BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tumbuhan Benalu Kakao (Dendropthoe pentandra (L.) Miq.) Benalu merupakan tanaman unik, satu sisi benalu merupakan parasit bagi
inang tempat tumbuhnya, tetapi disisi lain benalu merupakan tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Keunikan lain dari benalu adalah benalu yang sama dapat tumbuh pada inang yang berbeda. Begitu pula sebaliknya, benalu dengan spesies yang berbeda juga dapat tumbuh pada spesies inang yang sama (Soejono, 1995). Benalu ada yang dapat hidup dengan baik di daerah bercurah hujan sedikit, maupun di daerah bercurah hujan banyak. Selain itu, ada pula benalu yang dapat hidup di daerah berbulan basah sedikit maupun di daerah yang memiliki bulan basah banyak. Selain di benua Eropa, benalu juga telah ditemukan di Indonesia antara laindi Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Salah satu contoh tumbuhan benalu yang ditemukan antara lain benalu kakao (Pitojo, 1996). Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. merupakan benalu yang dapat tumbuh diberbagai inang yaitu pada inang lobi-lobi, mangga, nangka, jambu air dan juga cokelat (kakao). Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. merupakan salah satu jenis benalu yang digunakan sebagai tanaman obat tradisional yang tersebar luas di Indonesia. Perbedaan inang benalu diperkirakan menghasilkan metabolit sekunder yang berbeda, maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat inang dari tanaman apa yang mempunyai khasiat paling baik dalam mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan khususnya pada bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa (Nasution et al, 2008). Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. digunakan untuk mengobati flu, batuk, diare, luka, borok, sakit pinggang, rematik, memperlancar aliran darah, antialergi, antikanker dan antitumor. Bagian tumbuhan benalu yang sering digunakan sebagai obat yaitu daun atau seluruh bagian tumbuhan dalam keadaan segar atau setelah dikeringkan (Anita et al, 2014). Adapun klasifikasi ilmiah benalu kakao adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Mognoliophyta
Classis
: Mognoliopsida
Sub Classis
: Rosidae
Ordo
: Santalales
Familia
: Loranthaceae
Genus
: Scurrula
Species
: Dendrophthoe pentandra (L.) Miq.
2.2
Senyawa Metabolit Senyawa metabolit adalah senyawa yang digolongkan berdasarkan
biogenesisnya, artinya berdasarkan sumber bahan baku dan jalur biosintesisnya. Terdapat 2 jenis metabolit yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer (polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat merupakan penyusun utama makhluk hidup, sedangkan metabolit sekunder meski tidak sangat penting bagi eksistensi suatu makhluk hidup tetapi sering berperan menghadapi spesies-spesies lain. Misalnya zat kimia untuk pertahanan, penarik seks dan feromon (Rustaman, 2006). Identifikasi kandungan metabolit sekunder merupakan langkah awal yang penting dalam penelitian pencarian senyawa bioaktif baru dari bahan alam yang dapat menjadi prekursor bagi sintesis obat baru atau prototipe obat beraktivitas tertentu (Rasyid, 2012). Identifikasi ini merupakan uji fitokimia. Metode yang dilakukan merupakan metode uji berdasarkan (Harborne, 1987) yang telah dimodifikasi. Uji yang dilakukan antara lain uji flavonoid, senyawa fenolik, alkaloid, saponin, tanin dan terpenoid. Senyawa kimia sebagai hasil metabolit sekunder atau metabolit sekunder telah banyak digunakan sebagai zat warna, racun, aroma makanan, obat-obatan dan sebagainya serta sangat banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional sehingga diperlukan penelitian tentang penggunaan tumbuhan berkhasiat dan mengetahui senyawa kimia yang berfungsi sebagai obat. Senyawa-senyawa kimia yang merupakan hasil metabolisme sekunder pada tumbuhan sangat beragam dan dapat diklasifikasikan dalam beberapa golongan
senyawa bahan alam yaitu alkaloid, flavonoid, terpenoid, saponin dan tanin (Lenny, 2006).
2.2.1
Alkaloida Alkaloida adalah kelompok beragam dari berat molekul yang rendah,
nitrogen yang mengandung komponen-komponen yang sebagian besar berasal dari asam-asam amino. Alkaloida merupakan turunan yang paling umum dari asam amino. Alkaloida pada umumnya mencakup senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloida pada umumnya juga mempunyai keaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloida sering dimanfaatkan sebagai pengobatan. Secara kimia, alkaloida merupakan suatu golongan heterogen. Secara fisik, alkaloida dipisahkan dari kandungan tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau pikrat (Harborne, 1987). Struktur dari alkaloid beranekaragam, dari mulai alkaloid berstrukur sederhana sampai yang rumit. Banyak alkaloid bersifat terpenoid dan beberapa sebaiknya ditinjau dari segi biosintesis sebagai terpenoid termodifikasi, misalnya solanin, alkaloid-alkaloid kentang dan Solanum tuberosum. Banyak sekali alkaloid yang khas pada suatu tumbuhan atau beberapa tumbuhan sekerabat, sehingga nama alkaloid sering diturunkan dari sumber tumbuhan penghasilnya. Misalnya alkaloid atropa atau alkaloid tropana, dan sebagainya (Rustaman, 2006). Akaloid tanaman diturunkan saat ini digunakan secara klinis termasuk analgesik, agen anti-neoplastik, relaksan otot, antivirus, sitotoksik, antinosiseptik, antikolinergik, antiinflamasi dan aktivitas pengikatan DNA dan beberapa dari alkaloid juga telah digunakan dalam pengobatan penyakit, miastenia gravis dan miopati (Seifu, D et al, 2002). Alkaloid dikelompokkan atas 3 bagian sebagai berikut : a. Elemen yang mengandung N terlibat pada pembentukan alkaloid Lebih dari dua puluh asama amino yang sering ditemukan sebagai elemen N dari alkaloid, antara lain: prolina, histidina, fenilalanina, tirosin (= hidroksi
fenilalanina) dan triptofan. Asam amino alifatik termasuk lisin, juga termasuk pada pembentukan alkaloid. b. Elemen tanpa N Pada umumnya terdapat kemiripan elemen tanpa N dari alkaloid senyawa kimia tanaman tanpa N seperti inti C1 (gugus metil), inti C2 (elemen asetat), inti C5 (isoprena, kebanyakan sebagai dimer “monoterpenoida”) dan senyawa aromatik tipe fenilpropana (tipe asam sinamat benzoat C6-C1). Dua pengamatan memerlukan uraian khusus, yaitu pertama, suatu jenis hubungan antara elemen tanpa N dan elemen dengan N dari alkaloid, kemudian variasi khusus komponen monoterpenoida pada keluarga alkaloid tertentu. c. Reaksi yang mungkin memegang peranan penting pada biosintesis alkaloid Sangat sedikit yang sudah diketahui tentang mekanisme yang tepat untuk mengikatkan elemen-elemen menjadi alkaloida menggunakan enzim. Pengamatan pembanding suatu alkaloida dalam pembentukannya, demikian pula analogi reaksi-reaksinya yang penting dalam metabolisme primer tanaman, memberikan dugaan yang masuk akal, tentang jenis reaksi yang dapat mengaitkan elemen sederhana menjadi alkaloid yang rumit (Sirait, 2006).
2.2.2
Flavonoida Flavonoida adalah kelompok polifenol yang secara luas didistribusikan ke
seluruh bagian kerajaan tumbuhan. Flavonoid memiliki banyak toksisitas rendah pada mamalia. Flavonoid menunjukkan beberapa efek biologis seperti antiinflamasi, anti-hepatotoksik dan anti-ulkus. Flavonoid juga menghambat enzim seperrti reduktase aldosa dan oksidasi xantin. Banyak memiliki aktivitas antivirus dan beberapa dari flavonoid memiliki perlindungan terhadap mortalitas kardiovaskular. Flavonoid telah terbukti menghambat pertumbuhan berbagai jalur sel kanker in vitro dan mengurangi perkembangan tumor pada hewan percobaan (Seifu, D, et all, 2002). Senyawa flavonoida adalah senyawa yang mengandung C15terdiri atas dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki
karateristik bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B biasanya 4-,3,4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo, 1996). Senyawa ini dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoida berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne, 1987). Flavonoida pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson, 1995). Adapun fungsi flavonoida dalam kehidupan manusia yaitu sebagai stimulat pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi bekerja sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait, 2007). Efek flavonoid terhadap macam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional. Flavonoid dapat bekerja sebagai inhibitor kuat pernapasan. Beberapa flavonoid menghambat fosfodiesterase. Flavonoid lain menghambat aldoreduktase, monoamina oksidase, protein kinase, balik transkriptase,
DNA
polimerase
dan
lipooksigenase.
Penghambatan
lipooksigenase dapat menimbulkan pengaruh lebih luas karena lipooksigenase merupakan langkah pertama pada jalur yang menuju ke hormon eikosanoid seperti prostaglandin dan tromboksan. Memang, karena flavonoid sering merupakan senyawa pereduksi yang baik, mereka menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun nonenzim. Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik radikal hidroksi dan superoksida dan dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak (Robinson. 1995). 2.2.3
Terpenoid
Bentuk terpen diubah ke molekul hidrokarbon, sedangkan terpenoid mengacu pada terpen yang telah dimodifikasi, misalnya dengan penambahan oksigen. Terpen atau isoprenoidnya adalah salah satu kelas yang paling beragam dari metabolit sekunder yang berperan fungsional pada berbagai tanaman seperti hormon (giberelin, asam absisat), pigmen-pigmen fotosintesis (pitol, karetonoid), pembawa elektron (ubikuinon, plastokuinon), mediator perakitan polisakarida
(polifrenil fosfat), dan komponen struktural membran (pitosterol) (Seifu, D, et al, 2002). Terpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis, terdistribusi luas dalam dunia tumbuhan dan hewan. Terpenoid ditemui tidak saja pada tumbuhan tingkat tinggi namun juga pada terumbu karang dan mikroba. Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprena, CH2=C(CH3)-CH=CH2, kerangka terpenoid terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan unit isoprena (C5). Terpenoid yang disebut juga isoprenoid, diklasifikasikan atas jumlah unit isoprena yang membangunnya, dengan demikian ada yang terdiri atas dua (C10), tiga (C15), empat (C20), enam (C30), atau delapan (C40) isoprena. Terpenoid dapat juga dikelompokkan menjadi monoterpen, seskuiterpen, diterpen, triterpen dan tetraterpen. Senyawa terpenoid berkisar dari senyawa volatil, yaitu komponen minyak atsiri, yang merupakan mono dan seskuiterpen (C10 dan C15), senyawa yang kurang volatil, yakni diterpen (C20), sampai senyawa nonvolatil seperti triterpenoid dan sterol (C30) seperti karatenoid (Sirait, 2007). Berbagai macam aktivitas fisiologi yang menarik ditunjukkan oleh beberapa triterpenoid, dan senyawa ini merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit termasuk diabetes, gangguan menstruasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria. Beberapa senyawa mungkin mempunyai nilai ekologi bagi tumbuhan yang mengandungnya karena senyawa ini bekerja sebagai antifungus, insektisida atau antipemangsa. Akan tetapi senyawa lain menstimulasi serangga bertelur. Beberapa senyawa menunjukkan aktivitas antibakteri atau antivirus (Robinson. 1995).
2.2.4
Saponin Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang
menyerupai sabun (bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa
saponin bekerja sebagai antimikroba juga. Pada beberapa tahun terakhir ini saponin tertentu menjadi penting karena dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan dengan hasil yang baik dan digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan. Penyebaran saponin dalam tumbuhan ditinjau dalam (Robinson, 1995).
2.2.5
Tanin Tanin merupakan salah satu metabolit sekunder yang dapat digunakan
tumbuhan untuk melindungi dari seragam bakteri dan cendawan (Salisbury, 1995). Tanin tersebar luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein. Sebagian besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat (Rustaman, 2006). Secara kimiawi tanin merupakan senyawa kompleks, biasanya merupakan campuran polifenol yang sulit dipisahkan karena tidak mengkristal. Apabila tanin direaksikan dengan air akan membentuk larutan koloid yang memberikan reaksi asam dan reaksi yang tajam (Harborne, 1996). Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks mulai dari pengendap protein hingga pengkhelat logam. Tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Hagerman, 2002).
2.3
Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati dan simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yangtersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan. Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan atau hewan dengan menggunakan penyari tertentu (Depkes RI, 2000). Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi dapat berlangsung bila terdapat kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa yang diekstraksi dengan senyawa pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut yang berbeda dalam pelarut yang
berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara zat terlarut dengan pelarut. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar, begitu juga sebaliknya. Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selekstivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga (Harborne, 1987). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : A. Cara Dingin 1. Maserasi Maserasi berasal dari kata macerace yang artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi, sedangkan maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes, 2000). Keuntungan dari metode maserasi adalah prosedur dan peralatannya sederhana, sedangkan kerugiannya adalah pelarut yang digunakan lebih banyak (Agoes, 2007).
2. Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaman bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Harborne, 1987).
B. Cara Panas 1. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi dan merendam sampel yang mengisi bagian tengah alat soklet, setelah pelarut
mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi, demikian berulangulang (Depkes, 2000). 2. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan pelarut akan terdestilasi menuju pendingin dan akan terdestilasi menuju pendingin dan akan kembali ke labu (Depkes, 2000). 3. Infudasi Infudasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes RI, 2000). 4. Dekoktasi Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).
2.4
Radikal Bebas
Menurut Soematmaji (1998), yang dimaksud radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya. Radikal bebas tersebut dapat mengoksidasi asam nukleat, protein, lemak, bahkan DNA sel dan menginisiasi timbulnya penyakit degeneratif (Leong dan Shui, 2001). Keseimbangan antara kandungan antioksidan dan radikal bebas di dalam tubuh merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan tubuh. Apabila jumlah radikal bebas terus bertambah sedangkan antioksidan endogen jumlahnya tetap, maka kelebihan radikal bebas tidak dapat dinetralkan. Akibatnya radikal bebas akan bereaksi dengan komponen-komponen sel dan akan menimbulkan kerusakan sel (Arnelia, 2002). Secara umum sumber radikal bebas dapat dibedakan menjadi dua, yaitu endogen dan eksogen. Radikal bebas endogen dapat terbentuk melalui autoksidasi, oksidasi enzimatik, fagositosis dalam respirasi, transfor elektron di
mitokondria dan oksidasi ion-ion ologam transisi. Sedangkan radikal bebas eksogen berasal dari luar sistem tubuh, misalnya sinar UV. Di samping itu, radikal bebas eksogen dapat berasal dari aktifitas lingkungan (Rohhmatusolihat, 2009).
2.5
Antioksidan
Antioksidan didefinisikan sebagai zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi autooksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochhar and Rossell, 1990). Antioksidan merupakan zat yang dapat melawan pengaruh bahaya dari radikal bebas yang terbentuk sebagai hasil metabolisme oksidatif, yaitu hasil dari reaksi-reaksi kimia dan proses metabolik yang terjadi didalam tubuh. Berbagai bukti ilmiah menunjukkan bahwa senyawa antioksidan mengurangi resiko terhadap penyakit kronis, seperti kanker dan penyakit jantung koroner (Amrun et al, 2007). Antioksidan dapat digolongkan menjadi antioksidan enzim dan vitamin. Antioksidan enzim meliputi superoksida dimutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase (GSH.Prx). Antioksidan vitamin mencakup alfa tokoferol (vitamin E), beta karoten (pro vitamin A) dan asam askorbat (vitamin C). Superoksida dismutase berperan dalam melawan radikal bebas pada mitokondria, sitoplasma dan bakteri aerob dengan mengurangi bentuk radikal bebas superoksida. SOD murni berupa peptida orgoteina yang disebut agen anti peradangan. Kerja SOD akan semakin aktif dengan adanya poliferon yang diperoleh dari konsumsi teh. Enzim yang mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen adalah katalase. Fungsinya menetralkan hidrogen peroksida beracun dan mencegah formasi gelembung CO2 dalam darah (Rohmatussolihat, 2009). Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai radikal bebas dari lemak yang teroksidasi dapat disebabkan oleh 4 (empat) tahap mekanisme reaksi, yaitu : 1. Pelepasan hidrogen dari antioksidan 2. Pelepasan elektron dari antioksidan 3. Addisi lemak kedalam cincin aromatik pada antioksidan, dan 4. Pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Ketaren, 2005).
Antioksidan dapat menghambat setiap proses oksidasi. Tahapan proses oksidasi tersebut adalah : 1. Inisiasi RH
R + H
2. Propagasi R + O2
ROO
ROO + RH
ROOH + R
3. Terminasi ROO + ROO
ROOR + O2
ROO + R
ROOR
R+R
RR
(Cahyadi, 2009)
Berdasarkan fungsinya, antioksidan dapat digolongkan menjadi tiga yaitu : 1. Antioksidan Primer Antioksidan primer berfungsi untuk mencegah pembentukan senyawa radikal baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelumnya radikal bebas ini sempat bereaksi. Contoh enzim superoksida dismutase (SOD) yang berfungsi sebagai pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh karena radikal bebas (Kumalaningsih, 2006). 2. Antioksidan Sekunder Antioksidan sekunder adalah senyawa yang berfungsi menangkap serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Contoh antioksidan sekunder : vitamin E, vitamin C, betakaroten, asam urat, bilirubin dan albumin (Kumalaningsih, 2006). 3. Antioksidan Tersier Antioksidan tersier adalah senyawa yang memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan radikal bebas. Contoh enzim yang memperbaiki DNA pada inti sel adalah metionin sulfoksidan reduktase. Enzim-enzim yang dapat membuat perbaikan DNA ini berguna untuk mencegah penyakit misalnya kanker (Kosasih et al, 2004).
2.5.1
Metode Pengukuran Aktivitas Antioksidan
Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu :
1. Metode DPPH (2,2-diphenyl-1-pikril-hydrazyl) DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk menilai aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm akan hilang (Erawati, 2002). Metode
DPPH
(2,2-difenil-1
pikrilhidrazil)
merupakan
senyawa
radikalnitrogen. DPPH akan mengambil atom hidrogen yang terdapat dalam suatu senyawa, misalnya senyawaan fenol. Mekanisme terjadinya reaksi DPPH ini berlangsungmelalui transfer elektron. DPPH menggunakanpelarut metanol sehingga kemungkinansenyawa hidrofilik yang terekstrak dalammetanol lebih banyak dibandingkan dalampelarut etanol. Metode DPPH ini mudahdigunakan, cepat, cukup teliti dan baik digunakan dalam pelarut organik,khususnya alkohol. Metodeini juga sensitif untuk menguji aktivitasantioksidan dalam ekstrak tanaman. Akan tetapi, metodeDPPH kurang sensitif untuk mengukur aktivitas antioksidan selain dari senyawaanfenol (Widyastuti, 2010). Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan inkubasi DPPH dengan ekstrak selama 30 menit sehingga menghasilkan larutan ungu yang lebih memudar kemudian dilakukan pengukuran panjang gelombang pada 517 nm (Mosquera, 2007).
Gambar 2.1 Mekanisme Penghambatan Radikal DPPH Hasil dari metode DPPH umumnya dibuat dalam bentuk IC50 (Inhibitor Concentration 50), yang didefinisikan sebagai konsentrasi larutan substrat atau
sampel yang akan menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin besar aktivitas antioksidan maka nilai IC50 akan semakin kecil. Suatu senyawa antioksidan dinyatakan baik jika nilai IC50-nya semakin kecil (Molyneux, 2004). 2. Metode FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power) Pengujian aktivitas antioksidan dengan metode FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power) didasarkan atas kemampuan senyawa antioksidan dalam mereduksi senyawa besi(III)-tripridil-triazin menjadi besi(II)-tripiridil triazin pada pH 3,6. Pengukuran FRAPmemberikan urutan respon yang samadengan metode CUPRAC. Namun hasilnyamenunjukkan aktivitas yang lebih kecildibandingkan dengan data pengujianCUPRAC ataupun DPPH. Hal ini didugakarena larutan FRAP bersifat kurang stabilsehingga harus dibuat secara in time dan harussegera dipergunakan (Widyastuti, 2010). Reaksinya sebagai berikut : Fe(TPTZ)23+ + AgOH
Fe(TPTZ)22+ + H+ + Ag=O
Menurut Ou et al. (2002), pengukuranantioksidan dengan metode FRAP dapatberjalan akurat apabila dilakukan padasenyawaan antioksidan yang bisa mereduksiFe(III)TPTZ pada kodisi reaksi secaratermodinamika dan memiliki laju reaksi yangcukup cepat. Selain itu, antioksidan yangteroksidasi dan semua produk reaksisekundernya harus tidak memiliki serapanmaksimum pada absorbansi 598 nm atauserapan Fe(II)TPTZ (Widyastuti, 2010).
3. Metode CUPRAC (Cupric Ion Reducing Antioxidant Capacity) Prinsip dari uji CUPRAC (Cupric Ion Reducing Antioxidant Capasity) adalah pembentukan kelat oleh bis (neukropin) besi(II) menggunakan pereaksi redoks kromogenik pada pH 7. Absorbansi dari pembentukan kelat Cu(I) merupakan hasil reaksi redoks dengan mereduksi polifenol yang diukur pada panjang gelombang 450 nm. Untuk spektrum Cu(I) Ne diperoleh dengan mereaksikan asam askorbat berbagai konsentrasi reagen, pH dan waktu oksidasi pada suhu kamar dan peningkatan suhu pada percobaan dapat berasal dari sumber lain. Reaksinya sebagai berikut : nCu(Nc)22+ + AR(OH)n
nCu(Nc)2+ + AR(=O)n + nH+
Kelebihan dari metode CUPRAC adalah pereaksi yang digunakan cukup cepat bekerja, selektif, lebih stabil, mudah didapatkan dan mudah untuk diaplikasikan (Erawati, 2002).
2.6
Bakteri
Haeckel pada tahun 1866
mengusulkan agar jasad renik ditempatkan dalam
dunia yang terpisah, yakni Protista (artinya kehidupan yang pertama). Organisme protista semuanya bersifat uniseluler. Menurut defenisi Haeckel, dalam Protista tergolong algae, protozoa, jamur dan kuman (bakteri). Namun pada pertengahan abad ini, teknik mikroskopi elektron yang baru mengungkapkan bahwa kuman (bakteri) secara fundanmental berbeda dari jamur, alga, dan protozoa dalam struktur sel. Ketiga kelompok yang terakhir memiliki tipe struktur sel yang lebih maju, sama dengan sel-sel tumbuhan dan hewan, yang dinamakan eukariotik, sedangkan bakteri memiliki struktur sel yang lebih primitif, yang dinamakan prokariotik. Istilah protista sekarang ini untuk menunjukkan jasad-jasad eukariotik, sedangkan semua kuman secara kolektif digolongkan prokariota. Dunia mikroba terdiri dari berbagai kelompok jasad renik. Kebanyakan bersel satu atau uniseluler. Ada yang mempunyai ciri-ciri sel hewan dan ada yang memiliki ciri-ciri sel tumbuhan, dan ada juga yang mempunyai ciri-ciri keduanya. Secara umum jasad renik juga disebut Protista. Keseluruhan klasifikasi jasad renik adalah : 1. Protista (Eukariotik); Protista tingkat tinggi -
Protozoa
-
Algae
-
Jamur (Cendawan)
-
Jamur berlendir (kadang-kadang digolongkan jamur)
2. Protista (Prokariota); Protista tingkat rendah, yang terdiri dari: -
Kuman (bakteri)
-
Sianobakteria
-
Arkahebakteria
Untuk menyebutkan nama bakteri, seperti pada organisme lainnya yakni dengan menggunakan sistem “dua nama” atau binomenklatur. Artinya nama genus diikuti
dengan spesies. Huruf pertama dari nama genus ditulis dengan huruf besar, sedangkan nama keterangan spesiesnya ditulis dengan huruf kecil. Pada klasifikasi Bergey’s tahun 1994 edisi ke-9. Kelompok bakteri secara garis besar digolongkan menjadi 4 kategori besar, yakni : -
Kategori Besar I
: Eubacteria Gram Negatif dengan Dinding Sel, terdiri
16 GRUP. -
Kategori Besar II
: Eubacteria Gram Positif dengan Dinding Sel, yang
terdiri dari 6 GRUP. -
Kategori Besar II
: Eubacteria Tanpa Dinding Sel, terdiri hanya 1 GRUP
saja, yakni Mycoplasma atau Mollicula. -
Kategori Besar IV : Archeobacteria, yang terdiri 5 GRUP.
Jadi dari empat kategori besar (Kategori I, Kategori II, Kategori III dan Kategori IV) dibagi menjadi 35 GRUP. Masing-masing grup adalah : -
Kategori Besar I
: Eubacteria Gram Negatif, GRUP 1 sampai dengan
GRUP 16. -
Kategori Besar II : Eubacteria Gram Positif dengan dinding sel dari GRUP 17 sampai dengan GRUP 29.
-
Kategori Besar III : Eubacteria tanpa dinding sel dari hanya terdiri dari 1 GRUP, yakni MYCOPLASMA (GRUP 30).
-
Kategori Besar IV : Archeobacteria terdiri dari GRUP 31 sampai dengan GRUP 35 (Waluyo, 2010).
Berdasarkan komposisi dinding sel serta sifat pewarnaannya, bakteri dibedakan atas dua kelompok yaitu
2.6.1
:
Bakteri Gram Positif
Bakteri gram positif lebih sensitif terhadap penisilin, tetapi lebih tahan terhadap perlakuan fisik dibandingkan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif sering berubah sifat pewarnaannya sehingga menunjukkan reaksi gram variabel. Sebagai contoh, kultur gram positif yang sudah tua dapat kehilangan kemampuannya untuk menyerap pewarna violet kristal sehingga dapat berwarna merah seperti bakteri gram negatif. Perubahan tersebut dapat juga disebabkan oleh perubahan kondisi lingkungan atau modifikasi teknik pewarnaan (Fardiaz, 1992).
Dinding sel bakteri gram positif tersusun atas beberapa lapisan peptidoglikan dan strukturnya tebal dan keras. Dinding selnya juga tersusun atas teichonic acid yang mengandung alkohol (seperti gliserol) dan posfat (Tortora, 2001). Contoh bakteri Gram-positif yaitu bakteri Staphylococcus aureus.
a. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri genus kokus Gram-positif utama penyebab penyakit. Bakteri ini bersifat positi-koagulase (memulai pembentukan bekuan fibrin), β-hemolitik, dan toleran garam (halodurik). Staphylococcus aureus memiliki protein A pada permukaannya, yang mengikat Fc Ig (menghambat fagositosis), menghasilkan pigmen kuning dan mungkin memproduksi eksotoksin. Staphylococcus aureus berdiam di mukosa hidung manusia atau di kulit; kuman ini menyebar melalui tangan, bersin dan lesi kulit (Hawley, 2003).
Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus diidentifikasi sebagai stafilokokus Gram-positif yang merupakan beta-hemolitik dan positif-katalase dan negatif-koagulase. Organisme tumbuh pada medium garam-manitol (medium penapisan untuk Staphylococcus aureus), meragikan manitol. Strain Staphylococcus aureus resisten metisilin (MRSA) memiliki suatu protein pengikat penisilin (PBP) kromosomal utama yang mengalami modifikasi. Sebagian besar strain MRSA juga memiliki resistensi terhadap semua obat yang diperantarai oleh plasmid kecuali terhadap glikopeptida (vankomisin). Resistensi obat Staphylococcus aureus dipindahkan melalui faga (transduksi) (Hawley, 2003).
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus sebagai berikut : a. Keracunan makanan Staphylococcus aureus dari enterotoksin stabil terhadap panas yang terjadi akibat makanan yang kurang mendapat pendinginan dan tercemar oleh Staphylococcus aureus (misal, ham, daging yang diasinkan atau dikalengkan, kue custard, atau salad kentang). Ingesti toksin menyebabkan nyeri abdomen, muntah dan diare dengan onset cepat (1-6 jam). b. Infeksi kulit atau subkutis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus sering muncul sebagai nyeri dan panas, kemerahan dan pembengkakan subkutis. Pembedahan atau neutropenia merupakan faktor predisposisi. Infeksi dapat menyebabkan penyakit kulit eksfoliativa (scalded skin syndrome) bila strainnya menghasilkan eksofoliatin. Impetigo stafilokokus umumnya menimbulkan bula (vesikel besar). c. Sindrom syok toksik (TSS). Pemakaian balut bedah atau tampon super merupakan predisposisi. TSST-1, suatu eksotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus, menghambat bersihan eksotoksin endogen oleh hati. TSST-1 juga merupakan suatu superantigen yang mengaktifkan berbagai sel T penolong. Gejala meliputi demam, hipotensi, ruam skarlatiniformis, deskuamasi (terutama di telapak tangan dan kaki), dan kegagalan multiorgan. d. Endokarditis. Staphylococcus aureus adalah penyebab utama endokarditis akut, termasuk yang terjadi pada pengguna obat IV terlarang (yang sering mengalami kolonisasi berat Staphylococcus aureus pada kulit mereka). Toksin alfa (suatu sitolisin pembentuk pori) dan toksin-toksin sitolitik lain dengan cepat merusak jantung (Hawley, 2003).
b. Bacillus cereus Bakteri ini adalah gram positif berbentuk batang, bergerak, dapat membentuk spora, bersifat fakultatif anaerob dan tersebar secara luas dalam tanah dan air. Sampai akhir-akhir ini organisme tersebut tidak digolongkan sebagai patogenik, akan tetapi sejumlah keracunan bahan pangan yang berhubungan dengan daging saus berempah dan nasi goreng ditemukan tercemar oleh banyak sel-sel Bacillus cereus. Kemampuan membentuk spora memungkinkan mikroorganisme ini tetap hidup pada operasi pengolahan dengan pemanasan. Gejala-gejala dari keracunan
bahan pangan yang tercemar oleh bakteri ini termasuk diare, sakit perut dan kadang muntah-muntah (Buckle et al, 2009).
Gambar 2.3 Bakteri Bacillus cereus Bacillus cereus ditemukan secara alamiah pada beras dan sayuran. Sporanya tidak terbunuh dengan merebus; apabila dibuat menjadi makanan yang berprotein lebih tinggi (biasanya nasi goreng) ditangani serta didinginkan secara kurang tepat maka
dapat
terbentuk
toksin.
Saat
dipanaskan
ulang
dan
dimakan,
toksinmenyebabkan mual, muntah, dan diare akut (1-6 jam) serupa dengan gejala keracunan makanan stafilokokus (Hawley, 2003).
2.6.2
Bakteri Gram Negatif
Bakteri gram negatif lebih sensitif terhadap antibiotik lainnya seperti streptomisin dan bersifat lebih konstan terhadap reaksi pewarnaan (Fardiaz, 1992). Dinding sel bakteri gram negatif tersusun atas satu lapisan peptidoglikan dan membran luar. Dinding selnya tidak mengandung teichoic acid. Membran luar terususun atas lipopolisakarida, lipoprotein dan pospolipid (Tortora, 2001). Contoh bakteri Gram-negatif yaitu bakteri Escherichia coli.
c. Escherichia coli Karateristik
dari
bakteri
Esherichia
dimana
genus
ini
terdiri
dari
Enterobacteriaceae peragi-laktosa. Escherichia coli adalah patogen manusia terpenting pada genus ini. Sebagian besar strain Escherichia coli adalah flora usus normal nonpatogenik; strain-strain lain bersifat patogenik dengan faktor virulensi dan efek yang berbeda-beda.
Gambar 2.4 Bakteri Escherichia coli
Adapun penyakit yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli adalah sebagai berikut : 2.1.1
Diare
a. Escherichia coli Enterotoksik. ETEC adalah penyebab utama traveller’s diarrhea (diare pelancong) dan diare bayi di negara-negara berkembang. 1. Faktor virulensi meliputi toksin labil-panas (LT), suatu toksin komponen A-B dengan aktivitas ADP-ribosil transferase yang merangsang Gs; toksin ini meningkatkan aktivitas adenilat siklase dan cAMP. Juga terdapat toksin stabil-panas (ST) yang mengaktifkan guanilat siklase. Escherichia coli menyebabkan diare encer noninvasif disertai kram abdomen yang hanya memerlukan pengobatan suportif. 2. Reservoir dan penularan. Di negara-negara berkembang, ETEC ditularkan melalui pemakaian feses manusia sebagai pupuk tanaman dan umumnya pada sanitasi yang buruk. b. Escherichia coli Enteropatogen. EPEC adalah penyebab utama diare kronik dan kegagalan tumbuh kembang bayi di negara-negara berkembang (walaupun rotavirus lebih sering). EPEC tidak dianggap invasif tetapi melekat (faktor virulensi), menyebabkan lesi melalui pengikisan permukaan. c. Escherichia coli Enteroinvasif. EIEC menyebabkan disentri yang serupa dengan yang ditimbulkan oleh shigellosis (demam, diare, muntah, kram abdomen dan tenesmus); banyak pasien memperlihatkan darah dan pus dalam tinja, walaupun sebagian mungkin hanya mengalami diare cair. Virulensi EIC
disebabkan oleh invasi epitel usus. Penularan mungkin berkaitan dengan makanan yang tercemar. d. Escherichia coli Enterohemoragik. Strain EHEC yang paling sering dijumpai adalah O157:H7. 1. Reservoir dan penularan. EHEC dapat dijumpai dalam makanan yang tercemar oleh feses sapi (terutama hamburger). 2. Infeksi dan toksisitas. EHEC menghasilkan suatu toksin hemoragik yang disebut verotoksin, yaitu toksin mirip shiga. Secara klinis, infeksi ini (disebut juga Escherichia coli verotoksik atau VTEC) ditandai dengan diare yang jelas berdarah (kolitis hemoragik) dan dapat berkembang menjadi sindrom uremik hemolitik (SUH) dan gagal ginjal akut. Antibiotik merupakan kontraindikasi; antibiotik meningkatkan risiko kerusakan ginjal. 3. Septikemia dan meningitis neonatus. Strain-strain
Escherichia coli yang
terlibat dalam meningitis adalah strain-strain berselubung K1 yang resisten terhadap aktivitas fagositik dalam aliran darah (Catatan: Namun, perhatiakan bahwa streptokokus grup umumnya lebih sering ditemukan sebagai penyebab meningitis neonatus dibandingkan Escherichia coli.
2.1.2
Infeksi
1. ISK. Escherichia coli adalah penyebab tersering ISK nosokomial maupun yang diperoleh dalam masyarakat. a. Faktor virulensi. Strain yang menyebabkan pielonefritis biasanya memiliki pili-P (pili terkait-pielonefritis) atau x-adhesin, dan keduanya melekat ke uroepitel. b. Penularan. Bakteri penginfeksi berasal dari feses kita sendiri. c. Identifikasi laboratorium. ISK yang pertama kali terjadi dianggap disebabkan oleh Escherichia coli dan diterapi secara empiris dengan trimetoprin-sulfametoksazol tanpa identifikasi laboratorium. Metodemetode diagnostik meliputi : (1) Tes Dipstick. Uji ini memperlihatkan leukosit esterase positif (tanda adanya pus di urine, tidak selalu berkaitan dengan bakteriuria), nitrit positif, dan adanya Gram-negatif pada urine yang tidak dipusing.
(2) Biakan kuantitatif. Hitung >1000/ml urine sekarang dianggap postif pada individu yang simtomatik (Hawley, 2003).
d. Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa adalah genus ini terdiri dari batang Gram-negatif, katalase positif yang motil dan banyak dijumpai (biasanya di air dan tanah). Pseudomonas aeruginosa (suatu oportunis penting) merupakan spesies yang paling penting secara medis. Pseudomonas aeruginosa memiliki bau mirip-anggur yang khas dan menghasilkan pigmen: piosianin, yang merupakan penyebab pus berwarna biru-hijau pada luka bakar, dan fluoresein. Pseudomonas aeruginosa memiliki sebuah lapisan ‘lendir’ (kapsul), eksotoksin A (suatu ADP-ribosil transferase yang menginaktifkan EF-2, menghentikan sintesis protein terutama di sel-sel hati), katalase, pigmen, endotoksin, dan suatu elastase, yang merusak imnoglobulin, elastin, dan beberapa kolagen (Hawley, 2003).
Gambar 2.5 Bakteri Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa kadang-kadang kedapatan didalam luka pada hewan atau manusia. Bakteri ini menyebabkan timbulnya nanah yang kebiruan (Irianto, 2007). Dan resistensinya terdapat banyak antibiotik, organisme ini dapat menyebabkan infeksi gawat pada orang-orang yang menerima pengobatan antibiotik untuk luka bakar atau luka biasa. Organisme ini juga dapat menimbulkan infeksi apabila secara mekanis ditempatkan dalam saluran kencing sewaktu penusukan lumbar (bagian pinggang) (Volk & Wheeler, 1989).
2.7 Struktur Bakteri 1. Selubung Sel Selubung sel (cell envelope) terdiri dari membran sitoplasma, dinding sel, membran luar (hanya bakteri Gram-negatif) dan pada sebagian bakteri, kapsul. 2. Tonjolan Permukaan a. Flagela (tidak terdapat di semua bakteri) adalah filamen-filamen heliks semikaku yang terbuat dari protein. Rotasi berlawanan arah jarum jam. b. menghasilkan gerakan terarah; rotasi searah jarum jam menghasilkan gerakan berguling. c. Fimbria (pili) adalah mikrofilamen berprotein yang menonjol menembus selubung sel. Mikrofilamen ini dapat dikategorikan sebagai adhesin atau lektin (mengikat reseptor sel pejamu spesifik), evasin (menghambat penyerapan fagositik pada individu yang tidak imun), atau pili jenis kelamin (membentuk kontak sel-ke-sel yang diperlukan untuk konjugasi bakteri). d. Antigen permukaan selubung adalah teichoic acid atau protein membran luar (PML) tertentu yang mempengaruhi daya lekat atau virulensi (seperti kemampuan menginvensi sel pejamu nonpatogen). e. Kapsul adalah polisakarida yang menghambat penyerapan fagositik oleh berbagai mekanisme pada individu yang tidak imun (Hawley, 2003).
2.8 Struktur Interior a. Granula. Bakteri melakukan polimerisasi dan menyimpan berbagai senyawa (misalnya fosfat) yang diperlukan dalam jumlah besar. Hal ini menurunkan tekanan osmotik sel bakteri dan dapat menyebabkan terbentuknya granula di sel. b. Tidak adanya organel yang terikat membran. Bakteri adalah sel prokariotik dan tidak memiliki organel (misal, mitokondria dan lisososm) yang terikat membran. Enzim-enzim pernapasan dan sitokrom terbenan dalam membran sitoplasma. c. Endospora. Endospora dijumpai pada dua genus bakteri Gram-negatif: Bacillus (aerobik) dan Clostridium (anaerobik). Endospora resisten terhadap
pemusnahan dengan tindakan perebusan, pendinginan, pengeringan, dan antisepsis. d. Kromosom. Kromosom bakteri merupakan lingkaran tunggal DNA untaiganda yang menutup secara kovalen. Mungkin terdapat salinan dari satu kromosom (Hawley, 2003).
2.9 Proses Pewarnaan Gram Sel Gram-positif dan Sel Gram-negatif Langkah dalam proses pewarnaan Gram Sel Gram-positif dan Sel Gramnegatif dapat dilakukan dalam beberapa langkah yang ditunjukkan dalam tabel 2.1 dibawah ini : Tabel 2.1 Prosedur Pewarnaan Gram Langkah
Sel Gram-positif
Sel Gram-negatif
1. Ungu kristal Gram (suatu partikel zat warna kecil). 2. Iodium Gram (suatu bahan yang menyebabkan terbentuknya kompleks atau mordant). 3. Pengaburan warna alkohol aseton. 4. Counterstain (zat warna tandingan) Safranin (zat warna merah pucat).
Ungu tua (partikel zat warna kecil)
Ungu tua (partikel zat warna kecil)
Ungu tua (kompleks zat warna besar)
Ungu tua (kompleks zat warna besar)
Ungu
Tidak berwarna
Ungu/biru
Merah/merah muda
Antara bakteri Gram-Positif vs Gram-Negatif terdapat perbandingan gambaran selubung sel yang dapat dijelaskan dalam tabel 2.2 dibawah ini : Tabel 2.2 Bakteri Gram-Positif vs Gram-Negatif: Perbandingan Gambaran Selubung Sel
Lapisan Selubung
Bakteri Gram-Positif
Bakteri Gram-Negatif
Dua lapisan: 1. Peptidoglikan (terbuka, seperti jaring) 2. Membran sitoplasma (hidrofobik)
Tiga lapisan: 1. Membran luar atau ML (hidrofobik) 2. Peptidoglikan (terbuka, seperti jaring) 3. Membran dalam (hidrofobik) ML mengurangi kerentanan terhadap lisozim, tetapi rentan terhadap kerusakan oleh antibodi dan komplemen. Membran luar dan endotoksin Ruang periplasma (antara membran) Porin Pili
Gambaran khas
Resisten terhadap pemusnahan oleh antibodi dan yang diperantarai oleh komplemen, tetapi rentan terhadap lisozim. Teichoic acid
Metode perlekatan ke sel manusia
Teichoic acid Streptococcus pyogenes: juga pili (protein M)
Antigen permukaan
Faktor virulensi spesifik Teichoic acid Protein spesifik permukaan, misalnya: • Protein M: Streptococcus grup A (fimbria) • Tuberkulin: Mycobacterium tubercolosis • Protein A: Staphylococcus aureus Bahan kapsul (kecuali kapsul asam hialuronat Streptococcus pyogenes) Flagela
Faktor virulensi spesifik Antigen O (polisakarida LPS) Protein membran luar Fimbria dan pili
Bahan kapsul
Flagela
Peptidoglikan (seperti jaring, tidak hidrofobik)
Efek obat betalaktam
Faktor kolonisasi/virulensi lain Lapisan tebal, mengalami pengikatan-silang ekstensif oleh jembatan pentaglisin.
Faktor kolonisasi/virulensi lain Lapisan tipis, tidak terlalu mengalami pengikatan silang.
Antibiotik dapat berdifusi secara langsung melalui peptidoglikan dan berikatan dengan penicilin binding protein, menghambat pengikatan-silang dinding sel.
Semua antibiotik harus menembus porin. Sebagian, misalnya vankomisin, tidak dapat. Pseudomonas tidak memiliki porin berafinitas tinggi. Ruang periplasma memungkinkan akumulasi beta laktamase (apabila diproduksi). Bakteri Gram-negatif umumnya kurang rentan.
Bakteri Gram-positif umumnya lebih rentan terhadap obat golongan beta-laktam.
Pemicu utama
Peptidoglikan-teichoic acid
Obat golongan betalaktam merupakan obat pilihan untuk beberapa bakteri Gram-negatif, seperti T.pallidum. Endotoksin
peradangan
2.10Spektrofotometri UV-Visible Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Kelebihan spektrometer dibandingkan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat terseleksi yang diperoleh dengan alat pengurai seperti prisma, grating ataupun celah optis (Khopkar, 2007).
Spektrometer UV-Vis sering disebut sebagai alat yang digunakan untuk bekerja di laboratorium analitisdan diterapkan untuk ribuan penentuan yang telah dikembangkan selama bertahun-tahun. Spektrometri UV-Vis telah terbukti sangat berguna dalam analisis biokimiadan sangat penting dalam laboratorium klinis ke sebagian besar rumah sakit modern di mana berbagai komponen darah dan / atau urine secara khusus ditentukan dan dipantau selama 24 jam. Hal ini memainkan bagian dalam studi lingkungan pada polutan, dalam pekerjaan ilmu forensik pada obat-obatan dan dalam menjaga kualitas makanan yang kita konsumsi. Dalam semua alam ini analisis kimia dan laboratorium teknisi secara teratur menggunakan spektrometri UV-Vis sebagai alat penting dalam identifikasi dan kuantifikasi rentang yang sangat luas dari bahan kimia dan biologi. Peralatan untuk tujuan ini berkisar dari komporator-komporator warna yang sangat sederhana melalui instrumen pemindaian otomatis dikendalikan komputer besar yang
mencakup
seluruh
UV-Vis
dari
spektrum
elektromagnetik.
Jika larutan ini diwarnai maka kita segera tahu bahwa itu menyerap lebih dari kisaran terlihat dan karenanya instrumen operasi atas wilayah terlihat mungkin cukup. Namun, jika anda diharapkan untuk melakukan analisis biokimia, instrumen yang mampu mengukur baik di ultraviolet dan daerah tampak terlihat kemungkinan akan diperlukan. Jadi instrumen harus memungkinkan panjang gelombang yang tepat untuk dipilih sesuai untuk analit tertentu. Sampel dan referensi atau larutan kosong harus ditempatkan dalam berkas cahaya sedemikian rupa bahwa rasio balok radiasi ditransmisikan dapat diukur. Akhirnya nilai transmitansi atau lebih nilai absorbansi untuk larutan harus ditampilkan dan direkam. Persyaratan ini memungkinkan kita untuk daftar komponen dasar dari sebuah spektrometer UV-Vis, dan kedua untuk melihat cara komponen ini dirakit di instrumen khas.
2.10.1 Pengertian Spektrofotometri UV-Visible Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UV-Vis
biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Berr. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm (Rohman, 2007). Metode Spektrofotometri Ultraviolet dan Sinar Tampak telah banyak diterapkan
untuk
penetapan
senyawa-senyawa
organik
yang
umumnya
dipergunakan untuk penentuan senyawa dalam jumlah yang sangat kecil (Skoog dan West, 1971). Prinsip kerjanya berdasarkan penyerapan cahaya atau energi radiasi oleh suatu larutan. Jumlah cahaya atau energi radiasi yang diserap memungkinkan pengukuran jumlah zat penyerap dalam larutan secara kuantitatif (Pecsok et al, 1976 ; Skoog & West, 1971). Prinsip dari alat ini radiasi pada rentang panjang gelombang 400-800 nm dilewatkan melalui suatu larutan senyawa. Elektron-elektron pada ikatan didalam molekul menjadi tereksitasi sehingga menempati keadaan kuantum yang lebih tinggi dan dalam proses menyerap sejumlah energi yang melewati larutan tersebut. Semakin longgar elektron tersebut ditahan di dalam ikatan molekul, semakin panjang (energi lebih rendah) radiasi yang diserap. Spektrofotometer UV-Vis pada umumnya digunakan untuk : 1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik. 2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu senyawa. 3. Mampu
menganalisis
senyawa
organik
secara
kuantitatif
dengan
menggunakan hukum Lambert-Beer (Dachriyanus, 2004).
2.10.2 Aspek Kualitatif dan Kuantitatif Spektrofotometri UV-Vis Spektra UV-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.
1. Aspek Kualitatif Data spektra UV-Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung dengan cara lain seperti spektroskopi infra merah, resonansi magnet inti, dan spektroskopi massa, maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi/analisis kualitatif suatu senyawa tersebut. Data yang diperoleh dari spektroskopi UV dan VIS adalah panjang gelombang maksimal, intensitas, efek pH, dan pelarut, yang kesemuanya itu dapat diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasikan (Publissed Data). Dari spektra yang diperoleh dapat dilihat, misalnya : •
Serapan (absorbansi) berubah atau tidak karena perubahan pH. Jika berubah, bagaimana perubahannya apakah dari batokromik ke hipsokromik dan sebaliknya atau dari hiperkromik ke hiperkromik, dan sebagainya.
•
Obat-obat yang netral misalnya kafein, kloramfenikol; atau obat-obat yang berisi auksukrom yang tidak berkonjugasi seperti amfetamin, siklizin dan pensiklidin (Rohman, 2007).
2. Aspek Kuantitatif Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak spesies penyerap lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah foton yang melalui satu satuan luas penampang perdetik. Serapan dapat terjadi jika foton/radiasi yang mengenai cuplikan memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga mengalami penurunan dengan adanya penghamburan dan pemantulan cahaya, akan tetapi penurunan karena hal ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan (Rohman, 2007).