BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Efektivitas Kepemimpinan Pelatih 2.1.1. Kepemimpinan Pelatih Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memepengaruhi, memberi petunjuk dan mampu menentukan individu untuk mencapai suatu tujuan (Stuart dalam Kahar, 2008). Dalam hal ini yang menjadi pemimpin dalam olahraga sepakbola yaitu pelatih. Menurut Pate, Mc.Clenaghan dan Rotella, (1984), pelatih adalah seorang profesional yang tugasnya membantu dalam memperbaiki dan meningkatkan penampilan atlet dan tim olahraga. Scheunemann (2013) mengungkapkan salah satu yang harus dimiliki oleh seorang pelatih yang berkulaitas adalah jiwa kepemimpinan. Murray, Mann & Mead dalam Watson II, Connole & Kadushin (2011) menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan seni dan ilmu mempengaruhi orang lain melalui kredibilitas, kemampuan dan komitmen. Kepemimpinan seoarang pelatih selain memegang peran vital dalam pengembangan kemampuan para atlet, menurut Short dan Short (2005), ada peran lain dari pelatih yaitu sebagai guru, manajer, kompetitor, pembelajar, teman dan sekaligus mentor bagi para atletnya. Pelatih adalah bagian yang signifikan dalam proses latihan, sebagaimana guru didalam proses pendidikan. Atas dasar hal ini, Grassroots FIFA kemudian menyatakan bahwa dalam pendidikan olahraga untuk anak-anak, tidak dibutuhkan kualitas pelatih hanya sebagai pelatih saja, tetapi pelatih yang kemudian sekaligus juga menjadi seorang pendidik, yang kemudian disebut sebagai The Coach-Educator’s (Grassroots FIFA, 2012). Pelatih sebagai pengajar dan pendidik memiliki pengaruh besar pada pemain muda yang terlibat dalam olahraga sepakbola. Dari fakta bahwa pelatih sebagai pengajar menghabiskan banyak waktu dengan anak, tak dapat dipungkiri bahwa perilaku dan sikap mereka akan memengaruhi sikap dan perilaku anak-anak pula. Karena alasan ini, pelatih sebagai pengajar harus selalu menjaga sikap positif dan menampilkan sikap yang patut dicontoh pada setiap partisipan, baik dalam hal fisik, sosial, maupun hubungan emosional. Pelatih sebagai pengajar tidak hanya dapat dianggap sebagai ahli sepakbola,
tetapi juga sebagai pembimbing, pengajar, dan contoh yang harus diikuti (Grassroots FIFA, 2012).
2.1.2. Efektivitas Kepemimpinan Pelatih diharapkan dapat memaksimalkan perannya sebagai pemimpin agar tujuan tim dapat tercapai. Dibutuhkan kepemimpinan yang efektif dari pelatih jika ingin membawa tim mencapai tujuan tersebut. Menurut Fiedler (dalam Schultz & Schultz, 2006) ada tipe pemimpin dimana salah satunya adalah tipe pemimpin yang efektif, yaitu person-oriented. Dia menjelaskan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mampu memandang dan memperlakukan orang yang dipimpinnya sebagai manusia yang setara dan tidak banyak menuntut pengikutnya. Hal ini serupa dengan Dore (dalam Rumeser, 2013) yang mengemukakan, bahwa seorang pemimpin harus memperlakukan orang yang dipimpin sebagai manusia. Dapat dikatakan seorang pemimpin harus memahami pribadi setiap anggota tim, karena dengan begitu atlet akan merasa dihargai dan diperhatikan (KEMENPORA, 2011). Jika pelatih telah mengetahui kelebihan dan kekurangan setiap anggota tim semestinya lebih mudah dalam memimpin. Menurut Dore (dalam Rumeser, 2013), pemimpin mesti mendelegasikan tanggung jawab dan keputusan kepada anggota tim. Seorang pelatih haruslah dapat merumuskan tujuan tim secara jelas dan terukur serta dapat memberikan penjelasan mengenai peran atau tugas setiap anggota tim. Pelatih juga diharapkan memiliki komunikasi secara terbuka dan melibatkan atlet dalam mengambil keputusan. Hal ini membuat mereka bertanggung jawab atas konsekuensi terhadap keputusannya tersebut dan membuat tugas pelatih menjadi efektif (KEMENPORA, 2011). Menurut Dore (dalam Rumeser, 2013) seorang pemimpin harus dapat menciptakan atmosfir yang baik guna terciptanya kerjasama. Penting bagi pelatih untuk menciptakan suasana latihan yang kondusif, salah satunya dengan memiliki hubungan yang baik dengan anggota tim. Menurut Blanchard, dkk (2009) jika atlet mempersepsikan hubungannya dengan pelatih secara positif, maka dapat mempengaruhi secara positif pula kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti kebutuhan akan rasa aman, disayangi dan sebagainya. Hal ini berarti dalam kepemimpinan yang efektif membutuh relasi yang kuat antara pelatih dan atlet.
Menurut Hoption, Phelan dan Barling (dalam Eys & Beauchamp, 2007), pemimpin yang memberikan stimulasi intelektual mendorong anggota timnya menjadi kreatif dan mampu memecahkan masalah dengan cara yang inovatif. Dore (dalam Rumeser, 2013) menjelaskan, bahwa pemimpin harus memberikan umpan balik kepada anggota timnya. Hal ini dapat membuat anggota tim menjadi lebih baik dalam mencapai tujuan tim. Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, peneliti menggunakan konsep dasar kepemimpinan menurut Dore (dalam Rumeser, 2013) dalam penelitian ini. Hal ini karena dalam teori Dore (dalam Rumeser, 2013) terdapat aspek-aspek yang bisa membuat kepemimpinan menjadi efektif. Aspek-aspek tersebut adalah: 1. People : Pemimpin memperlakukan orang yang dipimpin sebagai manusia. 2. Delegation : Pemimpin mendelegasikan tanggung jawab dan keputusan. 3. Atmosphere : Pemimpin menciptakan atmosfir yang baik guna tercipta kerjasama. 4. Feedback : Pemimpin memberikan umpan balik.
2.2. Efektivitas Tim 2.2.1. Tim Tim adalah dua atau lebih individu yang mempunyai motivasi, saling berinteraksi, dan setiap anggota menyadari saling ketergantungan dalam mencapai tujuan yang sama (KEMENPORA, 2011). Tim memiliki pikiran, gagasan, dan kehendak sendiri yang tidak sama dengan pribadi anggotanya. Dimana proses untuk menjadi sebuah tim yang kompak dan berpeluang untuk tampil maksimal dilalui dengan beberapa tahap. Menurut Tuckman (dalam Rumeser, 2013) ada empat tahap proses menjadi tim yang kompak, yaitu (1) forming, pada tahap ini anggota tim masih melakukan orientasi, penampilannya masih terdapat keraguan dan kebingungan, serta tingkahlakunya juga tampak tidak terkoordinasi dan ego individual pun masih menonjol. (2) Storming, tahap ini dicirikan dengan adanya pertentangan di dalam tim, anggota tim mulai berusaha memahami dan menemukan perannya dan peran anggota tim yang lain untuk kemudian bekerjasama mencapai tujuan. (3) Norming, kekompakan tim mulai terbentuk dalam tahap ini, peran anggota tim telah jelas, konflik bisa diatasi, hubungan personal telah
stabil dan seluruh energi anggota tim dicurahkan untuk mencapai tujuan bersama. (4) Performing, di tahap terakhir ini kekompakkan tim berujung pada kesuksesan dan kepuasan anggota tim. Menurut Tutko dan Ricahards (dalam Setyobroto, 2002), untuk menumbuhkan rasa kesatuan sebagai tim ada hal yang harus diperhatikan, yaitu saling menghormati antar pemain serta pemain dengan pelatih, menciptakan komunikasi yang efektif agar mengerti satu sama lain, memiliki rasa sebagai anggota yang penting, memiliki tujuan bersama dan perlakuan yang adil. Sehingga berdasarkan hal tersebut dapat terciptanya kerjasama yang baik antar pemain, suasana kekeluargaan dan memiliki hubungan yang erat satu sama lain serta tiap pemain mengutamakan kebahagiaan tim daripada kepentingan pribadi.
2.2.2. Efektivitas Tim Tujuan dari dibentuknya tim adalah untuk mencapai target yang dibuat bersamasama. Jika dalam tim terdapat kelompok-kelompok kecil, hal ini membuat tidak adanya kerjasama atau kekompakkan tim. Timbulnya kelompok-kelompok kecil ini biasanya disebabkan perbedaan persepsi. Pelatih harus mengatasinya agar tidak semakin mempertajam konflik yang membuat sulit tercapainya tujuan tim. Menurut Hackman (1990) dan Klimonski & Jones (1995) mengutip dari Rumeser (2013), hasil kerja tim dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif. Tim yang efektif dapat dicapai melalui kerjasama yang baik agar memberikan rasa puas atas hasil kerja tim (KEMENPORA, 2011). Kepuasan anggota tim bisa muncul bukan hanya karena hasil kerja pribadi atau tim baik. Menurut Chow dan Feltz (dalam Tenenbaum & Eklund, 2007), kepuasan bisa didapat karena adanya kepercayaan pada kemampuan antar anggota yang berfungsi secara efektif sebagai satu tim. Hal ini membuat tim harus dibuat berbeda dan terasa istimewa dibanding tim-tim lain agar muncul fanatisme dan semangat kebersamaan yang tinggi, sehingga menjadi tim yang efektif (KEMENPORA, 2011). Menurut Hoption, Phelan dan Barling (dalam Eys & Beauchamp, 2007), salah satu ciri tim efektif yaitu adanya pengetahuan baru yang didapat anggota tim. Pengetahuan ini bisa didapat melalui latihan, contoh yang diberikan pelatih dan antar anggota tim yang saling percaya sehingga membentuk suatu tim yang kuat.
Berdasarkan teori-teori yang dipaparkan, peneliti menggunakan teori efektivitas tim menurut Hackman (1990) dan Klimonski & Jones (1995) mengutip dari Rumeser (2013) pada penelitian ini. Dimana dalam teoti tersebut terdapat tiga kriteria utama dalam menentukan keefektifan sebuah tim, yaitu: 1. Hasil kerja tim, yaitu penilaian kinerja yang dihasilkan secara kualitatif maupun kuantitatif. 2. Kepuasan anggota tim, kepuasan yang didapatkan oleh masing-masing anggota tim dalam tim. 3. Belajar, yaitu anggota tim dapat belajar yang bermanfaat dari tim tersebut.
2.3. ASIOP APACINTI ASIOP APACINTI merupakan salah satu SSB terbaik di Jakarta. Hal ini terbukti dengan banyaknya prestasi yang diraih pada tingkat nasional. SSB ini didirikan sejak tahun 1997 dengan tujuan untuk menjadi pusat pengembangan dan pembinaan pemain sepakbola masa depan Indonesia. Tidak hanya memiliki banyak prestasi, ASIOP APACINTI juga sudah banyak menghasilkan pemain sepakbola profesional, seperti Syamsir Alam, Airlangga Soecipto, Egi Melgiansyah dan masih banyak lagi (www.asiopapacinti.com, 2011). Awal tahun 2012 merupakan perubahan yang cukup besar bagi jajaran sistem pendidikan di ASIOP APACINTI. Untuk yang pertamakalinya ASIOP APACINTI memiliki seorang kepala sekolah, yang tidak memiliki latar belakang sepak bola. Diikuti dengan masuknya tim sport science yang terdiri dari dokter rehab medis, konsultan psikologi olahraga dan maseur. Mei 2012 kembali ASIOP APACINTI memiliki pelatih kepala yang hadir dengan program dan kebijakan-kebijakan yang mengacu pada kurikulum FIFA grassroots dan PSSI (APACINTI, 2013). Atlet adalah individu yang berpartisipasi dalam suatu program latihan pada olahraga prestasi, dimana pembinaan berupa latihan diekspresikan melalui kompetisi guna mencapai prestasi (Raalte, 2002). Atlet atau siswa ASIOP APACINTI beragam usia, dan terdiri dari delapan angkatan, yaitu dari usia 8 tahun (U-8) sampai dengan usia 16 tahun (U-16). Setiap angkatan dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas hobi yang dilaksanakan hanya setiap hari sabtu, dan kelas reguler yang dilaksanakan seminggu tiga kali. Baik kelas hobi dan kelas reguler, jumlah siswa tidak lebih dari 30 siswa.
Setiap angkatan dilatih oleh dua pelatih, yaitu pelatih angkatan dan asisten pelatih (APACINTI, 2013). Jadwal latihan reguler dilaksanakan pada sesudah jam sekolah yaitu mulai pukul 14.30 sampai dengan 19.00. Masing-masing angkatan memiliki total jam latihan 180 menit, dan proporsi latihan disesuaikan dengan usia siswa (APACINTI, 2013).
2.4. Kerangka Berpikir
Kepemimpinan Pelatih: 1. People 2. Delegation 3. Atmosphere 4. Feedback
Efektivitas Kepemimpinan Pelatih
Tim: 1. Hasil Kerja Tim 2. Kepuasan Anggota Tim 3. Belajar
Efektivitas Tim
Sumber: Olahan peneliti Gambar 2.1. Kerangka Berpikir Penelitian
Gambar 2.1. merupakan kerangka berpikir peneliti yang melatarbelakangi penelitian ini. Penelitian ini bermula dari hadirnya Sekolah Sepakbola (SSB) yang bertujuan untuk menghasilkan pemain sepakbola masa depan Indonesia. ASIOP APACINTI adalah salah satu SSB terbaik di Jakarta dan telah banyak menghasilkan pemain sepakbola profesional. Dalam perjalanannya menciptakan pemain sepakbola masa depan Indonesia ASIOP APACINTI juga memiliki masalah. Hal yang menjadi masalah tersebut yaitu dalam pemilihan pemain yang akan ikut pertandingan atau perlombaan. Dalam laporan hasil penelitian ASIOP APACINTI tahun 2013, ketua yayasan mengungkapkan banyaknya orangtua yang protes kepada pihak manajemen mengenai ketidak adilan pelatih dalam pemilihan pemain. Namun berbeda dengan apa
yang dijelaskan ketua yayasan, pelatih mengungkapkan ketidak konsistenan kebijakan dari manajemen, atas wewenang pelatih dalam memilih pemainnya di dalam tim, dimana tim yang sudah disusun oleh pelatih kemudian dirubah atas permintaan manajemen (APACINTI, 2013). Hal yang serupa juga dialami oleh tim nasional sepakbola Indonesia. Bedanya pelatih ASIOP APACINTI kurang memiliki wewenang penuh atas pemain yang dipilih sesuai karakter strategi permainannya, sedangkan tim nasional sepakbola Indonesia sering mengalami pergantian pelatih yang menyebabkan pemain kesulitan dalam menyesuaikan karakter strategi permainan yang dibuat. Hal ini diungkapkan oleh Bambang Pamungkas (2013) selaku mantan pemain tim nasional sepakbola Indonesia, dimana salah satu penyebab mengapa prestasi sepakbola Indonesia sedikit adalah seringnya pergantian pelatih. Dalam catatan Bambang Pamungkas (BP), selama kurun waktu 15 tahun, sejak tahun 1998 hingga tahun 2013 ada 12 orang yang pernah menjadi pelatih tim nasional sepakbola Indonesia. Menurut BP, seringnya pergantian pelatih ini akibat hanya untuk memenuhi budaya instan serta cara berpikir egois dari para pengurus PSSI, sehingga membuat pemain tertekan karena harus setiap saat berganti gaya permainan (Pamungkas, 2013). Berdasarkan kajian literatur yang dilakukan peneliti, didapatlah sebuah jurnal yang membahas tentang Developing Young Athletes. Watson II, Connole dan Kadushin (2011) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa, pelatih memiliki pengaruh yang kuat terhadap manfaat yang didapat atlet saat pembinaan. Menurut Dore (dalam Rumeser, 2013) ada empat hal untuk melihat keefektifan kepemimpinan, yaitu memperlakukan anggota sebagai manusia (people), mendelegasikan tanggung jawab dan keputusan (delegation), menciptakan atmosfer guna tercipta kerjasama (atmosphere) dan memberikan umpan balik (feedback). Pada olahraga sepakbola dimainkan oleh 11 orang dalam satu tim. Posisi bermain dalam sepakbola terdapat 1 penjaga gawang dan 10 pemain yang terbagi dalam pemain bertahan, pemain tengah, dan penyerang. Dimana masing-masing posisi nantinya akan saling bekerjasama dalam setiap pertandingan. Tim yang efektif diperlukan apabila sebuah tim ingin memperoleh kemenangan dalam sebuah pertandingan. Menurut Hackman (1990) dan Klimonski & Jones (1995) mengutip dari Rumeser (2013), yang menyatakan bahwa keefektifan suatu tim dapat ditinjau dari tiga
hal, yaitu hasil kerja tim, kepuasan anggota tim dan belajar. Berdasarkan tiga hal inilah yang akan menjadi dasar pengukuran mengenai efektivitas tim. Melihat adanya kepemimpinan pelatih dalam suatu tim pada pembinaan pemain muda, maka peneliti melakukan penelitian ini untuk mencari tahu apakah ada hubungan antara efektivitas kepemimpinan pelatih dengan efektivitas tim pada atlet sepakbola ASIOP APACINTI. Jika efektivitas kepemimpinan pelatih tinggi, maka diharapkan tingkat efektivitas tim juga tinggi dan begitupun sebaliknya.