BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem daerah tropis yang memiliki keunikan dan keindahan yang khas yang pemanfaatannya harus lestari. Ekosistem terumbu karang ini umumnya terdapat pada perairan dangkal dan jernih serta suhunya hangat dan memiliki kadar karbonat yang tinggi. Sinar matahari diperlukan untuk proses fotosintesis sedangkan kadar kapur yang tinggi diperlukan untuk membentuk kerangka hewan penyusun karang dan biota lainnya (Hadie, 2008). Menurut Rembet (2008), ekosistem terumbu karang dibentuk dari berbagai komponen seperti karang batu, dan alga berkapur bersama dengan biota lainnya yang hidup di dasar perairan seperti molusca, crustacean, echinodermata, polychaeta, porifera, dan tunicate serta biota yang hidup bebas di perairan seperti plankton dan jenis-jenis ikan karang.
2.2 Terumbu Karang dan Karang Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat yang dihasilkan terutama oleh hewan karang (Timotius, 2003). Selanjutnya Kordi (2010) menyatakan bahwa terumbu karang dibedakan antara binatang karang (reef coral) sebagai suatu individu organisme atau komponen ekosistem dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem, termasuk di dalamnya organisme-organisme karang.
2.2.1 Biologi Karang Karang merupakan penamaan umum untuk spesies dari kelompok Cnidaria, yang merupakan penyusun utama terumbu karang, khususnya spesies yang memiliki rangka yang terbuat dari calcium carbonat. Spesies yang memiliki kerangka keras dikenal dengan nama karang batu (hard coral) yang merupakan anggota dari kelas
5
Anthozoa. Semua spesies dari kelas Anthozoa bersifat radial simetri, dimana secara morfologi terkondisikan sebagai hewan yang hidup di dasar perairan. Kelas Anthozoa dibagi menjadi dua sub kelas yaitu Alcyonaria yang merupakan kelompok karang lunak yang dicirikan dengan delapan buah tentakel, sedangkan sub kelas Zoantharia dicirikan dengan enam buah tentakel yang merupakan kelompok karang keras (Veron, 1993). Terumbu karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel (Sorokin, 1993). Veron (1993), secara umum hewan karang hidup secara berkoloni dalam kerangka yang terbuat dari kapur yang disebut corralite serta eksoskeleton yang diproduksi dari jaringan epitel. Selanjutnya masing-masing polip karang dihubungkan oleh jaringan tipis yang disebut cenosark. Ada dua tipe karang, yaitu karang yang dapat menghasilkan terumbu (reef) atau membentuk bangunan kapur yang disebut karang hermatifik (hermatypic corals atau reef building corals) dan karang ahermatifik (ahermatypic corals) yang tidak dapat membentuk terumbu atau bangunan karang (Kordi, 2010). Kemampuan hermatypic coral membentuk terumbu tidak lepas dari peranan zooxanthellae yang merupakan kelompok mikroalga. Spesies yang umum ditemukan dalam jaringan karang adalah Sybiodinium microadriaticum dari kelompok Dinophyta (Veron, 1993). Keberadaan zooxanthellae dalam jaringan karang merupakan bentuk simbiosis yaitu simbiosis mutualisme. Nontji (1987), Sumich (1999) dan Burke et al. (2002) mengatakan bahwa zooxanthellae melalui proses fotosintesis membantu memberi suplai makanan dan oksigen bagi polip dan juga membantu proses pembentukan karang kapur. Sebaliknya polip karang akan menghasilkan sisa-sisa metabolisme berupa karbondioksida, fosfat, dan nitrogen yang digunakan zooxanthellae untuk fotosintesis dan pertumbuhannya.
2.2.2 Struktur Anatomi dan Morfologi Karang Karang atau disebut polip memiliki bagian-bagian tubuh yang terdiri dari:
5
6
a.
Mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat pertahanan diri.
b.
Rongga tubuh (coelenteron) yang juga merupakan saluran pencernaan (gastrovascular).
c.
Dua lapisan tubuh yaitu ektodermis dan endodermis yang lebih umum disebut gastrodermis karena berbatasan dengan saluran pencernaan. Di antara kedua lapisan terdapat jaringan pengikat tipis yang disebut mesoglea. Jaringan ini terdiri dari sel-sel, serta kolagen dan mukopolisakarida. Pada sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan material guna membentuk rangka luar karang. Material tersebut berupa kalsium karbonat (kapur) (Timotius, 2003).
Gambar 1. Morfologi Karang (Castro & Huber, 2005).
2.2.3 Reproduksi Karang Karang bereproduksi secara seksual maupun aseksual. Secara seksual, karang bereproduksi melalui penyatuan gamet jantan dan betina untuk membentuk larva bersilia yang disebut dengan planula (Suwingnyo et al, 2005). Menurut Timotius (2003) karang yang bereproduksi secara seksual memiliki cara yang beragam yang didasari pada penghasil gamet dan fertilisasi. Keragaman itu meliputi: a. Gonokoris Dalam satu jenis (spesies), telur dan sperma dihasilkan oleh individu yang berbeda. Sehingga terdapat karang jantan dan karang betina. Contoh: dijumpai pada genus Porites dan Galaxea.
6
7
b. Hermafrodit Karang dengan sifat telur dan sperma dihasilkan oleh satu polip. Karang hermafrodit memiliki kematangan seksual yang berbeda, yaitu: 1. Hermafrodit yang simultan, yaitu karang yang menghasilkan sperma dan telur pada waktu yang bersamaan (egg-sperma packets). Contoh jenis Acroporidae, Favidae. 2. Hermafrodit yang berurutan, yaitu individu karang yang menjadi jantan dulu dan menghasilkan sel sperma, kemudian menjadi betina dan menghasilkan sel telur (protandri), atau menjadi karang betina terlebih dahulu dan menghasilkan sel telur kemudian menjadi jantan dan menghasilkan sel sperma (protogini). Contoh Stylophora pistillata dan Goniastrea favulus. Dari kedua tipe reproduksi karang secara seksual di atas, sebagian besar karang bersifat gonokoris. Richmond (1996) dalam Munasik (2005) mengemukakan bahwa mekanisme pembuahan pada karang ada dua dimana ditentukan oleh cara pertemuan gamet jantan dan gamet betina. Mekanisme pertama adalah karang yang melakukan brooding, yaitu telur-telur dibuahi secara internal di dalam gastrovasculer kemudian ditahan hingga perkembangannya mencapai stadium larva planula. Selanjutnya Timotius (2003) menyatakan planula yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk melekat pada dasar perairan untuk melanjutkan proses kehidupan. Sedangkan mekanisme kedua adalah karang yang melakukan spawning yaitu telur dan sperma dilepaskan ke perairan dan pembuahan terjadi secara eksternal (external fertilization) selanjutnya embrio juga berkembang di perairan. Kebanyakan karang mencapai dewasa pada umur antara 7-10 tahun (Kordi, 2010). Pada karang yang melakukan reproduksi secara aseksual tidak melibatkan peleburan antara gamet jantan dan gamet betina. Pada reproduksi ini, polip/koloni karang akan membentuk polip/koloni baru melalui pemisahan potongan-potongan tubuh atau rangka. Reproduksi aseksual dibagi menjadi:
7
8
a. Pertunasan Terbagi dua yaitu intertentakuler yaitu 1 (satu) polip membelah menjadi 2 polip sehingga polip baru tumbuh dari polip lama dan ekstratentakuler yaitu polip baru tumbuh diantara polip-polip yang lama. b. Fragmentasi Koloni baru terbentuk oleh patahan karang. terjadi terutama pada karang bercabang. Patahan (koloni) karang yang lepas dari koloni induk dapat membentuk tunas serta koloni baru. c. Polip bailout Polip baru terbentuk karena tumbuhnya jaringan yang keluar dari karang mati. Pada karang mati, kadang kala jaringan-jaringan yang masih hidup dapat meninggalkan skletennya untuk kemudian terbawa air. Jika menemukan dasaran yang sesuai, jaringan tersebut akan melekat dan tumbuh menjadi koloni baru. d. Partogenesis Larva tumbuh dari telur yang tidak mengalami fertilisasi. (Timotius, 2003).
2.3 Bentuk Pertumbuhan Karang Karang pembentuk terumbu adalah hewan yang pada umumnya seperti bebatuan. Karang pembentuk terumbu atau karang batu terdiri dari beragam bentuk yang memiliki ciri-ciri yang berbeda di antara jenis satu dengan yang lainnya. Menurut English et al. (1994), bentuk pertumbuhan karang keras terbagi atas karang acropora dan karang non-acropora. Karang non-acropora adalah karang yang tidak memiliki axial coralite yang terdiri atas: a.
Coral Branching (CB), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki.
b.
Coral Massive (CM), memiliki bentuk seperti bola dengan ukuran yang bervariasi, permukaan karang halus dan padat. Dapat mencapai ukuran tinggi dan lebar sampai beberapa meter.
c.
Coral Encrusting (CE), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta memiliki lubang-lubang kecil. 8
9
d.
Coral Submassive (CS), cenderung untuk membentuk kolom kecil, wedge like.
e.
Coral Foliose (CF), tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol yang pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar.
f.
Coral Mushroom (CMR), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.
g.
Coral Millepora (CME), yaitu karang api.
h.
Coral Heliopora (CHL), yaitu karang biru. Sedangkan untuk karang jenis acropora adalah karang yang memiliki
axial coralit dan radial coralite. Penggolongannya adalah sebagai berikut: a.
Acropora Branching (ACB), berbentuk bercabang seperti ranting pohon.
b.
Acropora Encrusting (ACE), bentuk mengerak, biasanya terjadi pada karang yang belum sempurna.
c.
Acropora Tabulate (ACT), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja.
d.
Acropora Submassive (ACS), percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh.
e.
Acropora digitate (ACD), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan.
2.4 Bentuk Formasi Terumbu Karang Berdasarkan geomorfologinya, ekosistem terumbu karang dibagi menjadi tiga tipe, yaitu terumbu karang tepi atau terumbu karang pantai (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef), dan terumbu karang cincin (atoll). Terumbu karang tepi tumbuh mulai dari tepian pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang penghalang berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh goba (lagoon) yang dalamnya sekitar 40-75m. Sedangkan terumbu karang cincin membentuk cincin atau oval yang mengelilingi goba yang dalamnya 40-100 m. selain itu, di Indonesia terdapat jenis terumbu karang gosong (patch reef), seperti terumbu karang di Kepulauan Seribu di utara Pulau Jawa (Kordi, 2010).
9
10
2.5 Faktor-Faktor Pembatas Terumbu Karang Keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan karang serta kelestarian terumbu karang sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Kondisi lingkungan tidak selalu tetap, namun selalu dinamis karena adanya gangguan, baik yang berasal dari alam maupun aktivitas manusia. Berikut adalah beberapa faktor lingkungan pembatas kehidupan terumbu karang:
2.5.1
Cahaya Cahaya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pertumbuhan hewan
karang mengingat hidupnya bersimbiosis dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang menghasilkan kalsium karbonat pembentuk terumbu juga akan berkurang. Jumlah spesies terumbu karang dapat berkurang secara nyata pada kedalaman penetrasi cahaya sebesar 15-20% dari penetrasi permukaan yang secara cepat menurun mulai dari kedalaman 10 m (Mellawati et al., 2012).
2.5.2
Suhu Karang pembentuk terumbu
memiliki kepekaan yang tinggi terhadap
perubahan suhu. Meskipun batas toleransi karang terhadap suhu bervariasi antarspesies dan antardaerah pada spesies yang sama, tetapi dapat dinyatakan bahwa karang dan organisme terumbu hidup pada suhu dekat dengan batas toleransinya. Suhu optimum untuk pertumbuhan karang di perairan adalah berkisar antara 23-30 0C dengan suhu minimum 18 0C. Namun hewan karang masih bisa hidup sampai suhu 15 0C, tetapi akan terjadi penurunan pertumbuhan reproduksi, metabolisme serta produktivitas kalsium karbonat (Arini, 2013).
2.5.3
Kedalaman Selain suhu faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan karang adalah
kedalaman. Menurut Nybakken (1998), kedalaman berkaitan dengan pengaruh cahaya, sehingga kebanyakan terumbu karang hidup di kedalaman di bawah 25 m. Hewan karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. 10
11
Kedalaman lebih dari 50-100 m (150-300 ft) juga terlalu dingin sehingga menghambat sekresi kalsium karbonat (Sverdrup, 2006). Semakin dalam suatu lautan maka penetrasi cahaya yang masuk semakin berkurang sehingga mempengaruhi laju fotosintesis pada karang.
2.5.4
Sedimentasi Sedimentasi yang terjadi di ekosistem terumbu karang akan memberikan
pengaruh semakin menurunnya kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang. Sedimentasi dapat menutupi karang dan menghalangi proses makannya, dan juga dapat mengurangi cahaya yang diperlukan oleh zooxanthellae dalam melakukan fotosintesis (Nybakken, 1992). Beberapa kegiatan manusia yang berhubungan erat dengan sedimentasi adalah semakin tingginya aktivitas pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan (Arini, 2013).
2.5.5
Arus dan Gelombang Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah
yang mengalami arus dan gelombang cukup besar. Arus dan gelombang memberikan oksigen dalam air laut, mengurangi dan menghilangkan proses sedimentasi pada terumbu karang, serta mensuplai plankton dan sumber makanan lain yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang (Nybakken, 1992). Selain itu, arus juga berfungsi untuk pemindahan larva serta menghalau sampah (Tomascik et al., 1997)
2.5.6
Salinitas Salinitas suatu perairan mempengaruhi pertumbuhan karang. Salinitas air
laut di daerah tropis adalah sekitar 35‰. Salinitas optimum bagi pertumbuhan karang adalah sekitar 32-35‰ (Nybakken, 1992).
2.6 Ancaman Pada Ekosistem Terumbu Karang Beberapa aspek penyebab kematian hewan karang adalah aspek biologis, fisik dan kimia. Secara biologis kematian hewan karang dapat terjadi karena pemangsaan 11
12
oleh beberapa spesies, serta adanya bioerosi oleh beberapa jenis organisme yang hidup dalam ekosistem. Predator hewan karang adalah Acanthaster planci dan Drupela sp. sedangkan yang melakukan bioerosi adalah kelompok tumbuhan rendah seperti bakteri, filamentous alga yang masuk ke jaringan karang, juga kelompok fungi, sponge, poluchaeta, krustasea, sipincula, dan moluska. Dari aspek fisik, kerusakan terjadi karena beberapa hal seperti adanya gelombang besar, peningkatan suhu. Sedangkan dari aspek kimia adalah adanya polutan dari aktivitas manusia di daratan yang menyebabkan eutrofikasi, sedimentasi, polusi, serta masuknya air tawar yang berlebihan dari darat karena terjadi erosi melalui proses run-off (Purnomo & Mahmudi, 2008). Selanjutnya Hadie (2008) menyatakan bahwa ancaman terhadap ekosistem terumbu karang juga dapat disebabkan oleh karena adanya faktor alam. Ancaman tersebut dapat berupa angin topan, badai, tsunami, gempa bumi, pemangsaan oleh CoTs (Crown of Thorns, Starfish) dan pemanasan global yang menyebabkan pemutihan karang (bleaching).
2.7 Peranan Terumbu Karang Secara umum, manfaat terumbu karang dalam Lampiran Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004 adalah sebagai berikut: (a) pelindung pantai dari angin, pasang surut, arus dan badai; (b) sumber plasma nutfah dan keanekaragaman hayati yang diperlukan bagi industri pangan, bioteknologi, dan kesehatan; (c) tempat hidup ikan-ikan, baik ikan hias maupun ikan target, yaitu ikan-ikan yang tinggal di terumbu karang; (d) tempat perlindungan bagi organisme laut; (e) penghasil bahan-bahan organik sehingga memiliki produktivitas organik yang sangat tinggi dan menjadi tempat mencari makan, tempat tinggal, dan penyamaran bagi komunitas ikan; (f) bahan konstruksi jalan dan bangunan, bahan baku industri dan perhiasan, seperti karang batu; (g) merupakan daerah perikanan tangkap dan wisata karang yang secara sosial ekonomi memiliki potensi yang tinggi; (h) perlindungan pantai terhadap erosi gelombang.
12