BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesiapan Menikah Pada latar belakang, penulis telah menjelaskan seberapa penting kesiapan menikah untuk individu memasuki jenjang pernikahan. Hal ini dijelaskan oleh Olson dan Olson (1999) bahwa individu yang memasuki pernikahan kadang terlalu sibuk mempersiapkan upacara dan acara pernikahan sehingga melupakan hal lain yang penting untuk mempertahankan pernikahan itu sendiri, yaitu kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dalam pernikahan. Kemampuan-kemampuan dasar yang dibutuhkan dalam pernikahan seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan dalam finansial, dan kemampuan-kemampuan lain sangatlah penting dalam menentukan keberhasilan pada awal pernikahan sebuah pasangan (Fowers & Olson, 1992). Kurangnya kemampuankemampuan tersebut dapat terlihat dari tingkat perceraian yang tinggi pada pasangan individu yang belum lama menikah pada saat studi dilakukan yaitu, 50% (Olson & DeFrain, 1997, dalam Olson & Olson). Dengan permasalahan tersebut, pada tahun 1978, inventori PREPARE/ENRICH dikembangkan berdasarkan indikator-indikator teoritis dan empiris dari permasalahan-permasalahan dan konflik-konflik yang umum terjadi pada pernikahan. Indikator ini terdiri dari 4 kelompok utama yaitu personality issues, intrapersonal issues, interpersonal issues, dan external issues. Pada studi yang dilakukan Fowers dan Olson (1992) disimpulkan bahwa kepuasan dan keberhasilan pernikahan dapat diprediksi dari kualitas hubungan sebelum menikah dan pernikahan dapat ditingkatkan dan distabilisasi melalui intervensi sebelum pernikahan. Intervensi yang dilakukan akan lebih sesuai, efektif dan efisien bila sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pasangan yang akan menikah. Maka dari itu, Fowers dan Olson (1992) mengembangkan tipologi pasangan bertunangan berdasarkan inventori PREPARE agar dapat membantu dalam menemukan intervensi yang sesuai. Mereka pun menemukan adanya 4 tipe pasangan yaitu, vitalized couples, harmonious couples, traditional couples, dan conflicted couples. Karakteristik dari tipe-tipe di atas dijabarkan, sebagai berikut: 1.
Vitalized couples adalah pasangan yang memiliki tingkat kepuasan yang tinggi pada keseluruhan
9
10
hubungannya. Pasangan ini memiliki nilai yang tinggi pada kenyamanan dalam mendiskusikan hubungannya masing-masing, dan menyelesaikan masalahnya bersama-sama. Mereka juga senang dengan bagaimana mereka menghabiskan waktu bebasnya bersama dan menyatakan kesepakatan bersama mengenai masalah finansial dan pola asuh. Pasangan tipe ini, melihat agama sebagai hal yang penting, dan mengindikasikan preferensi yang kuat untuk pola peran egalitarian. 2.
Harmonious couples memiliki tingkat kepuasan yang sedang pada keseluruhan hubungannya. Pasangan ini menyatakan bahwa secara relatif mereka puas akan kepribadian dan perilaku pasangannya, merasa dimengerti oleh pasangannya, dapat mendiskusikan perasaanperasaannya, dapat menghadapi perbedaan-perbedaan pada pasangannya, dan merasa nyaman dengan teman-teman dan keluarga pasangannya. Tapi bagaimanapun, pasangan ini memiliki pandangan yang tidak relaistis terhadap pernikahan, dan belum mencapai kesepakatan dalam permasalahan yang berhubungan dengan anak. Mereka juga mengindikasikan bahwa agama bukan merupakan hal yang penting dalam hubungannya.
3.
Traditional couples memiliki ketidakpuasan pada area interaksional hubungan mereka, tapi memiliki kekuatan dalam area-area yang melibatkan pengambilan keputusan dan perencanaan masa depan. Pasangan ini menyatakan ketidakpuasan dalam kebiasaan-kebiasaan pasangannya, membicarakan perasaan-perasaannya, dan menghadapi konflik. Pasangan ini memiliki pandangan realistis terhadap pernikahan dan menganggap agama sebagai hal yang sangat penting.
4.
Conflicted couples mengindikasikan kesulitan pada semua skala PREPARE. Pasangan ini menyatakan ketidakpuasannya terhadap kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan pasangannya. Terdapat masalah dalam kemampuan mereka untuk berkomunikasi dan mendiskusikan masalah, juga dalam hubungan seksual mereka, dan hubungan dengan teman-teman dan keluarga pasangan satu dengan lainnya. Pada tahun 2003, Risnawaty mengadaptasi PREPARE/ENRICH ke dalam bahasa
Indonesia, yang kemudian dinamakan Inventori Kesiapan Menikah. Inventori Kesiapan Menikah lebih banyak mengadaptasi pada kategori interpersonal issues, hal ini
11
dikarenakan inventori tersebut tidak hanya mengevaluasi individu itu sendiri tapi bagaimana hubungannya dengan pasangannya. Inventori Kesiapan Menikah pun diadaptasi lebih dalam oleh Wiryasti pada tahun 2004, yang kemudian berubah nama menjadi Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah. Menurut Wiryasti sendiri (2004), kesiapan menikah adalah kemampuan individu untuk siap menjalankan peran barunya sebagai suami atau istri dengan adanya kematangan pribadi, yaitu adanya komitmen pada masing-masing individu yang masuk ke dalam hubungan pernikahan sehingga tidak mengganggu minat-minat. Selanjutnya, sebaiknya individu sudah berpengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, sehingga individu mengetahui dan mengerti aturan dan tuntunan dalam suatu hubungan. Individu pun minimal berada pada tahap dewasa muda yang menjadikan pernikahan sebagai salah satu tugasnya pada tahap tersebut yaitu tugas mencari jati dirinya. Kesiapan lainnya adalah kesiapan penunjang seperti memiliki sumber finansial, dan telah selesainya studi yang dijalani. Bila studi individu belum selesai dijalani, takutnya akan berdampak kurang baik dikarenakan adanya peran ganda yang dimiliki individu, yaitu sebagai pelajar dan sebagai suami/istri. Arnett (2004) menyatakan bahwa keputusan kapan dewasa awal akan menikah ditentukan oleh diri mereka sendiri bukan lagi ditentukan oleh norma kebudayaan mereka. Untuk menilai kesiapan mereka akan menikah, individu pada tahap dewasa awal melihat ke dalam diri mereka sendiri dan bertanya kepada diri mereka sendiri mengenai kesiapan diri mereka, seberapa cukup kedewasaan mereka, dan apa mereka cukup mengetahui diri mereka sendiri. Adapula kesiapan menikah yang dijelaskan oleh Larson (dalam Ghalili, dkk., 2012) sebagai evaluasi subjektif akan kesiapan individu untuk melakukan tanggung jawabtanggung jawab dan tantangan-tantangan pernikahan. Kefalas dan kawan-kawan (dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2009) menyatakan bahwa individu dewasa awal kini sudah tidak lagi melihat pernikahan sebagai langkah yang tidak dapat terelakkan ke tahap kedewasaan, tapi lebih meyakini bahwa untuk menikah, individu sebaiknya sudah menjadi seseorang yang dewasa. Kebanyakan merencanakan untuk menikah, tapi hanya bila mereka sudah merasakan diri mereka sendiri siap, dan mandiri secara finansial dan memiliki pekerjaan yang tetap.
12
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesiapan menikah merupakah evaluasi individu terhadap diri individu, pasangan individu, dan hubungan individu dengan pasangannya. Evaluasi yang dilakukan individu adalah evaluasi mengenai aspek-aspek kesiapan menikah yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suamiistri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, dan perubahan pada pasangan dan pola hidup.
2.1.1 Aspek-Aspek Kesiapan Menikah Pada penelitiannya, Wiryasti (2004) menemukan adanya aspek-aspek pada kesiapan menikah yaitu: 1. Komunikasi. Pernikahan menggabungkan dua individu yang berbeda dimana dibutuhkannya komunikasi untuk mengakomodasikan perbedaan-perbedaan yang ada. Pada sebuah komunikasi terdapat dua hal yaitu, isi dan maksud, yang kadang dapat menjadi sumber terjadinya masalah bila tidak disampaikan dengan baik. Maka dari itu, dalam komunikasi sebaiknya dilakukan dengan terbuka, jujur, percaya, empati, dan keahlian dalam mendengarkan. 2. Keuangan. Permasalahan sering terjadi bila sebuah pasangan tidak memiliki sumber-sumber pendapatan yang mencukupi dan juga sering berkaitan dengan kesepakatan pengaturan keuangan oleh kedua indvidu yang ada pada hubungan tersebut. 3. Anak dan pengasuhan. Hal ini lebih ke kesepakatan dalam perencanaan memiliki anak atau tidak nantinya, dan juga perencanaan pola pengasuhan bila nantinya memiliki anak. 4. Pembagian peran suami-istri. Terdapat dua peran yaitu, peran domestik atau peran yang ada dalam rumah tangga dan peran publik atau peran di luar rumah tangga. Pada suatu pernikahan, terdapat dua tipe bagaimana sebuah pasangan berperan. Tipe pertama yaitu tipe tradisional dimana pembagian peran berdasarkan gender masing-masing. Lalu, ada tipe egalitarian dimana suami dan istri memiliki peran yang setara baik pada peran domestik maupun publik. 5. Latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar. Pada aspek ini, individu diharapkan untuk mengevaluasi pengetahuannya tentang latar belakang pasangan, dan juga hubungan individu dengan keluarga besar pasangan dan juga
13
sebaliknya. Penting pula untuk mengetahui persamaan dan perbedaan nilai-nilai yang ada pada masing-masing pasangan. 6. Agama. Pada aspek ini akan dilihat cara-cara individu menyepakati bersama dalam kehidupan beragama, dikarenakan ada kemungkinan individu yang memiliki agama yang berbeda dengan pasangannya. Ditemukan pula bahwa individu yang memiliki kesepakatan bersama dengan pasangan untuk berkomitmen tinggi pada agamanya terbukti memiliki pernikahan yang lebih berhasil dan memuaskan. 7. Minat dan pemanfaatan waktu luang. Pada aspek ini, individu diharapkan untuk menghargai dan menyepakati bersama mengenai minat-mintat individu dan pasangan, dan kegiatan bersama yang akan dilakukan untuk mengisi waktu luang. Pasangan yang memiliki minat dan kepentingan yang serupa atau sama lebih dapat saling menyesuaikan dirinya ke pasangan. 8. Perubahan pada pasangan dan pola hidup. Individu yang berada dalam suatu hubungan jangka panjang akan mendapatkan dirinya memiliki perubahanperubahan tertentu. Dengan pernikahan yang dilaksanakan, akan terjadi pula perubahan pola hidup yang drastis pada pasangan. Maka dari itu, individu yang hendak menghadapi pernikahan sebaiknya mendiskusikan perubahan-perubahan yang mungkin akan terjadi, tetap bersifat positif dan selalu berpartisipasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
2.1.2 Faktor-Faktor Lain Beberapa faktor-faktor penting lain dalam transisi ke pernikahan yang menentukan kesiapan dalam pernikahan (Holman & Li, 1997): 1. Usia. Usia merupakan salah satu dari faktor-faktor penting dalam menentukan kesiapan menikah. Pernikahan yang terjadi pada saat indivdu dalam tahun remajanya sering dikarenakan kehamilan dan hal tersebut dapat menyebabkan mereka meninggalkan pendidikannya dan dapat lebih merumitkan pernikahannya. 2. Tingkat kedewasaan. Tingkat kedewasaan individu yang juga merupakan hal yang penting yang harus diperhatikan. Seperti pada faktor usia, remaja seringkali
14
kurang cukup dewasa untuk mengatasi hubungan pernikahan. Hal ini disebabkan kurangnya keahlian dalam komunikasi, kecemburuan, atau kurangnya kesetiaan. 3. Waktu individu memasuki pernikahan. Berbeda dengan usia, waktu lebih ditentukan oleh individu itu sendiri, karena pada beberapa orang, mereka tidak menikah hanya karena mereka memang belum siap bukan karena ditentukan oleh usia. 4. Motif untuk menikah. Motif kebanyakan orang untuk menikah adalah untuk cinta, persahabatan dan keamanan, tapi tidak hanya itu beberapa orang juga ada yang memiliki motif untuk melarikan diri dari situasi kehidupan yang tidak menyenangkan. 5. Kesiapan individu untuk sexual exclusiveness. Hal ini juga merupakan faktor penting dalam menentukan siap atau tidaknya individu dalam menghadapi pernikahan. 6. Emansipasi emosional dari orangtua. Individu harus siap untuk memberikan loyalitas dan kasih sayang utamanya ke pasangannya bukan ke orangtuanya lagi. 7. Tingkat pendidikan individu dan aspirasi vokasional dan tingkat pemenuhan. Jika individu memiliki aspirasi yang tinggi, individu tersebut akan menunggu lebih lama untuk menikah setelah menyelesaikan pendidikannya atau kuliahnya dan akan menunggu lebih lama setelah menikah untuk memiliki anak. Adapula faktor lain yang berhubungan dengan kesiapan menikah individu. DeGenova (2008) menyatakan bahwa keluarga merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan individu. Hal in dikarenakan menurut G. W. Peterson dan Rollins (dalam DeGenova, 2008) terdapat yang disebut dengan transmisi generasi dimana keluarga merupakan pentransmisi atau penurunan prinsip-prinsip dari pengetahuan-pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, peran-peran dan kebiasaan-kebiasaan dari satu generasi ke generasi lainnya. Pentransmisian tersebut antara lain didapatkan dengan observational modelling dimana generasi selanjutnya mengobservasi, mengimitasi dan mencontoh perilaku-perilaku di sekitar mereka yaitu generasi sebelumnya. Apa yang orangtua katakan merupakan hal yang penting, tapi apa yang anak persepsikan sebagai sesuatu yang orangtua percaya dan lakukan merupakan hal yang paling penting. Dalam berhubungan dengan orang lain, secara tidak sadar, hubungan individu saat ini juga dipengaruhi oleh asal keluarga mereka (DeGenova,
15
2008). Tidak hanya dalam hubungan saja tapi dalam pernikahan, Synder, Velasques, dan Clarck (dalam DeGenova, 2008) menyatakan bahwa sikap kita terhadap pernikahan dan peran-peran orangtua berhubungan erat dengan sikap-sikap pernikahan dan peran orangtua yang ada pada orangtua kita. Bila memang adanya transmisi generasi yang terjadi, dimana adanya penurunan prinsip-prinsip dari pengetahuan-pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, peran-peran dan kebiasaan-kebiasaan dari satu generasi ke generasi lainnya, maka dari itu penulis berpendapat bahwa hal-hal yang diturunkan tersebut dapat mempengaruhi semua aspekaspek yang terdapat dalam kesiapan menikah yaitu aspek komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, dan perubahan pada pasangan dan pola hidup.
2.2 Persepsi mengenai Konflik Interparental Konflik interparental merupakan konflik antara pasangan yang merupakan hal normal yang terjadi antara dua orang. Konflik muncul di saat motif-motif, tujuan-tujuan, keyakinan-keyakinan, pendapat-pendapat atau perilaku-perilaku seseorang bersinggungan atau tidak sesuai dengan orang lain (Miller, Perlman, & Brehm, 2007). Dua orang tidak akan pernah setuju akan segala hal. Sejumlah keputusan yang harus diambil sebuah pasangan dan kekecewaan, frustrasi dan penyesuaian yang harus mereka hadapi, kadang akan ditunjukkan dalam bentuk pandangan yang menyakitkan, kata-kata kemarahan atau sebuah pertengkaran yang terlihat (DeGenova, 2008). Cummings dan Davies (2010) mendefinisikan konflik pernikahan sebagai interaksi interparental baik besar maupun kecil yang menyertakan perbedaan pendapat, entah apakah interaksi tersebut negatif ataupun positif. Definisi di atas juga dapat mendefinisikan konflik interparental karena konflik pernikahan sendiri didefinisikan sebagai interaksi interparental. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, disimpulkan bahwa konflik interparental merupakan sebuah interaksi interparental yang terjadi dikarenakan adanya ketidaksamaan pendapat antara kedua orangtua. Konflik interparental tidak hanya berdampak pada pasangan yang berkonflik tapi juga dapat berdampak terhadap anak dari pasangan yang berkonflik tersebut.
16
Dalam penelitian ini, penulis tidak hanya mendalami konflik interparental yang terjadi, tetapi lebih mendalam kepada persepsi anak pada pasangan yang bertengkar mengenai konflik interparental yang disaksikan atau didengarkan. Grych dan Fincham (1990) menyatakan bahwa kita tidak bisa mengetahui dampak dari konflik interparental hanya dari karakteristik konflik yang terjadi tapi juga harus mengetahui bagaimana anak mengiterpretasikan konflik tersebut. Pada penelitian mengenai hubungan persepsi anak terhadap konflik interparental dengan penyesuaian anak yang dilakukan oleh 222 anak-anak berusia 9-12 tahun, ditemukan domain-domain dalam konflik interparental yang perlu diperhatikan yaitu frekuensi, intensitas, konten, dan resolusi dari konflik yang terjadi, domain-domain ini dikelompokkan ke dalam faktor konflik pernikahan (Grych, Seid, & Fincham, 1992). Frekuensi yang dimaksud adalah frekuensi atau seberapa sering konflik interparental yang terjadi. Frekuensi dari konflik memiliki hubungan dengan kesulitan atau penderitaan, ketidakamanan dan kemarahan yang lebih besar pada anak (Cummings, Davies, & Simpson, 1994). Intensitas dari konflik sendiri memiliki hubungan dengan kemarahan, kesedihan, kekhawatiran, ketidakberdayaan pada individu yang menyaksikan dan juga lebih tingginya tingkat perilaku bermasalah (Grych, Fincham, Jouriles, & McDonald, 2000). Konten atau isi dari konflik sendiri dapat mempengaruhi individu yang menyaksikan. Konflik yang berhubungan langsung dengan individu sebagai anak dapat lebih memiliki dampak negatif pada pengasuhan dan perkembangan individu tersebut (DeGenova, 2008). Konflik yang terselesaikan dapat mengurangi kesulitan atau penderitaan dan kemarahan pada diri individu yang menyaksikan. Terdapat pula domain-domain yang menggambarkan reaksi dan interpretasi individu terhadap konflik pernikahan yaitu menyalahkan diri sendiri (self-blame) dimana individu sering menyalahkan diri sendiri atas konflik yang terjadi pada orangtuanya, ancaman yang dirasakan (perceived threat) menunjukkan perasaan terancam akan tersakiti di saat orangtuanya berkonflik, kemampuan menangani (coping efficacy) dampak-dampak konflik orangtua pada diri individu, dan stabilitas (stability) dimana konflik yang terjadi berulang terus-menerus dengan sebab atau konten yang sama. Terdapat tambahan domain yaitu triangulation dimana domain ini bertujuan untuk menggambarkan perasaan tertekan pada individu yang mempersepsikan dirinya diharuskan untuk memihak salah satu di antara kedua orangtuanya.
17
Hasil dari penelitian Grych, Seid, dan Fincham (1992) menghasilkan suatu alat ukur bernama Children’s Perception of Interparental Conflict Scale. Alat ukur ini juga telah terbukti dapat digunakan untuk melihat persepsi individu terhadap konflik interparental dalam tahap perkembangan remaja dan dewasa awal (Moura, Santos, Rocha, & Matos, 2010). Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi yang terdapat dalam persepsi mengenai konflik interparental juga berlaku pada tahap perkembangan dewasa awal. Pada penelitian Moura, dkk. (2010) dibentuk penyusunan baru pada faktorfaktor dan subskala pada perspesi mengenai konflik interparental yang lebih reliabel dan valid untuk digunakan pada dewasa awal. Hal ini dapat dijabarkan, sebagai berikut: 1. Faktor Properti-Properti Konflik (Conflict Properties), terdiri dari lima subskala, yaitu: a. Frekuensi. Persepsi anak mengenai seberapa seringnya orangtuanya berkonflik. b. Intensitas. Persepsi anak mengenai sebarapa parah atau intens konflik yang terjadi antara orangtunyanya. c. Resolusi. Persepsi anak mengenai ada atau tidaknya penyelesaian konflik yang berlangsung. d. Triangulation. Anak memiliki persepsi bahwa dirinya berada di tengahtengah konflik orang tuanya. e. Stabilitas. Konflik yang terjadi dipersepsikan anak berulang-ulang dengan hal yang sama. 2. Ancaman (Threat), terdiri dari dua subskala, yaitu: a. Ancaman yang dirasakan. Persepsi anak terhadap adanya ancaman yang dirasakan di saat menyaksikan atau mendengarkan konflik yang teradi antara orangtuanya. b. Coping Efficacy. Adanya cara tersendiri pada anak untuk mengatasi ketidaknyamanan yang dirasakan di saat konflik yang terjadi di antara orangtuanya. 3. Menyalahkan Diri Sendiri (Self-Blame), terdiri dari dua subskala, yaitu: a. Menyalahkan diri sendiri. Anak menyalahkan diri sendiri atas konflik yang terjadi di antara orangtuanya.
18
Konten. Persepsi anak mengenai keterlibatan dirinya dalam konflik yang berlangsung.
2.3 Dewasa awal Tahap dewasa awal atau disebut juga dengan emerging adulthood merupakan tahap transisi dari tahap remaja ke kedewasaan. Tahap ini dimulai dari usia 18 tahun sampai 29 tahun (Arnett, Emerging Adulthood: The Winding Road from Late Teens Through The Twenties, 2015). Beberapa ilmuwan perkembangan menyatakan bahwa periode dari remaja akhir sampai melewati akhir usia 20an telah menjadi periode tersendiri. Periode ini disebut dengan periode eksploratori, waktu adanya kemungkinankemungkinan, sebuah kesempatan untuk mencoba cara-cara baru dan berbeda dalam menjalani kehidupan dimana individu-individu muda bukan lagi remaja tapi juga belum secara tetap menjalani peran-peran dewasa (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Pada tahap ini, bila berkaitan dengan hubungan romantis, individu sudah mulai berubah dalam berbagai bentuk yang membuat mereka lebih siap mengahadapi pernikahan. Perubahan-perubahan yang dimaksud berupa seperti mereka lebih menghargai pernghargaan yang didapatkan dari menetap dengan satu orang dalam jangka waktu yang panjang dan mengembangkan emosi yang lebih dalam akan kedekatan. Mereka juga memiliki keinginan akan keamanan dan komitmen yang lebih dalam hubungan mereka. Dewasa awal pada masa kini, dalam mengahadapi suatu pernikahan, lebih memiliki kebebasan akan waktu mereka menikah. Keputusan kapan mereka akan menikah ditentukan oleh diri mereka sendiri bukan lagi ditentukan oleh norma kebudayaan mereka. Untuk menilai kesiapan mereka akan menikah, individu pada tahap dewasa awal melihat ke dalam diri mereka sendiri dan bertanya kepada diri mereka sendiri mengenai kesiapan diri mereka, seberapa cukup kedewasaan mereka, dan apa mereka cukup mengetahui diri mereka sendiri (Arnett, 2004).
19
2.4 Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Hubungan Persepsi mengenai Konflik Interparental dengan Kesiapan Menikah pada Individu Dewasa awal
Kesiapan menikah pada individu dewasa awal sangatlah dibutuhkan untuk individu tersebut menghadapi pernikahan. Hal ini dikarenakan pernikahan merupakan salah satu tugas penting individu dalam tahap perkembangan dewasa muda (Wiryasti, 2004). Wiryasti (2004) menyatakan bahwa terdapat aspek-aspek yang penting dalam menentukan individu siap atau tidak dalam menghadapi pernikahan, yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, dan perubahan pada pasangan dan pola hidup. Aspek latar belakang menurut DeGenova (2008) merupakan aspek yang sangat mempengaruhi seorang individu dimana terjadinya proses diteruskannya pengetahuanpengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, peran-peran, dan kebiasaan-kebiasaan ke generasi berikutnya. Hal-hal yang diteruskan disebut dengan transmisi generasi, hal ini didapatkan dari keluarga individu, terutama orangtua. Transmisi generasi didapatkan dari observational modelling. Observational modelling dapat terjadi di saat anak-anak mengobservasi, mengimitasi dan mencontoh perilaku-perilaku di sekitar mereka. Dinyatakan pula bahwa perkataan orangtua merupakan hal yang penting, tapi persepsi anak terhadap hal-hal yang orangtua percaya dan lakukan merupakan hal yang paling penting. Bila memang terdapat transmisi generasi melalui observational modelling pada seorang individu, hal ini dapat berhubungan dengan bagaimana keadaan pada orangtua
20
yang merupakan orang terdekat atau dapat disebut model individu sendiri. Individu yang memiliki orangtua yang berkonflik dapat memliki kesiapan menikah yang berhubungan dengan konflik yang terjadi antara orangtuanya yang dihasilkan dari observational modelling yang dilakukannya. Hal ini juga dapat diperkuat dengan pernyataan Synder, Velasques, dan Clarck (dalam DeGenova, 1997) bahwa sikap kita terhadap pernikahan dan peran-peran orangtua berhubungan erat dengan sikap-sikap pernikahan dan peran orangtua yang ada pada orangtua kita. Kesimpulannya, di saat orangtua mengalami konflik dengan individu menyaksikan dan mendengarkan, individu tersebut membentuk persepsi sendiri mengenai konflik yang terjadi. Persepsi dari observasi yang dilakukan individu dapat membentuk pengetahuan-pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, peran-peran, dan kebiasaankebiasaan. Hasil dari observational modelling tersebut dapat berhubungan dengan aspek-aspek kesiapan menikah yang terdapat pada individu.
2.5 Asumsi Penelitian Asumsi penelitian ini adalah adanya hubungan antara faktor-faktor persepsi mengenai konflik interparental dengan kesiapan menikah pada individu dewasa awal.