BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring Nasofaring merupakan bagian faring yang terletak paling atas oleh karena itu disebut juga dengan epifaring. Nasofaring secara anatomis terletak di bagian belakang dari rongga hidung dan mempunyai batas mulai dari dasar tengkorak sampai ke palatum mole. Atap nasofaring dibentuk oleh basis sphenoid dan basis oksipital, dinding posterior di bentuk oleh vertebra, dasar nasofaring dibentuk oleh palatum mole, dinding depan dibentuk oleh koana, serta dinding lateral dimana ditemukan muara tuba eustachius seperti yang terlihat pada gambar 1 dibawah ini (Dhingra 2007).
Gambar 1. Anatomi nasofaring (Wei 2006).
KNF dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya sekitar 75-90% menyerang usia 30-60 tahun. Di dunia barat, KNF merupakan jenis tumor
Universitas Sumatera Utara
yang jarang. Di Amerika Serikat kurang dari 1% dari seluruh kanker. Angka kejadian di Amerika dan Eropa bervariasi antara 0,22 sampai 0,5 per 100.000 populasi. Sebaliknya, KNF mempunyai prevalensi yang luas di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika Utara dengan insidensi yang lebih tinggi dibandingkan bagian dunia yang lain (Dhingra 2007). Usia insidensi KNF berbeda dengan kanker lainnya. Di Cina KNF mulai muncul pada usia 15-19 tahun. Pada pria, KNF sering ditemukan pada usia 15-34 tahun dan mencapai puncaknya usia 35-64 tahun kemudian menurun setelah usia tersebut (Chew 1997). Dari data rekam medik di RSUP H. Adam Malik Medan, jumlah penderita KNF yang datang berobat dari Januari 2006-Desember 2009 ditemukan 335 orang dengan rentang usia 12-81 tahun (Puspitasari 2011). Diyakini bahwa terdapat sejumlah faktor lingkungan bersama dengan faktor genetik/host yang mungkin bertanggung jawab terhadap penyebab kanker ini. Ho menyatakan sedikitnya ada 3 faktor etiologi yaitu infeksi Virus Epstein-Barr, kerentanan genetik dan faktor lingkungan yang berperan dalam tingginya insidensi KNF di Cina (Kumar 2003). KNF merupakan proses keganasan pada manusia yang berasal dari sel epithelium yang berada pada rongga nasofaring. KNF merupakan salah satu contoh keganasan yang menyerang pada manusia dan secara konsisten selalu dihubungkan dengan infeksi virus. Genome dari Virus Epstein-Barr ditemukan di dalam semua sel KNF (Lutzky et al. 2008). Walaupun gejala pasien dengan KNF tidak spesifik dan hampir semua pasien dengan penyakit ini tidak dapat didiagnosis pada tingkat awal, gejala yang tidak spesifik ini dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok: 1. Massa di nasofaring: epistaksis, obstruksi nasal (insidensi 73%). 2. Disfungsi
tuba
eustachius:
perasaan
penuh
pada
telinga,
berkurangnya pendengaran (62%).
Universitas Sumatera Utara
3. Erosi dasar tengkorak dan lumpuhnya saraf kranial: nyeri kepala, diplopia, perasaan baal (35%). 4. Massa leher: leher atas (76%). Berdasarkan penelitian, saraf kranial yang paling sering dipengaruhi adalah III, V, VI dan XII (Plant 2009). Otitis media serosa dijumpai pada 41% pasien dari 237 pasien yang baru terdiagnosa KNF. Sehingga apabila seorang pasien dewasa, ras cina datang dengan gejala ini, seorang ahli THT harus mempertimbangkan kemungkinan KNF (Wei 2006). Gejala hidung dapat berupa epistaksis, sekret hidung dan saliva bercampur darah pada saat membuang sumbatan hidung. Ozaena terjadi sebagai akibat nekrosis tumor dan khas pada KNF stadium lanjut. Karsinoma nasofaring memiliki kecenderungan untuk cepat menyebar ke kelenjar limfe. Metastase kelenjar limfe bilateral dan kontralateral sering dijumpai (Chew 1997). Diagnosis dari KNF sulit karena lokasi anatomisnya. Sering, penyakit secara klinis tidak menimbulkan gejala sampai menyerang struktur yang berdekatan dan menghasilkan gejala (Titcomb Jr 2001). Ketika pasien datang dengan gejala KNF, mereka harus dievaluasi secara klinis tanda-tanda fisik KNF (misalnya, keberadaan kelenjar getah bening di leher, cairan di telinga tengah, dan keterlibatan saraf kranial) (Wei 2006). Diagnosis dapat kita lakukan melalui langkah-langkah berikut ini (Brennan 2006): 1. Evaluasi gejala klinis dan ukuran serta lokasi dari kelenjar limfe servikal. 2. Nasofaringoskopi untuk mengetahui adanya tumor primer. 3. Pemeriksaan neurologis nervus kranialis. 4. CT-Scan/MRI dari kepala. 5. Foto
thorax
(AP
dan
Lateral)
untuk
mengetahui
adakah
penyebaran ke paru.
Universitas Sumatera Utara
6. Scintigraphy tulang untuk melihat penyebaran ke tulang. 7. Pemeriksaan darah lengkap. 8. Ureum, elektrolit, kreatinin dan fungsi hati. 9. Biopsi dari kelenjar limfe dan tumor primer untuk pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan radiologi yang lebih baik untuk KNF adalah CT-Scan dengan kontras dan MRI dengan enhancement. Umumnya buku onkologi lebih menganjurkan pemeriksaan MRI dari pada CT-Scan karena dapat memberikan detail yang lebih baik tentang perluasan dan keterlibatan intrakranial. Sebaliknya, CT-Scan dapat menunjukkan adanya erosi tulang. Faktor-faktor ini penting untuk menentukan stadium penyakit (Jeyakumar et al. 2006). Pada tahun 1978, WHO mengajukan klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan
konsep
Shanmugartnam
dan
Sobin.
Menurut
WHO
karsinoma nasofaring dibagi dalam tiga subtipe: (1). Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (WHO tipe I), (2). Non keratinizing Squamous Cell Carcinoma (WHO tipe II), (3). Undifferentiated Carcinoma (WHO tipe III). Pada tahun 1991, WHO kembali mengklasifikasikan karsinoma nasofaring atas : a. Squamous Cell Carcinoma dengan subtipe Keratinizing Squamous Cell Carcinoma b. Non Keratinizing Carcinoma yang dibagi atas Differentiated dan Undifferentiated (Brennan 2006). Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010: Tumor Primer (T) TX
Tumor primer tidak dapat dinilai
T0
Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis
Karsinoma in situ
T1
Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring.
Universitas Sumatera Utara
T2
Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.
T3
Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal
T4
Tumor dengan perluasan
intrakranial dan/atau terlibatnya
syaraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ruang mastikator.
KGB Regional (N) NX
KGB regional tidak dapat dinilai
N0
Tidak ada metastase ke KGB regional
N1
Metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.
N2
Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular.
N3
Metastase pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa supraklavicular:
N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm N3b Meluas ke fossa supraklavikular
Metastase Jauh (M) M0
Tanpa metastase jauh
M1
Metastase jauh
Kelompok stadium : 0
Tis
N0
M0
I
T1
N0
M0
II
T1
N1
M0
T2
N0
M0
Universitas Sumatera Utara
T2
N1
M0
T1
N2
M0
T2
N2
M0
T3
N0
M0
T3
N1
M0
T3
N2
M0
T4
N0
M0
T4
N1
M0
T4
N2
M0
IVB
setiap T
N3
M0
IVC
setiap T
setiap N
M1
III
IVA
Berdasarkan lokasinya, nasofaring berdekatan dengan struktur penting dan sifat infiltrasi dari KNF menyebabkan pembedahan terhadap tumor primer sulit dilakukan. Akan tetapi KNF bersifat radiosensitif sehingga radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama bertahun-tahun. KNF umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya (Wei 2006; Guigay et al. 2006). Terapi supervoltase yang juga diberikan kepada kelenjar limfe di sekitarnya dengan dosis 6000-7000 rad. Tumor yang persisten ataupun berulang dapat diatasi dengan radioterapi siklus ke dua (Dhingra 2007). Pemberian radioterapi telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada pasien dengan N0 dan N1, tapi tingkat kontrol regional berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3 (Wei 2006). Pada karsinoma nasofaring stadium III dan IV, dapat diterapi hanya dengan
radioterapi,
tetapi
angka
keberhasilan
meningkat
jika
dikombinasikan dengan kemoterapi. Tujuan dari kemoterapi pada karsinoma nasofaring adalah untuk meningkatkan penatalaksanaan secara lokal juga mencegah metastase jauh (Dhingra 2007).
Universitas Sumatera Utara
Kemoterapi sebagai komponen terapi kuratif utama pada KNF pertama kali dipergunakan pada tahun 1970-an. Bahkan pada pasien yang gagal dengan radioterapi tunggal atau dengan metastasis sistemik menunjukkan response rate yang tinggi terhadap penggunaan kemoterapi. Kombinasi 5FU dan cisplatin (cisdiamine-dichloroplatinum) telah terbukti mempunyai efek sitostatika secara sinergis pada sel kanker manusia. Dosis cisdiamine-dichloroplatinum (CDDP) adalah 100 mg/m2 dengan bolus infus diberikan pada hari pertama dan dosis 5 FU 1000 mg/m2/hari diberikan dengan infus selama 24 jam pada hari 1-5. Siklus diulang setiap 4 minggu. Kemoterapi diberikan 2-4 siklus (Scanlon et al. 1986; Mould & Tai 2002; Yeh et al. 2006). National Comprehensive Cancer Network (2010), mengajukan suatu skema penatalaksanaan karsinoma nasofaring (gambar 2) dengan kombinasi kemoterapi dan radioterapi.
Gambar 2. Terapi karsinoma nasofaring berdasarkan NCCN (2010)
Universitas Sumatera Utara
2.2 Tumor Necrosis Factor (TNF-α) Pada beberapa keganasan, kondisi peradangan muncul sebelum proses malignansi. Sebaliknya pada proses keganasan yang lain, bahan onkogen justru memicu perubahan pada inflammatory microenvironment yang
dapat
membantu
pertumbuhan
dan
perkembangan
tumor
(Mantovani et al. 2008). Peradangan adalah bagian dari respon host terhadap rangsangan lingkungan baik internal maupun eksternal. Respon ini berfungsi untuk menetralkan hasil yang dikeluarkan oleh rangsangan tersebut terhadap host. Respon ini bisa pirogenik, seperti demam. Ketika peradangan akut atau demam dimanifestasikan untuk jangka waktu yang singkat, ia memiliki konsekuensi terapeutik. Namun, ketika peradangan menjadi kronis atau berlangsung terlalu lama, dapat berbahaya dan dapat menyebabkan penyakit. Peradangan kronis telah dikaitkan untuk berbagai hal yang terlibat dalam tumorigenesis, termasuk transformasi seluler, promosi, kelangsungan hidup, proliferasi, invasi, angiogenesis dan metastasis (Aggarwal et al. 2006; Schetter, Heegaard & Harris 2010). Sitokin merupakan suatu molekul mediator untuk respon imun dan peradangan. Molekul-molekul ini mempunyai fungsi seluler yang sangat luas dan terstimulasi ketika homeostasis jaringan berubah. Sitokin dapat di kelompokkan menjadi pro-inflammatory (IL1, IL6, IL15, IL17, IL23, dan TNF-α), atau anti-inflammatory (IL4, IL10, IL13, transforming growth factor (TGFβ) dan interferon (IFNα). Bergantung pada keseimbangannya, sitokin menghasilkan efek sebagai pro- atau anti-tumorigenik (gambar 3) (Schetter, Heegaard & Harris 2010). TNF-α telah ditemukan 30 tahun yang lalu, dan merupakan suatu sitokin pro-inflammatory yang mempunyai peranan penting dalam sistem imunitas, proses peradangan, serta mengontrol proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis dari sel (Cho et al. 2003; Van Horssen, Tenhagen & Eggermont 2006).
Universitas Sumatera Utara
Pertama kali diidentifikasi sebagai sitokin anti-tumor pada sistem imunitas innate dan adaptif. TNF-α diperlukan juga untuk proliferasi dan fungsi yang normal dari NK cells, sel T, sel B, makrofag, dan sel dendrit, serta bertindak sebagai molekul yang penting dalam menghancurkan tumor tertentu. Akan tetapi bukti yang terbaru menunjukkan bahwa TNF-α merupakan suatu mediator utama pada cancer-related inflammation dan juga berperan sebagai tumour-promoting factor (Wu & Zhou 2010).
Gambar 3. Interaksi antara sel tumor dan sel imun (Lin & Karin 2007)
Pada akhir-akhir ini, kuat dugaan bahwa sitokin pro-inflammatory mempunyai peranan penting dalam tumorigenesis oleh karena data yang
Universitas Sumatera Utara
berasal dari percobaan hewan menunjukkan sitokin-sitokin ini terlibat dalam pembentukkan kanker (Huang et al. 1999). Oberyszyn et al. (1993) menunjukkan bahwa produksi sitokin proinflammatory seperti IL-1α, TNF-α, dan granulocyte macrophage colonystimulating factor memicu infiltrasi leukosit dan pembentukkan karsinoma pada tikus yang diberi perlakuan dengan 12-O-tetradecanoylphorbol-13acetate (Huang et al. 1999). TNF-α manusia merupakan polipeptida 26 kDa yang aktif secara biologis sebagai protein transmembran dan terdapat pada berbagai macam permukaan sel hematopoetik dan non-hematopoetik. TNF-α signals melalui 2 reseptor yang berbeda antara lain TNFRI/p55/CD120a dan TNFRII/p75/CD120b dimana reseptor ini ditemukan di kebanyakan sel.
Melalui
cross-linking
TNFRI
berikatan
dengan
molekul
TNFR-associated DD (TRADD) yang akan membantu perekrutan dan pengaktifan pro-caspase 8 sehingga akan memicu cascade apoptosis. TNFRI juga dapat memicu anti-apoptosis dan jalur aktivasi yang dinamakan aktivasi faktor transkripsi NF-κB melalui kinases receptorinteracting protein dan NF-κB-inducing kinase serta transcription factor AP-1 melalui perekrutan TRAF2 (TNFR-associated factor-2) dan aktivasi MEKK1/JNKK/JNK pathway seperti yang terlihat pada gambar 4 dibawah ini. Peran dari 75 kDa TNFRII masih dalam perdebatan. Di duga TNFRII mengikat TNF-α dan mentransfernya ke TNFRI (Mitsiades et al. 2003; Morrison et al. 2004). TNF-α mengaktifkan TNFRI, 55 kDa protein membran plasma dengan C-terminal death domain analog dengan CD95 (Fas/APO-1). CD95 dan TNFR1 memicu apoptosis melalui Fas-associated protein dengan death domain (FADD), yang mengaktifkan ICE-related protease (caspase) cascade. Namun juga TNFR1 mengaktifkan faktor transkripsi NF-kB yang memungkinkan
untuk
transkripsi
gen
baru.
Selain
itu,
TNFR1
mengaktifkan Jun kinase (JNK), yang menyebabkan peningkatan aktivitas AP-1 (gambar 4) (Rolfe et al. 1997; Yang et al. 2005).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Signaling pathway TNF-α melalui reseptornya (Cai et al. 2008) TNF-α mempunyai peran yang bimodal pada perkembangan tumor. Pemberian lokal dengan dosis yang tinggi dari TNF-α memiliki efek antiangiogenik dan mempunyai efek anti tumor yang sangat kuat, di lain pihak TNF-α yang dihasilkan secara kronik di dalam microenvironment tumor dapat meningkatkan pertumbuhan dan sifat invasif tumor dengan memicu sitokin/kemokin lain yang terlibat di dalam progresi tumor (seperti IL-6 dan CCL2), faktor proangiogenik (seperti VEGF, basic fibroblast growth factors, CXCL8 dan thymidine phosphorilase) dan matrix metalloproteinases (MMPs). Suatu bukti peran TNF-α dalam malignansi terlihat dari percobaan pada tikus dengan TNF-α dan TNFR yang telah di knockout akan resisten terhadap skin carcinogenesis (Madhusudan et al. 2005). TNF-α dikenal sebagai salah satu sitokin yang mempunyai banyak kegunaan dan menghasilkan efek yang berbeda-beda antara lain, dapat bertindak sebagai mediator normal pada homeostasis jaringan, memiliki
Universitas Sumatera Utara
efek patofisiologis pada konsentrasi yang tinggi dan ditemukan pada berbagai macam jaringan (Von Wolff et al. 1999). Walaupun pertama kali diduga sebagai produk dari makrofag, TNF-α pada akhir-akhir ini juga di hasilkan oleh berbagai jenis sel tumor, termasuk sel B limfoma, sel T limfoma, megakaryoblastik leukemia, akut myeloblastik leukemia (AML), kronik limfositik leukemia (CLL), kanker payudara, karsinoma kolon, karsinoma paru, skuamous sel karsinoma, karsinoma ovarium, cervical epithelial ovarian cancer, gliobalstoma, dan neuroblastoma (Aggarwal et al. 2006). TNF-α mempunyai peranan yang penting pada hubungan peradangan dengan keganasan. TNF-α berperan dalam pertumbuhan dan perubahan struktur jaringan sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tumor dan metastasis. TNF-α juga dapat menginduksi produk sitokin lain, faktor angiogenik, dan MMPs, dimana semuanya dapat meningkatkan ukuran tumor dan kelangsungan hidup sel tumor (Wu & Zhou 2010). 2.3 Peran TNF-α dalam Perkembangan Kanker TNF-α terlibat dalam semua jalur dalam tumorigenesis. Pertama, TNF-α memicu pembentukan dan perkembangan tumor, hal ini dapat terjadi oleh karena mediasi dari aktivitas nuclear factor-κB (NF-κB), PKCαdan AP-1 dependent pathways. NF-κB mempunyai peranan penting dalam perkembangan tumor yang di picu oleh TNF-α. Pada percobaan dengan sel epidermal JB6 tikus, pemberian TNF-α dapat meningkatkan aktivitas NF-κB pada dose-dependent (Wu & Zhou 2010). Kedua, TNF-α dapat meningkatkan proliferasi sel tumor, dimana TNF-α bertindak sebagai mutagen yang menyebabkan proliferasi dan kelangsungan hidup dari sel tumor tanpa memicu diferensiasi sel. Sebagai tambahan, TNF-α tidak hanya bertindak sebagai autokrin growth factor namun juga dapat memicu ekspresi growth factors yang lain seperti amphiregulin, EGFR, dan TGF-α sehingga dapat meningkatkan proliferasi sel tumor (Wu & Zhou 2010).
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, TNF-α dapat meningkatkan tumor angiogenesis melalui beberapa faktor angiogenik seperti IL8 dan VEGF. Bila fungsi dari TNF-α di netralisir dengan menggunakan antibodi poliklonal maka akan menghentikan aktivitas angiogenesis dari TNF-α sepenuhnya (Wu & Zhou 2010). 2.4 Penilaian TNF-α Salah satu cara untuk menilai TNF-α pada sel yaitu melalui pemeriksaan imunohistokimia dimana pemeriksaan ini menilai reaksi antigen-antibodi terhadap TNF-α. Apabila timbul reaksi positif maka akan menghasilkan reaksi imun berupa warna coklat pada sitoplasma. Reaksi ini kemudian dihitung secara semikuantitatif dengan skor 0: berarti negatif, 1: pewarnaan positif < 10% jumlah sel, 2: pewarnaan positif 10-50% jumlah sel dan 3: pewarnaan positif > 50% jumlah sel (Calabrese et al. 2004). 2.5 Angiogenesis Angiogenesis
penting
pada
proses
remodelling
vaskular
dan
penyembuhan luka namun juga dapat terjadi pada beberapa kondisi patologis seperti rheumatoid artritis, retinopati diabetik, psoriasis dan kanker (Amalinei et al. 2010). Angiogenesis merupakan proses yang kompleks dimana terbentuknya pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang telah ada, yang melibatkan interaksi multipel antara sel endotelial, perisit sekitar dan sel otot polos, matriks ekstraseluler dan sitokin angiogenik (Rundhaug 2003). Hipotesa yang menyatakan bahwa tumor menghasilkan zat angiogenik telah ada sejak 1968. Pada tahun 1971, Folkman menyatakan bahwa perkembangan
tumor
dan
metastasis
sangat
bergantung
pada
angiogenesis sehingga jika dilakukan inhibisi terhadap angiogenesis dapat menghambat perkembangan tumor. Tahun 1976, Gullano menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa sel pada jaringan pre kanker membutuhkan kemampuan angiogenik untuk membuat sel tersebut berubah menjadi ganas (Carmeliet & Jain 2000) Angiogenesis adalah hal yang sangat dibutuhkan dalam nutrisi dan oksigenasi sel tumor. Hal ini penting untuk proliferasi dan penyebaran metastasis neoplasma padat (Taweevisit, et al. 2010). Pang dan Poon (2006), menyatakan bahwa tumor padat bermula pada nodul avaskuler yang dorman yang hanya dapat tumbuh dan berkembang apabila mendapat vaskularisasi. Neovaskularisasi harus terjadi sebagai sumber oksigen dan nutrisi pada sel tumor. Lebih lanjut lagi, pembuluh darah baru imatur meningkatkan masuknya sel tumor ke dalam sirkulasi sehingga menimbulkan metastasis jauh. Pada saat ini juga diketahui bahwa ketergantungan neovaskularisasi tidak hanya pada tumor padat, tapi juga berperan dalam perkembangan malignansi hematologis. Pengetahuan
tentang
peranan
fundamental
angiogenesis
pada
pertumbuhan tumor telah menyebabkan ketertarikan yang besar dalam penelitian mekanisme regulasinya dan implikasi klinis pada penanganan pasien kanker pada tiga dekade terakhir ini. Proses angiogenesis di stimulasi ketika tumor membutuhkan zat gizi dan
oksigen.
Angiogenesis
diatur
oleh
molekul
aktivator
(faktor
angiogenik) dan inhibitor (faktor anti-angiogenik), akan tetapi peningkatan aktivitas dari faktor angiogenik itu sendiri belum cukup memadai untuk memicu angiogenesis karena aktivitas molekul inhibitor juga perlu diturunkan (Nishida et al. 2006). Angiogenesis bisa diawali oleh pelepasan faktor proangiogenik (seperti VEGF, bFGF, dan TNF-α) dari sel inflamasi, sel mast, makrofag atau sel tumor. Faktor ini akan berikatan dengan reseptor di permukaan sel endotel yang dapat merangsang proliferasi, meningkatkan ekspresi cell adhesion molecules (misalnya integrin α1β1, α2β1 dan α5β1) (Rundhaug 2003).
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan protein yang dapat menginhibisi angiogenesis seperti angiostatin, endostatin, interferon, platelet factor 4 dan tissue inhibitor of metalloproteinase-1, -2 dan -3 (Nishida et al. 2006). Pembentukan pembuluh darah baru dimulai dengan pelepasan faktor angiogenik yang berikatan dengan reseptor spesifik pada sel endotel dari pembuluh darah yang telah ada sehingga memicu proses angiogenesis. Proteinase seperti matrix metalloproteinases (MMPs) dan aktivator plasminogen diperlukan untuk menghancurkan matriks ekstraseluler di sekitar tunas pembuluh darah yang baru. Selama proses angiogenesis, molekul adesi sel endotel seperti integrin α v β 3 dan vascular adhesion molecule-1 membantu menghubungkan pembuluh darah baru dengan pembuluh darah yang telah ada sehingga membentuk jaringan pembuluh darah intratumoral (Pang dan Poon 2006) Angiogenesis terdiri dari dua fase. Fase pertama di tandai dengan adanya aktivasi dari sel endotel yang diam menjadi proliferatif dan bermigrasi. Mediator yang menyebabkan transisi ini antara lain TNF-α, IL-8 dan molekul adhesi seperti E-selectin. Growth factor seperti bFGF dan VEGF juga merupakan stimulator yang potensial untuk proliferasi serta migrasi sel endotel. Fase berikutnya adalah fase dimana sel endotel masuk kembali ke dalam pembuluh darah serta berhenti berproliferasi dan migrasi, hal ini diduga akibat aktivitas dari nitric oxide (NO) yang menginhibisi kerja dari mediator angiogenik (Hewala et al. 2010) Angiogenesis merupakan suatu persyaratan untuk pertumbuhan dan metastasis tumor. Neovaskularisasi memberikan bukan hanya jalur untuk suplai nutrisi, namun juga merupakan saluran sel tumor untuk masuk ke sirkulasi, oleh karena pembuluh darah yang baru berproliferasi memiliki membran basal yang lebih mudah dimasuki oleh sel tumor dibandingkan dengan pembuluh darah matur (Poon et al. 2002). Pertumbuhan dan metastasis tumor tergantung pada angiogenesis dan limfangiogenesis yang dipicu oleh sinyal kimia dari sel tumor pada fase pertumbuhan cepat (Nishida et al. 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.6 TNF-α dan Angiogenesis Pembentukan atau inhibisi terhadap angiogenesis dengan cara mengatur produksi sitokin telah ditemukan pada invitro maupun uji coba pada hewan. Salah satu contohnya adalah TNF-α, dimana TNF-α telah dilaporkan dapat menjadi mediator pada angiogenesis yang dipicu oleh makrofag. TNF-α dapat menginduksi ekspresi molekul proangiogenik seperti VEGF dan reseptornya VEGFRs (Guadagni et al. 2007). TNF-α
merupakan
sitokin
inflamatori
yang
dapat
memicu
angiogenesis. Namun studi terhadap sifat angiogenik dari TNF-α memberikan hasil yang kontradiktif. TNF-α dapat memicu angiogenesis pada invivo dan menstimulasi migrasi dari sel endotel, tetapi TNF-α menginhibisi aktivitas dari mitogen seperti bFGF dan VEGF di dalam sel endotel pada invitro. Oleh karena itu diduga bahwa sifat angiogenik dari TNF-α di mediasi oleh berbagai faktor angiogenik sekunder seperti platelet-derived growth factor, VEGF, IL-8 dan bFGF (Chen et al. 2004). Yoshida et al. (1997) menemukan bahwa TNF-α dapat meningkatkan produksi IL-8, VEGF dan bFGF dimana semuanya merupakan faktor angiogenik yang poten. Peningkatan ekspresi IL-8, VEGF dan bFGF beserta reseptornya terjadi di sel endotel pembuluh darah, sel stroma dan sel kanker. Berbagai macam faktor menjadi mediator terhadap efek proangiogenik dari TNF-α seperti VEGF dan reseptornya (VEGFR2), bFGF, IL-8, platelet-activating factor, Ephrin A (ligand untuk Eph family dari reseptor tyrosin kinase), NO, E-selectin, intercelluler adhesion molecule 1 (ICAM-1) dan thymidine fosforilase (Szlosarek, Charles & Balkwill 2006) Menurut Tomita et al. (2004) TNF-α dapat mempertahankan neovaskularisasi dari tumor dengan menginduksi hepatocyte growth factor (HGF) yang dapat menyebabkan metastasis ke paru-paru (Wu & Zhou, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Kuwano
(2004)
didapatkan bahwa IL-1α dan TNF-α secara signifikan meningkatkan produksi VEGF, IL-8, bFGF dan COX2 di dalam sel endotel dan sel kanker. 2.7 Microvessel Density (MVD) Microvessel density (MVD) merupakan marker terhadap proses neoangiogenesis yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan metastase tumor (Bono et al. 2002). Pengaruh angiogenesis terhadap prognosa dari keganasan telah banyak diteliti dengan cara melakukan pengukuran terhadap MVD. Pemeriksaan immunohistokimia untuk MVD menggunakan antibodi seperti CD 31, faktor VIII (Von Willebrand factor VIII) dan CD 34 (Bochner et al. 1995; Bono et al. 2002). Neovaskularisasi tumor dinilai secara kuantitatif dengan pemeriksaan immunohistokimia menggunakan marker endotelial untuk mewarnai microvessels yang tidak dapat terlihat pada pemeriksaan histologi konvensional. Setelah pewarnaan, seluruh bagian tumor dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran rendah (x40) untuk melihat “hot spot” yang merupakan area tumor dengan neovaskularisasi terbanyak. Microvessels kemudian dihitung dengan pembesaran tinggi (x200) dan jumlah pembuluh darah dalam lima area hot spot dinilai sebagai MVD (Pang dan Poon 2006). Pendekatan
patologis
untuk
memperkirakan
angiogenesis
dan
limfangiogenesis antara lain dengan perkiraan mikroskopik terhadap densitas pembuluh darah atau microvessel density dari jaringan dengan pemeriksaan immunohistokimia (Choi et al. 2005). Peningkatan MVD telah dihubungkan secara umum dengan prognosa yang lebih buruk pada beberapa kanker termasuk kanker payudara, kolon, melanoma dan saluran genitourinaria pada wanita (Taweevisit et al. 2010).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian tentang MVD pada karsinoma nasofaring pada umumnya mengenai penentuan nilai prognostik dari MVD. Penelitian-penelitian ini dilakukan baik secara manual maupun dibantu komputer dengan menggunakan berbagai antibodi penanda sel endotel dengan nilai batas yang berbeda-beda pula (Taweevisit et al. 2010). Beberapa penelitian juga telah menilai hubungan MVD dengan prognosis secara klinis pada tumor kepala leher dengan hasil yang bertentangan (Rao et al. 2011). 2.8 Kerangka Konsep Inflamasi
Makrofag, Limfosit Sel Dendrit, NK Cells
Sitokin
TNF-α
NF-κB IL-8
bFGF
VEGF
MMP 9
COX 2
ANGIOGENESIS MVD KARSINOMA NASOFARING • Ukuran tumor primer (T) • Pembesaran kelenjar getah bening leher (N) • Stadium klinis
Gambar 5. Kerangka konsep
Universitas Sumatera Utara
= Variabel Penelitian
Pada saat terjadi inflamasi sel imun seperti makrofag, limfosit, sel dendrit dan natural killer cells akan memicu produksi sitokin dimana salah satunya adalah TNF-α. Kemudian TNF-α akan memicu produksi IL-8 dan bFGF yang akan mempengaruhi terjadinya angiogenesis. TNF-α juga akan mempengaruhi faktor transkripsi NF-κB dimana akan memicu aktivitas
dari
VEGF,
MMP-9
dan
COX-2
yang
akhirnya
akan
mempengaruhi angiogenesis. Angiogenesis merupakan proses yang dibutuhkan oleh tumor dalam perkembangannya. 2.9 Hipotesis Ada korelasi antara ekspresi TNF-α dengan MVD pada karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara