4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Jiwa 2.1.1 Definisi Gangguan jiwa dalam beberapa hal disebut sebagai perilaku abnormal yang dianggap sama dengan sakit mental, sakit jiwa, selain itu terdapat juga istilahistilah yang serupa, yaitu: distress, discontrol, disadvantage, disability, inflexibility, irrationally, syndromal pattern dan disturbance. Gangguan jiwa merupakan kondisi dimana seseorang mengalami gangguan mental dan mengalami penyimpangan dari norma-norma perilaku, yang mencakup pikiran, perasaan dan tindakan. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) pula merumuskan gangguan jiwa sebagai sindroma atau pola perilaku atau kondisi psikologis yang terjadi pada individu dayang dihubungkan dengan adanya: (1) distress (misalnya simptom menyakitkan) atau (2) disability artinya ketidakmampuan (misalnya tidak berdaya pada satu atau beberapa bagian penting dari fungsi tertentu), atau (3) peningkatan resiko secara bermakna untuk mati, sakit, ketidakmampuan, atau kehilangan kebebasan.15
2.1.2 Faktor-faktor penyebab Gangguan Jiwa Faktor gangguan jiwa terdiri atas : a. Biologis Penyebab gangguan jiwa secara biologis adalah akibat kelainan struktural dalam otak, gangguan secara biokimiawi atau kelainan pada gen. Kelainan struktural dalam otak dapat disebabkan oleh cedera atau proses penyakit. Lokasi kerusakan otak mempengaruhi jenis gejala psikologis yang dihasilkan. Kebanyakan teori gangguan jiwa akibat biokimiawi berfokus pada gangguan
Universitas Sumatera Utara
5
neurotransmitter yaitu proses biokimia yang memfasilitasi transmisi impuls di otak.16 b. Psikologis Teori kelainan psikologis menunjukkan bahwa semua perilaku, pikiran dan emosi baik normal atau abnormal terjadi dan kondisi tidak sadar sehingga menimbulkan perasaan cemas dan menghasilkan perilaku maladaptif. 16 c.
Sosial
Kelainan sosial berfokus pada struktur sosial yang lebih besar pada kehidupan individu. Struktur ini termasuk perkawinan individu atau keluarga dan lingkungannya, status sosial dan budaya. Teori struktur sosial menunjukkan bahwa masyarakat memberikan kontribusi terhadap psikopatologis pada beberapa orang dengan menciptakan tekanan berat, atau mendorong untuk mengatasi stres tersebut dengan gejala psikologis. Orang yang tinggal di lingkungan dengan stress jangka panjang memiliki tingkat yang lebih tinggi dari segi psikopatologi. 16
2.1.2
Klasifikasi Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa dapat diklasifikasikan atas : a. Affective (mood) Disorder Kelainan ini melibatkan gangguan mood (suasana hati) atau kondisi emosional berkepanjangan yang tidak disebabkan oleh gangguan mental medis lainnya. Depresi berat melibatkan suasana hati dysphoric, kehilangan minat melakukan kegiatan yang biasa dilakukan pasien atau hiburan dan hal ini dapat terjadi bersama dengan gejala lain seperti nafsu makan yang buruk, gangguan tidur, kelelahan, kehilangan energi, atau bunuh diri. 3 b. Skizofrenia Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang berkepanjangan, dimanifestasikan sebagai berbagai macam gangguan pikiran, ucapan dan perilaku dan memiliki gejala karakteristik seperti halusinasi, delusi dan perilaku aneh. 17 Gangguan ini merupakan salah satu kategori yang paling kronis dan berpotensi melemahkan penyakit jiwa karena banyak penderita skizofrenia mengalaminya seumur hidup. 3
Universitas Sumatera Utara
6
c. Gangguan Kecemasan Kelompok gangguan ini melibatkan kecemasan sebagai gejala utama dan termasuk fobia, gangguan kecemasan umum, gangguan obsesif-complusive dan gangguan pasca trauma.3 Patofisiologi yang mendasari gangguan kecemasan masih belum jelas. Hal ini umumnya disebabkan karena gangguan kecamasan memiliki dasar biokimia, tetapi karakteristik yang tepat belum dapat dijelaskan. Menurut Nutt, banyak ahli mencurigai bahwa disfungsi noradrenergik, mungkin dimediasi melalui lokus seruleus yang terlibat dan pemberian obat untuk mengurangi kondisi ini telah terbukti sangat bermanfaat. 17 d. Gangguan Kepribadian Gangguan kepribadian melibatkan pola jangka panjang berpengalaman dan perilaku yang menyimpang dari normal dalam budaya seseorang. Pola ini menunjukkan dalam berbagai situasi pribadi dan sosial dan menyebabkan penderitaan pribadi yang signifikan atau terdapat penurunan fungsi. Individu dengan kelainan ini memiliki tanggapan memandang diri sendiri, orang lain dan masalah dunia dengan tanggapan emosional, kontrol impuls yang buruk dan / atau masalah hubungan yang signifikan.3 e.
Gangguan Penggunaan Zat Terlarang
Gangguan zat terlarang adalah gangguan serius yang ditandai dengan hilangnya kontrol atas konsumsi alkohol atau penggunaan narkoba sifatnya kronis disebabkan oleh biomedis, psikologis dan sosial. Tindakan menghilangkan kebiasaan pengunaan zat terlarang adalah pengobatan tetap untuk para pecandu alkohol dan obat. Pendekatan terapi harus bersifat fleksibel, menberi mendukung dan tidak menghakimi.17 f. Ganggunan Psikosis Lain Ganggunan psikosis lain seperti demensia yang diklasifikasi sebagai gangguan medis dan kewajiaan yang terkait dengan hilangnya fungsi otak, cacat interlektual dan gangguan perkembangan termasuk autisme. 18,19
Universitas Sumatera Utara
7
2.2 Obat Antipsikosis Obat antipsikosis biasanya diresepkan kepada penderita gangguan jiwa untuk mengurangi gejala psikosis dan untuk menghentikan gangguan jiwa agar tidak kembali terjadi. Beberapa obat juga dapat bertindak sebagai antidepresan atau obat penenang.18 Antipsikosis mempengaruhi aksi sejumlah bahan kimia dalam otak yang disebut neurotransmitter yaitu zat kimia yang sel-sel otak untuk berkomunikasi satu sama lain. Dopamin adalah neurotransmitter utama yang dipengaruhi oleh obat antipsikosis. Hal ini terlibat dalam keadaan dimana mereka merasa adanya sesuatu yang signifikan seperti penting atau menarik, perasaan puas hati dan termotivasi.19 Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa dopamin yang terlalu banyak di otak dapat menyebabkan pengalaman halusinasi, delusi dan berpikir tidak teratur. Beberapa jenis antipsikotik juga mengubah efek neurotransmitter lain yang membantu mengatur perasaan dan emosi kita.18
2.2.1 Klasifikasi Obat Antipsikosis a. Antipsikosis Konvensional Antipsikosis ini memblokir aksi dopamin pada reseptor D2 dan memperbaiki gejala positif (Gambar 1). Sayangnya, antipsikosis ini juga memblokir reseptor D2 di daerah-daerah di luar jalur mesolimbik. Hal ini dapat mengakibatkan memburuknya gejala negatif yang terkait dengan penyakit. Obat antipsikosis konvensional adalah Klorpromazin, Haloperidol, Trifluoperazine, Perphenazine dan Fluphenazine.22
Universitas Sumatera Utara
8
Antipsikosis Generasi Pertama Yang Merupakan Antagonis Terhadap D2
Gambar 2.1. Efek antipsikosis konvensional pada empat jalur dopamin.25
b. Antipsikosis Atipikal Antipsikosis ini memblokir reseptor D2 serta subtipe spesifik reseptor serotonin yang dikenali dengan nama reseptor 5HT2A. Hal ini diyakini bahwa tindakan pengabungan di reseptor D2 dan 5HT2A akan mengobati gejala baik, positif dan negatif. Antipsikosis atipikal meliputi clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, paliperidone dan ziprasidone. 22
2.2.2 Efek Samping Obat Antipsikosis Antipsikosis memiliki efek samping antara lain adalah memblokir reseptor D2 yang menyebabkan mencakup tremor, akathisia (sensasi kegelisahan), kejang otot, disfungsi seksual, dan dalam kasus yang jarang dapat menyebabkan diskinesia tardif, suatu kelainan yang menyebabkan gerakan berulang, involunter dan tanpa tujuan. Efek samping ini lebih sering dikaitkan dengan antipsikotik konvensional lama yang masih dapat bekerja lebih baik untuk beberapa orang, tetapi tidak berarti bahwa obat antispikosis atipikal tidak memiliki efek samping. Efek samping yang berhubungan dengan antipsikotik atipikal termasuk penambahan berat badan, diabetes dan gangguan lipid. Efek samping tersebut lebih sering dikaitkan dengan obat clozapine dan olanzapine. 22 Efek samping obat
Universitas Sumatera Utara
9
antipsikosis terhadap rongga mulut adalah hiposalivasi kecuali obat antipsikosis klozapin yang akan menyebabkan hipersalivasi.18
2.3 Saliva Saliva memainkan peran yang penting dalam homeostasis oral, karena memodulasi ekosistem dalam rongga mulut. Beberapa fungsi saliva berperan sebagai pelumas untuk bolus makanan, perlindungan terhadap virus, bakteri dan jamur, kapasitas buffer, perlindungan dan regenerasi mukosa oral, dan remineralisasi gigi. Saliva sebagian besar disekresikan dari tiga kelenjar utama yaitu kelenjar parotis, sublingual, dan submandibular (sekitar 90% dari total produksi air liur). Selain itu, ratusan kelenjar ludah minor pada bagian labial, bukal dan palatal, yang tersebar di seluruh bagian mukosa oral, berkontribusi terhadap sekresi saliva. Regulasi sekresi saliva adalah refleks dikontrol oleh divisi simpatis dan parasimpatis dari sistem saraf otonom.11 Cairan saliva adalah sekresi eksokrin yang terdiri dari sekitar 99% air, yang mengandung berbagai elektrolit (natrium, kalium, kalsium, klorida, magnesium, bikarbonat, fosfat) dan protein, yang diwakili oleh enzim, immunoglobulin dan faktor antimikroba lainnya, glikoprotein mukosa, albumin dan beberapa polipeptida dan oligopeptida yang penting bagi kesehatan gigi dan mulut. Ada juga produk glukosa dan nitrogen, seperti urea dan amonia. Komponen berinteraksi dan bertanggung jawab untuk berbagai fungsi yang dikaitkan dengan saliva.26 Sekresi saliva setiap hari biasanya berkisar antara 1,0 dan 1,5 L pada tingkat rerata 0,5 mL / menit (Tabel 1). Penurunan laju aliran saliva disebut hiposalivasi, yang dapat disebabkan oleh kehilangan air / metabolit, kerusakan kelenjar dan gangguan transmisi saraf ludah. Perubahan kuantitatif dan / atau kualitatif sekresi saliva dapat menyebabkan efek samping lokal seperti karies, mukositis oral, kandidiasis, infeksi oral dan gangguan mengunyah atau efek samping ekstraoral seperti disfagia, halitosis dan penurunan berat badan.24 Salah satu faktor umum terjadinya penurunan sekresi saliva adalah karena peradangan kronis pada kelenjar ludah, sindrom Sjögren,
Universitas Sumatera Utara
10
pengobatan radiasi, dehidrasi, faktor psikologis, dan obat-obatan. Peningkatan laju aliran saliva disebut hipersalivasi. Penyebab hipersalivasi tidak ketahui, namun hipersalivasi terlihat pada pasien dengan herpes stomatitis, stomatitis aftosa, gingivitis ulseratif, serta mereka yang memakai gigi tiruan.11
Tabel 2.1 Titik refensi untuk saliva tidak terstimulasi dan saliva terstimulasi pada orang dewasa.11 Saliva tidak terstimulasi
Saliva terstimulasi
Hipersalivasi
> 1.0 mL/min
> 3.5 mL/min
Salivasi normal
0.1–1.0 mL/min
0.5–3.5 mL/min
Hiposalivasi
< 0.1 mL/min
< 0.5 mL/min
2.4 Pengaruh Laju Aliran Saliva Terhadap Kondisi Periodontal Pada Penderita Gangguan Jiwa Yang Mengkonsumsi Obat Antipsikosis Pasien dengan gangguan jiwa rentan untuk menderita masalah rongga mulut khususnya masalah periodontal (Gambar 2). Hal ini mungkin oleh karena ketidakmampuan dan kepedulian diri yang kurang berhubungan dengan gangguan jiwa, ketakutan pada perawatan, ketidakmampuan untuk mengakses layanan kesehatan gigi dan efek samping dari berbagai obat-obatan yang digunakan dalam psikiatri.9 Antipsikotik juga mempengaruhi sistem neurotransmitter lain seperti kolinergik
(muscarinic), alpha-adrenergik,
histaminergik
dan
mekanisme
serotonergik. Penggunaannya akibatnya dapat meningkatkan risiko berbagai efek samping yang tidak diinginkan. 27 Obat ini juga dapat memberi efek saraf pada bagian atas otak yang dapat menstimulasi adrenoseptor tertentu dalam korteks frontal yang dapat menghasilkan efek penghambatan pada nuklei saliva dan juga dapat menyebabkan xerostomia tanpa mempengaruhi jalur saraf. Obat antipsikosis dapat menurunkan aliran saliva dengan menyebabkan vasokonstriksi di kelenjar ludah.28 Penelitian sebelumnya telah menemukan kesehatan mulut yang lebih buruk pada pasien dengan skizofrenia, termasuk kenyataan bahwa penderita tersebut memiliki lebih banyak gigi yang hilang daripada populasi umum.8 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ajithkrishnan dkk di India
Universitas Sumatera Utara
11
terhadap 165 penderita gangguan jiwa menunjukkan 0,6% pasien memiliki periodontal yang sehat, 0,6% memiliki perdarahan saat probing, 12,12% memiliki kalkulus, 47,27% memiliki poket yang dangkal, 34,55% memiliki poket yang dalam dan 10.3% mengalami kehilangan perlekatan sebanyak 9-11 mm.
Gambar2.2 Kerusakan periodontal pada penderita gangguan jiwa(a) dan (b) Terlihat plak dan kalkulus supra dan subgingiva hampir di seluruh gigi (c), Resesi gingiva yang menunjukkan adanya kehilangan perlekatan. 25 Penelitian awal telah dilakukan oleh A Eltas dkk untuk menilai apakah ada hubungan antara penyakit periodontal yang parah dan perubahan aliran saliva disebabkan oleh obat antipsikotik pada pasien dengan skizofrenia terhadap 53 pasien gangguan jiwa. Subjek dikelompokan ke dalam dua kelompok. Kelompok A (n = 33) termasuk pasien yang menggunakan obat-obatan yang dapat menyebabkan xerostomia, atau mulut kering dan kelompok B (n = 20) termasuk pasien yang menggunakan obat-obatan yang dapat menyebabkan sialorrhea, sekresi berlebihan air liur. Hasil yang terdapat dari penelitian tersebut adalah rerata peningkatan indeks plak (IP), dan perdarahan pada probing (PPP) secara signifikan lebih tinggi di kelompok A dibanding kelompok B (P <0,001), sedangkan kedalaman poket (KP) dan tingkat pelekatan plak dan skor decay, missing, filling tooth (DMFT) tidak berbeda secara signifikan dalam dua kelompok sesuai dengan statistik hasil (P> 0,05). Data yang diperoleh A Eltas dkk menunjukkan nilai laju aliran saliva tidak terstimulasi pada manusia yang sehat biasanya berkisar 0,35-1,05 ml min-1 .
Universitas Sumatera Utara
12
Rerata laju aliran saliva pasien di kelompok A lebih rendah dari normal dan lebih tinggi dari normal di kelompok B. Dengan kata lain, terbukti ada gejala xerostomia pada subjek kelompok A dan ada sialorrhea di Kelompok B. 8 Obat yang dikonsumsi oleh penderita yaitu obat antipsikosis, memiliki efek samping yang signifikan dalam rongga mulut. Xerostomia atau mulut kering tetap merupakan efek samping yang paling umum dan sering dilaporkan. 11 Kegagalan untuk
mengenali
xerostomia
disebabkan
oleh
obat
antipsikosis
dapat
menyebabkan peningkatan karies gigi, penyakit periodontal, dan kondisi peradangan sistemik kronis yang dapat mempersingkat masa hidup pasien. 26
2.5 Profil Rumah Sakit Jiwa Tuntungan Medan Rumah Sakit Jiwa Tuntungan Medan beralamat di Jalan Letjend. Jamin Ginting Km.10/Jl. Tali Air nom 21 Medan. Rumah sakit ini merupakan satusatunya Rumah Sakit Jiwa Pemerintah yang ada di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki kemampuan
pelayanan diklasifikasikan Tipe
A dangan
sifat
khususnnya. Dengan kemampuan pelayanan yang dimiliki, saat ini Rumah Sakit Jiwa Tuntungan juga merupakan Rumah Sakit JiwaRujukan bagi rumah sakit lain yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara dan bagi Rumah Sakit- Rumah Sakit umum yang ada di Pulau Sumatera. (Gambar 3)
Universitas Sumatera Utara
13
Gambar 2.3 Rumah Sakit Jiwa Tuntungan Medan.
2.5.1 Visi Dan Misi Rumah Sakit Jiwa Tuntungan Medan Visi Rumah Sakit Jiwa Tuntungan Medan adalah menjadi pusat pelayanan kesehatan jiwa paripurna yang terbaik di Sumatera. Misi Rumah Sakit Jiwa Tuntungan Medan adalah: a)
Melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa paripurna terpadu dan komprehensif
b)
Mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa dan fisik berdasarkan mutu dan profesionalisme
c)
Meningkatkan penanggulangan masalah psikososial di masyarakat melalui jejaring pelayanan kesehatan jiwa
d)
Melaksanakan pendidikan dan penelitian kesehatan jiwa terpadu dan komprehesif
e)
Pelaksanakan tata kelola rumah sakit yang baik
Universitas Sumatera Utara
14
2.6 Kerangka Teori Klasifikasi Gangguan Jiwa Penyebab
Biologis Psikologis Sosial
Gangguan Jiwa
Affective (mood) Disorder Skizofrenia Gangguan Kecemasan Gangguan Kepribadian Gangguan Penggunaan Zat Terlarang
Efek Samping
Obat Antipsikosis Laju aliran saliva
Antipsikosis Konvensional Antipsikosis Atipikal
kondisi periodontal
Universitas Sumatera Utara
15
2.7 Kerangka Konsep
Variabel bebas Penderita gangguan jiwa yang mengkonsumsi obat antipsikosis
Variable Tergantung 1. Laju aliran saliva 2. Indeks periodontal
Variabel terkendali -
Usia Jangka waktu rawat inap
Variabel tidak terkendali -
Cara sikat gigi Waktu sikat gigi Pola makan Kebiasaan buruk
Universitas Sumatera Utara