BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi Prevalensi adalah ukuran frekuensi penyakit. Angka prevalensi mengukur jumlah orang sakit di dalam suatu populasi pada suatu titik waktu yang ditentukan. Acuan waktu untuk numerator angka prevalensi dapat berupa suatu periode waktu seperti satu tahun, atau dapat berupa suatu titik waktu tertentu. Prevalensi mengukur keberadaan penyakit semua kasus (baru dan lama). Prevalensi bergantung pada dua faktor: angka insiden dan durasi penyakit. Jadi, suatu perubahan dalam prevalensi penyakit dapat mencerminkan suatu perubahan dalam insidensi, atau outcome, atau bahkan lainnya (Morton, Hebel, & McCarter, 2009). 2.2 Konsep Hipertensi pada Lansia 2.2.1
Perubahan Sistem Kardiovaskuler pada Lansia
Perubahan pada jantung terlihat
dalam
gambaran anatomis
berupa:
bertambahnya jaringan kolagen, bertambahnya ukuran miokard, berkurangnya jumlah miokard, dan berkurangnya jumlah air jaringan. Tebal bilik kiri dan kekakuan katup bertambah seiring dengan penebalan septum interventrikular, ukuran rongga jantung juga membesar (Tamher & Noorkasiani, 2009). Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi: katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat (Maryam, et al., 2008). 2.2.2
Pengertian Hipertensi
5 Universitas Sumatera Utara
6
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus-menerus lebih dari satu periode. Hal ini terjadi bila arteriol-arteriol kontriksi. Kontriksi arteriol membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding arteri. Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila berlanjut dapat menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah (Udjianti, 2011). Menurut WHO (2013), hipertensi didefinisikan sebagai keadaan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi disebut sebagai silent killer karena jarang menimbulkan gejala pada stadium awal dan banyak orang tidak terdiagnosa. 2.2.3 Epidemiologi Hipertensi Secara global, jumlah penyakit kardiovaskuler kira-kira 17 juta kejadian setiap tahun, mendekati 1 : 3 secara keseluruhan. Jumlah komplikasi dari hipertensi adalah 9,4 juta kematian di dunia setiap tahunnya. Hipertensi menjadi penyebab hampir 45% kematian karena penyakit jantung dan 51% karena stroke (WHO, 2013). Kemenkes RI (2013), prevalensi hipertensi pada umur ≥ 18 tahun di Indonesia yang didapat melalui jawaban pernah didiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, sedangkan yang pernah didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat hipertensi sendiri sebesar 9,5 persen. Jadi, terdapat 0,1 persen penduduk yang minum obat sendiri, meskipun tidak pernah didiagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan. Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥ 18 tahun sebesar 25,8 persen.
Universitas Sumatera Utara
7
2.2.4
Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi hipertensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan penyebab dan tingkat keparahan. Berikut ini akan dijelaskan klasifikasi hipertensi dari kedua hal tersebut. 2.2.4.1 Berdasarkan Penyebab Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan, yaitu hipertensi esensial atau primer dan hipertensi sekunder. 1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer Hipertensi primer adalah peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya (Udjianti, 2011). Pada lebih dari 90% kasus, penyebab hipertensi tidak jelas, yang disebut dengan primer atau esensial. Hipertensi primer merupakan suatu gangguan genetika multifaktorial, dimana pewarisan jumlah gen abnormal menjadi predisposisi bagi individu mengalami tekanan darah arteri (ABP) tinggi, terutama bila pengaruh lingkungan yang mendukung (misalnya diet tinggi garam, stress psikososial) juga ada (Aaronson & Ward, 2008). Menurut Udjianti (2011), beberapa faktor diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi esensial, yaitu : a. Genetik: individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi, berisiko untuk mendapatkan penyakit ini. b. Jenis kelamin dan usia: laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita pasca menopause berisiko tinggi untuk mengalami hipertensi. c. Diet: konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung berhubungan dengan berkembangnya hipertensi. Menurut Widharto (2007) sebenarnya,
Universitas Sumatera Utara
8
bukanlah garam (garam dapur) yang tidak baik bagi tekanan darah, tetapi kandungan natrium (Na) dalam darah yang dapat mempengaruhi tekanan darah seseorang. Natrium (Na) bersama klorida (Cl) dalam garam dapur (NaCl) sebenarnya bermanfaat bagi tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh dan mengatur tekanan darah. Namun, Na yang masuk dalam darah secara berlebihan meningkatkan
volume
darah.
dapat menahan air sehingga
Meningkatkannya
volume
darah
mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding pembuluh darah sehingga kerja jantung dalam memompa darah semakin meningkat. Sebagian besar hipertensi juga disebabkan adanya penebalan dinding pembuluh arteri oleh lemak atau kolesterol. Jika penderita hipertensi mengonsumsi makanan berlemak, kadar kolesterol dalam darahnya dapat meningkat sehingga dinding pembuluh darah makin menebal. Dampak yang semakin parah, pembuluh darah tersebut menjadi tersumbat. d. Berat badan: obesitas ( > 25% diatas berat badan ideal) dikaitkan dengan berkembangnya hipertensi. Orang yang kelebihan berat badan, tubuhnya bekerja keras untuk membakar berlebihnya kalori yang masuk. Pembakaran kalori ini memerlukan suplai oksigen dalam darah yang cukup. Semakin banyak kalori yang dibakar, semakin banyak pula pasokan oksigen dalam darah. Banyaknya pasokan darah tentu menjadikan jantung bekerja lebih keras. Dampaknya, tekanan darah orang gemuk cenderung tinggi (Widharto, 2007).
Universitas Sumatera Utara
9
e. Gaya hidup: merokok dan konsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan darah, bila gaya hidup menetap. 2. Hipertensi sekunder Sebesar 10% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi sekunder, yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid (Udjianti, 2011). Menurut Aaronson & Ward (2008), penyebab umum hipertensi sekunder adalah: a. Penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, yang mengganggu regulasi volume dan/atau mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron. b. Gangguan endokrin, seringkali pada korteks adrenal dan terkait dengan oversekresi aldosteron, kortisol dan/atau katekolamin. c. Kontrasepsi oral, yang dapat menaikkan ABP (Arteri Blood Pressure) melalui aktivasi renin-angiotensin-aldosteron dan hiperinsulinemia. 2.2.4.2 Berdasarkan Tingkat Keparahan Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada dewasa Klasifikasi tekanan darah
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal
<120
<80
Prehipertensi
120-139
80-89
Hipertensi tahap 1
140-159
90-99
Hipertensi tahap 2
≥160
≥100
Sumber: The seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, 2003.
Universitas Sumatera Utara
10
2.2.5
Etiologi
Beberapa kondisi yang menjadi penyebab terjadinya hipertensi (WHO, 2013), yaitu: 2.2.5.1 Gaya Hidup Ada banyak faktor risiko gaya hidup yang mempengaruhi peningkatan hipertensi, termasuk: 1) Konsumsi makanan yang mengandung banyak garam dan lemak, dan kurang cukung mengonsumsi sayur dan buah-buahan, 2) Penggunaan alcohol, 3) Inaktifitas fisik dan kurang latihan, 4) Manajemen stress yang buruk. 2.2.5.2 Faktor Metabolik Ada beberapa faktor metabolik yang meningkatkan risiko penyakit jantung, gagal ginjal dan komplikasi lain dari hipertensi, termasuk diabetes, kolesterol tinggi dan obesitas. Tembakau dan hipertensi berpengaruh untuk lebih lanjut meningkatkan gangguan kardiovaskuler. 2.2.5.3 Sosio-ekonomi Faktor sosial, seperti pendapatan, pendidikan dan tempat tinggal, mempunyai pengaruh yang merugikan dalam faktor risiko gaya hidup dan mempengaruhi meningkatnya
hipertensi.
Contohnya,
penganguran
atau
ketakutan
dari
pengangguran bisa memepengaruhi pada tingkat stress yang dapat mempengaruhi tekanan darah tinggi. Kondisi pekerjaan dapat juga menunda deteksi dini dan perawatan dan bisa juga menghambat pencegahan komplikasi. Perpindahan yang
Universitas Sumatera Utara
11
tidak direncanakan juga cenderung untuk menaiknya kasus hipertensi karena lingkungan yang tidak sehat yang mendorong mengonsumsi fast food, kebiasaan yang menetap atau duduk terus-menerus, penggunaan rokok dan alkohol yang berbahaya. Peningkatan usia mempengaruhi hipertensi karena penebalan pembuluh darah, meskipun penuaan pada pembuluh darah dapat diperlambat melalui gaya hidup yang sehat, termasuk makanan yang sehat dan mengurangi konsumsi garam. Beberapa kasus pada hipertensi belum diketahui. Faktor genetik berperan penting bilamana kemampuan genetik dalam mengelola kadar natrium normal. Kelebihan intake natrium dalam diet dapat meningkatkan volume cairan dan curah jantung. Pembuluh darah memberikan reaksi atas peningkatan aliran darah melalui kontriksi atau peningkatan tahanan perifer. Tekanan darah tinggi adalah awal dari peningkatan curah jantung yang kemudian dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi sebagai suatu timbal balik peningkatan tahanan perifer (Udjianti, 2011). 2.2.6
Gejala Hipertensi
Gejala hipertensi biasanya tanpa gejala sehingga sering disebut “the silent killer”. Menurut Vitahealth (2006), secara umum gejala yang dapat timbul, yaitu: 1) Sakit kepala, 2) Jantung berdebar-debar, 3) Sulit bernapas setelah bekerja atau mengangkat beban berat, 4) Mudah lelah 5) Penglihatan kabur, 6) Wajah memerah, 7) Hidung berdarah, 8) sering buang air kecil, terutama di malam hari, 9) Telinga berdenging (tinnitus), 10) Dunia terasa berputar (vertigo).
Universitas Sumatera Utara
12
2.2.7
Patofisiologi
Hipertensi terjadi karena peningkatan tekanan pada pembuluh darah secara terus-menerus yang mengakibatkan semakin cepat kerja jantung untuk memompa darah. Jika hal ini terus-menerus maka otot jantung akan menebal dan mengalami hipertrofi. Empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah antara lain sistem baroreseptor arteri, pengaturan volume cairan tubuh, sistem renin-angiotensin, dan autoregulasi vaskular (Udjianti, 2011). 1) Baroreseptor ini memonitor tekanan derajat arteri. Jika tekanan darah naik secara mendadak, maka akan memberikan rangsangan pada baroreseptor yang selanjutnya sinyal tersebut dikirim ke medulla oblongata dan akan menghambat pusat vasokontriksi, serta merangsang pusat vagal sehingga terjadi vasodilatasi, kontraktilitas menurun, juga bradikardi, 2) Perubahan volume cairan memengaruhi tekanan arteri sistemik. Bila tubuh mengalami kelebihan garam dan air, tekanan darah meningkat melalui mekanisme fisiologi kompleks yang mengubah aliran balik vena ke jantung dan mengakibatkan peningkatan curah jantung. 3) Renin dan angiotensin memegang peranan dalam pengaturan tekanan darah. Ginjal memproduksi renin untuk memisahkan angiotensin I, yang kemudian diubah oleh converting enzyme dalam paru menjadi bentuk angiotensin II kemudian menjadi angiotensin III dan mempunyai aksi vasokonstriktor yang kuat pada pembuluh darah dan merupakan mekanisme kontrol terhadap pelepasan aldosterone, 4) Autoregulasi vaskular adalah suatu proses yang mempertahankan perfusi jaringan dalam tubuh relatif konstan. Jika aliran berubah, proses-proses autoregulasi akan menurunkan tahanan
Universitas Sumatera Utara
13
vaskular dan mengakibatkan pengurangan aliran, sebaliknya akan meningkatkan tahanan vaskular sebagai akibat dari peningkatan aliran. Menurut
Aronow,
et.al.
(2011)
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
Hypertension in the Elderly, menyatakan bahwa patofisiologi terjadinya hipertensi pada lansia adalah kekakuan pembuluh arteri, disregulasi autonomik, dan fungsi ginjal
serta
keseimbangan
kation.
Kekakuan
pembuluh
darah
arteri
mengakibatkan penebalan pada dinding aorta, meningkatnya aliran nadi, dan meningkatknya tekanan darah. Disregulasi autonomik mempengaruhi ortostatik hipotensi (faktor risiko jatuh, syncope, dan kejadian kardiovaskuler) dan ortostatik hipertensi (faktor risiko dari hipertrofi ventrikel kiri, penyakit coroner, dan penyakit
serebrovaskuler).
Disfungsi
ginjal
progresif
dikarenakan
glomerulosklerosis dan fibrosis interstisial dengan filtrasi glomerulus yang menurun dan mekanisme homeostatik ginjal lainnya seperti peningkatan sodium intraseluler , menurunkan pertukaran sodium-kalsium, dan peningkatan volume. Hal ini juga mempengaruhi penekanan pada aktivitas plasma renin dan penurunan kadar aldosteron.
2.3 Konsep Lansia 2.3.1
Pengertian Lansia
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun keatas (Setianto, 2004 dalam Efendi & Makhfudli, 2009). Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
Universitas Sumatera Utara
14
beradaptasi dengan stress lingkungan (Pudjiastuti, 2003 dalam Efendi & Makhfudli, 2009). Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Hawari, 2001 dalam Efendi & Makhfudli, 2009). Menurut Bab I Pasal 1 ayat (2) Undang Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut, lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. 2.3.2
Klasifikasi Lansia
Berikut ini adalah klasifikasi lanjut usia dalam beberapa literature, yaitu: 1. Menurut WHO (dalam Nugroho, 2009), klasifikasi lansia adalah usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lansia (elderly) 60-74 tahun, lansia tua (old) 75-90 tahun, dan lansia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. 2. Smith dan Smith (1999 dalam Tamher & Noorkasiani, 2009), menggolongkan usia lanjut menjadi tiga, yaitu: young old (65-74 tahun); middle old (75-84 tahun); dan old old (lebih dari 85 tahun). 3. Setyonegoro (1984 dalam Tamher & Noorkasiani, 2009), mengggolongkan bahwa yang disebut usia lanjut (geriatric age) adalah orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Selanjutnya terbagi ke dalam usia 70-75 tahun (young old); 7580 tahun (old; dan lebih dari 80 tahun (very old). 4. Maryam, et.al. (2008) mengklasifikasikan lansia, yaitu: a. Pralansia (prasenilis)
Universitas Sumatera Utara
15
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun. b. Lansia Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. c. Lansia risiko tinggi Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003). d. Lansia potensial. Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003). e. Lansia tidak potensial. Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).
2.3.3
Kondisi dan Permasalahan Lansia
Saat ini, di seluruh dunia, jumlah lansia diperkirakan lebih dari 629 juta jiwa (satu dari 10 orang berusia lebih dari 60 tahun), dan pada tahun 2025, lanjut usia akan mencapai 1,2 milyar (Nugroho, 2008). Pada tahun 2000 jumlah lansia di Indonesia diproyeksikan sebesar 7,28% dan pada tahun 2020 menjadi sebesar 11,34% (BPS,1992 dalam Maryam, et.al., 2008). Bahkan data Biro Sensus Amerika Serikat memperkirakan Indonesia akan mengalami pertambahan warga lanjut usia terbesar di seluruh dunia pada tahun 1990-2025, yaitu sebesar 41,4% (Kinsella dan Taeuber, 1993 dalam Maryam, et.al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
16
Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013), pada tahun 2010 proyeksi proporsi penduduk umur lebih dari 60 tahun di Sumatera Utara adalah 5,89% , pada tahun 2020 adalah 8,29% dan pada tahun 2035 adalah 13,22%. Terjadi peningkatan penduduk lansia setiap tahunnya. Dalam perjalanan hidup manusia, proses menua merupakan hal yang wajar dan terus-menerus dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang. Menurut Darmojo dan Martono (1994 dalam Nugroho, 2008) mengatakan bahwa “menua” (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Dampak perubahan epidemiologis, penyakit pada lanjut usia cenderung ke arah degeneratif. Lima sebab utama kematian di antara para lansia adalah penyakit kardiovaskuler,
penyakit
kanker,
penyakit
serebrovaskuler,
penyakit
pneumonia/influenza, dan penyakit COPD. Namun, penyakit yang paling mahal adalah golongan penyakit yang menyebabkan kecacatan namun tidak sampai meninggal. Penyakit arthritis merupakan penyakit kronis yang paling sering dan yang paling banyak menyebabkan kecacatan. Penyebab kecacatan lainnya adalah hipertensi, gangguan visual, dan diabetes disamping penyakit kardiovaskuler, COPD, dan serebrovaskuler (Tamher & Noorkasiani, 2009). Dengan bertambahnya umur, fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat proses degenerative (penuaan) sehingga penyakit tidak menular banyak muncul pada usia lanjut. Selain itu masalah degenerative menurunkan daya tahan tubuh
Universitas Sumatera Utara
17
sehingga rentan terkena infeksi penyakit menular. Penyakit tidak menular pada lansia diantaranya hipertensi, stroke, diabetes mellitus dan radang sendi atau rematik (Kemenkes, 2013).
2.4 Gambaran Umum Kabupaten Karo 2.4.1
Lokasi dan Keadaan Geografis
Bentuk dataran tinggi Kabupaten Karo menyerupai sebuah kuali yang sangat besar karena dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian 140 s/d 1400 m diatas permukaan laut, terhampar dipanggung Bukit Barisan serta terletak pada koordinat 2050’ – 3019’ Lintang Utara dan 97055’ – 98038’ Bujur Timur diantara gunung-gunungnya yang terkenal adalah: disebelah Utara adalah Gunnung Barus, Pinto, Sibayak, Simole dan Sinabung, disebelah selatan terdapat Gunung Sibuaten. Dari semua pegunungan itu, dua diantaranya terdiri dari gunung berapi yaitu Sibayak dan Sinabung. 2.4.2
Iklim
Suhu udara di dataran tingggi Karo sangat sejuk, berkisar antara 160 s/d 270C dengan kelembaban udara rata-rata 28%. Musim hujan lebih panjang dibanding kemarau dengan perbandingan 9 : 3. Awal musim hujan bulan Agustus bulan, berakhir bulan Januari dan musim kedua dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei setiap tahunnya. Sesuai dengan keadaan alamnya, maka mata pencaharian utama dari masyarakat Karo umumnya adalah bertani atau bercocok tanam. 2.4.3
Penduduk
Universitas Sumatera Utara
18
Hasil sensus tahun 2000 Penduduk Kabupaten Karo berjumlah 283.713 jiwa. Pada tahun 2013sebesar 363.755 yang mendiami wilayah. Kepadatan penduduk diperkirakan sebesar 171 jiwa/ Km2. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Karo tahun 2010 – 2013 adalah sebesar 1,17% per tahun. Tahun 2013 di Kabupaten Karo penduduk laki-laki lebih sedikit dari perempuan. Laki-laki berjumlah 180.535 jiwa dan perempun berjumlah 183.220 jiwa. Sex rasionya sebesar 98,53. 2.4.4
Adat dan Budaya
Penduduk asli yang mendiami wilayah Kabupaten Karo disebut Suku Bangsa Karo. Suku Bangsa Karo terdiri dari 5 (lima) Merga, Tutur Siwaluh, dan Rakut Sitelu. Lima merga yaitu: Ginting, Perangin-angin, Tarigan, Sembiring, dan Karokaro. Tutur siwaluh, yaitu: sipemeren, siparibanen, sipengalon, anak beru, anak beru, menteri, anak beru singikuri, kalimbubu, dan puang kalimbubu. Rakut Sitelua, yaitu: senina/sembuyak, kalimbubu, dan anak beru. Masyarakat Karo kuat berpegang kepada adat istiadat yang luhur, merupakan modal yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan. Dalam kehidupan masyarakat Karo, idaman dan harapan (sura-sura pusuh keratin) yang ingin diwujudkan adalah pencapaian tiga hal pokok yang disebut Tuah (menerima berkat dari Tuhan Yang Maha Esa), sangap (mendapat rejeki), dan mejuah-juah (sehat, sejahtera, lahir batin, aman, damai, bersemangat serta keseimbangan dan keselarasan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan Tuhannya. Masyarakat Karo menganut agama Protestan, Katolik dan Islam.
Universitas Sumatera Utara
19
Orang Karo memakan nasi dan gulai sebagai bahan konsumsi mereka seharihari. Daging dan ikan asin adalah makanan yang mewah, sedangkan beberapa jenis tikus, katak dan serangga juga dimakan. Saat-saat dimana pola makanan mereka mengalami perubahan, adalah ketika menjamu tamu atau kalau diadakan upacara-upacara (kelahiran, perkawinan dan kematian). Orang Karo juga memiliki budaya kerja tahun/ merdang merdem, dimana sehari menjelang hari perayaan puncak penduduk kampung memotong lembu, kerbau dan babi untuk dijadikan lauk. (Tarigan, 2009).
Universitas Sumatera Utara