BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Lambung Lambung adalah rongga seperti kantung berbentuk J yang terletak di antara esofagus dan usus halus (Sherwood, 2009). Lambung dibagi dalam bagian-bagian berikut (Snell, 2012): 1.
Fundus: berbentuk kubah, menonjol ke atas, dan terletak di sebelah kiri ostium cardiacum. Biasanya penuh dengan udara
2.
Korpus: terbentang dari ostium cardiacum sampai incisura angularis (lekukan yang selalu ada pada bagian bawah kurvatura minor).
3.
Antrum pyloricum: terbentang dari incisura angularis sampai pilorus.
4.
Pilorus: merupakan bagian lambung yang berbentuk paling tubular. Dinding ototnya yang tebal membentuk sphincter pyloricus dan rongga pilorus dinamakan canalis pyloricus.
Gambar 2.1. Anatomi Lambung. Sumber: Snell, 2012. Clinical Anatomy by Regions. 4 Universitas Sumatera Utara
5
2.1.1. Vaskularisasi Lambung kaya akan suplai pembuluh darah arteri yang berasal dari arteri celiac dan cabang-cabangnya. Sebagian besar darah disuplai oleh anastomosis yang dibentuk sepanjang kurvatura minor oleh arteri gastrika kanan dan kiri, dan sepanjang kurvatura mayor oleh arteri gastro-omental kanan dan kiri (arteri gastroepiploika). Fundus dan korpus mendapatkan suplai darah dari arteri gastrika posterior, cabang dari arteri splenika. Pembuluh darah vena terletak paralel dengan arteri dan mengalir ke sistem vena porta hepatika (Moore, Agur, dan Dalley, 2015).
Gambar 2.2. Vaskularisasi Lambung. Sumber: Moore, Agur, and Dalley, 2015. Essential Clinical Anatomy.
2.1.2. Persarafan Persarafan serabut simpatik berasal dari plexus coeliacus dan serabut parasimpatik berasal dari nervi vagi (Snell, 2012).
Universitas Sumatera Utara
6
2.2. Histologi Lambung Lambung dibagi dalam tiga bagian histologik: kardia, fundus dan korpus, serta pilorus. Fundus dan korpus adalah bagian lambung yang terluas. Dinding lambung terdiri atas empat lapisan: mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa. Mukosa terdiri atas epitel permukaan, lamina propria, dan muskularis mukosa. Submukosa terletak di bawah muskularis mukosa. Submukosa mengandung jaringan ikat padat tidak teratur dan banyak serat kolagen. Selain itu, submukosa juga mengandung banyak pembuluh limfe, kapiler, arteriol besar, dan venula. Muskularis eksterna terdiri dari tiga lapisan otot polos: lapisan oblik di sebelah dalam, sirkular di tengah, dan longitudinal di sebelah luar. Serosa terdiri dari lapisan tipis jaringan ikat yang menutupi muskularis eksterna dan dilapisi oleh mesotel selapis gepeng peritoneum viscerale. Serosa dapat mengandung banyak sel adiposa (Eroschenko, 2008).
Gambar 2.3. Histologi Lambung. Sumber: Eroschenko, 2008. Di Fiore's Atlas of Histology with Functional Correlations.
Universitas Sumatera Utara
7
2.3. Kanker Lambung 2.3.1. Definisi Kanker lambung adalah neoplasma malignan yang berasal dari komponen histologi yang berbeda-beda dari lambung (Zinner dan Ashley, 2013). Sekitar 95% dari kanker lambung adalah adenokarsinoma (DeVita, Lawrence, dan Rosenberg, 2011).
2.3.2. Epidemiologi Kanker lambung merupakan kanker kelima paling umum di dunia setelah kanker paru, payudara, kolorektal, dan prostat. Hampir satu juta kasus baru (952.000 kasus) diperkirakan terjadi pada tahun 2012. Lebih dari 70% kasus terjadi di negara-negara berkembang dan setengah dari total kejadian di dunia ditemukan di Asia Timur (terutama Cina). Kanker lambung juga berada pada peringkat ketiga penyebab kematian karena kanker di seluruh dunia dengan jumlah kematian sebanyak 723.000. Angka mortalitas tertinggi diperkirakan terjadi di Asia Timur dan terendah di Amerika Utara. Angka mortalitas yang tinggi juga ditemukan di Eropa Tengah dan Timur, serta Amerika Tengah dan Selatan (IARC, 2013). Menurut Malfezzi (2010) dan Bertuccio et al. (2009) dalam Torre et al. (2015), angka insidensi dan mortalitas kanker lambung pada mayoritas negaranegara yang maju di Amerika Utara dan Eropa telah mengalami penurunan yang stabil sejak pertengahan abad ke-20. Menurut Bertuccio et al. (2009) dalam Torre et al. (2015), tren penurunan ini juga ditemukan di area yang tadinya memiliki angka yang tinggi, seperti Asia (Jepang, Cina, dan Korea), Amerika Latin (Kolumbia dan Ekuador), serta Eropa (Ukraina). Parkin (2006) dalam Torre et al. (2015) menyatakan bahwa faktor yang berkontribusi dalam hal ini adalah ketersediaan buah-buahan dan sayuran segar, penurunan ketergantungan terhadap makanan yang diawetkan dengan garam, dan penurunan infeksi kronik H. pylori karena perbaikan sanitasi dan antibiotik. Jemal et al. (2010) dalam Torre et al. (2015) juga menyebutkan bahwa di negara-negara yang lebih maju, penurunan pada prevalensi merokok juga memberikan kontribusi pada penurunan ini.
Universitas Sumatera Utara
8
Di Asia Tenggara, kanker lambung masih berada pada peringkat keempat berdasarkan insidensi dan berada pada peringkat kelima berdasarkan mortalitas. Kanker ini juga merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering dijumpai pada laki-laki. Sementara itu, angka insidensi kanker lambung di Indonesia adalah sebanyak 6.011 kasus dengan angka mortalitas sebesar 5.406 (IARC, 2013).
2.3.3. Lokasi Berdasarkan International Classification of Disease for Oncology (ICD-O) dari WHO, lokasi kanker lambung dapat dibagi menjadi: 1.
Kardia
2.
Fundus
3.
Korpus
4.
Antrum
5.
Pilorus
6.
Kurvatura minor
7.
Kurvatura mayor
8.
Overlapping
9.
Not otherwise specified (NOS)
Gambar 2.4. Pembagian Lokasi Kanker Kambung. Sumber: Edge, S.B., 2010. AJCC Cancer Staging Manual.
Universitas Sumatera Utara
9
Lokasi kanker lambung juga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: kardia, non-kardia (fundus, korpus, antrum, pilorus, kurvatura minor, dan kurvatura mayor), serta overlapping. Menurut American Cancer Society (2015), yang disebut bagian proksimal adalah kardia, fundus, dan korpus, sedangkan yang disebut bagian distal adalah antrum dan pilorus. Berdasarkan penelitian Mabula et al. (2012), antrum merupakan daerah paling sering ditemukannya kanker lambung, sedangkan menurut penelitian Yusuf et al. (2009), korpus dan antrum merupakan lokasi paling sering. 2.3.4. Histopatologi Terdapat beberapa klasifikasi dalam histopatologi, tetapi yang paling sering digunakan adalah klasifikasi WHO dan Lauren.
1. Klasifikasi WHO WHO membagi kanker lambung menjadi empat tipe utama (papillary, tubular, mucinous, dan signet-ring) serta tipe-tipe lain yang jarang dijumpai. Diagnosis didasarkan pada tipe histologi yang dominan. a.
Tipe tubular menggambarkan tubulus berbagai ukuran yang memanjang, bersatu, atau bercabang-cabang, sering disertai dengan mucus intraluminal, nucleus, dan debris-debris inflamasi (Hu et al., 2012). Berdasarkan penelitian Oh dan Park (2011), tipe ini adalah tipe yang paling sering dijumpai.
b.
Tipe papillary mempunyai karakteristik epitel yang ditunjang oleh inti fibrovaskuler sentral (Hu et al., 2012).
c.
Tipe mucinous mempunyai karakteristik kolam-kolam mucin ekstraseluler yang mengisi 50% atau lebih volum tumor (Hu et al., 2012).
d.
Tipe signet-ring cells dan tipe poorly cohesive lainnya sering tersusun dari campuran signet ring cells dan non-signet ring cells. Sel-sel tipe poorly cohesive non-signet ring adalah yang secara morfologi menggambarkan histiosit, limfosit, dan sel plasma (Hu et al., 2012). Tipe signet-ring cells sering memicu reaksi pada jaringan ikat padat saat menginfiltrasi submukosa
Universitas Sumatera Utara
10
dan jaringan yang lebih dalam, menghasilkan linitis plastica (Riddell dan Jain, 2014). e.
Tipe mixed menunjukkan campuran dari tipe glandular (tubular atau papillary) dan tipe poorly cohesive (Shepherd et al., 2013).
f.
Selain keempat tipe utama di atas, WHO juga menemukan tipe lain yang jarang terjadi, yaitu: adenosquamous carcinoma, squamous carcinoma, hepatoid
adenocarcinoma,
carcinoma
with
lymphoid
stroma,
choriocarcinoma, parietal cell carcinoma, malignant rhabdoid tumor, mucoepidermoid carcinoma, paneth cell carcinoma, undifferentiated carcinoma, mixed adeno-neuroendocrine carcinoma, endodermal sinus tumor, embryonal carcinoma, pure gastric yolk sac tumor, dan oncocytic adenocarcinoma.
2. Klasifikasi Lauren Berdasarkan klasifikasi Lauren, kanker lambung dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu intestinal atau diffuse. Kanker-kanker yang mempunyai komposisi seimbang antara komponen intestinal dan diffuse disebut tipe mixed. Kanker yang terlalu berbeda sehingga tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori manapun dimasukkan ke dalam tipe indeterminate (Shepherd et al. 2013). a.
Tipe intestinal mempunyai kecenderungan untuk membentuk kelenjarkelenjar dengan berbagai tingkatan diferensiasi (Shepherd et al., 2013).
b.
Tipe diffuse menunjukkan pola pertumbuhan yang bersifat infiltratif dan terdiri dari sel-sel non-kohesif dengan vakuola mucin berukuran besar yang dapat meluas ke sitoplasma dan mendorong nukleus ke perifer, memberikan gambaran signet-ring cells. Tipe ini juga sering menghasikan reaksi desmoplasia yang menyebabkan kekakuan pada dinding lambung. Dinding lambung ini memberikan gambaran “leather bottle” atau yang disebut linitis plastica (Kumar, Abbas, and Aster, 2013).
Universitas Sumatera Utara
11
Tabel 2.1. Perbandingan Klasifikasi WHO dan Lauren.
Sumber: Hu, et al., 2012. Gastric cancer: Classification, histology and application of molecular pathology
Grading Grading terutama diaplikasikan untuk kanker tipe tubular dan papillary. Tipe well differentiated tersusun atas kelenjar-kelenjar yang masih terjaga bentuknya, kadang menyerupai epitel intestinal metaplastik. Tipe poorly differentiated tersusun atas struktur kelenjar-kelenjar irregular yang sulit dikenali. Sementara itu, tipe moderately differentiated menunjukkan fitur pertengahan antara well dan poorly differentiated. Grading juga dapat diklasifikasikan sebagai low grade (well dan moderately differentiated) atau high grade (poorly differentiated) (Shepherd, et al., 2013). Lazar et al. (2009) dan Wang et al. (2014) menyatakan bahwa gambaran histopatologi yang paling sering dijumpai adalah tipe poorly differentiated.
Universitas Sumatera Utara
12
2.3.5. Patogenesis dan Faktor Risiko Patogenesis kanker lambung meliputi faktor risiko multipel, yang sebagian besar bekerja pada lingkungan mukosa lambung dalam jangka waktu yang panjang. Perubahan mukosa lambung yang mendahului proses terbentuknya kanker invasif dikenal dengan kaskade prekanker yang pertama kali dijelaskan oleh Correa. Pada kaskade ini, mukosa normal berubah menjadi gastritis atropi kronis kemudian multifokal atropi dan metaplasia intestinal, lalu diikuti dengan munculnya displasia dan akhirnya kanker invasif (McGrath, Ebert, dan Rocken, 2007). Saat ini telah dikenal H. pylori yang menginfeksi setengah dari populasi dunia, sebagai faktor utama pencetus gastritis atropi dan perubahan histologis menjadi kanker lambung (Fox dan Wang, 2007).
Gambar 2.5. Respon Terhadap Infeksi H. pylori. Sumber: Smith, M.G., Hold G.L., Tahara, E., et al., 2006. Cellular and molecular aspects of gastric cancer.
Sejak awal abad ke-20, telah ditemukan bahwa perbedaan pola gastritis akibat infeksi kronis H. pylori menghasilkan clinical outcome yang berbeda. Mayoritas individu yang terinfeksi H. pylori mengalami pangastritis ringan yang tidak mengubah fisiologi lambung. Menurut Hansson (1996) dalam Smith et al. (2006), gastritis yang mendominasi daerah antrum biasanya dihubungkan dengan hiperkloridia, yang membawa risiko rendah terhadap pembentukan kanker lambung, tetapi risiko tinggi terhadap pembentukan duodenal ulcer. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
13
menurut Uemura et al. (2001) dalam Smith et al. (2006), gastritis yang mendominasi daerah korpus dapat mengakibatkan hipokloridia dan risiko tinggi terhadap terbentuknya kanker lambung. Mekanisme terjadinya hipokloridia dihubungkan dengan cytotoxin associated-gene A (CagA) yang merupakan salah satu faktor virulensi H. pylori. Pada tahap awal, masuknya CagA ke dalam sel epitel lambung normal akan memicu reaksi apoptosis. Reaksi ini dapat menyebabkan berkurangnya sel-sel epitel penyekresi asam pada mukosa lambung sehingga terjadi kenaikan pH lambung (Hatakeyama, 2014). Kekurangan asam ini akan memperluas area kolonisasi H. pylori dan memperparah kerusakan jaringan (Shanks dan El-Omar, 2009). Inflamasi kronis yang dihubungkan dengan infeksi jangka panjang dapat mengakibatkan perubahan genetik pada sel-sel mukosa lambung, sehingga masuknya CagA ke dalam sel-sel abnormal ini dapat menyebabkan pergantian sinyal dari apoptosis menjadi proliferasi (Hatakeyama, 2014). Menurut Hsu et al. (2007) dan Uemura et al. (2001) dalam Peleteiro dan Lunet (2011), walaupun infeksi H. pylori merupakan determinan terpenting untuk kanker lambung, hanya sedikit dari subjek yang terinfeksi akan mencapai hasil akhir berupa kanker
lambung, sehingga faktor-faktor lain juga harus
dipertimbangkan.
Universitas Sumatera Utara
14
Tabel 2.2. Faktor Risiko Kanker Lambung.
Sumber: DeVita, Lawrence, and Rosenberg, 2010. Principles & Practice of Oncology. 2.3.6. Manifestasi Klinis Gejala awal biasanya bersifat ringan dan tidak spesifik sehingga berujung pada diagnosis yang terlambat. Gejala-gejala ini adalah anoreksia, mual, dan nyeri samar pada abdomen atas. Banyak pasien yang datang sudah dengan massa epigastrik besar yang dapat dipalpasi (beberapa disertai dengan asites). Gejala lain meliputi disfagia (terutama bila tumor ada di daerah proksimal) dan muntah bila terdapat obstruksi. Pendarahan massif jarang terjadi. Pendarahan ringan sering ditemukan tetapi presentasinya dengan anemia defisiensi besi jarang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
15
Manifestasi non-metastatik jarang ditemukan, kecuali acanthosis nigricans (Tobias dan Hochhauser, 2015). Pada stadium awal, biasanya pemeriksaan fisik kurang menunjukkan hasil yang berarti. Pada stadium lebih lanjut, mungkin ditemukan massa pada kuadran atas abdomen, deposit peritoneal yang dapat dipalpasi, atau hepatomegali akibat metastasis liver. Tanda klasik dari metastasis kanker lambung adalah kelenjar limfe supraklavikular yang dapat dipalpasi (Virchow’s node), yang terbentuk saat ductus thoracicus diblok oleh metastasis kanker lambung. Dapat juga dijumpai tumor Krukenberg sebagai hasil dari metastasis kanker tipe signet-ring ke ovarium dan nodul Sister Mary Joseph di dekat umbilikus yang merupakan hasil penyebaran lewat kelenjar limfa di sepanjang ligamen hepatoduodenal dan falciformis (Jankowski dan Hawk, 2013).
2.3.7. Diagnosis Visualisasi dengan endoskopi dan biopsi masih menjadi gold standard untuk mendiagnosis kanker lambung (Jankowski dan Hawk, 2013). Sensitivitas dan spesifisitas untuk upper gastrointestinal endoscopy dengan biopsi masing-masing 95% dan 99%. Biopsi multipel diperlukan untuk mencapai akurasi ini (Yamada dan Inadomi, 2013).
2.3.8. Penentuan Stadium 1.
Computed Tomography (CT) Scan CT scan abdomen atau pelvis dengan kontras adalah modalitas terbaik untuk menentukan stadium preoperatif (Brunicardi et al., 2015). CT scan dapat menunjukkan informasi mengenai keterlibatan kelenjar limfe (stadium N) dan ada tidaknya metastasis (stadium M). Walaupun demikian, sensitivitasnya untuk tumor primer (stadium T) hanya sekitar 40-50% (Jankowski dan Hawk, 2013).
2.
Endoscopy Ultrasound (EUS) Metode terbaik untuk menentukan stadium tumor secara lokal adalah dengan menggunakan EUS. EUS dapat memberikan informasi yang cukup akurat
Universitas Sumatera Utara
16
(80%) mengenai kedalaman penetrasi tumor ke dinding lambung, dan dapat menunjukkan kelenjar limfe perigastric dan celiac yang membesar (>5 mm) (Brunicardi et al., 2015). Endoscopic ultrasound (EUS) lebih sering digunakan untuk melengkapi endoskopi dan CT scan dalam menentukan stadium kanker lambung. EUS dapat secara akurat menentukan invasi pada lima lapisan lambung dan menentukan apakah tumor di proksimal atau distal. Hal ini terutama berguna pada kanker stadium dini dan tumor yang berada di gastro-esophageal junction (Jankowski dan Hawk, 2013). 3.
Positron Emission Tomography (PET) Scanning dengan menggunakan PET menggunakan dasar sel-sel tumor cenderung mengakumulasi positron-emitting 18F-fluorodeoxy glucose. Modalitas ini paling berguna dalam mengevaluasi metastasis jauh pada kanker lambung, tetapi bisa juga digunakan untuk locoregional staging. PET scan akurat jika dikombinasikan dengan spiral CT (PET-CT) dan patut dipertimbangkan sebelum operasi besar pada pasien dengan risiko tinggi dan komorbiditas multipel (Brunicardi et al., 2015).
4.
Laparoskopi dan Peritoneal Cytology Laparoskopi terutama dilakukan untuk melihat stadium M. Adanya M yang tersembunyi pada CT dapat ditemukan dengan laparoskopi. Laparoskopi juga dapat
menentukan
intensi
terapi,
yaitu
paliatif.
Laparoscopic
Ultrasonography (LUS) juga dapat mempertajam diagnosis, stadium, dan operabilitas
kanker
lambung.
Peritoneal
cytology
yang
dilakukan
preoperative maupun durante operatif dapat membantu menentukan stadium tumor dan intensi terapi kuratif atau paliatif (Manuaba, 2010). 5.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan kemampuan yang menjanjikan untuk membedakan stadium M, tetapi tidak lebih superior dibandingkan dengan CT (Brunicardi et al., 2015).
Universitas Sumatera Utara
17
2.3.9. Stadium Klasifikasi stadium klinis kanker lambung yang paling sering digunakan adalah sistem TNM, yang digunakan oleh Union for International Cancer Control (UICC) dan American Joint Committee on Cancer (AJCC). Pada sistem ini, stadium tumor (T) ditentukan oleh kedalaman invasi tumor ke dalam dinding lambung dan ekstensinya ke struktur sekitar, stadium nodal (N) berdasarkan jumlah kelenjar limfe yang terlibat, dan keterlibatan kelenjar limfe intra-abdomen lainnya, seperti:
hepatoduodenal,
retropankreas,
mesenterika,
dan
paraaorta,
diklasifikasikan sebagai metastasis jauh (M) (Edge et al., 2010). Yang sering disebut dengan kanker lambung stadium dini adalah neoplasma yang terbatas pada mukosa dan submukosa, terlepas dari ada atau tidaknya metastasis ke kelenjar limfe. Sementara itu, kanker stadium lanjut adalah neoplasma yang menginvasi dinding lambung melewati submukosa (hingga mencapai muskularis propria atau atau lebih jauh) (Riddell dan Jain, 2014). Berdasarkan beberapa penelitian (Mabula et al., 2012; Norouzinia et al., 2012; dan Safaee et al., 2009), pasien sering datang dengan stadium III atau IV. Pembagian berdasarkan edisi tujuh Cancer Staging Manual dari American Joint Committee on Cancer tahun 2010 adalah sebagai berikut:
Tumor Primer (T) Tx
Tumor primer tak dapat dinilai
T0
Tak ada bukti tumor primer
Tis
Karsinoma in situ: tumor intraepitel tanpa menginvasi lamina propria
T1
Tumor menginvasi lamina propria, muscularis mukosa, atau submukosa
T1a
Tumor menginvasi lamina propria or muscularis mukosa
T1b
Tumor menginvasi submukosa
T2
Tumor menginvasi muscularis propria*
T3
Tumor mempenetrasi jaringan ikan subserosa tanpa menginvasi peritoneum visceral atau struktur sekitar **,***
Universitas Sumatera Utara
18
T4
Tumor menginvasi serosa (peritoneum viseral) atau struktur sekitar**,***
T4a
Tumor menginvasi serosa (peritoneum viseral)
T4b
Tumor menginvasi struktur sekitar
* Tumor menembus tunika muskularis dan meluas ke ligamen gastrokolika, hepatokolika, atau bursa omental mayor dan minor, tapi belum menembus peritoneum visceral yang melapisi organ-organ tersebut. Kasus ini dapat diklasifikasikan sebagai T3. Jika telah terjadi perforasi peritoneum viseral, maka diklasifikasikan sebagai T4. ** Struktur sekitar lambung meliputi: limpa, kolon transversus, liver, diafragma, pankreas,
dinding
lambung,
kelenjar
adrenal,
ginjal,
usus
halus,
dan
retroperitoneum. *** Ekspansi intraluminal hingga duodenum atau esofagus diklasifikasikan menurut kedalaman invasi maksimal di berbagai bagian ini, termasuk lambung.
Gambar 2.6. T pada Kanker Lambung. Sumber: Feldman, Friedman, Brandt, 2015. Sleisenger and Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease.
Universitas Sumatera Utara
19
Kelenjar Limfe Regional (N) NX
Metastasis kelenjar limfe regional tak dapat dinilai
N0
Tak ada metastasis kelenjar limfe regional*
N1
Metastasis pada 1–2 kelenjar limfe regional
N2
Metastasis pada 3–6 kelenjar limfe regional
N3
Metastasis pada tujuh atau lebih kelenjar limfe regional
N3a
Metastasis pada 7–15 kelenjar limfe regional
N3b
Metastasis pada 16 atau lebih kelenjar limfe regional
*pN0 harus digunakan jika seluruh kelenjar limfe yang diperiksa negatif
Metastasis Jauh (M) M0
Tak ada metastasis jauh
M1
Ada metastasis jauh
Stadium Stadium 0
Tis
N0
M0
Stadium IA
T1
N0
M0
Stadium IB
T2
N0
M0
T1
N1
M0
T3
N0
M0
T2
N1
M0
T1
N2
M0
T4a
N0
M0
T3
N1
M0
T2
N2
M0
T1
N3
M0
T4a
N1
M0
T3
N2
M0
T2
N3
M0
T4b
N0
M0
T4b
N1
M0
Stadium IIA
Stadium IIB
Stadium IIIA
Stadium IIIB
Universitas Sumatera Utara
20
Stadium IIIC
Stadium IV
T4a
N2
M0
T3
N3
M0
T4b
N2
M0
T4b
N3
M0
T4a
N3
M0
T mana saja
N mana saja
M1
Universitas Sumatera Utara