BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daun Katuk (Sauropus androgyrus) 2.1.1 Karakteristik Tanaman Katuk Tanaman katuk merupakan tanaman yang telah lama dikenal masyarakat di negara Asia Barat dan Asia Tenggara.
Penyebaran tanaman katuk ini dapat
ditemukan di negara Malay Peninsula (Pahang, Kelantan), Philipina (Luzon, Mindoro), Cina, Vietnam, dan Indonesia. Di Indonesia penyebarannya terdapat di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sumbawa, Maluku, dan Ambon (Setyowati 1997). Tanaman katuk dikenal dengan nama yang berbeda-beda tergantung pada tempat atau daerah di mana tanaman ini tumbuh. Tanaman katuk di Jawa disebut babing, katu, katukan; di daerah Sunda disebut katuk; di Madura disebut kerakur dan masyarakat Minang menyebutnya simani (Heyne 1987). Toksonomi tanaman katuk menurut Backer dan Brink (1963) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledoneae
Sub kelas
: Monochleamydae (Apetalae)
Bangsa
: Euphorbiales
Suku
: Euphorbiceae
Marga
: Sauropus
Jenis
: Sauropus androgynus
Tanaman ini memiliki susunan daun seolah-olah berdaun majemuk tetapi jika dilihat dengan seksama berdaun tunggal karena di ketiak daunnya terdapat bunga warna merah bercampur putih. Perawakannya berupa perdu dengan tinggi 2-3 meter dan batang memiliki alur-alur dengan kulit yang agak licin berwarna hijau. Daunnya kecil dan menyirip ganda dengan jumlah anak daun banyak, jumlah daun per cabang berkisar antara 11-12 helai.
Permukaan atas daun
berwarna hijau dan kadang-kadang terlihat ada bercak keputih-putihan, sedangkan permukaan bawah berwarna hijau muda dengan tampak pertulangan daun yang
jelas (Gambar 1). Tepi daunnya rata dengan ujung daun yang lancip dan pangkal daun berbentuk bulat atau tumpul. Buahnya terdapat di sepanjang tangkai daun dan berwarna putih.
Tanaman ini tumbuh baik pada daerah dengan
ketinggian1.300 m dpl dan di daerah yang terbuka tetapi tidak langsung terkena sinar matahari. Tanaman ini juga memerlukan banyak air untuk pertumbuhannya (Sukendar 1997; Supriati et al. 2008)
Gambar 1 Tanaman katuk 2.1.2 Pemanfaatan dan Toksisitas Daun Katuk Bagi Manusia dan Ternak Pada umumnya daun katuk digunakan sebagai sayuran atau lalapan dan dipercaya masyarakat mampu melancarkan air susu ibu dan mempercepat pemulihan tenaga bagi orang yang sakit (Soeseno 1984). Pemanfaatan daun katuk sebagai obat tradisional telah banyak dibuktikan secara ilmiah, Suprayogi (1995) menyatakan bahwa daun katuk terbukti memiliki khasiat sebagai obat bisul dan borok serta mampu memperbaiki fungsi pencernaan dan metabolisme tubuh. Pemberian suspensi daun katuk dapat meningkatkan kecernaan terhadap pakan diantaranya bahan kering, protein, dan lemak serta dapat meningkatkan absorpsi glukosa di saluran pencernaan dan metabolisme glukosa di hati. Selain itu air rebusan dari akar tanaman ini diyakini dapat menurunkan panas tubuh pada saat demam dan dapat juga melancarkan air seni, sedangkan akar tanaman yang telah
digiling digunakan sebagai obat luar untuk frambusia dan buahnya sering dibuat sebagai manisan (Heyne 1987). Penggunaan daun katuk dalam meningkatkan produksi ASI telah dibuktikan Suprayogi et al. (1992) dengan menggunakan kambing laktasi. Pemberian estrak daun katuk melalui abomasum dapat meningkatkan produksi ASI sebesar 21,03% dengan diimbangi susunan air susu yang baik. Selain itu terjadi peningkatan aktivitas metabolisme glukosa pada sel ambing sebesar 52,66% yang berarti kelenjar ambing bekerja ekstra untuk mensintesis air susu.
Sehingga secara
langsung dapat meningkatkan keuntungan bagi peternak. Sa’roni et al. (2004) juga mengatakan bahwa pemberian ekstrak daun katuk pada kelompok ibu melahirkan dan menyusui bayinya dengan dosis 3 x 300mg/hari selama 15 hari terus menerus mulai hari ke-2 atau hari ke-3 setelah melahirkan dapat meningkatkan produksi ASI 50,70% lebih banyak dibandingkan dengan kelompok ibu melahirkan dan menyusui bayinya yang tidak diberi ekstrak daun katuk. Pemberian ekstrak daun katuk tersebut tidak menurunkan kadar protein dan kadar lemak ASI (Sa’roni et al. 2004). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa penambahan daun katuk dalam ransum unggas menujukkan hasil yang sangat memuaskan. Subekti (2003) menunjukkan bahwa pemberian tepung daun katuk 6% dan 9% dapat meningkatkan konsumsi ransum ayam lokal. Selain itu pemberian tepung daun katuk dan tepung ekstrak daun katuk dalam ransum puyuh menunjukkan pengaruh yang positif terhadap peningkatan sistem reproduksi yang terlihat dari peningkatan perkembangan organ reproduksi, kualitas telur, percepatan umur dewasa kelamin, peningkatan fertilitas, dan daya tetas telur (Subekti et al. 2008). Di samping manfaat yang begitu banyak bagi manusia dan ternak, ternyata daun katuk juga memberikan efek negatif bila di konsumsi dalam konsentrasi yang tinggi.
Ger et al. (1997) melaporkan bahwa adanya hubungan antara
konsumsi daun katuk dengan bronkiolitis di Taiwan Selatan. Sebanyak 54 kasus bronkiolitis yang diteliti di Rumah Sakit Veterans General Hospital-Kaohsiung menunjukkan bahwa 100% pasien mengkonsumsi daun katuk. Suprayogi (2000) juga mengatakan bahwa penggunaan daun katuk menunjukkan efek yang cukup
mengganggu yaitu penghambatan absorpsi kalsium di saluran pencernaan dan gangguan pada pernafasan. Saat ini, dari 213 jenis jamu yang berasal dari pabrik jamu, hanya ditemukan 6 jenis jamu (2,8%) yang mengandung daun katuk.
Dari 6 jenis
tersebut, 4 di antaranya mempunyai indikasi sebagai pelancar ASI (Sutedja et al. 1997).
Selain sebagai pelancar ASI, daun katuk juga bermanfaat dalam
mempercepat involusi uterus. Bihariddin (2004) melaporkan bahwa pemberian minuman ekstrak daun katuk kering pada mencit dari masa kawin sampai partus mengakibatkan terjadinya percepatan involusi uterus yaitu pada hari ke-2 postpartus. Hal ini lebih cepat bila dibandingkan dengan kontrol yaitu pada hari ke-5 postpartus, sedangkan pada pemberian minuman ekstrak daun katuk hijau, involusi uterus terjadi pada hari ke-5 postpartus sama seperti kelompok kontrol.
2.1.3 Kandungan Nutrisi dan Senyawa Aktif Daun Katuk Kandungan nutrien yang memadai merupakan penunjang dalam nilai gizi terutama bagi ibu yang menyusui. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa daun katuk memiliki nutrien yang cukup tinggi. Komposisi nutrien yang terkandung dalam 100 gram daun katuk segar yang diacu dalam Suprayogi (2000) dapat dilihat dari Tabel 1. Tabel 1 Komposisi nutrisi daun katuk (per 100 gram daun katuk segar) Nutrien
Depkes (1981)
Karbohidrat Protein Lemak Kalsium (Ca) Fosfor (P) Besi (Fe) Vitamin A Vitamin B1 Vitamin B6 Vitamin C Vitamin D Air Energi (Kal)
11 g 4,8 g 1g 204 mg 83 mg 2,7 mg 10370 SI 0,1 mg 239 mg 81 g 59
Sumber: Suprayogi (2000) - : tidak dianalisa
Padmavathi &Rao (1990) 7,4 g 1,1 g 771 mg 543 mg 8,8 mg 5600 µg 0,5 mg 0,21 mg 244 mg 69,9 g -
Selain itu daun katuk juga mengandung beberapa senyawa aktif lain yang dapat mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh.
Para peneliti mencoba untuk
mengetahui kandungan senyawa kimia daun katuk yang dapat dimanfaatkan. Agusta et al. (1997) melaporkan bahwa pengujian ekstrak daun katuk dengan menggunakan analisa kromatografi gas dan spekrometri masa (KGMS), menunjukkan adanya enam senyawa utama yaitu monomethyl succinate dan cis-2methyl cyclopentanol asetat (ester), asam benzoat dan asam fenil malonat (asam karboksilat), 2 Pyrolidinon dan methyl pyroglutamat (alkaloid). Semua senyawa ini berpotensi untuk industri kimia dan farmasi. Suprayogi (2000) melaporkan bahwa senyawa aktif utama yang berperan dalam
meningkatkan
produksi
air
susu
adalah
5
kelompok
senyawa
polyunsaturate fatty acids termasuk kelompok senyawa eicosanoid, yaitu octadecanoic
acid,
9-eicosyne,
5,8,11-heptadecatrienoic
acid,
9,12,15-
octadecatrienoic acid, dan 11,14,17-eicosatrienoic acid. Di samping itu terdapat satu senyawa intermediate-step dari biosintesis steroid hormon yaitu Androstan17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5alpha.
Kedua kelompok senyawa ini mampu
meningkatkan sekresi air susu melalui aksi hormonal maupun aksi metaboliknya dalam tingkat seluler. Senyawa Androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5alpha yang memiliki rumus kimia C21H34O2 merupakan 17-ketosteroid (kelompok keto pada C 17).
Senyawa ini berperan langsung sebagai prekursor hormon steroid.
Biosintesis hormon steroid ini dapat terjadi pada semua kelenjar steroid hormon (ovarium, testes, dan kortek adrenal). Di dalam sel endokrin, senyawa ini akan dihidrosilasi oleh bantuan enzim hidroksilase (Suprayogi 2000).
Kelompok-
kelompok senyawa tersebut sangat mudah untuk dipisahkan (diekstrak) dengan pelarut nonpolar yaitu heksan. Selain itu, menurut Sprayogi (2000), terdapat tujuh senyawa aktif utama di dalam daun katuk yang berpengaruh terhadap fungsi fisiologis tubuh. Senyawa-senyawa tersebut bekerja secara langsung maupun tidak langsung di dalam jaringan (Tabel 2).
Tabel 2 Senyawa aktif utama tanaman katuk dan pengaruhnya terhadap fungsi fisiologis di dalam jaringan Senyawa Aktif Pengaruhnya Pada Fungsi Fisiologis Sebagai prekursor dan terlibat dalam Octadecanoic acid biosintesis senyawa eicosanoids 9-Eicosyne (prostaglandin, prostacyclin, 5,8,11-heptadecatrinoic acid tromboxane, lipoxin, dan leukotrines) 9,12,15-octadecatrinoic acid 11,14,17-eicosatrienoic acid Sebagai prekursor atau intermediate-step Androstan-17-one,3,-ethyl-3-hydroxydalam sintesis senyawa hormon-hormon 5alpha steroid (progesteron, oestradiol, testosterone, dan glucocorticoid) Senyawa 1-6 secara bersamaan Memodulasi hormon-hormon laktogenesis dan laktasi serta aktifitas fisiologi yang lain 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetatic Sebagai eksogenous asam acetat dari acid saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus krebs Sumber : Suprayogi 2000
Beberapa senyawa aktif daun katuk juga dapat ditemukan dengan menggunakan pelarut yang lebih polar (etanol, EtOH). Senyawa-senyawa aktif tersebut adalah 3 senyawa flavonol yang meliputi 3-O-β-D-glucosyl(1-6)-β-Dglucosyl-kaempferol, 3-O-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaempferol, dan 3-Oβ-D-glucosyl(1-6)-β-D-glucosyl-7-O-α-rhamnosyl-kaempferol, senyawa 5’deoxy5”methylsulphinyl-adenosine dan uridine (Wang dan Lee 1997). Temuan tersebut dikuatkan oleh Suprayogi (2004) yang menggunakan pelarut semipolar etil asetat (EtOAc) dan menemukan senyawa-senyawa yang bersifat antioksidan kuat yaitu 3-O-β-Dglucosyl-kaempferol, dan kaempferol.
3-O-β-D-glocosyl-7-O-α-Lrhamnosyl-kaempferol,
Dari penelitian tersebut dapat diperkirakan bahwa dengan
menggunakan pelarut organik semipolar maupun polar maka senyawa utama daun katuk yaitu kaempferol dapat dipisahkan dengan mudah.
2.2 Ekstraksi Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan menarik zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai. Metode penarikan zat aktif tersebut disebut dengan ekstraksi yaitu suatu metode pemisahan dimana komponen-komponen terlarut dari suatu campuran dipisahkan dari komponen yang tidak larut dengan pelarut yang sesuai, sedangkan proses
perpindahan massa zat aktif yang semula berada dalam sel yang ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam cairan penyari disebut dengan penyarian. Pembuatan ekstrak dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat di dalam simplisia terdapat dalam bentuk yang mempunyai kadar yang tinggi dan hal ini memudahkan zat berkhasiat tersebut dapat diatur dosisnya (Anonim 2010). Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan, biasanya bahan yang dikeringkan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam ekstraksi yaitu jumlah simplisia, penambahan air ekstrak, derajat kehalusan, cara pemanasan, cara penyaringan, dan perhitungan dosis pemakaian. Pada dasarnya metode ekstraksi ada beberapa macam diantaranya yaitu maserasi (perendaman), perkolasi, digesti, infusi, dan dekoksi (Wientarsih & Prasetyo 2006). Menurut Rusdi (1988), ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut-pelarut organik dengan kepolaran yang semakin meningkat secara berurutan. Pelarut yang digunakan pada saat ekstraksi harus memenuhi syarat tertentu yaitu tidak toksik, tidak meninggalkan residu, harganya murah, tidak korosif, aman, dan tidak mudah meledak (Swem 1982). Pelarut adalah suatu cairan yang digunakan dalam proses pemecahan ikatan suatu persenyawaan untuk selanjutnya membentuk suatu larutan.
Untuk
memecahkan ikatan persenyawaan dibutuhkan energi yang cukup besar. Oleh karena itu maka pada umumnya, persenyawaan yang berikatan ion hanya larut di dalam air atau pelarut sangat polar lainnya. Begitu juga persenyawaan kovalen polar hanya larut di dalam pelarut polar, dan persenyawaan kovalen nonpolar hanya larut di dalam persenyawaan nonpolar (Winarno et al. 1973). Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi akan mempengaruhi jenis bahan yang akan terekstrak. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung dari gugusgugus yang terikat pada pelarut tersebut.
Pelarut yang mempunyai gugus
hidroksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk pelarut polar, sedangkan hidrokarbon termasuk kedalam pelarut nonpolar (Marcus 1992). Beberapa contoh pelarut adalah etanol, heksan, etil asetat, dan air. Air dalam farmakope Indonesia ditetapkan sebagai salah satu cairan penyari yang merupakan pelarut polar. Air dapat melarutkan garam alkaloid, minyak menguap, glikosida, tanin, dan gula. Air dipertimbangkan sebagai penyari karena murah,
mudah diperoleh, stabil, tidak beracun, alamiah, tidak mudah menguap, dan tidak mudah terbakar. Di samping itu, penggunaan air sebagai bahan penyari juga mempunyai kerugian yaitu tidak selektif, tempat tumbuhnya mikroba, kapang dan kamir, sehingga dalam penggunaannya perlu ditambahkan pengawet. Air juga dapat melarutkan enzim sehingga menyebabkan reaksi enzimatis yang mengakibatkan penurunan mutu bahan obat terlarut (Depkes RI 1995). Etanol merupakan penyari yang bersifat universal yaitu dapat melarutkan senyawa polar maupun senyawa nonpolar. Etanol adalah senyawa yang mudah menguap, jernih (tidak berwarna), berbau khas, dan meyebabkan rasa terbakar pada lidah. Etanol mudah menguap baik pada suhu rendah maupun pada suhu mendidih (78oC), mudah terbakar, serta larut dalam air, dan semua pelarut organik. Bobot jenis etanol tidak lebih dari 0,7964. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif dibandingkan air. Selain itu, kapang dan mikroba sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas. Etanol juga memiliki beberapa keuntungan lain yaitu tidak beracun, netral, absorbsi baik, dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, dapat memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut, dan tidak memerlukan panas yang tinggi untuk pemekatan (Depkes RI 1995).
Penggunaan etanol sebagai cairan pengekstraksi biasanya dicampur
dengan pelarut lain, terutama campuran etanol dan air. Etanol yang paling baik untuk menghasilkan senyawa aktif yang optimal adalah etanol 70% (Voight 1994). Heksan merupakan pelarut yang bersifat nonpolar sehingga hanya mampu melarutkan senyawa nonpolar juga (Winarno et al. 1973). Senyawa ini berwarna putih agak coklat dan agak berbau fenol. Senyawa ini tidak larut dalam air, namun mudah larut dalam aseton, etanol, kloroform, eter, dan larutan encer alkali hidroksida tertentu (DepKes RI 1995). Etil asetat merupakan cairan tidak berwarna dengan bau khas, rasa aneh, seperti aseton dan membakar.
Pelarut ini didapat secara destilasi lambat
campuran etil alkohol, asam asetat, dan asam sulfat. Etil asetat bersifat semipolar yang berarti bisa melarutkan senyawa polar maupun nonpolar tetapi lebih cenderung melarutkan senyawa polar. Berdasarkan kelarutannya, etil asetat dapat larut dalam eter, alkohol, minyak lemak, dan minyak atsiri (Depkes RI 1995).
2.3 Biologi dan Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) 2.3.1 Klasifikasi dan Deskripsi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Arrington (1972) menyatakan, bahwa tikus laboratorium merupakan omnivora alami dan bersifat prolifik. Tikus sering digunakan untuk penelitian karena harganya murah dan mudah dipelihara. Dari segi biologi reproduksi, tikus sebagai hewan percobaan sangat menguntungkan karena tikus merupakan hewan multipara yang mampu menghasilkan beberapa sel telur dalam satu siklus birahi serta dapat berkembangbiak dalam waktu singkat (Ungerer et al. 1985). Sistem klasifikasi tikus putih menurut Ruedas (2008) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Subordo
: Sciurognathi
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
Tikus putih (Albino Normay rat, Rattus norvegicus) yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium terdiri atas lima macam “basic stock” yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan Wistar. Sprague Dawley memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekor lebih panjang daripada badannya. Long Evans memiliki ukuran badan lebih kecil daripada Sprague Dawley dengan warna yang gelap pada bagian atas kepala dan bagian depan tubuh. Wistar memiliki kepala yang besar dan ekornya lebih pendek (Baker et al. 1979). Dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih mudah berkembangbiak. Jika tikus liar dapat hidup 4-5 tahun, tikus laboratorium jarang hidup lebih dari 3 tahun. Umumnya berat badan tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu, berat badan tikus liar mencapai 40-50 g dan setelah dewasa sampai 300 g atau lebih, sedangkan tikus
laboratorium pada umur empat minggu, beratnya hanya 35-40 g dan berat dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 g tetapi tikus betina jarang yang lebih dari 350 g. Galur yang paling besar ukuran tubuhnya adalah galur Sprague Dawley yang hampir sebesar tikus liar. Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatominya yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kantung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
2.3.2 Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pubertas
pada tikus betina tergantung dari tingkat pertumbuhan dan
kematangan oosit pada ovarium, sedangkan pada jantan ditandai dengan turunnya testes ke dalam scrotum dan terjadinya siklus spermatogenik. Biasanya tikus betina mencapai dewasa kelamin pada umur 50-72 hari dan tikus jantan sekitar umur 40 hari (Hafez 1970). Data parameter normal fisiologi reproduksi dan biologi tikus disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Parameter normal fisiologi reproduksi dan biologi tikus Kriteria Lama/panjang siklus : Fase 1 diestrus Fase 2 proestrus (awal) Fase 3 proestrus (akhir) Fase 4 estrus Fase 5 metestrus Durasi total siklus Lama estrus Waktu ovulasi Lama kebuntingan Jumlah anak perinduk Usia lepas sapih Usia pubertas Plasenta Uterus Kawin sesudah beranak Berat organ : (berat basah dalam g/100 g bobot badan) Testis (single) Ovary (single) Lain-lain : Berat dewas jantan Berat dewasa betina Konsumsi makan per berat badan per hari
Nilai 60 jam 60 jam 12 jam 10-20 jam 8 jam 4-5 hari 9-20 jam 8-11 jam sesudah estrus 21-23 hari 6-10 ekor 21 hari 6-8 minggu Diskoidal hemokorial 2 kornua, bermuara sebelum cervik 1-24 jam 0,05 0,005 300-400 g 250-300 g 10 g/100g/hari
(Sumber : Waynforth & Flecknell 1992; Malole & Pramono 1989; Smith & Mangkoewidjojo 1988).
Siklus birahi tikus berlangsung selama 4-5 hari dengan lama birahi 12 jam setiap siklus dan birahi terjadi pada malam hari. Birahi pada tikus betina banyak dipengaruhi oleh bau pejantan (Malole dan Pramono 1989).
Smith dan
Mangkoewidjojo (1988) menyatakan, bahwa pada umumnya tikus mulai kawin pada umur 8-9 minggu, tetapi disarankan mengawinkan hewan tersebut pada umur 10-12 minggu. Masa birahi terbagi empat periode yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Masa kebuntingan tikus berlangsung 21-23 hari dan sejak 14 hari sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar ambing. Kebuntingan tikus dapat diketahui pada saat berumur 10-14 hari dengan meraba perut tikus. 2.4 Involusi Uterus Involusi uterus adalah perbaikan uterus ke ukuran dan fungsi normal tidak bunting setelah partus (Hafez and Hafez 2000).
Lamanya involusi uterus
tergantung pada kemampuan kontraksi miometrium, eliminasi infeksi bakteri, dan regenerasi endometrium. Involusi uterus ini mengakibatkan lapisan luar dari desidua yang mengelilingi situs plasenta akan necrotic (layu/mati) (Sulistyawati 2009). Perubahan uterus selama involusi uterus dapat dideteksi dengan melakukan palpasi daerah abdomen untuk meraba tinggi fundus uterus (TFU). Pada saat bayi lahir, fundus uterus setinggi pusat dengan berat 1000 gram. Hari ke-7 postpartus, TFU teraba pada pertengahan antara pusat dan simpisis pubis dengan berat 500 gram (Gambar 2). Setelah 2 minggu postpartus, TFU teraba di atas simpisis dengan berat 350 gram, dan 6 minggu postpartus fundus uterus mengecil (tidak teraba) dengan berat 50 gram.
Simpisis pubis
Gambar 2 Tinggi fundus uterus selama proses involusi uterus (Sumber : Garrey dan Govan 1974 dalam Sulistyawati 2009).
Perubahan yang terjadi pada uterus ini berhubungan erat dengan perubahan miometrium yang bersifat proteolitik. Perubahan normal uterus selama involusi pada wanita dapat dilihat pada Tabel 4. Involusi uterus terjadi melalui 3 proses yang bersamaan yaitu autolisis, atropi jaringan, dan kontraksi (efek oksitosin). Autolisis merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot uterus. Selama kehamilan, uterus akan membesar hingga 10 kali panjangnya dan 5 kali lebarnya dari ukuran normal.
Setelah partus, enzim proteolitik akan
memendekkan jaringan otot uterus tersebut hingga kembali ke ukuran normalnya (Sulistyawati 2009). Tabel 4 Perubahan normal pada uterus selama involusi uterus Involusi Uterus
Tinggi Fundus
Plasenta lahir
Setinggi pusat
7 hari
Pertengahan antara pusat dan simpisis Tidak teraba Normal
14 hari 6 minggu
Berat Uterus 1000 gram 500 gram
Diameter Uterus 12,5 cm
Palpasi cervik
7,5 cm
2 cm
350 gram 50 gram
5 cm 2,5 cm
1 cm menyempit
Lembut/lunak
Sumber : Pusdiknakes 2003 dalam Sulistyawati 2009
Selama kehamilan jaringan uterus berproliferasi karena adanya estrogen dalam jumlah yang besar dan setelah partus jaringan uterus mengalami atropi sebagai reaksi terhadap penghentian produksi estrogen yang menyertai pelepasan plasenta. Selain perubahan atropi pada otot-otot uterus, lapisan desidua akan mengalami atropi dan terlepas dengan meninggalkan lapisan basal yang akan beregenerasi menjadi endometrium yang baru (Sulistyawati 2009). Intensitas kontraksi uterus meningkat segera setelah bayi lahir. Hal tersebut diduga terjadi sebagai respon terhadap penurunan volume intrauterin yang sangat besar. Hormon oksitosin yang dilepas dari kelenjar hypofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengecilkan pembuluh darah, dan membantu proses homoestasis. Kontraksi dan retraksi otot uterus akan mengurangi suplai darah ke uterus. Proses ini akan membantu mengurangi bekas luka tempat implantasi plasenta dan mengurangi perdarahan.
Luka bekas perlekatan plasenta
memerlukan waktu 8 minggu untuk sembuh total (Sulistyawati 2009). Selama 1-2 jam pertama postpartus, intensitas kontraksi uterus dapat berkurang dan menjadi teratur. Biasanya untuk mempertahankan kontraksi uterus
ini, disuntikan oksitosin secara intravena atau intramuskuler segera setelah kepala bayi lahir.
Pemberian ASI segera setelah bayi lahir juga akan merangsang
pelepasan oksitosin karena isapan bayi pada payudara (Sulistyawati 2009). Setelah beberapa bulan laktasi adenohipofisa kembali mengeluarkan hormon yang akan menstimulasi pematangan folikel di ovarium, menghasikan estrogen, dan kembali menginisiasi siklus reproduksi (Guyton 1961). Selama periode involusi, uterus akan mengekskresikan cairan yang disebut dengan lokia. Lokia terdiri atas mukus, darah, sisa membran fetus, dan jaringan induk, serta cairan fetus.
Pengeluaran lokia dan pengecilan ukuran uterus
disebabkan oleh kontraksi miometrium yang terus menerus akibat hadirnya prostaglandin. Lokia dapat dibagi berdasarkan warna dan waktu keluarnya yaitu (1) lokia rubra/merah muncul pada hari pertama sampai hari ketiga postpartus. Lokia berwarna merah dan mengandung darah, jaringan sisa-sisa plasenta, serabut dari endometrium, dan korion, (2) lokia serosa muncul pada hari ketujuh sampai keempat belas postpartus. Lokia berwarna kekuningan atau kecoklatan dan terdiri dari sedikit darah dan lebih banyak serum dan juga leukosit, (3) lokia alba muncul setelah hari keempat belas postpartus. Lokia berwarna putih kekuningan dan lebih banyak mengandung leukosit, selaput lendir, sel epitel, dan serabut jaringan yang mati (Sulistyawati 2009; Suparyanto 2011).
Setelah pengeluaran lokia
selesai, permukaan endometrium akan mengalami re-epitelisasi dan siap untuk kembali ke siklus reproduksi normal (Guyton dan Hall 1997). Bila uterus mengalami kegagalan dalam involusi disebut subinvolusi. Subinvolusi sering disebabkan oleh infeksi atau tertinggalnya sisa plasenta dalam uterus sehingga proses involusi uterus tidak berjalan dengan normal atau terhambat dan bila tidak ditangani dengan baik maka akan mengakibatkan perdarahan yang berlanjut (postpartus hemorage).
Ciri-ciri subinvolusi
diantaranya adalah pengembalian ukuran uterus tidak progresif, uterus teraba lunak, kontraksi uterus yang buruk, sakit pada punggung, nyeri pada pelvis yang persisten, perdarahan pervagina abnormal meliputi perdarahan segar, lokia rubra yang banyak dan terus menerus serta berbau busuk (Anonim 2004). Pada tikus, involusi uterus hampir selesai pada hari ke-4 postpartus. Selama involusi normal, berat basah uterus pada hari ke-3 postpartus berkurang dari 3.1 g
menjadi 0.68 g dan total kolagen uterus berkurang dari 8.8 menjadi 1.8 (Woessner 1969b).
Selama involusi postpartus, uterus kehilangan kolagen sebesar 85%
dalam jangka waktu 4 hari (Harknes 1956; Woessner 1962). Ryan dan Woessner (1974) menyatakan bahwa hormon estradiol dapat mengurangi kolagenase pada uterus sehingga dapat menghambat kerusakan kolagen postpartus.
Studi
laboratorium menunjukan bahwa pemberian estradiol dalam dosis 1µg/hari secara nyata mengahambat proses perusakan kolagen uterus tikus pada saat involusi postpartus (Woessner 1969a), sedangkan pemberian progestron dengan dosis sebesar
20-40mg/hari
hanya
memiliki
pengaruh
yang
kecil
terhadap
penghambatan kerusakan kolagen uterus postpartus (Woessner 1969b). Tikus mengalami estrus pertama dalam waktu 48 jam postpartus, namun demikian, sebaiknya tikus tidak dikawinkan dalam masa tersebut supaya anakanak yang sedang disusui tidak terlantar.
Apabila estrus postpartus pertama
tersebut tidak dimanfaatkan, tikus betina akan akan kembali birahi antara 2-4 hari sesudah penyapihan. Penyapihan anak tikus dilakukan pada umur 21 hari yaitu saat kira-kira berat anak tikus sudah mencapai 40-50 gram. Bila tikus betina bunting saat menyusui, maka masa kebuntingannya akan lebih lama 3-7 hari. (Malole dan Pramono1989). Ovulasi pertama postpartus pada tikus akan menghasilkan corpora lutea (CL) dan akan dipertahankan sepanjang masa laktasi. menghasilkan progesteron.
CL tersebut akan
Jumlah progesteron yang dihasilkan oleh CL
berkolerasi secara tidak langsung dengan peningkatan konsentrasi prolaktin. Peningkatan prolaktin ini merupakan dampak positif dari suckling effect (efek menyusui). Selain itu, prolaktin juga menyebabkan penghambatan pengeluaran gonadotropin sehingga mencegah pertumbuhan folikel dan ovulasi, akibatnya folikel akan mengalami degenerasi.
Secara tidak langsung, penghambatan
pertumbuhan folikel tersebut ditentukan oleh kekuatan efek menyusui. Setelah hari ke 16 laktasi, folikel yang sehat mulai tumbuh sejalan dengan penurunan isapan anak (McNeilly 1988).