BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1. Kecemasan 2.1.1. Definisi Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fausiah&Widury, 2007), kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Lazarus (1976; dalam Fausiah&Widury, 2007) memberikan batasan kecemasan sebagai reaksi individu terhadap hal yang dihadapi yang merupakan suatu perasaan yang menyakitkan, seperti kegelisahan, kebingungan, kekhawatiran dan sebagainya yang berhubungan dengan aspek subjektif emosi seseorang. Ditambahkannya pula bahwa kecemasan merupakan gangguan yang kompleks, disertai dengan perubahan fisiologis. Menurut Nevid & Neal (Harini, 2013) kecemasan adalah sebagai suatu respon terhadap suatu pengalaman tertentu mengenai suatu pengalaman tertentu mengenai perasaan yang tidak menyenangkan, kebingungan, gelisah, khawatir dan takut. Adapun gejala-gejala yang muncul yaitu: 1. Gejala fisik, meliputi gugup, gemetar, nafas berat atau sulit bernafas, tangan berkeringat dan lembab, sulit bicara, detak jantung cepat, badan terasa panas dingin mendadak, mual, kerongkongan atau mulut terasa kering, pusing, leher atau punggung terasa kaku. 2. Gejala tingkah laku, meliputi perilaku menghindar, perilaku tergantung, bingung. 3. Gejala kognitif, meliputi khawatir terhadap sesuatu, percaya bahwa sesuatu yang berbahaya akan terjadi tanpa sebab yang jelas, merasa terancam
oleh
peristiwa
yang
secara
normal
sebenarnya
tidak
mengancam, takut lepas kendali, takut tidak mampu mengatasi masalah, berpikir bahwa pikiran yang mengganggu selalu muncul berulang-ulang, berpikir
harus
lari
memfokuskan pikiran.
dari
keramaian,
kesulitan
konsentrasi,
atau
Daffenbacher & Hazaleus (Harini, 2013) mengemukakan bahwa sumber penyebab kecemasan dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, kekhawatiran, merupakan pikiran negatif tentang dirinya sendiri, yang kedua emosionalitas, sebagai reaksi diri terhadap rangsangan saraf otonomi, dan yang ketiga gangguan dan hambatan dalam menyelesaikan tugas merupakan kecenderungan yang dialami seseorang yang selalu tertekan karena pemikiran yang rasional terhadap tugas.
2.1.2. Bentuk Kecemasan Konsep kecemasan yang dikemukakan oleh Spielberger (2004) yang membedakan antara state anxiety dan trait anxiety. State Anxiety (Kecemasan Situasional) dikarakteristikan oleh setiap individu secara subjektif. State Anxiety dikonseptualisasikan sebagai kondisi psikologis, biologis, dan emosional yang ditandai dengan timbulnya rasa tegang, gugup, ketakutan, dan kekhawatiran yang bervariasi dalam intensitas yang tidak menentu dari waktu ke waktu (fluktuatif) (Spielberger, 2004). Trait Anxiety mengacu pada perbedaan kestabilan individu dan bagaimana individu menampilkan respon terhadap situasi yang menyebabkan kecemasan. Walaupun sedang berada dalam kondisi yang rawan terhadap kecemasan, bagaimana individu dapat merespon situasi yang menimbulkan kecemasan merupakan ciri dari kepribadian (Spielberger, 2004). Hampir setiap individu pernah mengalami kecemasan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan. Perasaan ini ditandai oleh kegelisahan, kebingungan, ketakutan, kekhawatiran, dan sebagainya. Perasaan yang dialami individu tersebut hanya dapat dirasakan dan diketahui oleh yang bersangkutan saja. Kecemasan disini dibedakan menjadi dua, yaitu: 1.
State anxiety, adalah gejala kecemasan yang timbul bila individu berhadapan dengan situasi tertentu yang menyebabkan individu mengalami kecemasan, dan gejalanya akan selalu kelihatan selama situasi tersebut terjadi.
2. Trait anxiety, adalah kecemasan sebagai suatu keadaan yang menetap pada individu. Kecemasan ini berhubungan erat dengan kepribadian individu yang sedang mengalami kecemasan. Dengan kata lain kecemasan mengandung pengertian disposisi untuk menjadi cemas dalam menghadapi bermacammacam situasi. Sehubungan dengan hal ini, kecemasan dipandang sebagi
suatu simtom, yaitu keadaan yang menunjukkan kesukaran dalam menyesuaikan diri.
2.1.3 Reaksi-reaksi Kecemasan Sue and Sue (1986) kecemasan mempunyai empat elemen untuk merespon, yaitu: a.
Kognitif yaitu respon terhadap kecemasan dalam pikiran manusia. misalnya ketidakmampuan berkonsentrasi atau membuat keputusan, sulit tidur.
b.
Somatik yaitu reaksi tubuh terhadap bahaya. Misalnya tangan dan kaki dingin, diare, sering buang air kecil, jantung berdebar-debar, keringat berlebihan, pernapasan dangkal, mulut kering, pingsan, tekanan darah tinggi, otot tegang, sakit tenggorokan.
c.
Emosi yaitu reaksi perasaan manusia, dimana individu secara terus menerus khawatir, merasa takut terhadap bahaya yang mengancam.
d.
Perilaku yaitu reaksi dalam bentuk perilaku manusia terhadap ancaman dengan menghindar atau menyerang. Misalnya gelisah, cemas, menggigit bibir.
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Isteri TNI Angkatan Darat Faktor yang mempengaruhi kecemasan pada individu ada 4, yaitu (Sunarsih, 2009): a. Pengetahuan tentang objek kecemasan Menurut Centi (1993; 2009) semakin tinggi pengetahuan tentang objek kecemasan, maka kecemasan semakin dapat berkurang. b. Pengalaman Menurut Philo (Philo, 2000) ada tidaknya pengalaman seseorang tentang sumber yang membuatnya menjadi cemas akan mempengaruhi tingkat kecemasan yang dirasakannya. c. Kepasrahan jiwa Kondisi jiwa yang pasrah akan lebih mampu mengendalikan rasa cemas yang berlebihan daripada jiwa yang bergejolak dan penuh ketidaksabaran (Mahsun, 2004). d. Religiusitas
Religiusitas yang tinggi akan membuat seseorang lebih tenang menghadapi obyek kecemasan (Mahsun, 2004).
2.2 Psychological Well-Being 2.2.1 Definisi Ryff (1989) mendefinisikan psychological well being sebagai hasil atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalamanpengalaman hidupnya. Berdasarkan teori Ryff (1989) mendefinisikan psychological well being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya. Psychological well being oleh Ryff (1989) suatu keadaan dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, mampu mengontorol lingkungan eksternal, memiliki arti hidup, serta mampu merealisasikan potensi diri secara kontinyu. Menurut Ryff (1989) psychological well being adalah sebuah konsep yang berusaha untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Individu yang memiliki psychological well being yang positif adalah orang yang mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinu, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, maupun menerima diri apa adanya, memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
2.2.2 Dimensi Psychological Well Being Menurut Ryff (1995; Marnat, 2010), Psychological well being terdiri dari enam dimensi, yaitu:
1. Self acceptance Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan.Self acceptance yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. 2. Personal growth Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar optimal berfungsi secara psikologis. 3. Positive relation with other people Dimensi ini menekankan adanya kemampuan yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain. 4. Autonomy Dimensi ini menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. 5. Purpose in life Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam hidup, mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunayi keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup, dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidupnya. 6. Environmental mastery Dimensi ini dimana individu memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya.
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well Being Menurut Ryff dan Singer (1996; Anwar, 2008) faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being seorang individu adalah sebagai berikut:
a. Usia Menunjukan bahwa penguasaan lingkungan dan otonomi mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia. Pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup menunjukkan penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Hubungann positif dengan orang lain dan penerimaan diri secara signifikan bervariasi berdasarkan usia. b. Jenis Kelamin Menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam aspek menjalin hubungan dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi antara pria dan wanita. Sementara penerimaan diri, otonomi dan keyakinan bahwa hidup mempunyai makna dan tujuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. c. Budaya Memperlihatkan bahwa sisi nilai budaya yang berbeda seperti individualistik mempengaruhi psychological well being pada dimensi penerimaan diri dan otonomi sedangkan pada masyarakat dengan nilai budaya kolektif menunjukkan pengaruh yang tinggi terhadap dimensi hubungan positif dengan orang lain. d. Status Sosial Ekonomi Meliputi faktor pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan dapat mempengaruhi psychological well being pada dimensi penerimaan diri memiliki tujuan dalam hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan.
2.3 Istri TNI Angkatan Darat Isteri TNI Angkatan Darat tergabung dalam satu wadah organisasi yang disebut Persit Kartika Chandra Kirana atau kepanjangannya adalah Persatuan Isteri Prajurit Kartika Chandra Kirana atau disingkat Persit. Menurut buku Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang diterbitkan oleh Persit Kartika Chandra Kirana Pengurus Pusat (2004) tujuan dari organisasi tersebut adalah: 1. Ikut serta mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur material maupun spiritual berasaskan Pancasila. 2. Membantu tugas pembinaan TNI Angkatan Darat sebagai kekuatan pertahanan keamanan maupun sebagai komponen pembangunan bangsa.
3. Mewujudkan kesatuan perjuangan istri anggota TNI yang berdasarkan rasa senasib, sepenanggungan dan seperjuangan. Dan adapun tugas pokok dari Persit menurut buku Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang diterbitkan oleh Persit Kartika Chandra Kirana Pengurus Pusat (2004) adalah: 1. Membantu Kepala Staf Angkatan Darat dalam pembinaan Isteri Prajurit dan keluarganya khususnya bidang mental, fisik, kesejahteraan dan moril sehingga dapat berpengaruh terhadap keberhasilan tugas prajurit. 2. Mendukung kebijaksanaan pemimpin TNI dengan membina dan mengarahkan perjuangan
isteri
anggota
TNI
Angkatan
Darat,
menciptakan
rasa
persaudaraan dan kekeluargaan, rasa persatuan dan kesatuan serta kesadaran nasional. Dalam Persit Kartika Chandra Kirana mempunyai visi sesuai buku buku Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang diterbitkan oleh Persit Kartika Chandra Kirana Pengurus Pusat (2004) sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Pasal 7 yaitu: 1. Ikut serta mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur meterial maupun spriritual, berazaskan Pancasila. 2. Membatu tugas pembinaan TNI AD sebagai kekuatan pertahanan keamanan maupun sebagai komponen pembanguan Bangsa. 3. Mewujudkan kesatuan perjuangan istri anggota TNI yang berdasarkan rasa senasib, sepenanggungan dan seperjuangan. Dan Misi yang diemban oleh Persit Kartika Chandra Kirana adalah sesuai dengan Tugas Pokok Persit Kartika Chandra Kirana yaitu: 1. Membantu Kepala Staf Angkatan Darat dalam pembinaan istri prajurit dan keluarganya, khususnya
bidang mental, fisik, kesejahteraan dan moril
sehingga dapat berpengaruh terhadap keberhasilan tugas prajurit. 2. Mendukung kebijaksanaan pemimpin TNI dengan membina dan mengerahkan perjuangan Istri anggota TNI AD, menciptakan rasa persaudaraan dan kekeluargaan, rasa persatuan dan kesatuan serta kesadaran nasional.
2.4 Kerangka Berpikir Menjadi isteri prajurit dibutuhkan kesabaran dan pemahaman yang tinggi
terhadap tugas maupun resiko yang harus diterimanya, tak heran mengapa kecemasan kerap kali dirasakan isteri para prajurit (Endah, 2010). Kecemasan sering muncul dikalangan isteri prajurit karena kepulangan yang tidak pasti dimana suaminya harus mengemban tugas dalam jangka waktu yang lama atau kadang tidak dapat ditentukan, serta komunikasi yang sulit karena suami dapat ditugaskan di daerah terpencil dan susah berkomunikasi untuk sekedar mengabari isterinya hingga kepastian keselamatan dirinya (Kalimah, 2011). Kecemasan yang dialami oleh istri prajurit selama suaminya bertugas dapat mempengaruhi faktor-faktor dalam kehidupannya, seperti
mempunyai
pemikiran
yang
negatif
hingga
merasakan
kesepian.
Ketidakpastian nasib suami yang dikirim ke daerah konflik menimbulkan kecemasan pada isteri TNI Angkatan Darat yang berwujud pada ketegangan, rasa tidak aman, kekhawatiran, yang timbul karena dirasakan akan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan (Sunarsih, 2009). Spielberger (2004) membagi kecemasan menjadi dua, yaitu state anxiety (kecemasan situasional) dan trait anxiety (kecemasan bawaan). Kecemasan situasional (state anxiety) timbul sebagai suatu reaksi terhadap situasi tertentu maupun pada situasi yang mengancam seperti masa penugasan didaerah konfik yang akan dihadapi suami para isteri prajurit. Sebagian besar isteri yang ditinggal suaminya bertugas ke daerah konflik cenderung mengalami kecemasan situasional (state anxiety), karena isteri merasa suaminya berada di daerah yang tidak aman, dan bila suami telah selesai masa tugasnya di daerah konflik kecemasan tersebut menghilang dan semua kembali normal (Sunarsih, 2009). Anwar & Hidayat (2008) mengatakan pada penelitian sebelumnya bahwa kecemasan yang tinggi, baik kecemasan umum maupun spesifik pada hal-hal tertentu dapat mempengaruhi psychological well being seseorang. Bardburn (1969; dalam Anwar, 2008) menambahkan bahwa orang-orang yang memiliki tingkat kecemasan yang besar, baik kecemasan secara umum ataupun khusus pada hal tertentu, cenderung
memiliki
tingkat
afek
negatif
yang
tinggi
sehingga
akhirnya
mempengaruhi psychological well being dirinya, afek negatif adalah suatu kondisi yang dialami manusia yang membuatnya merasa tidak bahagia. Menurut Ryff (dalam Rahayu, 2008) psychological well being merupakan suatu keadaan dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti hidup, serta mampu
merealisasikan potensi diri secara kontinyu. Kecemasan yang dirasakan oleh isteri TNI Angkatan Darat karena suaminya bertugas di daerah konflik dapat membuat isteri sulit menerima kondisi dirinya (self acceptance). Selama suaminya bertugas, isteri merasakan bahwa keluarganya menjadi tidak lengkap dikarenakan suaminya tidak berada disisinya. Kecemasan tersebut dapat membuat isteri hanya fokus pada kekhawatiran dan emosi negatif yang dirasakannya, sehingga tidak dapat memikirkan untuk mengembangkan potensi dalam dirinya (personal growth). Selain itu, kecemasan yang dirasakan akan membuat isteri tidak nyaman melakukan berbagai aktivitas di luar rumah dan mengisolasi dirinya dari orang disekitarnya, sehingga berdampak pada hubungannya dengan orang lain (positive relation with other). Di sisi lain, kecemasan yang dialami membuat isteri tidak dapat mengambil alih peran suami sebagai kepala keluarga, sehingga tidak mengembangkan aspek kemandirian (autonomy). Berada dalam kondisi cemas dapat membuat isteri menjadi tidak dapat berpikir jernih membuat perencanaan dalam hidupnya (purpose in life). Akhirnya ketidakmampuan dalam menghadapi kecemasan yang dialami oleh isteri akan membuatnya sulit menguasai lingkungan sekitarnya (environmental mastery), dimana isteri sulit untuk menjelaskan situasi atau kesulitan yang seadang dihadapinya agar orang lain mengerti. Berikut adalah alur kerangka berpikir tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini:
Isteri TNI Angkatan Darat yang suaminya bertugas di daerah konflik
Kecemasan State
Psychological Well-being Dimensinya: 1. Self Acceptance 2. Personal growth 3. Positive relation with other people 4. Autonomy 5. Purpose in life 6. Environmental mastery
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Hubungan antara Kecemasan State dengan Psychological Well Being pada isteri TNI Angkatan Darat yang mempunyai suami bertugas di daerah konflik.