xv
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Mikroorganisme Endofit
Endofit merupakan asosiasi antara mikroorganisme dengan jaringan tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman inang bervariasi dari netral, komensialisme sampai simbiosis. Pada situasi ini tanaman merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme endofit dalam melengkapi siklus hidupnya. Fungi endofit adalah fungi yang terdapat di dalam sistem jaringan tanaman, seperti daun, buah, ranting, ataupun akar tanaman (Clay, 1988). Tanaman menyediakan sumber makanan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme endofit. Fungi ini menginfeksi tanaman sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Carrol, 1988). Hampir semua tanaman vaskular memiliki endofit. Endofit masuk ke dalam jaringan tanaman umumnya melalui akar atau bagian lain dari tanaman. Bakteri menembus jaringan tanaman di akar atau bagian lain dari tanaman yang luka. Fungi endofit hidup dalam jaringan tanaman dan membantu tanaman dalam fiksasi nitrogen (N2). Sementara itu asosiasi fungi endofit dengan tumbuhan inangnya oleh Carrol (1988) digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu mutualisme konstitutif dan induktif. Mutulisme konstitutif merupakan asosiasi yang relatif erat hubungannya antara fungi endofit dengan tanaman inang terutama rumput-rumputan. Pada kelompok ini fungi endofit menginfeksi ovula (benih) inang, dan penyebarannya melalui benih serta organ penyerbukan inang. Mutualisme
induktif merupakan asosiasi antara
mikroorganisme endofit dengan tumbuhan inang yang penyebarannya terjadi secara bebas melalui udara dan air. Jenis ini hanya berasosiasi dalam bagian vegetatif inang
Universitas Sumatera Utara
xvi
dan sering berada dalam keadaan tidak aktif dalam periode cukup lama dan membentuk biomassa yang kecil. Ditinjau dari sisi taksonomi dan ekologi, fungi endofit merupakan organisme yang sangat heterogen. Petrini et al. (1992), menggolongkan fungi endofit dalam kelompok Ascomycotina dan Deuteromycotina. Strobel et al. (1996), mengemukakan bahwa fungi endofit meliputi genus Pestalotia, Pestalotiopsis, Monochaetia, dan lainlain. Sedangkan Clay (1988) melaporkan, bahwa fungi endofit dimasukkan dalam famili Balansiae, Balansiopsis, Epichloe dan Myriogenospora. Genus Balansiae umumnya dapat menginfeksi tumbuhan tahunan dan hidup secara simbiosis mutualistik dengan tanaman inangnya. Dalam simbiosis ini, fungi dapat membantu proses penyerapan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk proses fotosintesis serta melindungi tanaman inang dari serangan penyakit, dan hasil dari fotosintesis dapat digunakan oleh fungi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Bacon, 1991; Petrini et al., 1992; Rao, 1994).
2.2 Endofit dan Biodiversitas
Keanekaragaman hayati secara tidak langsung berarti keanekaragaman senyawa kimia. Kemampuan bertahan hidup dengan tingkat kompetisi yang tinggi menyebabkan tanaman beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Hal ini menyebabkan tanaman menghasilkan senyawa-senyawa yang unik secara biologi dan
strukturnya.
Keanekaragaman
yang
tinggi
menyebabkan
endofit
juga
menghasilkan produk alami aktif yang lebih banyak (Wibowo, 2008). Menurut Bills and Polyshook. (1992) dalam Strobel and Daisy (2003), endofit di daerah tropis dengan jumlah yang tinggi menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang aktif dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan endofit tanaman-tanaman yang ada di daerah subtropis. Jadi tanaman inang mempengaruhi proses metabolisme endofitnya.
Universitas Sumatera Utara
xvii
2. 3 Manfaat Endofit
Beberapa ahli telah mengisolasi dan meneliti endofit dari berbagai tanaman diantaranya; tanaman obat (Tan and Zou, 2001), tanaman perkebunan (Zinniel et al. 2002), dan tanaman-tanaman hutan (Strobel, 2002; Suryanarayanan et al., 2003). Dari sekitar 300.000 jenis tanaman yang tersebar di muka bumi, masing-masing tanaman mengandung satu atau lebih mikroorganisme endofit yang terdiri dari bakteri dan fungi (Strobel and Daisy, 2003). Bakteri atau fungi tersebut dapat menghasilkan senyawa metabolit yang dapat berfungsi sebagai antibiotika (antifungi/antibakteri), antivirus, antikanker, antidiabetes, antimalaria, antioksidan, antiimunopressif (Strobel and Daisy, 2003), antiserangga (Azevedo et al., 2000), zat pengatur tumbuh (Tan and Zou, 2001) dan penghasil enzim-enzim hidrolitik seperti amilase, selulase, xilanase, ligninase (Choi et al., 2005), kitinase (Zinniel et al., 2002). Mikroba endofit merupakan bagian dari mikroflora alamiah dari tanaman yang sehat di lapangan, mikroba ini sebagai kontributor penting bagi kesehatan tanaman (Aini et al., (2004). Menurut Hallman et al. (1999) dalam Aini et al. (2004), telah diketahui pula bahwa bakteri endofit dapat berpengaruh pada kesehatan tanaman dalam hal: (1) antagonisme langsung atau penguasaan niche atas patogen, (2) menginduksi ketahanan sistemik dan (3) meningkatkan toleransi tanaman terhadap tekanan lingkungan. Karena sifat-sifat tersebut bakteri endofit telah terbukti dapat dimanfaatkan sebagai pengendali hayati penyakit tanaman bahkan dapat mengurangi serangan hama tanaman (Ramamoorthy et al., 2001 dalam Aini et al., (2004).
2.4 Botani Tanaman Andaliman
Andaliman di Indonesia hanya dijumpai pada daerah Tapanuli, Sumatera Utara. Di Indonesia, tanaman ini tumbuh liar di pegunungan dengan ketinggian 1400 m di atas permukaan laut pada temperatur 15-18ºC. Tanaman ini berasal dari daerah Himalaya
Universitas Sumatera Utara
xviii
Subtropis. Di dunia, tanaman ini tersebar antara lain di India Utara, Nepal, Pakistan Timur, Myanmar, Thailand, dan China (Wijaya, 1999; Hasairin, 1994).
Menurut Hasairin (1994), tinggi tanaman andaliman adalah 3-8 m. Batang dan cabangnya merah, kasar beralur, berbulu halus dan berduri (Gambar 4.2.1). Buahnya bulat hijau kecil dengan diameter ± 4mm (Gambar 4.2.2) (Tensiska, 2001). Andaliman mempunyai aroma dan rasa khas yang dapat merangsang produksi air liur. Hal ini karena tanaman andaliman memiliki sifat karminativum (Hasairin, 1994). Andaliman mempunyai bunga lengkap dengan panjang ± 3mm (Tensiska, 2001).
Daunnya tersebar, bertangkai, majemuk menyirip beranak daun gasal, panjang 5-20 cm dan lebar 3-15 cm, memiliki kelenjar minyak (Gambar 4.2.1). Tangkai daun bersayap dengan permukaan berduri, begitu pula dengan anak daun. Permukaan atas daun berwarna hijau mengkilat dan permukaan bawahnya hijau muda atau pucat, sedangkan pada daun muda permukaan bawahnya berwarna hijau kemerahan (Siregar, 2003 dan Wijaya 2000). Bunga aksilar, majemuk terbatas, anak payung menggarpu majemuk, berkelamin dua, berwarna kuning pucat. Buahnya berbentuk kapsul, bulat hijau kecil seperti lada (merica), jika sudah tua berwarna merah. Tiap buah memiki satu biji yang berwarna hitam (Wijaya, 2000; Sibuea, 2002 and Siregar, 2003).
a
b
Gambar 2.4.1 a. Andaliman dan b. Buah Andaliman
Universitas Sumatera Utara
xix
Menurut Hsuan Keng (1978) dalam Wijaya (1999), sistematika tanaman andaliman adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Klass
: Angiospermae
Sub klass
: Dicotyledoneae
Ordo
: Rutales
Family
: Rutaceae
Genus
: Zanthoxylum
Spesies
: Zanthoxylum acanthopodium DC. Andaliman adalah tanaman liar dan langka. Tanaman ini sulit dibudidayakan.
Andaliman tumbuh pada ladang atau lahan bukaan baru di hutan belantara. Andaliman bukan ditanam, seperti cabai, merica, dan sayur mayur lainnya. Biasanya andaliman tumbuh begitu saja. Andaliman mengandung senyawa terpenoid yang mempunyai aktivitas antioksidan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan dari berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi serta perubahan warna dan aroma makanan. Tumbuhan yang mengandung terpenoid juga dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba. Hal ini memberikan peluang bagi andaliman sebagai bahan baku senyawa antioksidan atau antimikroba bagi industri pangan dan farmasi (Wijaya, 2000).
Saat ini andaliman diperhitungkan menjadi senyawa aromatik dan minyak esensial. Masyarakat Himalaya, Tibet dan sekitarnya menggunakan tanaman ini sebagai bahan aromatik, tonik, perangsang nafsu makan dan obat sakit perut (Hasairin, 1994). Manfaat lain buah andaliman berdasarkan penelitian adalah sebagai insektisida untuk menghambat pertumbuhan serangga Sitophilus zeamais. Efeknya berupa daya tolak makan serangga dan daya mengurangi makan selera serangga (Andayanie, 2000).
Universitas Sumatera Utara
xx
Salah satu jenis andaliman dari Cina diimpor oleh Amerika dan digunakan untuk mencegah penyebaran penyakit kanker pada tanaman jeruk (Katzer, 2004). Di Jepang, daun andaliman digunakan untuk pemberi aroma dan untuk dekorasi. Antioksidan ekstrak andaliman kemungkinan dapat dicoba diaplikasikan pada sistem akeous seperti minuman kaya β-karoten, sup, soto, minuman fungsional kaya rempah, minuman ringan, pada banyak minyak/lemak, produk pangan berlemak yang dipanggang serta produk pangan berlemak yang memiliki pH netral (Tensiska, 2001).
Hasil pengujian aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa ekstrak buah andaliman bersifat bakterisidal terhadap bakteri Bacillus stearothermophilus, Pseudomonas aeruginosa, Vibrio cholera, dan Salmonella thypimurium. Selain itu andaliman juga mampu menghambat Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, dan Staphylococcus thyposa (Andayanie, 2000).
2.5 Kerusakan Makanan dan Bahaya Fungi Kontaminan pada Makanan
Kerusakan makanan dapat didefinisikan bahwa makanan tersebut
telah rusak
sehingga manusia tidak ingin atau tidak dapat mengkonsumsi makanan tersebut. Kerusakan makanan dapat terjadi karena serangga, kerusakan fisik atau kerusakan lainnya seperti memar, rusak karena temperatur dingin, aktivitas enzim dan kerusakan akibat mikroorganisme (Pitt and Hocking, 1993).
Makanan merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan untuk melangsungkan kehidupannya. Namun, makanan dapat menjadi sumber penyakit jika tidak memenuhi kriteria sebagai makanan baik, sehat dan aman. Berbagai kontaminan dapat mencemari bahan pangan dan pakan sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Fungsi makanan yaitu menjaga keberlangsungan hidup dan menjaga agar makhluk hidup sehat lahir dan batin. Selain itu, kualitas makanan yang dikonsumsi dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup dan perilaku makhluk hidup itu sendiri. Oleh karena itu, setiap makhluk hidup selayaknya berusaha untuk mendapatkan makanan yang baik. Makanan yang dikonsumsi harus baik ditinjau dari
Universitas Sumatera Utara
xxi
segi fisik dan psikologis, karena kualitas makanan berpengaruh terhadap kualitas makhluk hidup, terutama manusia (Maryam, 2002).
Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh seperti kondisi dan lingkungan, yang menjadikan layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan. Kontaminan yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh fungi. Kontaminasi mikotoksin pada makanan sulit dihindari dan merupakan masalah global, terutama di Indonesia yang mempunyai iklim yang sangat mendukung pertumbuhan fungi penghasil mikotoksin. Umumnya kontaminasi mikotoksin terjadi pada komoditi pertanian dan hasil olahannya, atau pada bahan makanan yang disimpan terlalu lama. Mikotoksikosis dapat terjadi karena adanya rantai makanan yang saling berkaitan, dimana pemaparan mikotoksin ke dalam tubuh terjadi karena konsumsi bahan pangan yang sudah tercemar (efek primer) dan konsumsi produk hewani (efek sekunder) (Maryam, 2002).
Dari begitu banyaknya jenis mikotoksin yang telah ditemukan, aflatoksin merupakan mikotoksin yang paling banyak dijumpai di alam terutama di negara beriklim tropis, dan mempunyai toksisitas yang lebih tinggi dari mikotoksin lainnya. Namun, toksisitas mikotoksin tergantung beberapa faktor seperti dosis, rute pemaparan, lamanya pemaparan, spesies, umur, jenis kelamin, status fisiologis ( kesehatan dan gizi), serta adanya efek sinergis dari berbagai mikotoksin dalam makanan. (Maryam, 2002a).
Selama penyimpanan, makanan atau bahan makanan sangat mudah ditumbuhi oleh fungi. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan fungi penghasil mikotoksin. Kontaminasi mikotoksin tidak hanya menurunkan kualitas bahan pangan/pakan dan mempengaruhi nilai ekonomis, tetapi juga membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Berbagai penyakit dapat ditimbulkan oleh mikotoksin, seperti kanker hati yang disebabkan oleh aflatoksin, salah satu jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis (Maryam, 2002).
Universitas Sumatera Utara
xxii
Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin (Cole and Cox, 1981), lima jenis diantaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, yaitu aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesena (deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin. Menurut Bhat dan Miller (1991) sekitar 25-50% komoditas pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin tersebut. Penyakit yang disebabkan karena adanya pemaparan mikotoksin disebut mikotoksikosis.
Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal and Karyadi, 1985). Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu (Bahri et al., 1995), telur (Maryam et al., 1994), dan daging ayam (Maryam, 1996). Sudjadi et al (1999) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. Aflatoksin terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg.
2.6 Fungi Perusak Makanan
2.6.1. Aspergillus
Aspergillus adalah suatu genus yang besar, terdiri lebih dari 100 spesies, sebagian besar tumbuh dengan baik pada kultur laboratorium. Aspergillus merupakan fungi yang mempunyai arti penting karena menyerang berbagai jenis bahan pangan di gudang
penyimpanan
dan
banyak
spesiesnya
yang
menghasilkan
toksin
(Dharmaputra, 2003b). Toksin yang dihasilkan disebut mikotoksin. Salah satu yang paling berbahaya adalah aflatoksin yang diproduksi oleh A. flavus dan A. parasiticus. Kemampuan aflatoksin menyebabkan kerusakan hati telah ditunjukkan pada hewan menyusui, ikan dan burung. Karsinoma hati oleh aflatoksin diketahui terjadi pada anak-anak itik, ikan trout, tikus dan sebangsa lingsang. Perannya dalam penyakit manusia pada umumnya bergantung keadaan, tetapi kenyataannya banyak makanan yang dimakan manusia terkontaminasi oleh aflatoksin (Volk & Wheleer, 1989).
Universitas Sumatera Utara
xxiii
Aspergillus mempunyai warna yang bervariasi. Struktur tubuh buah semua spesies mempunyai kepala seperti ragbol dapat sederhana (hanya mempunyai fialid) atau lebih kompleks (mempunyai metula dan fialid). Beberapa spesies membentuk struktur membulat keras yang disebut sklerotium.
Universitas Sumatera Utara