13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Waduk dan Common Pool Resources Berdasarkan pembentukannya, ada waduk yang terbentuk secara alami (natural lake) dan buatan (man made lake/artificial lake). Waduk buatan dikenal dengan sebutan waduk (reservoir) atau bendungan, dan waduk kecil disebut situ seperti Situ Gintung, Situ Patenggang, Situ Bagendit. (KLH, 2010). Menurut Komisi Dam Dunia yang diacu dalam artikel pusat litbang sumber daya air (2005), bendungan/waduk dikatakan besar bila tinggi bendungan lebih dari 15 meter; sedangkan embung merupakan waduk kecil yang tinggi bendungannya kurang dari 15 meter. Pustaka yang sama menyatakan bahwa baik situ, embung maupun waduk umumnya memiliki peranan yang sama, secara ekologis, ekonomis, estetika, wisata alam maupun religi dan tradisi. Secara ekologis waduk mempunyai fungsi dan manfaat sebagai tempat penampungan air, daerah resapan, dan habitat kehidupan liar, penahan intrusi air laut, sedangkan secara ekonomis berfungsi atau bermanfaat sebagai sumber air irigasi, perikanan, wisata alam, dan transportasi. Secara umum fungsi dan manfaat ekosistem waduk yaitu sebagai sumber air baku (PDAM, industri), sumber air irigasi, sumber air kebutuhan rumah tangga, tempat perikanan tangkap dan perikanan budidaya, sumber energi air untuk PLTA yang dibangun pada outlet waduk, pengendali banjir (mampu menyimpan air di waktu musim hujan), obyek pariwisata, sumber plasma nutfah (flora dan fauna endemik), pengendali iklim mikro, sarana pendidikan dan penelitian dan prasarana transportasi. Artikel pusat litbang sumber daya air menyatakan bahwa sistem tata air waduk berbeda dengan danau alami. Komponen tata air waduk umumnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga volume, kedalaman, luas, presepitasi, debit inflow/outflow dan waktu tinggal air dapat diketahui dengan pasti. Danau/situ/waduk/embung merupakan salah satu sumber air tawar yang menunjang kehidupan semua makhluk hidup dan kegiatan sosial ekonomi manusia. Waduk dibangun biasanya dengan cara membendung aliran sungai dan airnya digunakan untuk berbagai pemanfaatan seperti disebutkan diatas. Tipe pemanfaatan badan air waduk dan pemanfaatan lahan didalam wilayah tanggapan
14
air dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas air waduk dan tata air drainase wilayah. Menurut panduan valuasi ekonomi ekosistem danau/waduk (KLH, 2010), kerusakan ekosistem waduk adalah tidak atau berkurangnya fungsi ekosistem waduk dalam memberikan manfaat sebagai dampak dari adanya perubahan, baik secara fisik maupun non fisik terhadap ekosistem yang ada. Perubahan fisik yang dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem waduk seperti adanya pembangunan rumah hunian di bagian tanggul waduk, terjadinya sedimentasi yang berdampak terhadap semakin menyusutnya luasan waduk. Perubahan non fisik yang dapat berdampak terhadap kerusakan ekosistem waduk seperti pembuangan limbah yang dapat mengakibatkan pencemaran perairan, dan berkurangnya populasi endemik. KLH (2010) juga menyatakan bahwa ada dua faktor penyebab terjadinya kerusakan ekosistem waduk, yaitu: karena faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem karena faktor alam adalah kerusakan ekosistem waduk yang disebabkan oleh adanya bencana alam yang berdampak terhadap terjadinya kerusakan ekosistem. Sedangkan kerusakan ekosistem karena faktor manusia adalah kerusakan ekosistem waduk yang diakibatkan oleh dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Ketersediaan sumber daya air, mempunyai peran yang sangat mendasar untuk menunjang pengembangan ekonomi wilayah. Sumber daya air yang terbatas disuatu wilayah mempunyai implikasi kepada kegiatan pembangunan yang terbatas dan pada akhirnya berdampak pada perekonomian yang terbatas pula. Hal ini mengakibatkan kondisi kemakmuran rakyat tidak tercapai. Sebagai aset suatu wilayah, danau/waduk perlu dikelola dengan bijak untuk mengurangi kerusakan ekosistem waduk agar memberikan jasa layanan yang optimal bagi kehidupan perekonomian masyarakatnya (Pusat litbang SDA, 2005). Ostrom (1990) menyatakan bahwa masalah pengelolaan sumber daya air bersifat kompleks karena tidak hanya berkaitan dengan isu ekstraksi, managemen, kepemilikan, dan kelembagaan tetapi terkait dengan faktor yang lebih luas seperti sosial, lingkungan dan pilihan-pilihan politik. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh aspirasi masyarakat, pembangunan dan kesejahteraan manusia. Kita perlu
15
mengetahui karakteristik waduk/danau untuk memahami tata kelola yang tepat dari sumber daya alam tersebut. Karakteristik ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai Common Pool Resources (CPRs). Istilah Common Pool Resources diperkenalkan secara spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom (1990) yang menyebutkan bahwa CPRs merujuk pada sumber daya buatan manusia atau alami yang cukup luas dan untuk membuatnya membutuhkan biaya yang besar serta dibuat untuk tujuan terbatas dengan pengguna sumber daya yang terbatas pula. CPRs dicirikan dengan sifatnya yang rivalness/substractable dan non excludable. Rivalness/ketersaingan berarti dalam pemanfaatan oleh seseorang akan mengurangi kemampuan orang lain untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Contoh sumber daya dengan karakteristik rivalness seperti batubara, minyak bumi, sumberdaya yang dapat diperbaharui, ikan laut (ikan) serta udara. Ostrom (1990) menyatakan bahwa untuk memahami proses pembentukan dan pengelolaan CPRs, sangat penting untuk memahami perbedaan resourse system dan resource units yang diproduksi oleh sistem yang satu sama lain memiliki ketergantungan. Resource system merupakan variabel stok yang dapat diterima dalam kondisi yang menguntungkan atau jumlah maksimum yang dapat diproduksi dari resource unit tanpa merugikan stok ataupun pengguna lain yang memanfaatkan
resources
system.
bendungan/waduk, danau, saluran
Contoh
resources
system
adalah
irigasi, padang rumput, laut dan lainnya.
Resource unit adalah apa yang diambil oleh pengguna resource system. Contohnya adalah ikan yang diambil dari laut, rumput yang dikonsumsi oleh ternak di padang rumput, atau pun jumlah limbah yang diabsorp oleh sungai per tahunnya. Perbedaan antara stok sumber daya dan aliran resource unit berguna untuk melihat hubungan sumber daya yang dapat dibarui (renewable resources) dengan kemampuannya meregenerasi. Selama jumlah resources unit tidak melebihi daya regenerasinya, maka stok sumber daya tidak akan habis. Ketika sumber daya tidak lagi memiliki kemampuan untuk melakukan regenerasi, maka para penerima manfaat (beneficieries) tidak bisa lagi memanfaatkan resource unit dan akhirnya akan mati. Ostrom (1990) lebih lanjut menyatakan bahwa proses mengambil/
16
mengesktrak/memanfaatkan resource units dari resource system dalam istilah ekonomi
dikenal
dengan
appropriation.
mengekstrak/memanfaatkan/beneficieris
Mereka
disebut
yang
mengambil/
appropriators.
Terminologi
appropriator seterusnya akan digunakan untuk merujuk pada pengguna sumber daya seperti penggembala, nelayan, petani yang menggunakan irigasi, pembudidaya dan setiap orang/pihak/beneficiries yang memanfaatkan resource system. Secara sederhana, appropriator menggunakan atau mengkonsumsi resource unit yang mereka ambil (contohnya nelayan mengambil ikan untuk dikonsumsi), namun ada juga appropriator yang menggunakan resource unit sebagai input dari proses produksinya (contohnya petani yang menggunakan air untuk menghasilkan padi). Secara umum, appropriator juga bisa mentransfer kepemilikan resource unit kepada pihak lain, mereka juga disebut pengguna resource unit (contohnya nelayan menjual hasil tangkapannya kepada orang lain ketika tiba di pelabuhan). Ostrom (1990) menyatakan bahwa mereka yang mengatur sumber daya CPRs dalam rangka menghindari terjadinya degradasi lingkungan biasa disebut providers. Sedangkan untuk mereka yang secara langsung membangun, memperbaiki atau mengambil langkah-langkah penggunaan resource system untuk jangka panjang disebut producer. Provider dan producer pada umunya adalah orang yang sama, namun tidak selalu demikian. Contohnya pemerintah menyediakan
sistem
irigasi
dengan
mengatur
pembiayaan
dan
design
pembangunan. Lalu pengelolaannya diserahkan kepada petani dan masyarakat setempat. Jika masyarakat setempat diberikan kewenangan untuk mengatur pengelolaannya, mereka menjadi provider sekaligus producers dalam pengelolaan CPRs. Secara sederhana, uraian yang disampaikan oleh Ostrom (1990) diatas mengelompokkan dua masalah besar dalam menganalisis CPRs yaitu masalah provision dan appropriation. Dalam
masalah appropriation,
produksi
berhubungan dengan input yang disediakan CPRs. Masalah muncul biasanya berkaitan dengan hubungan antara penerima manfaat yang potensial dan alokasi penggunaan sumber daya. Hal ini bisa diselesaikan dengan berbagai cara antara lain membuat persetujuan di tingkat appropriator, metode appropriation dan
17
alokasi output. Disisi lain, masalah provision berhubungan dengan menciptakan sumber daya, mengelola dan meningkatkan kemampuan produksi dari sumber daya atau menghindari terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan. Diskusi tipe masalah yang berhubungan dengan alokasi sumber daya memerlukan kriteria untuk mengevaluasi alokasi sumber daya. Ostrom (1990) dalam bukunya Rules, Games and Common Pool Resources menggunakan konsep ekonomi efesiensi dan pareto optimal. Ekonomi efesiensi berkaitan dengan maksimisasi discounted net present value, sedangkan Pareto optimal termasuk alokasi sumber daya dimana tidak ada individu yang membuat lebih baik tanpa mengorbankan kepentingan individu lain. Dalam masalah appropriation, bentuk fundamental untuk tingkat efisiensi appropriation dapat dilakukan dengan menyamakan marjinal cost appropriation dengan marjinal returns dari appropriation. Untuk menjawab persoalan approriation
yang
paling
penting
yaitu
mencapai
efesiensi.
Efesiensi
membutuhkan pemahaman waktu dan lokasi yang tepat, dan pemahaman bagaimana alternatif teknologi dapat mempengaruhi kepentingan yang lain. Berdasarkan pengalaman mengatasi masalah appropriation, maka diperoleh tiga bentuk masalah yang berkaitan dengan appropriation, yaitu : eksternalitas appropriation, masalah assignment dan teknologi eksternalitas. Untuk lebih memahami masalah appropriation dalam CPRs dapat dilihat pada Gambar 2. Eksternalitas dihasilkan oleh pengguna CPRs, hal ini menggambarkan bahwa produksi yang dihasilkan oleh peningkatan pemanfaatan appropriator dapat mengurangi hasil yang diperoleh oleh pengguna lain dalam aktivitas yang sama di tempat yang sama. Penggunaan yang berlebihan oleh salah satu pengguna dapat mengurangi rata-rata pengembalian biaya investasi yang dialami oleh pengguna lain.
Contohnya peningkatan aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan dapat
mengurangi produksi nelayan lain. Dalam kasus eksternalitas produksi, rata-rata keuntungan yang diperoleh oleh semua pengguna sumber daya alam akan menurun.
18
Gambar 2. Framework Masalah Appropriation
Model yang sederhana untuk menggambarkan masalah eksternalitas appropriation seperti yang digambarkan oleh Gordon yang diacu oleh Ostrom et al. (1994). Gordon mengilustrasikan seorang nelayan yang mengambil ikan akan terus meningkatkan ekstraksinya selama biaya investasi (marjinal input) masih belum seimbang dengan hasil yang diperoleh (marjinal returns). Dalam teori pasar neoklasik, selama marjinal return lebih rendah dibandingkan marjinal costnya maka orang cenderung untuk mencari alternatif input lain untuk lebih mengefesiensikan alokasi. Pemanfaatan sumber daya oleh seseorang yang dapat mengurangi marjinal return semua appropriator termasuk eksternalitas. Keberadaan eksternalitas ini akan menyebabkan overinvestment terhadap pemanfaatan sumber daya. Ostrom et al. (1994) menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi alokasi pemanfaatan sumber daya alam mendorong terjadinya assingment problem sehingga sering memicu konflik. Pembagian resource unit yang berbeda untuk setiap pengguna CPRs akan berdampak terhadap hasil sumber daya yang diperoleh. Sebagai contoh pembagian wilayah penangkapan ikan, terdapat wilayah hot spot dan cold spot. Untuk pembagian air irigasi sawah, ada lokasi yang mendapatkan air dari hulu sungai yang bersih dan ada yang mendapatkan air dari hilir sungai. Dalam kasus ini tidak saja penting untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan pelayanan, tetapi juga penting untuk mengetahui bagaimana
19
membuat kesepakatan diantara pengguna dalam memanfaatkan lokasi yang menguntungkan dan lokasi yang tidak menguntungkan. Masalah assignment akan menimbulkan inefisiensi jika tidak menemukan pemecahan masalah yang tepat. Dalam banyak kasus CPRs, konflik terjadi karena perebutan wilayah yang ―baik‖. Di berbagai tempat banyak digunakan aturan tradisi setempat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah ini (berdasarkan waktu, lokasi, tipe pengguna sumber daya dan atribute lainnya). Banyak aturan daerah yang tidak dikenal namun efektif untuk menyelesaikan assingment problems ini (Ostrom et al., 1994) Jika seorang approprior sumber daya menggunakan suatu teknologi dan hal tersebut menyebabkan peningkatan biaya pemanfaatan sumber daya pihak lain, maka hal tersebut menyebkan teknologi eksternalitas diantara pengguna CPRs. Banyak masyarakat pengguna mengatur pemakaian teknologi diantara mereka untuk mengurangi eksternal cost. (Ostrom et al., 1994) Masalah provision terkait dengan pemeliharaan dan peningkatan kapasitas atau menghindari degradasi produksi CPRs. Provision ini memaksa dan mengarahkan user atau pengguna sumber daya agar ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan/penjagaan CPRs. Masalah ini terbagi dalam 2 identifikasi, yaitu dari sisi demand dan sisi supply. Sisi Demand berarti membatasi demand dengan pembatasan laju pemanfaatan sehingga tidak melebihi daya dukung kemampuan regenerasinya. Sedangkan yang dimaksud dengan sisi supply adalah rekonstruksi dan maintenance CPRs agar dapat memberikan jasa yang berkelanjutan. Untuk lebih memahami mengenai masalah provision, Gambar 3 dibawah ini akan memberikan gambaran mengenai kerangka masalah provision sesuai yang disampaikan Ostrom et al. (1994) Sumber masalah utama dari sisi demand adalah dampak appropriator dalam kapasitas produksi sumber daya. Sebagai contoh, peningkatan penangkapan ikan pada titik kritis akan mengurangi stok ikan sehingga kapasitas produksi akan menurun. Solusi untuk masalah demand ini harus melibatkan maksimisasi discounted present value of rate return. Secara eksterm, jika discount rate yang digunakan tidak cukup kuat untuk mengurangi ekstraksi sumber daya, maka akan
20
terjadi kepunahan spesies biologi sebagai konsekuensi peningkatan ekstraksi yang berlebihan dibandingkan pengambilan sumber daya yang ―aman‖.
Gambar 3. Framework Masalah Provision Sumber masalah utama dari sisi supply adalah adanya insentif individu terhadap free rider dalam aktivitas ekstraksi sumber daya. Secara konseptual, sisi supply pada situasi CPRs paralel dengan teori dan literatur empiris tentang public good provision. Senada dengan pure public good provision, fasilitas CPRs tidak akan bersih dari free rider sebab sangat sulit untuk memonitor atau menjaga akses sumber
daya.
Masalah
pengelolaan
akan
muncul
berkaitan
dengan
ketersediaan/stok resource unit. Rasionalitas terkait dengan masalah appropriator dan situasi CPRs adalah rationalitas individu yang terbatas. Pilihan individu sangat dipengaruhi oleh behaviour dimana hal tersebut menentukan bagaimana individu tersebut memandang, belajar dan menimbang untung rugi dari tindakan yang diambil dalam menangani dan mengelola sumber daya alam. Pengorganisasian masyarakat untuk melakukan aksi bersama terhadap pengelolaan CPRs sangat tidak menentu dan diperhadapkan pada masalah yang kompleks. Ketidakpastian ini bisa berasal
21
dari faktor eksternal dan internal. Kuantitas dan waktu musim hujan, temperatur dan kondisi cuaca, ada atau tidaknya wabah dan harga pasar yang bervariasi yang mempengaruhi input dan produk akhir, merupakan faktor-faktor eksternal. Kurangnya pengetahuan juga merupakan sumber utama dari ketidakpastian. Namun hal ini akan berkurang seiring dengan waktu karena berkembangnya media belajar dan berkembangnya pengetahuan lokal. Trial and error learning juga dilakukan oleh para appropriator dalam mengatasi masalah pengelolaan sumber daya. Banyak tindakan yang dilakukan tanpa pertimbangan dan pengetahuan yang cukup tentang konsekuensi yang akan mereka hadapi. Semakin lama, appropriator akan semakin memahami kondisi fisik sumber daya secara lebih akurat dan apa yang mereka harapkan dari perilaku orang lain. Appropriator di berbagai CPRs sangat termotivasi untuk mencari solusi atas masalah yang mereka
hadapi,
jika
mereka
mampu.
Kondisi
ekonomi
appropriator
mempengaruhi kecakapan mereka dalam mengatasi masalah atau menyelesaikan masalah bersama. Informasi yang lengkap dan akurat dari lokal appropriator bisa menggambarkan situasi mereka dari waktu ke waktu tergantung dari jumlah appropriator yang bergabung, kompleksitas situasi dan stabilitas faktor yang mempengaruhi tingkah laku individu dan respon dari resource system. Masalah aksi bersama berkaitan dengan CPRs berhubungan dengan discount future benefit (keuntungan yang diterima di masa depan) dan hal tesebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dalam sektor perikanan, sebagai contoh, discount rate dari nelayan lokal yang tinggal disekitar desa akan berbeda dengan nelayan yang menggunakan pukat harimau besar untuk mendapatkan ikan disepanjang garis pantai. Waktu di masa depan bagi nelayan lokal sangat penting, karena mereka mengharapkan anak cucu dapat tinggal di lokasi yang sama dan tetap dapat mengambil ikan untuk kehidupan mereka. Sementara nelayan yang berpindahpindah, akan mencari tempat untuk mendapatkan ikan yang lain ketika ikan lokal tidak ada lagi. Discount rate dipengaruhi oleh tingkat fisik dan kekuatan ekonomi appropriator. Discount rate juga dipengaruhi oleh norma yang berkembang di masyarakat dalam skala yang luas maupun masyarakat lokal, tergantung kepentingan relatif terhadap masa depan dibandingkan saat ini (Ostrom et al., 1994)
22
Secara umum penggunaan sumber daya tergantung pada faktor kelompokkelompok yang ada di masyarakat. Menurut Dolsak&Ostrom (2003), hubungan antara faktor-faktor tersebut dan CPRs dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini :
Gambar 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan CPRs
Dolsak&Ostrom (2003) menyatakan bahwa kontribusi yang paling mempengaruhi kerangka pemikiran tersebut yaitu ―Institutions Governing Resources Use‖. Faktor eksternal ekonomi lingkungan sangat mempengaruhi preferences dan aset. Dua faktor eksternal pasar yang sangat penting yaitu pasar barang dan jasa yang diperoleh dari CPRs dan pasar yang menyediakan alternatif sumber pendapatan untuk pengguna sumber daya. Politik dan legal enviroment juga mempengaruhi kelembagaan yang mengatur penggunaan CPRs. Aktor dalam eksternal legal enviroment dapat memberikan saran-saran untuk pengelolaan CPRs, memberikan legitimasi kepada pengguna CPRs sehingga memungkinkan mereka untuk mengatur kelembagaan dan mengimplementasikan aturan-aturan dengan benar, dan mampu mengatur bagaimana interaksi kelembagaan dalam berbagai level. Kekuatan politik mempengaruhi kebijakan yang dipilih. Teknologi mempengaruhi kelembagaan pengelolaan CPRs secara tidak langsung, dengan adanya metode untuk monitoring penggunaan CPRs ataupun menempatkan pekerja ahli dalam melakukan ekstraksi sumber daya alam.
23
Karakteristik spesifik untuk jenis CPRs tertentu dan penggunanya sangat mempengaruhi pengelolaan sumber daya tersebut. Semakin sama jenisnya, sederhana dan dalam skala yang kecil, maka semakin mudah untuk mendesign struktur kelembagan sehingga semakin terlindungi sumber daya tersebut dari degradasi dan penggunaan berlebihan. Sumber daya yang kompleks dengan berbagai interaksi dan eksternalitas negatif biasanya sangat sulit dikelola. Karakteristik individu pengguna CPRs, seperti preferensi, aset dan karakteristik dari kelompok (koherensinya, tingkat kepercayaan, homogenitas, besarnya kelompok) mempengaruhi kelembagaan pengelolaan sumber daya. CPRs kemudian dipengaruhi oleh kelembagaannya, pengelolaan kelembagaan itu sendiri dan ketersediaan teknologi (Dolsak&Ostrom, 2003)
2.2 Property Right Menurut Hidayat (2010), property right atau hak kepemilikan atas sesuatu mengandung pengertian hak untuk mengakses, memanfaatkan, mengelola atas sesuatu, mengubah atau mentransfer sebagian atau seluruh hak tersebut kepada pihak lain. Sesuatu yang dimaksud bisa berupa barang (fisik), jasa, informasi/pengetahuan yang bersifat intangibel. Property sangat penting dalam perekonomian karena berkaitan dengan kepastian penguasaan faktor-faktor produksi dimana sumber daya alam merupakan salah satu dalam faktor produksi tersebut. Karakteristik property rights terbagi menjadi tiga bagian : Pertama, Ekslusivitas, berarti pemanfaatan/nilai manfaat dari sesuatu dan biaya penegakan, secara eksklusif jatuh ke tangan pemilik termasuk keuntungan yang diperoleh dari transfer hak kepemilikan tersebut. Kedua, Tranferable, yang berarti seluruh hak kepemilikan dapat dipindahkan dari satu pemilik ke pemilik yang lain secara sukarela melalui jual beli, hibah, sewa dan lainnya. Ketiga, enforceability, yang berarti hak kepemilikan bisa ditegakkan, dihormasi dan dijamin dari praktek perampasan pihak lain. Tipe property right berdasarkan Ostrom (1990) membagi rezime kepemilikan menjadi 4 yaitu : rezim kepemilikan individu (Private property regime), yakni kepemilikan pribadi atas sesuatu dimana hak atas sesuatu tersebut melekat pada pemiliknya, sehingga aturan berkenaan dengan sesuatu tersebut ditetapkan sendiri dan hanya berlaku untuk pemiliknya. Rezim kepemilikan bersama (common
24
property regime), yakni kepemilikan oleh sekelompok orang tertentu dimana hak, kewajiban dan aturan ditetapkan dan berlaku untuk anggota kelompok tersebut. Rezim kepemilikan negara (state property regime), memiliki ciri bahwa hak kepemilikkan dan aturan-aturannya ditetapkan oleh negara, dan individu tidak boleh memilikinya; dan rezim akses terbuka atau tanpa kepemilikan (open acces regime) yang berarti tidak ada aturan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban. Biasanya open acces terjadi pada sumber daya dengan skala besar, dan sulit dijangkau untuk penegakkannya. Sejak awal dibangunnya Waduk Cirata sebagai PLTA, pemerintah telah memberikan komitmen peluang usaha kepada penduduk yang lahannya terpakai untuk pembangunan waduk dan juga penduduk sekitar. Salah satu peluang usaha tersebut adalah KJA. Bentuk hak yang diberikan kepada pemerintah tersebut termasuk dalam Common Property regime, yang berarti hak kepemilikan sumber daya secara milik bersama, karena itu siapapun yang mengaku penduduk setempat dan sekitarnya dapat masuk berinvestasi dalam budidaya KJA di kawasan ini. Ostrom (1990) menyebut common property sebagai Common pool resources (CPR‘s). Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa masalah keterbatasan dalam mengkonsumsi sumber daya timbul karena adanya kecenderungan overuse (penggunaan yang berlebihan) sehingga sangat mengganggu potensi orang lain untuk memanfaatkannya. Kecenderungan overuse tersebut dapat menyebabkan congestion yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara supply dan demand pada waktu-waktu tertentu. Contoh di jalan raya terjadi kemacetan jalan, karena banyak mobil, sementara ruang jalan sangat terbatas. Sumberdaya ruang jalan tersedia secara jangka panjang (tidak cepat habis) akan tetapi pada waktu tertentu (pada pagi dan sore jam berangkat/pulang kerja) menjadi terbatas. Menyangkut masalah kepemilikan CPRs diatas, muncul adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya bagi pihak-pihak lain untuk menjadi pemanfaat, adanya masalah free rider, yakni adanya pihakpihak yang mendapatkan manfaat tetapi tidak berkontribusi pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara dan mengatur pemanfaatan sumberdaya. Kecenderungan free rider yang melampaui batas akan mengancam
25
pada keberlanjutan sistem produksi. Kecenderungan pemanfaatan berlebihan (overuse) dan adanya free rider merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumber daya-sumber daya CPRs, untuk itu diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan yang dapat mencegah atau menghindarinya (Rustiadi et al., 2009) Ostrom (1990) menyatakan bahwa salah satu masalah utama yang terkait dengan
penggunaan
sumberdaya
common-pool
adalah
biaya
untuk
membatasi/mencegah akses pengguna potensial. Penunggang gelap (free rider) dapat menyebabkan munculnya biaya tinggi dari sumberdaya common-pool dan barang-publik. Masalah penunggang gelap dapat terselesaikan apabila aturanaturan diadopsi dan diterima dalam mengatur kegiatan-kegiatan individu dan biaya transaksi pengendalian (social cost) masih lebih rendah dari manfaat (social benefit). Masalah tersebut seringkali muncul dalam pengelolaan sumber daya alam dan memberikan dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumber daya sering tidak seimbang dengan biaya sosial yang harus ditanggung. Tingginya biaya tersebut tercermin dari faktor produksi yang lebih besar dari yang semestinya dalam mengeksploitasi sumber daya. Solusi untuk mencegah atau mengurangi terjadinya eksternalitas yakni memberikan hak pemilikan (assigning property rights), internalisasi dan pemberlakuan pajak (Pigouvian tax). Eksternalitas dan solusi yang ditawarkan akan dibahas pada sub bab Eksternalitas. Rustiadi et al. (2009) juga menegaskan bahwa debat mengenai CPR‘s pada dasarnya mencakup dua isu penting yaitu: (1) konsep yang berkaitan dengan sistem pengelolaannya, dan (2) hak kepemilikan yang menyertainya. Rustiadi et al. (2009) lebih lanjut menyatakan bahwa teori tragedi of the common yang dipopulerkan oleh Hardin pada tahun 1960-an merupakan salah satu fenomena pengelolaan sumber daya alam tersebut. Tragedi of the common terjadi apabila seseorang membatasi penggunaan sumberdaya yang terbatas namun tetangganya (masyarakat lainnya) tidak melakukannya. Akibatnya, sumberdaya akan mengalami penurunan (ruin) dan orang yang membatasi penggunaan sumberdaya tadi akan tetap kehilangan keuntungan jangka pendek akibat alokasi yang dilakukan orang tersebut. Tragedy of the commons dapat dihindari melalui suatu mekanisme yang dapat menyebabkan individu memandang barang-barang atau
26
sumberdaya sebagai milik bersama serta adanya kelembagaan yang mengaturnya. Pemindahan hak milik (penguasaan) kadang-kadang mengganggu keberlanjutan ketersediaan
sumberdaya,
akibat
berubahnya
perilaku
masyarakat
atas
sumberdaya dimana sumberdaya yang sebelumnya dilindungi dengan baik menjadi sumberdaya yang dieksploitasi. Proses transformasi penguasaan sumberdaya dari sumberdaya yang dikelola oleh masyarakat (adat) lokal menjadi sumberdaya miliki negara di berbagai negara telah mengarahkan pada: (1) penghilangan kelembagaan kearifan lokal; (2) terjadinya situasi dimana kapasitas monitoring dan kontrol institusi negara menjadi lemah, terutama pada sumber daya-sumber daya yang berskala luas dan kompleks yang diklaim sebagai kekuasaan negara, dan (3) pemanfaatan sumber daya yang terjebak pada kondisi de facto open access dan kecenderungannya para pihak menjadi berlomba untuk memanfaatkan sumber daya sebesar-besarnya untuk kepentingan masing-masing. Sehingga pemilikan dan pengelolaan oleh pemerintah yang diduga merupakan satu-satunya solusi pelaksanaan secara universal untuk tragedy of the common secara serius terbantahkan oleh fakta-fakta ini. Menurut Rustiadi et al. (2009), argumen Hardin didasarkan atas dua asumsi, yaitu: (1) pengawasan dengan sifat ―memaksa‖ dapat berjalan secara efektif melalui pembentukan norma-norma internal atau pembentukan kewajiban pada semua pemakaian sumberdaya, dan (2) kesepakatan dalam aturan yang dicapai dalam suatu negara, umumnya pada pemerintahan nasional, karena pada pemerintah lokal dan informal serta lembaga non pemerintah tidak dapat membangun cara yang efektif untuk melindungi atau memperbaiki keadaan yang mengarah pada tragedi. Kebijakan yang menyerahkan sumberdaya dari status traditional common-property yang dimiliki komunitas lokal menjadi properti pemerintahan negara telah terbukti menjadi preseden yang buruk bagi keberlanjutan ketersediaan sumberdaya. Di berbagai tempat, pemerintah yang diberi kewenangan sering kali tidak memiliki personil di level bawah yang cukup terlatih untuk mengawasi sumber daya. Kelembagaan yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengatasi tragedi ini merupakan aturan-aturan yang dibangun masyarakat untuk menentukan ‗dilakukan atau tidak dilakukan‘ berkaitan dengan situasi tertentu. Banyak tipe
27
pengaturan kelembagaan telah dikembangkan untuk mencoba mengurangi permasalahan diatas. Oleh karena setiap sumber daya memerlukan penanganan yang spesifik, maka perlu hasil evaluasi tipe pengaturan kelembagaan baik yang berhasil dikembangkan maupun yang tidak sehingga dapat memberikan pembelajaran bagi pengelolaan sumber daya di wilayah lain. Karenanya, rekonstruksi kelembagaan yang ada sangat penting untuk mengevaluasi kinerja dan output yang dihasilkan, apakah sudah sesuai dengan apa yang diharapkan.
2.3 Keramba Jaring Apung (KJA) Kolam budidaya jala terapung merupakan budidaya ikan intensif yang merupakan ciri penebaran ikan yang tinggi dan ditunjang dengan pemberian makan yang terencana. Tehnik budidaya jala terapung kini tidak hanya dikembangkan di laut tetapi juga di perairan air tawar seperti danau dan waduk. Metode dalam pemeliharaan ini, kantong jala merupakan pembatas ruang gerak ikan sedangkan masa air perairan merupakan media hidup. Pemeliharaan ikan terapung ini mula-mula diuji coba di waduk Jatiluhur pada tahun 1974. Budidaya ikan dalam keramba di Waduk Cirata secara intensif mulai dilakukan pada tahun 1986 dan perkembangan paling pesat baru dimulai pada tahun 1988 (Fausia et al., 1996) Fausia (1994) menyatakan lokasi yang tepat untuk budidaya ikan air tawar dengan menggunakan metode keramba jaring apung adalah danau, telaga, waduk atau rawa. Lokasi pemasangan keramba jaring apung harus memenuhi aspek tehnis dan aspek sosial ekonomis seperti : kedalaman perairan minimal 10 meter, kualitas air memenuhi persyaratan hidup ikan, bebas dari pencemaran air, bukan alur lalu lintas kapal, tidak merusak kelestarian lingkungan, kemudahan transportasi, ketersediaan bahan dan pakan, dekat dengan daerah pemasaran, kemudahan suplai benih, keamanan terjamin, legalitas lokasi budidaya, dan ketersediaan tenaga kerja. Waduk Cirata memenuhi kriteria aspek-aspek pembudidayaan keramba jaring apung tersebut sehingga mulai dikembangkan pada saat selesai dibangunnya waduk pada tahun 1988. Pada umumnya, konstruksi bagian atas keramba jaring apung memiliki bentuk yang sama, yang membedakan hanya ada dan tidaknya bangunan kayu
28
(rumah) yang digunakan sebagai rumah jaga, gudang pakan, peralatan atau tempat berteduh. Walaupun tidak terlihat dari permukaan, perbedaan yang jelas adalah bagian jaringnya. Pada budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata biasanya menggunakan dua lapis jaring, jaring bagian atas yang terdiri dari satu petak atau lebih dipergunakan untuk membesarkan ikan mas, kemudian dibawahnya dipasang jaring yang disebut jaring kolor untuk pembesaran nilai. Ukuran rangka luar kolam jaring apung 15,8 m x 15,8 m (250 m2). KJA terdiri dari dua lapis. Lapis pertama terdiri dari 4 kolam/jaring, lapis kedua terdiri dari 1 kolor. Lapor pertama diisi satu jaring ukuran 7 x 7 x 4 m3 dengan diameter mata jaring 0,75‖ dan tiga jaring ukuran sama dengan diameter mata jaring 1‖. Lapis kedua (kolor) yang digunakan berkurukuran sesuai luas rangka luar (250 m2) dengan kedalaman 6 m dan diameter mata jaring 1,25‖. Bagian-bagian keramba jaring apung : rakit/geladak, karamba, pelampung, rumah jaga, pemberat, dan jangkar. Jenis ikan yang umum dibudidayakan di jaring terapung air tawar adalah ikan mas dan ikan nila, namun ada beberapa jenis lainnya dengan jumlah yang relatif sedikit, yaitu ikan patin (jambal siam), bawal dan gurame. Pakan yang diberikan merupakan pakan komersial berupa pellet kering. Ikan mas biasanya diletakkan di jaring lapis pertama dan ikan nila yang lebih tahan penyakit diletakkan pada kolor/lapis kedua. Ikan nila ini pun tidak diberikan pakan, hanya memakan remah-remah dari lapis pertama dan makan peryphyton (sejenis alga) yang menempel pada jaring. KJA menurut hukum property right merupakan private property, karena dimiliki oleh seseorang yang jelas dapat teridentifikasi. Keuntungannya dinikmati oleh pemilik karamba, bisa dipindahtangankan kepemilikannya dan hak kepemilikannya bisa dijamin oleh pengelola. Sebagai private property, KJA ternyata tetap menjadi masalah karena pemanfaatannya berada di ruang publik yang mengandung ciri-ciri rivalness dan non-excludable. Dimana pemakaian ruang untuk karamba oleh satu pihak akan mengurangi pihak lain dalam menggunakan ruang yang sama. Luasnya waduk juga menjadikan kegiatan KJA ini sulit dikontrol dan dimonitor oleh pengelola. Hal lain menyebabkan aktivitas KJA akhirnya membawa dampak negatif bagi lingkungan.
29
Perkembangan yang pesat budidaya ikan dalam KJA karena potensi produksi ikan yang dihasilkan, luas perairan waduk yang tersedia, kelestarian sumber daya, kemudahan dalam proses produksinya serta adanya informasi bahwa budidaya ikan dalam KJA memberikan hasil yang menguntungkan secara ekonomis. Penelitian Sudrajat (2009) menghasilkan surplus produsen yang diterima
oleh
RTP
rata-rata
sebesar
Rp724.012.875,00/tahun.
Hal
ini
menyebabkan semakin banyaknya pihak luar yang menanamkan modalnya untuk bisnis KJA. Dibuktikan dengan semakin berkembangnya jumlah KJA di Waduk Cirata dari waktu ke waktu. Hasil sensus terakhir yang dilakukan oleh BPWC pada tahun 2011, jumlah KJA mencapai 53.031 petak dengan jumlah pemilik sebanyak 2.511 RTP (rumah tangga petani), secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 8 (Delapan). Dari hasil invetarisasi KJA di Waduk Cirata, telah terjadi peningkatan KJA sebanyak 39,17% jika dibandingkan dengan sensus pada tahun 2003, sedangkan jumlah pemilik menurun sebesar 3,87%. Hal ini dikarenakan beberapa kasus kematian ikan massal yang terjadi beberapa waktu lalu menyebabkan beberapa RTP yang hanya memiliki beberapa petak KJA mengalami kebangkrutan dan menjual asetnya kepada pihak lain yang memiliki lebih banyak petak KJA.
2.4 Eksternalitas Adanya kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak yang mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak yang mempengaruhi tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak merupakan eksternalitasi (Fauzi, 2004). Eksternalitas merupakan fenomena yang sering dihadapi dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini sangat penting untuk diketahui karena akan menyebabkan alokasi sumber saya yang tidak efesien. Efesiensi alokasi itu sendiri dimungkinkan terkait dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) yang ada di Waduk Cirata. Solusi untuk mengatasi eksternalitas seperti disebut diatas dapat dilakukan dengan cara memberikan hak kepemilikan, internalisasi, privatisasi atau pemberlakuan pajak. Pemberian hak kepemilikan sangat tergantung pada biaya transaksi. Berdasarkan teori Coase (Fauzi, 2004) biaya transaksi positif maka pemberian hak
30
kepemilikan tidak sepenuhnya menghilangkan eksternalitas, namun hanya menguranginya; pemberian hak ini akan efektif jika tahu persis siapa yang memberikan eksternalitas; pemberian hak ini akan mensejahterakan pemilik sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya eksternalitas. Pemberian hak kepemilikan hanya meningkatkan manfaat dari pertukaran (gain from trade) atas eksternalitas. Kerusakan bisa dihitung dan tawar menawar bisa dilakukan sehingga eksternalitas bisa dikurangi. Fauzi (2004) lebih lanjut menyatakan bahwa salah satu instrumen ekonomi lain yang digunakan untuk menghilangkan eksternalitas adalah melalui internalisasi. Internalisasi merupakan upaya untuk ‗menginternalkan‘ dampak yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam satu unit usaha. Pembayaran pajak juga bisa dilakukan dengan cara pencemar membayar akibat kegiatannya yang mencemari lingkungan. Aktivitas KJA yang melebihi daya dukung lingkungan ternyata telah menghasilkan eksternalitas. Salah satu bentuk ekternalitas adalah sedimentasi dan menurunnya kualitas air yang berdampak terhadap budidaya perikanan itu sendiri maupun PLTA sebagai pengguna lain dari waduk. Walaupun sumber sedimentasi bisa berasal dari sektor hulu maupun aktivitas disepanjang DAS, namun jumlah KJA yang telah melebihi kapasitas asimilasi lingkungan perlu dikendalikan agar terjadi efesiensi alokasi sumber daya waduk. Penelitian Rahmani (2012) mengenai kajian biaya eksternalitas pada budidaya KJA telah memasukkan faktor lingkungan dalam proses produksinya. Biaya lingkungan yang dimasukkan berupa biaya pengerukan sedimentasi, hasil rata-rata biaya produksi 1 Kg ikan mas sebesar Rp11.776,27 tanpa biaya lingkungan dan Rp11.825,01 dengan biaya lingkungan. Hasil ini menunjukkan bahwa perbedaan biaya produksi tidak terlalu besar jika memasukkan faktor lingkungan yang dapat digunakan sebagai kompensasi kepada pihak PLTA untuk digunakan mengatasi masalah lingkungan. Namun hal ini masih perlu ditelaah lebih lanjut, apakah jumlah kompensasi yang diberikan oleh aktivitas KJA mampu memenuhi kerugian yang diderita oleh PLTA. Fauzi (2004) menyatakan bahwa ada solusi lain yang direkomendasikan untuk mengatasi tragedy of the common yaitu privatisasi sumber daya. Walaupun
31
regim common property juga sebuah bentuk private property, ―privatisasi‖ sering digunakan pada kasus hak pengelolaan sumber daya dialokasikan untuk individu dibandingkan untuk kepentingan kelompok, dan individu tersebut bebas untuk menjual haknya kepada pihak lain. Privatisasi sebetulnya bukanlah cara yang sempurna untuk mengatasi eksternalitas, karena individu/perusahaan penerima hak tidak menandatangani keseluruhan hak, hanya hak untuk mengakses dan menggunakan sumber daya dan mentransferkan hak mereka kepada pihak lain jika menginginkannya. Banyak CPRs yang sudah diprivatisasikan, sebagian berhasil mengurangi terjadinya eksternalitas, sebagian lagi tidak berhasil. Tantangan dalam privatisasi menurut Dolsak&Ostrom (2003) adalah merancang design kelembagaan yang memastikan susitanability dan efesiensi pengelolaan sumberdaya dengan karakteristik yang spesifik sehingga dapat memberikan legalitas eksternal dan aturan untuk menjaga lingkungan. Tidak semua bentuk kelembagaan tepat untuk diterapkan pada jenis CPRs yang lain.