ini berasumsi bahwa proliferasi fibroblastik tersebut difasilitasi oleh jaringan sekitar dan penggumpalan darah. Studi ini juga mengatakan perbaikan dari dura dipicu oleh cedera dari pia-araknoid, jaringan otak, dan adanya penggumpalan darah (Turnbull dan Shepherd, 2003). Identifikasi keakuratan pada rongga subaraknoid sangat penting dalam tindakan anestesi spinal selanjutnya pada letak jarumnya
yang mungkin bisa
menyebabkan ketidaknyamanan pasien, meningkatnya insidensi dari hematom spinal, PDPH, dan trauma pada struktur neuron (Conroy et al., 2013).
2.2.5. Gejala Nyeri kepala dan nyeri punggung merupakan gejala utama dari punksi dura. 90% dari nyeri kepala akan terjadi dalam 3 hari setelah prosedur.Dan 66% dimulai saat 48 jam pertama. Jarang timbul antara hari ke-5 dan 14 setelah prosedur. Nyeri kepala juga bisa terjadi saat setelah dilakukan punksi dura(Turnbull dan Shepherd, 2003). Nyeri kepala pasca operasi umumnya terjadi pada remaja muda dan biasanya pada pasien obstetrik. Nyeri kepala tersebut akan timbul antara 2-7 hari setelah
Universitas Sumatera Utara
punksi lumbal, dan mungkin bertahan sampai lebih dari 6 minggu (Conventry, 2007). Ada literatur lain yang menyatakan bahwa onset PDPH sekitar 2-72 jam setelah anestesi spinal dan menetap bisa lebih dari 15 hari (Porhomayon et al., 2013). International Headache Society (IHS) menjelaskan bahwa PDPH merupakan nyeri kepala bilateral yang muncul dalam 7 hari setelah punksi lumbal dan mereda 14 hari setelah punksi lumbal (Gaiser 2006). IHS juga menyatakan PDPH adalah nyeri kepala yang menjadi parah dalam 15 menit setelah duduk atau berdiri dan membaik dalam 15 menit setelah berbaring, dengan setidaknya satu gejala dari – kaku kuduk, tinitus, hiperakusia, fotofobia ataupun mual. Sebagian besar PDPH muncul saat 48-72 jam setelah melakukan anestesi spinal, tetapi pasien yang cepat pulang dari rumah sakit mungkin mulai mengalaminya saat sudah di rumah. Dalam studi meta-analisis dari Choi menunjukkan onset dari PDPH biasanya 1-7 hari setelah dilakukan punksi (Nath dan Subrahmanyam, 2011). PDPH merupakan hasil dari sedikit pembocoran dari CSF sekunder pada punksi dura. Secara khas, PDPH mempunyai serangan nyeri kepala yang dimulai dari 24 jam keatas, tetapi komplikasi tersebut cenderung muncul saat hari pertama pasca operasi. Karena PDPH cenderung memburuk saat duduk dan berjalan. Pasien disarankan untuk tidak turun dari tempat tidur sesaat setelah operasi dan hanya berdiri saat mau berkemih (Ballantyne, 2008). PDPH jelas menunjukkan nyeri kepala bagian frontal, frontotemporal atau occipital, menggerakkan kepala atau tidak dalam posisi berbaring akan memperparah keadaan, dan membaik jika berbaring, biasanya terjadi 48 jam setelah punksi dural.Biasanya diikuti dengan mual, muntah dan kaku kuduk (Ghaleb, 2010). Nyeri kepala tersebut bisa parah dan sering dideskripsikan seperti ‘searing and spreading like hot metal’. Gejala lain seperti vertigo, pusing dan parestesia dari kulit kepala dan nyeri pada ekstremitas atas dan bawah juga sering berhubungan pada PDPH (Turnbull dan Shepherd, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Kriteria-kriteria PDPH merupakan: 1. Terjadi saat mobilisasi. 2. Terjadi pemburukan saat posisi erect (duduk) dan batuk, bersin atau keadaan yg menegang. 3. Membaik saat berbaring. 4. Lokasi nyeri tersebut di occipital, frontal atau merata. Menurut Crocker 1976, tingkat keparahan nyeri kepala ditetapkan dalam skala 1-4, yaitu: 1. Nyeri kepala ringan mungkin terjadi karena duduk dalam jangka waktu yang lama dan tidak ada gejala yang lain. 2. Nyeri kepala sedang yang membuat pasien tidak mampu berdiri lebih dari setengah jam. Kadang-kadang diiringi dengan mual, muntah, gejala auditori dan okular. 3. Nyeri kepala berat segera setelah turun dari tempat tidur, dikurangi jika berbaring di tempat tidur yang horizontal. Sering diiringi dengan mual, muntah, gejala auditori dan okular. 4. Nyeri kepala yang terjadi walaupun saat berbaring dan sangat diperburuk saat berdiri, makan tidak memungkinkan karena mual dan muntah berulang (Shah, Bhatia, dan Tulsiani, 2002). Menurut International Headache Society (IHS 7.2.1), kriteria diagnostik PDPH adalah: 1. Nyeri kepala yang timbul saat 15 menit duduk atau berdiri dan membaik 15 menit setelah berbaring, dengan setidaknya diiringi 1 gejala yang berada dibawah ini dan memenuhi kriteria (3) dan (4): a. Kaku kuduk b. Tinitus c. Hiperakusia d. Fotofobia e. Mual-mual
Universitas Sumatera Utara
2. Setelah menjalani punksi dura 3. Nyeri kepala muncul dalam 5 hari pertama setelah menjalani punksi dura 4. Nyeri kepala teratasi: a. Secara spontan dalam 1 minggu b. Dalam 48 jam setelah terapi efektif untuk kebocoran CSF (biasanya epidural blood patch (EBP)) (IHS, 2004). Gejala-gejala lainnya bisa pada bagian okular seperti fotofobia dan diplopia atau extraocular muscle paralysis (EOMP) dan keluhan auditori (pendengaran) seperti tinitus dan hiperakusis (Ghaleb, 2010). Adapun sensasi nyeri pada PDPH ini bisa meliputi sensasi tegang, tarikan, dan getaran (Ballantyne, 2008). Semua gejala, kecuali PDPH akan membaik dalam waktu 6 jam (Lomax dan Qureshi, 2008). Cerebral venous thrombosis (CVT) mempunyai beberapa penyebab pada pasien-pasien obstetrik dan perlu segera diatasi, ketika sakit kepala atau gejala dan tanda neurologis yang lain (Laverse et al., 2013).
2.2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Insidensi Wanita, khususnya masa kehamilan, terutama setelah melahirkan, dianggap meningkatkan resiko terjadinya PDPH. Insidensi PDPH tertinggi berkisar antara umur 18 dan 30 tahun. Dan jarang terjadi pada anak dibawah 13 tahun serta dewasa diatas 60 tahun. Pasien dengan indeks massa tubuh (IMT) yang rendah akan meningkatkan insidensi terjadinya PDPH (Ghaleb, 2010). Dari salah satu literatur, insidensi dari PDPH terdapat 70% dari grup yang berumur 18-30 tahun, dan 30% dari grup yang berumur 31-45 tahun. Pada pasien kebidanan dan kandungan, 50% dari jumlah tersebut pernah mengalami PDPH. 80% dari total pasien yang mengalami PDPH timbul dalam 24 jam setelah dilakukan operasi (Singh et al., 2010). Wanita yang obesitas mempunyai insidensi PDPH yang rendah. Keadaan ini bisa dikarenakan peningkatan pada tekanan intra-abdomen yang berperan menutup perforasi pada dura dan mengurangi kehilangan CSF. Wanita muda cenderung
Universitas Sumatera Utara
mempunyai resiko PDPH yang lebih tinggi sebab mempunyai elastisitas serat dura yang baik dibanding dengan dewasa tua. Pasien dengan sakit kepala sebelum menjalani punksi lumbal dan mempunyai riwayat PDPH juga meningkatkan resiko (Ghaleb, 2010). Kurangnya tidur atau kerja malam secara kontinu pada para klinisi dapat meningkatkan insidensi dari kecelakaan pada punksi dura, para klinisi perlu istirahat yang cukup ketika hendak melakukan anestesi spinal (Tsui dan Finucane, 2008). Penyebab komplikasi dari anestesi termasuk dalam human error (kesalahan pada klinisi). Human error sendiri biasanya terjadi karena kurangnya pelatihan / kemampuan , kelelahan, kurangnya pengalaman dan persiapan yang kurang dari pasien, lingkungan dan peralatan. Kurangnya persiapan / kegagalan alat termasuk yang paling signifikan menyebabkan komplikasi, misalnya gagalnya sistem pembantu pernafasan, suplai gas, dan malafungsi pada pompa infus (Hardman, 2007). Dalam perbandingan anestesi spinal dan umum, anestesi spinal menyebabkan kehilangan darah lebih sedikit dari anestesi umum. Tekanan darah maksimum dan denyut jantung saat operasi lebih rendah dalam anestesi spinal. Dari pengalaman para klinisi, pasien yang menjalani operasi dengan anestesi spinal mempunyai efek samping yang lebih rendah dari anestesi umum (Attari et al., 2011).
2.3. Diagnosa Banding Diagnosa dari PDPH sering jelas dari riwayat dari punksi dural dan adanya sakit kepala yang berat. Bagaimanapun, perlu dipertimbangkan diagnosa alternatif seperti intrakranial patologis yang serius yang gejalanya dapat mirip dengan PDPH. Contohnya meningitis viral, kemikal, dan bakterial; hemoragik intrakranial;trombosis vena serebral, tumor intrakranial;sakit kepala non-spesifik; apopleksi pituitari; infark serebral, hernia unkal;sakit kepala sinus, migrain; pre-eklampsia, dan obat-obatan (kafein, amfetamin). Para klinisi juga perlu ingat bahwa hipotensi intrakranial bisa berlanjut ke hemoragik intrakranial dari bocornya penghubung vena dural,
Universitas Sumatera Utara
sertaketerlambatan diagnosis dan terapi akan berbahaya (Turnbull dan Shepherd, 2003). Abses spinal, hematom spinal, lesi massa intrakranial, aneurisma serebral, edema serebral, sindrom miofasial, araknoiditis yang disebabkan oleh steroid intratekal, sindroma neurologik transien, unspecific postdural puncture lumbalgia, toksisitas neural dan sindroma arteri spinal anterior juga bisa dipertimbangkan menjadi diagnosa banding untuk PDPH (Ghaleb, 2010).
2.4. Penatalaksanaan 2.4.1. Terapi Non-farmakologi Pasien yang mengalami PDPH akan memperlihatkan respon emosional seperti sedih, menangis sampai marah dan panik.Pasien obstetrik yang kurang beruntung akan mengalami komplikasi ini, tetapi mereka akan merasa lebih baik dan senang karena dapat melihat bayi yang baru dilahirkan mereka. Sangatlah penting untuk memberikan penjelasan kepada pasien secara menyeluruh alasan terjadinya nyeri kepala tersebut, kapan serangan tersebut terjadi, dan pilihan terapi yang bisa diberikan. Pemeriksaan ulang secara reguler penting untuk memantau keadaan pasien dan terapi secepatnya (Turnbull dan Shepherd, 2003). Terapi suportif seperti rehidrasi, asetaminofen (parasetamol), OAINS (obat anti-inflamasi non steroid), opioid dan antiemetik bisa mengurangi gejala, tetapi tidak meredakan sepenuhnya.Pasien harus istirahat dalam posisi yang paling nyaman. Posisi telungkup bisa meningkatkan tekanan intra-abdomen yang ditransmisikan ke rongga epidural dan dapat mengurangi gejala nyeri kepala. Tetapi saat didemonstrasikan oleh para klinisi, posisi ini tidak mengurangi gejala PDPH (Turnbull dan Shepherd, 2003).Dalam studi konservatif, terapi seperti rehidrasi dan istirahat yang cukup mempunyai sejarah yang tidak begitu efektif (Apfel et al., 2010). Follow-up dan evaluasi secara teliti pada pasien PDPH adalah tindakan yang penting dari bagian obstetrik dan anestesi. Nyeri kepala persisten, nyeri kepala postural, perubahan sensorium, adanya defisit fokal neurologik dan kejang adalah
Universitas Sumatera Utara
semua gejala yang memerlukan investigasi lebih lanjut seperti neuro-radiological imaging (Nath dan Subrahmanyam, 2011).
2.4.2.Terapi Farmakologi Tujuan dari penatalaksanaan PDPH adalah: (i) menggantikan CSF yang hilang; (ii) menutup daerah tusukan; dan (iii) mengatasi vasodilatasi serebral (Turnbull dan Shepherd, 2003). a. Kafein Metilxantin dapat menghambat reseptor adenosin di serebral yang membuat vasokonstriksi dari pembuluh darah serebral yang dilatasi (Ghaleb, 2010). IV 0,5 gr kafein direkomendasikan untuk terapi PDPH pada tahun 1944. Dalam bentuk oral dapat diabsorbsi dengan baik dengan efek puncak saat 30 menit. Kafein juga melewati sawar darah otak dan mempunyai waktu paruh yang panjang antara 37,5 jam. Kafein termasuk salah satu terapi yang efektif untuk PDPH.Kafein dapat menurunkan perfusi darah di otak (Turnbull dan Shepherd, 2003). Kafein merupakan stimulan SSP (sistem saraf pusat) yang poten dan perlu dicegah untuk wanita yang mempunyai risiko pregnancy-induced hypertension. Dosis tunggal oral dari kafein termasuk aman, lebih murah dari kafein intravena, dan akan meredakan gejala yang timbul sesaat (Tsui dan Finucane, 2008). b. ACTH (adenocorticotrophic hormone) Kosintropin, bentuk sintetik dari hormon adrenokortikotropik,telah digunakan untuk terapi PDPH yang sukar disembuhkan. Hormon adrenokortikotropik dipercaya dapat merangsang kelenjar adrenal untuk meningkatkan produksi CSF dan pengeluaran β-endorfin (Ghaleb, 2010). Penggunaan kosintropin setelah terjadinya accidental dural puncture (ADP) menghasilkan penurunan insidensi dari PDPH dan kebutuhan terapi epidural blood patch (EBP). Hormon adrenokortikotropik beserta analognya telah digunakan untuk terapi PDPH, tetapi belum diteliti kegunaannya sebagai profilaksis (Hakim, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan produksi dari CSF berperan dalam transpor aktif ion sodium (natrium) atau peningkatan β-endorfin yang dapat mengubah persepsi dari nyeri. ACTH dan β-endorfin berasal dari prekursor yang sama, proopiomelanocortin, yang berikatan dengan reseptor opioid dan efeknya mirip dengan morfin (Hakim, 2010). c. Sumatriptan Sumatriptan
merupakan
agonis
reseptor
5-HT1D
yang
meningkatkan
vasokonstriksi serebral.Obat ini agak mahal dan mempunyai efek samping nyeri di area injeksi dan sesak dada. Waspada terhadap penggunaan pasien dengan penyakit jantung iskemik.Sumatriptan digunakan untuk mengatasi migren dan PDPH akhir-akhir ini.Akan tetapi, ada literatur menemukan tidak adanya manfaat yang menguntungkan dari Sumatriptan untuk terapi konservatif pada PDPH (Turnbull dan Shepherd, 2003). d. Epidural Blood Patch(EBP) EBP adalah pilihan terapi yang efektif untuk PDPH yang berat. Akan tetapi, tingkat keefektifannya akan berkurang jika punksi duramater tersebut dilakukan dengan jarum berukuran besar.(Safa-Tisseront et al., 2001). Ada dua teori yang bisa menjelaskan tentang efektivitas EBP dalam mengatasi PDPH. Pertama, darah yang telah diinjeksikan membentuk gumpalan yang menempel ke duramater, secara langsung menutup lubang yang terdapat di dura dan mencegah kebocoran CSF. Kedua, volume darah yang telah diinjeksikan di rongga epidural akan meningkatkan tekanan CSF, yang akan meredakan gejalagejala PDPH (Safa-Tisseront et al., 2001). Kontraindikasi dari epidural blood patch diantaranya demam, infeksi tulang belakang, koagulopati dan penolakan dari pasien.Pasien dengan posisi lateral, pada rongga epidural telah diinjeksi jarum Tuohy pada area dural puncture sebelumnya atau lebih rendah dari rongga intervertebral. Lebih dari 30 ml darah yang telah diambil dari lengan pasien dan diinjeksikan ke jarum Tuohy tersebut
Universitas Sumatera Utara
secara perlahan. Jika pasien mengeluh nyeri yang berat, prosedur harus dihentikan (Turnbull dan Shepherd, 2003). Darah yang telah diinjeksikan akan mengalir di sekitar rongga epidural anterior. Rongga tekal akan terkompresi dan diisi dengan darah. Kompresi dari rongga tekal saat tiga jam pertama dan peningkatan tekanan subaraknoid, bisa meredakan sakit kepala tersebut. Untungnya injeksi darah tersebut tidak memicu proses inflamasi dan belum ada bukti dari edema aksonal, nekrosis atau demielinisasi (Turnbull dan Shepherd, 2003). Beberapa literatur menyarankan untuk memberi profilaksis blood patch kedalam kateter epidural sebelum mencabutnya, bertunjuan untuk menurunkan insidensi PDPH. Akan tetapi, sebuah literatur randomized controlled trial tidak menunjukkan pengurangan dari insidensi PDPH, namun pemberian profilaksis EBP menurunkan durasi dan keparahan dari sakit kepala (Nath dan Subrahmanyam, 2011). e. Epidural Saline Secara teori, injeksi epidural saline bisa menghasilkan efek yang sama seperti epidural blood patch, dan mengembalikan dinamik CSF kembali normal. Saline merupakan larutan yang steril dan tidak bereaksi terhadap zat lain, infus atau bolus epidural saline bisa menjadi alternatif (Turnbull dan Shepherd, 2003). f. Epidural Morfin Manfaat dari epidural morfin pernah diinvestigasi hanya pada randomizedcontrolled trial (RCT). Epidural morfin yang diberikan 3 mg setelah anestesi dan 3 mg yang lainnya diberikan sehari setelahnya. Pemberian ini menurunkan insidensi PDPH dari 48% sampai 12%. Dalam pemberian ini tidak ditemukan depresi pernafasan, tetapi muntah-muntah sering terjadi pada terapi ini (Apfel et al., 2010). g. Fibrin Glue Fibrin glue diperkenalkan untuk memperbaiki perforasi spinal dural. Perforasi dural kranial bisa diperbaiki dengan fibrin glue belakangan ini. Fibrin glue bisa
Universitas Sumatera Utara
dilakukan secara perkutan dibantu dengan
CT(computed tomography).
Meningitis aseptik merupakan resiko dari prosedur tersebut (Turnbull dan Shepherd, 2003). h. Intratekal Kateter Setelah terjadi perforasi, masukkan kateter spinal ke dalam perforasi tersebut, akan memancing reaksi inflamasi yang akan menutup lubang tersebut. Tetapi prosedur ini masih diperdebatkan.Akan tetapi, komplikasi neurologi seperti sindroma kauda equina dan infeksi akan terjadi pada prosedur ini (Turnbull dan Shepherd, 2003).
2.4.3. Operasi Ada beberapa laporan kasus dari kebocoran CSF yang persisten, yang tidak respon terhadap terapi lainnya, perforasi dural akan tertutup dengan sukses pada operasi. Ini jelas merupakan sebagai pilihan terakhir (Turnbull dan Shepherd, 2003). Ada literatur yang menyatakan bahwa mereka telah berhasil melakukan realtime ultra-sound-guided pada anestesi spinal secara klinis. Teknik ini dapat dilakukan juga pada saat sebelum melakukan anestesi spinal (Conroy et al., 2013).
Universitas Sumatera Utara