BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Prokrastinasi akademik Kata prokrastinasi pertama kali digunakan oleh Brown and Holtzman untuk
menggambarkan kecenderungan individu dalam menunda penyelesaian tugas atau pekerjaan (Hayyinah, 2004). Silver (dalam Ferrari, Johnson, & McCown, 1995) menyatakan bahwa seseorang yang melakukan prokrastinasi tidak bermaksud untuk menghindari atau tidak mau tahu dengan tugas yang dihadapi, akan tetapi individu hanya menunda-nunda untuk mengerjakannya hingga menyita waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas. Pengertian lain yang dinyatakan oleh Tuckman & Sexton (1989, dalam Tuckman, 1990) bahwa prokrastinasi adalah hasil dari hilangnya kemampuan regulasi diri, kecenderungan untuk menunda atau menghindari aktivitas. Penyebab prokrastinasi menurut Tuckman (1990) adalah hasil dari kombinasi dari (a) ketidak percayaan diri mengenai kemampuan dirinya untuk menyelesaikan suatu tugas, (b) ketidakmampuan untuk menunda hal yang menyenangkan bagi dirinya, dan (c) menyalahkan keadaan eksternal akan beban tugas yang di miliki. Dari beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa prokrastinasi adalah perilaku menunda-nunda dalam melakukan atau menyelesaikan tugas atau aktivitas. Beberapa klasifikasi prokrastinasi yang dijabarkan oleh Sirin (2011) dibagi menjadi lima yaitu (1) General procrastination adalah jenis penundaan pada aktivitas sehari-hari, (2) Decision making procrastination adalah penundaan dalam pengambilan keputusan , (3) Neurotic procrastination biasa disebut juga penundaan kronis dimana penundaan ini terjadi terus menerus sehingga menyebabkan masalah yang serius, (4) Non-obsessional procrastination jenis penundaan yang tidak berkelanjutan. (5) Academic procrastination adalah jenis penundaan yang terjadi dalam setting pendidikan biasanya pelajar melakukan penundaan dalam pengerjaan tugas akademik. Dalam penelitian ini, penulis tertarik membahas mengenai prokrastinasi dalam bidang akademik, karena urgensi untuk meningkatkan kualitas performa akademik siswa dalam bidang pendidikan. Prokrastinasi yang terjadi pada bidang akademis yang biasa dilakukan siswa dan mahasiswa dinamakan prokrastinasi akademik. Noran (dalam Akinsola, Tella, & Tella, 2007) mendefinisikan prokrastinasi akademis sebagai suatu penghindaran dalam mengerjakan tugas
yang seharusanya diselesaikan individu. Individu yang melaksanakan prokrastinasi lebih memilih menghabiskan waktu dengan teman atau pekerjaan lain yang sebenarnya tidak begitu penting daripada mengerjakan tugas yang harus diselesaikan dengan cepat. Pengertian lain yang diajukan oleh Salomon & Rothblum (1989, dalam Sirin 2011) mengenai prokrastianasi akademik adalah penundaan dalam pengerjaan tugas utama seperti persiapan ujian, persiapan tugas akhir, tugas administratif, dan jumlah kehadiran dalam kelas. Salomon & Rothblum mendesain salah satu alat ukur prokrastinasi akademik yang pertama bernama Procrastination Assessment Scale Student (PASS) pada tahun 1989 (Ferrari, Johnson, & McCown, 1995). Alat ukur prokrastinasi akademik selanjutnya yang dikembangkan Aitken tahun 1982 yang tujuannya membedakan anatara non prokrastinator dan prokrastinator. Tuckman (1991) menyatakan bahwa ketidak mampuan mahasiswa untuk tidak melakukan prokrastinasi dapat menimbulkan berbagai masalah. Didasarkan hal tersebut Tuckman membuat alat ukur yang dibuat tahun 1991 bernama Tuckman Procrastination Scale (TPS) untuk menilai tendensi prokrastinasi akademik mahasiswa untuk menyelesaikan tugas dari universitas dengan menilai kemampuan kontrol diri dan self regulation mahasiswa dalam penyelesaian tugas (Ferrari, Johnson, & McCown, 1995). Dari penjelasan diatas, peneliti menggunakan teori prokrastinasi akademik yang diungkapkan Tuckman & Sexton yang menyebutkan bahwa prokrastinasi akademik adalah hasil dari hilangnya kemampuan regulasi diri, kecenderungan untuk menunda atau menghindari aktivitas dalam bidang akademik (Tuckman & Sexton, 1989, dalam Tuckman, 1990). 2.1.1
Bentuk prokrastinasi akademik Dalam mendefinisikan prokrastinasi, maka terdapat dua bentuk prokrastinasi dalam
setting akademik yang dapat dikelompokan. Menurut Ferrari, Johnson, & McCown (1995) terdapat dua bentuk prokrastinasi, yaitu: 1. Functional procrastination Prokrastinasi fungsional adalah saat seseorang melakukan penundaan menyelesaikan tugas karena mempunyai tujuan untuk memperoleh informasi lebih lengkap dan akurat. Seperti saat mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi tetapi masih menunggu format penulisan skripsi yang belum dibagikan pada mahasiswa. 2. Disfunctional procrastination Prokrastinasi disfungsional terjadi saat individu melakukan penundaan pengerjaan tugas yang notabene adalah prioritas utama tanpa didasari alasan yang berarti.
Contohnya saat mahasiswa telah diberikan tugas dan deadline tetapi menunda pengerjaan tugasnya untuk menggunakan media sosial. 2.1.2
Ciri-ciri prokrastinator Berdasarkan pengertian dari prokrastinasi di atas, maka terdapat beberapa ciri dari
prokrastinasi yang dapat dijabarkan dengan lebih detail. Berbagai ciri-ciri individu yang melakukan prokrastinasi menurut Bernard (1991, dalam Catrunada, 2008) sebagai ciri kepribadian procrastinator, tetapi ini bukan gambaran kepribadian yang utuh, yaitu: (1) Neurotism / high anxiety ( tingkat kecemasan yang tinggi dalam diri individu dalam menghadapi suatu situasi yang tidak menyenangkan, seperti konflik, perasaan frustrasi, ancaman fisik dan psikis dan lain lain), (2) Depression / low self-esteem (Individu memiliki rasa percaya diri rendah dan menilai dirinya tidak mampu mencapai suatu hal, dan mudah menyerah), (3) Rebellious (Individu pemberontak, beberapa faktornya adalah pola asuh otoritatif),(4) Pessimistic / internal (Individu pesimis dan mudah menyerah memiliki kecenderungan menunda mengerjakan tugas dan adanya pemikiran bila tugas dikerjakan baik hal tersebut terjadi bukan dari kemampuan mereka), (5) Irrational beliefes ( Dalam diri individu tertanam kepercayaan yang irasional, bersifat negatif, kepercayaan diri rendah, dan kecemasan tinggi membuat individu percaya bila dirinya berhasil akan dijauhi lingkungannya), (6) Lack of achievement motivation ( Kurangnya motivasi berprestasi dapat membuat individu mengalami kegagalan mengerjakan tugasnya), (7) Poor self-control / impulsiveness ( Kurangnya kontrol diri untuk mengendalikan dorongan diri), dan (8) Disorganization ( Sulit menjadi orang yang teratur, ketidakteraturan dan kecemasan yang timbul bersamaan adalah ciri procrastinator). 2.1.3
Faktor prokrastinasi akademik Berbagai hal atau faktor-faktor di luar individu yang bersangkutan dapat mempengaruhi
perilaku prokrastinasi terutama dalam hal akademik. Terkadang hal-hal yang tidak disadari atau di luar kontrol seorang melakukan prokrastinasi mampu memberikan dampak-dampak tidak terduga yang disadari atau tidak berakibat ( positif atau negatif ) kepada hasil prokrastinasi. Menurut Rumiani (2006) Terdapat dua faktor yang menyebabkan prokrastinasi akademik: a. Internal : Faktor fisik dan psikologis dalam diri individu mempengaruhi terjadinya perilaku prokrastinasi akademik. Contohnya saat kelelahan akan mendorong individu untuk menunda pengerjaan suatu tugas.
b. Eksternal : Faktor lingkungan diluar individu itu sendiri. Contohnya terlalu banyak tugas yang dibebankan pada individu. 2.2
Problematic internet use (PIU) Beberapa ahli menggunakan beberapa istilah untuk menyatakan kondisi psikologis
seseorang dalam penyalahgunaan internet seperti “Internet addiction”, “Internet dependency”, “pathological Internet use”, hingga “problematic Internet use”. Hal ini normal terjadi pada masa perkembangan awal suatu kondisi psikologis (Davis, Flett, & Beser, 2002). Problematic Internet Use (PIU) merupakan sebuah sindrom multi dimensional yang terdiri dari tanda-tanda kognitif maladaptive dan perilaku yang menghasilkan hal negatif dalm sosial, akademis, atau konsekuensi professional Caplan (2003, dalam Young & Abreu, 2010). Davis (dalam Kim, LaRose, & Wei, 2009) yang menyatakan bahwa problem psychosocial seperti kesepian dan depresi memiliki peran utama antecendence dari PIU. Bahwa individu tersebut merasakan interaksi sosial secara online lebih tidak beresiko dibanding pertemuan tatap muka. PIU adalah sebuah sindrom multi dimensional yang terdiri dari tandatanda kognitif maladaptive dan perilaku yang menghasilkan hal negatif dalam sosial, akademis, atau konsekuensi professional (Caplan, 2003). Menurut Caplan (2003, dalam Young & Abreu, 2010) terdapat beberapa tanda kognitif dan perilaku dari PIU, yaitu perubahan mood, persepsi dari keuntungan online sosial, penggunaan kompulsif, penggunaan berlebihan, pengulangan kembali, dan merasakan kontrol sosial.
2.2.1
Konstruk problematic internet use (PIU)
Alat ukur yang digunakan untuk menilai skor Problematic Internet Use adalah The General Problematic Internet Use Scale 2 (GPIUS 2) yang dipublikasi Caplan pada tahun 2010. Terdapat 4 konstruk: 1. Preference for online social interaction (POSI). Perbedaan karakteristik kognitif individual yang ada karena perbedaan akan kepercayaan mana yang lebih aman, lebih dapat dipercaya, dan mana yang lebih nyaman dengan interaksi interpersonal secara online daripada aktivitas tatap muka tradisional.
2. Mood regulation Regulasi mood adalah salah satu gejala kognitif pada generalized problematic internet use. Caplan (2002, dalam Caplan, 2010) menemukan regulasi perasaan merupakan patokan prediksi dari hasil negatif yang diasosiasikan pada penggunaan internet. 3. Deficient self-regulation Pengurangan kemampuan regulasi diri dari penggunaan internet merupakan keadaan dimana kesadaran kontrol diri relatif berkurang (La Rose et al, 2003 dalam Caplan, 2010). Deficient self-regulation pada GPIUS2 dibagi menjadi 2 bagian yaitu: a) Cognitive preoccupation Mengacu pada pola pemikiran obsesif dalam menggunakan internet, seperti adanya pemikiran bahwa seseorang tidak dapat berhenti mengakses internet atau ketika sedang tidak mengakses internet individu tidak dapat berhenti memikirkan apa yang terjadi pada internet (Caplan,2010). b) Compulsive internet use Compulsive internet use adalah keinginan seseorang untuk terus mengakses internet bahkan ketika dirinya tidak sedang memiliki keperluan untuk menggunakan internet. Individu mengalami kesulitan untuk mengontrol waktu yang dihabiskan untuk berinternet, serta kesulitan untuk mengontrol penggunaan internet (Caplan, 2010). 4. Negative outcome Beberapa dampak negatif yang dialami pengguna internet seperti sulit mengatur hidupnya, gangguan pada kehidupan sosialnya, serta permasalahan lain (Caplan,2010). 2.2.2
Gejala-gejala problematic internet use (PIU) Beberapa tanda kognitif dan perilaku yang muncul dari PIU yang diungkapkan Caplan
(2002): 1. Perubahan persepsi sosial mengenai manfaat dari online. 2. Penggunaan kompulsif (kurangnya pengendalian diri seseorang dalam hal penggunaan internet online dibarengi dengan perasaan bersalah atas ketidakmampuan diri untuk mengontrol). 3. Penggunaan berlebihan (penggunaan internet diatas normal, melebihi batas waktu yang telah direncanakan, atau tidak lagi mengetahui waktu ketika sedang online).
4. Perubahan suasana (dengan menggunakan internet dapat memfasilitasi perubahan suasana negatif yang terjadi). 5. Persepsi pengendalian sosial (kontrol sosial yang lebih saat berinteraksi secara online dibandingkan saat tatap muka). 6. Penarikan diri (kesulitan untuk mengendalikan diri saat offline atau jauh dari internet). 2.3
Media sosial Menurut Oxford Dictionary (2011) media sosial adalah website dan aplikasi yang
digunakan untuk jaringan sosial. Pengertian lebih lanjut dari jaringan sosial adalah website dan aplikasi yang digunakan untuk berkomunikasi antar sesama pengguna, atau untuk mencari orang yang memiliki kesukaan yang sama dengan dirinya (The Oxford Dictionary, 2011). Menurut Michigan State University (MSU) Mendefinisikan media sosial sebagai mencangkup komunikasi dan pengalaman yang didistribusikan secara elektronik oleh organisasi maupun individu, digunakan melalui komputer dan handphone, disebarkan secara elektronik dan dipublikasi oleh beragam individu, dan didiskusikan oleh populasi yang terhubung. Pada jaman ini, media sosial biasa ditemui dalam konteks online software application seperti Facebook, Twitter, Youtube, Flickr dimana tulisan, media, tautan, dan pendapat disebarluaskan, didiskusikan dan didistribusikan kembali (The Michigan State University, 2013). Sedangkan Kaplan dan Haenlein (2010) mendefinisikan media sosial sebagai kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran. Dari data yang didapat menurut Dimas Novriandi 2015, sebanyak 93,4 juta pengguna internet di Indonesia hampir semua memiliki akun media sosial. Media sosial ini tentunya akan menarik lebih banyak pengguna di tahun 2015. Diantara berbagai media sosial itu adalah Facebook, Google+, Twitter, YouTube, Instagram, Path dan juga LinkedIn. (Liputan6.com, 2015). Data lain yang di dapatkan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2014 mengenai angka pengguna internet di Indonesia naik mencapai 88,1 juta pengguna dan sebagian besar pengguna berusia 18-25 tahun (APJII, 2015). Menurut Kaplan & Haenlin (2010) terdapat 6 jenis media sosial: 1.
Collaborative Projects Konten yang terdapat dalam website dapat diakses oleh semua orang
Wikis : Semua orang dapat melakukan proses edit informasi dalam sebuah situs, seperti Wikipedia, dan lain lain. Social Application Bookmark : Konten atau link dalam sebuah situs internet dikelompokkan kemudian diberi peringkat oleh orang yang mengakses situs tersebut. Contohnya adalah Digg, Amazon, dan lain-lain. 2. Blogs and Microblogs Blog dan mikroblog adalah website maupun aplikasi yang memberikan kesempatan penggunanya untuk menyampaikan opini, pengalaman atau kegiatan sehari-hari berupa tulisan, foto atau video yang bertujuan agar dapat dilihat oleh orang lain. Contoh dari blog adalah Blogspot, WordPress, dan sebagainya. Sementara contoh dari microblog adalah Twitter, Tumblr, dan lain-lain. 3. Content Communities Sebuah aplikasi dimana pengguna dapat berbagi konten berupa pesan, foto, lagu, video, ebook dan lainnya dengan seseorang baik jarak jauh maupun dekat. Contohnya adalah Line, Whatsapp, BBM, Instagram, Flickr, Youtube, Path, dan lain lain. 4. Social Networking Sites Situs jejaring sosial yang biasa digunakan orang untuk dapat berhubungan dengan pengguna lain, didalamnya individu dapat membuat dan mengubah profil yang dapat ditampilkan dan dilihat oleh pengguna lain. Contohnya Facebook, MyScape, LinkedIn, dan lainnya. 5. Virtual Game World Dunia permainan virtual, dimana pengguna dapat membuat dan mengubah avatar dirinya dan berkomunikasi dengan pengguna lain seperti dalam dunia nyata. Contohnya adalah game online, seperti Clash of Clans, Counter Strike, dan lain lain. 6. Virtual Social World Dalam dunia sosial virtual, pengguna juga dapat membuat avatar yang mirip dengan dunia nyata untuk dapat berinteraksi dengan pengguna lain dalam bentuk tiga dimensi. Contohnya seperti SecondLife. 2.4
Emerging adulthood Menurut Arnett (2006, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007) Emerging adults adalah
masa transisi antara remaja dan dewasa yang terjadi pada awal usia 20-an dan melibatkan
pengalaman untuk bereksperimen serta bereksplorasi terhadap dunianya. Menurut Arnett (2004) usia yang dapat dikategorikan sebagai emerging adulthood adalah 18-25 tahun. Menurut Arnett (2004), konsep emerging adulthood tidak dapat dikatakan sebagai extended adolescents karena berbeda dengan remaja. Perbedaan itu ditandai dengan sedikitnya kontrol dari orang tua, dan tidak lagi mendapat pengarahan untuk menemukan siapa diri mereka sehingga pencarian diri bersifat independen. Sebaliknya mengapa emerging adulthood tidak dapat dikatakan young adulthood dikarenakan mayoritas emerging adulthood yang berada dalam usia 20-an belum dapat membuat keputusan yang berhubungan dengan masa dewasa dan masih merasa belum mencapai periode tersebut. Oleh karena itu mereka belum bisa dikatakan sebagai dewasa secara utuh. 2.4.1
Konsep emerging adulthood Arnett (2004) menjelaskan 5 konsep emerging adulthood:
1.
The Age of Identity Explorations (Usia Eksplorasi Diri) Pada masa emerging adulthood, pencarian identitas diri yang dapat menggabarkan sosok
dirinya secara utuh dan tepat menjadi topik utama. Kecenderungan emerging adulthood untuk mengeksplorasi berbagai bidang terutama dalam bidang cinta dan pekerjaan. Kesempatan terbuka bagi kaum emerging adulthood untuk mencoba berbagai pilihan dan cara hidup. Kaum emerging adulthood menganggap pencarian identitas sebagai hal yang menyenangkan sebelum menetapkan pilihan dan memiliki tanggung jawab atas kehidupan pada masa dewasa, hal ini terjadi didasari atas kesadaran bahwa hal tersebut tidak akan mereka dapatkan ketika menginjak usia 30 atau lebih. 2.
The Age of Instability (Usia Masa Ketidakstabilan) Emerging adulthood sering membuat keputusan berbeda, karena rencana awal yang telah
dibuat tidak dijalankan dan membuat rencana baru dan seterusnya. Akhirnya mereka akan belajar mengenai dirinya dan diharapkan akan mengambil langkah tepat untuk masa depannya. 3.
The Self-focused Age (Usia Berfokus pada Diri) Emerging adulthood lebih berfokus pada dirinya sendiri, sehingga akan sadar mengenai
perasaan dan perspektif orang lain, dapat meningkatkan kemampuan dalam kehidupan sehari-
hari, mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai hal yang diinginkan dan mulai membangun dasar untuk masa dewasa mereka. Menentukan kehidupannya secara mandiri, karena keputusan yang diambil adalah buah dari pemikiran dari hal yang benar-benar mereka inginkan. Tujuan fokus pada diri sendiri adalah untuk belajar menjadi individu yang mandiri dan langkah penting sebelum memiliki komitmen berhubungan dengan orang lain. 4.
The Age of Feeling-in-Between (Usia Peralihan Perasaan) Perasaan kebingungan kaum emerging adulthood mengenai statusnya yang sudah bukan
lagi berada dimasa remaja dan belum bisa dikatakan dewasa secara utuh. Anggapan saat mereka dikatakan sudah atau sebagai dewasa adalah keharusan untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri, membuat keputusan secara bebas, dan mandiri dalam segi finansial. Ketiga hal tersebut dianggap oleh kaum emerging adulthood sebagai sebuah tahapan dan sebuah hal yang belum dapat mereka lakukan karena pemikiran bahwa mereka belum memasuki usia dewasa utuh. 5.
The Age of Possibilities (Usia Kemungkinan) Kaum emerging adulthood memiliki harapan yang tinggi dan besar, karena kepercayaan
bahwa mereka akan memiliki keadaan yang baik dalam kehidupan percintaan, pekerjaan, dan keluarga. Mereka membayangkan dimasa depan akan mendapatkan pekerjaan yang baik, pernikahan yang langgeng, dan keluarga yang bahagia. Anggapan bahwa di masa emerging adulthood inilah mereka memiliki kesempatan untuk berubah sebagai pribadi yang tidak berada dibawah kontrol orang tua, melainkan pribadi yang mampu membuat keputusan yang bersifat bebas sesuai apa yang mereka ingin dan bagaimana cara mereka memulai kehidupannya di masa depan. 2.4.2
Problematic internet use dan emerging adults Menurut Odaci (2011) bahwa usia mahasiswa 18-22 tahun adalah usia yang kritis dalam
hal perkembangan sosial dan emosinya, sebagai grup yang potensial mengalami ketergantungan penggunaan internet. Mahasiswa usia 16-24 adalah target paling potensial pengguna internet (Odaci, 2011). Menurut studi yang dilakukan Derbyshire et al. (2013) di Amerika Serikat yang dilakukan pada 2108 mahasiswa S1 menunjukan 12,9% mahasiswa berada di tingkatan limited internet use, sedangkan 81,8% mahasiswa berada di tingkatan mild internet use, dan 5,3% berada di tingkatan severe internet use. Dalam penelitian sebelumnya yang diungkapkan Kittinger,
Correia, & Irons (2013) menyebutkan bahwa hingga 50% mahasiswa mengalami permasalahan terkait penggunaan internet. 2.4.3
Prokrastinasi akademik dan emerging adults Menurut Arnett (2004) usia mahasiswa S1 (undergraduate) adalah 18-22 tahun. Pada
rentang usia ini termasuk dalam kelompok usia emerging adulthood (18-25 tahun). Menurut Mohhamadi, Tahriri, & Hassaskhah (2015) mahasiswa memiliki kecenderungan tidak dapat meluangkan cukup waktu untuk mengerjakan tugas akademik dan belajar, jadi mereka memiliki kecenderungan untuk menunda pengerjaan tugas akademiknya. Sedangkan menurut Sirin (2011, dalam Mohhamadi, Tahriri, & Hassaskhah, 2015) menyatakan bahwa pada jaman ini, prokrastinasi adalah hal yang umum bagi murid, terutama mahasiswa S1 yang sering menunjukan perilaku prokrastinasi dalam hal akademik seperti penyelesaian pekerjaan rumah, belajar, dan persiapan ujian.
2.5 Kerangka berpikir Di Indonesia menurut data yang diperoleh dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2014 mengenai angka pengguna internet di Indonesia naik mencapai 88,1 juta pengguna dan sebagian besar pengguna berusia 18-25 tahun (APJII, 2015).Mahasiswa usia 18-24 adalah target paling potensial pengguna internet (Odaci & Cikrikci, 2014). Sebanyak 75% dari rata-rata usia emerging adulthood (18-24 tahun) telah terbukti memiliki akun media sosial (Kim, LaRose, & Wei, dalam Papacharissi, 2011). Kaplan dan Haenlein (2010) mendefinisikan media sosial sebagai kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran. Penelitian dari Kittinger, Correia, & Irons (2013) menyebutkan bahwa penggunaan media sosial yang semakin meningkat dapat menyebabkan PIU, dari hasil penelitiannya sebagian kecil partisipan penelitiannya memiliki gejala PIU yang diakibatkan penggunaan media sosial. Menurut Chou (2001, dalam Yellowlees & Marks, 2007) menyebutkan bahwa mahasiswa yang memiliki kecenderungan penggunaan internet berlebihan sebagai salah satu tanda terjadinya PIU. Penggunaan internet serta media sosial telah menjadi obsesi dan meningkatnya ketergantungan mahasiswa yang masuk pada tahap emerging adulthood yang memiliki kecenderungan untuk mengakses media sosial dari pada mengerjakan tugas kuliahnya. Obsesi dan kecenderungan untuk mengakses internet atau media sosial secara terus menerus termasuk dalam kurangnya
kemampuan regulasi diri dimana keadaan kesadaran dan kontrol diri seseorang relatif berkurang (Caplan, 2010). Dimana kurangnya kemampuan regulasi diri ini merupakan salah satu dimensi PIU yaitu deficent self-regulation (Caplan, 2010). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Flad (2010) menunjukkan bahwa 50 persen partisipan lebih banyak meluangkan waktu mereka untuk menggunakan media sosial daripada mengerjakan tugas-tugas yang telah diberikan. Menurut Lays (1988, dalam Mohhamadi, Tahriri, & Hassaskhah, 2014) menyatakan bahwa individu dengan PIU atau penggunaan internet yang berkelanjutan dapat juga memiliki kecenderungan untuk melakukan penundaan pengerjaan tugas. Penundaan pengerjaan tugas dapat disebut sebagai prokrastinasi akademik. Menurut Tuckman & Sexton (1989, dalam Tuckman, 1990) Prokrastinasi akademik adalah hasil dari hilangnya kemampuan regulasi diri, kecenderungan untuk menunda atau menghindari aktivitas dalam bidang akademik. Sedangkan Odaci (2011) menyatakan bahwa mahasiswa yang melakukan prokrastinasi akademik bisa mendapatkan gejala PIU dengan menggunakan internet yang secara meningkat. Hal ini juga sejalan dengan studi dari University of Illinois Counseling Center (1996, dalam Santrock, 2008) yang menyatakan bahwa prokrastinasi akademik dilakukan salah satunya dengan menghabiskan waktu untuk browsing internet.
Gambar Error! No text of specified style in document.2.1 Bagan kerangka berpikir Mahasiswa 18-25 Tahun
Media Sosial
Problematic Internet Use
Prokrastinasi Akademik
Sumber: diolah oleh peneliti (2015)
2.6 Asumsi penelitian Dalam penelitian ini, peneliti memiliki asumsi bahwa terdapat hubungan yang positif antara PIU dengan prokrastinasi akademik pada mahasiswa pengguna media sosial di Jakarta. Mahasiswa yang memiliki PIU tinggi, maka akan memiliki prokrastinasi akademik yang tinggi, sebaliknya mahasiswa yang memiliki PIU rendah, maka akan memiliki prokrastinasi akademik yang rendah pula.