7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hemodialisis 2.1.1. Definisi dan Prinsip Kerja HD adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semipermeabel (dialiser), yang berfungsi sebagai nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black, 2005; Ignatavicius, 2006 dalam Septiwi, 2011). Sistem HD terdiri dari sistem vaskuler eksternal yang akan dilewati saat darah pasien di transfer ke dalam sistem pipa polietilena steril menuju ke filter dialisis/ dialiser menggunakan pompa mekanik. Darah pasien akan ditransfer menuju sistem vaskuler eksternal tersebut melalui akses vaskuler, yang merupakan akses permanen ke aliran darah untuk HD (Dipiro et al, 2011). Akses vaskuler dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu arteriovenous (AV) fistula, AV graft, dan venous catheters. AV fistula dibuat dengan cara anastomosis vena dan arteri (idealnya arteri radialis dan vena sefalika di lengan bawah). AV fistula membutuhkan waktu lebih kurang 1 sampai 2 bulan sebelum dapat secara rutin digunakan untuk dialisis. Sedangkan AV graft sintetik, yang merupakan pilihan lain untuk akses AV permanen, biasanya menggunakan polytetrafluoroethylene (PTFE) sebagai penghubung. Secara umum memerlukan waktu sekitar 2-3 minggu sebelum dapat digunakan secara rutin. Venous catheters merupakan akses vaskuler yang sering digunakan pada pada pasien HD kronik. Venous catheters dapat ditempatkan di vena femoralis, vena subklavia, atau vena jugularis interna (Dipiro et al, 2011). Setelah masuk ke dalam sistem vaskuler eksternal, darah pasien akan diinjeksikan dengan antikoagulan sistemik (heparin) dan kemudian akan melewati dialiser. Dialiser adalah tempat dimana darah dan cairan dialisis (dialisat), yang terdiri dari air murni dan elektrolit, bertemu dan terjadi pergerakan molekul antara dialisat dan darah melalui membran semipermeabel. Terdapat dua mekanisme
Universitas Sumatera Utara
8
pengangkutan zat terlarut melewati membran semipermeabel, yaitu difusi dan ultrafiltrasi (konveksi) (Daugirdas et al, 2007). 1) Difusi Proses difusi pada HD berfungsi untuk membuang produk limbah yang terdapat dalam darah. Akibat perbedaan konsentrasi antara darah dan dialisat akan menyebabkan produk limbah dalam darah, yang mempunyai konsentrasi tinggi, bergerak melewati membran menuju dialisat yang mempunyai konsentrasi lebih rendah. Jika darah dan dialisat dibiarkan dalam kedaan statis satu sama lain melalui membran, konsentrasi produk limbah dalam dialisat akan menjadi sama dengan yang di dalam darah, dan pembuangan lebih lanjut dari produk limbah tidak akan terjadi. Oleh karena itu, selama proses HD, untuk mencegah konsentrasi kesetimbangan, gradien konsentrasi antara darah dan dialisat harus dimaksimalkan dengan terus mengisi kompartemen dialisat dengan cairan dialisis segar dan mengganti darah dialisis dengan darah yang belum terdialisis. Biasanya arah aliran dialisat dipompa ke dialiser berlawanan dengan arah aliran darah, hal ini berguna untuk memaksimalkan perbedaan konsentrasi antara produk limbah dengan dialisat (Daugirdas et al, 2007). 2) Ultrafiltrasi Ultrafiltrasi selama HD diperlukan untuk mengeluarkan akumulasi air, baik yang berasal dari konsumsi cairan maupun metabolisme makanan selama periode interdialitik. Ultrafiltrasi terjadi ketika air didorong oleh tekanan hidrostatik ataupun tekanan osmotik melalui membran. Air akan terbawa bersama dengan zat terlarut yang melalui pori-pori membran (Daugirdas et al, 2007). Setelah terjadi proses HD di dalam dialiser, maka darah akan dikembalikan ke tubuh pasien. Sedangkan dialisat yang telah berisi produk limbah yang tertarik dari darah pasien akan dibuang oleh mesin dialisis dengan cairan pembuang yang disebut ultrafiltrat. Semakin banyak zat toksik atau cairan tubuh yang dikeluarkan maka bersihan ureum yang dicapai selama HD akan semakin optimal (Depkes, 1999; Brunner & Suddarth, 2001; Black, 2005 dalam Septiwi, 2011).
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 1. Prinsip Kerja HD (Dipiro et al, 2011)
Pada proses HD, darah pasien dipompakan ke dializer dengan kecepatan 300-600 ml/menit. Sedangkan dialisat dipompakan dengan kecepatan 500-1000 ml/menit. Laju pemindahan cairan dari pasien dikontrol dengan cara menyesuaikan tekanan dalam kompartemen dialisat (Dipiro et al, 2011).
2.1.2. Epidemiologi Berdasarkan data USRDS, total insidensi kasus dialisis
di Amerika
Serikat meningkat sebanyak 0,27% pada tahun 2010 menjadi 114.083 kasus. Pada 31 Desember 2010 tercatat prevalensi kasus HD sebanyak 383.992 kasus, dimana terjadi peningkatan sekitar 4% dibandingkan tahun 2009 (USRDS, 2012). Di Indonesia, jumlah penderita PGK pada tahun 2011 yaitu sekitar 12.780 orang dan 6.951 diantaranya menjalani HD. Jumlah ini semakin meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2009 dan 2010 tercatat masing-masing 4.707 dan 5.184 orang menjalani HD (IRR, 2011).
Universitas Sumatera Utara
10
Tabel 2.1. Pasien baru dan pasien aktif yang menjalani HD di Indonesia dari tahun 2007-2011 (IRR, 2011) 2007
2008
2009
2010
2011
Pasien Baru
4977
5392
8193
9649
15353
Pasien Aktif
1885
1936
4707
5184
6951
2.1.3
Indikasi Kriteria untuk memulai terapi dialisis, antara lain adanya gejala uremia,
hiperkalemia yang tidak respon terhadap terapi konservatif, peningkatan volume ekstraseluler yang persisten, asidosis yang sulit diatasi dengan terapi medis, diatesis hemoragik, creatinine clearance atau GFR dibawah 10 mL/menit (Fauci et al, 2008).
2.2. Kualitas Hidup 2.2.1 Definisi Kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap kedudukannya dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dan berkaitan dengan tujuan, harapan, dan martabat untuk dapat menjalankan peran dan fungsinya. Kualitas hidup merupakan konsep yang luas dan terpengaruh secara kompleks dengan kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan pribadi, dan hubungan mereka dengan lingkungannya (WHO, 1997).
2.2.2
Penilaian Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis World Health Organization (WHO) mendefinisikan sehat sebagai keadaan
mental, sosial, dan fisik yang baik dan tidak terbatas hanya pada tidak adanya penyakit. Oleh karena itu, pengukuran kualitas hidup dapat menunjukkan dampak penyakit terhadap kinerja fisik, mental dan sosial pasien (Kojima, 2012; Kusleikaite et al, 2010 dalam Rostami et al, 2013).
Universitas Sumatera Utara
11
Penilaian kualitas hidup pasien ESRD yang menjalani HD terdiri dari beberapa aspek, antara lain : efek dialisis terhadap kehidupan sehari-hari, beban dari penyakit, status pekerjaan, fungsi kognitif, kualitas interaksi sosial, fungsi seksual, dukungan sosial, fungsi fisik, peran fisik dalam rutinitas sehari-hari, rasa sakit, persepsi kesehatan umum, peran emosional, fungsi sosial, dan energi (Kastrouni et al, 2010). Pendekatan yang paling sering digunakan dalam menilai kualitas hidup dalam suatu penelitian adalah dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri walaupun beberapa teknik lain seperti wawancara atau melalui telepon dapat digunakan (Wijaya, 2005). Para ilmuan telah banyak mengembangkan alat ukur yang digunakan untuk menilai kualitas hidup, salah satu kuesioner yang telah digunakan secara luas dan telah tervalidasi adalah SF-36. SF-36 adalah instrumen berupa kuesioner yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas hidup pasien-pasien yang menderita penyakit kronik secara umum (Chen et al, 2000). Penggunaannya telah terbukti bermanfaat dalam memantau kesehatan, hasil praktek klinis, dan mengevaluasi hasil pengobatan (Wang et al, 2008).
2.3. SF-36 2.3.1 Definisi SF-36 adalah instrumen non-spesifik yang umumnya digunakan untuk menilai kualitas hidup (Wang et al, 2008). SF-36 merupakan kuesioner multi fungsi dan bentuk singkat dari survey kesehatan dengan 36 pertanyaan (Ware, 2004). Kuesioner SF-36 terdiri dari 1 pertanyaan transisi, berfungsi untuk menilai perubahan kesehatan umum dalam satu tahun terakhir, dan 35 pertanyaan mengenai kualitas hidup yang dibagi dalam 8 skala, antara lain : 1) fungsi fisik, 2) keterbatasan akibat masalah fisik, 3) perasaan sakit/nyeri, 4) kesehatan umum, 5) vitalitas, 6) fungsi sosial, 7) keterbatasan akibat masalah emosional, dan 8) kesehatan mental. Kemudian masing-masing skala disimpulkan menjadi 2 dimensi utama, yaitu dimensi kesehatan fisik dan dimensi kesehatan mental (Kalantar-Zadeh et al, 2001).
Universitas Sumatera Utara
12
Tabel 2.2. Pembagian Skala dan Dimensi SF-36 (Kalantar-Zadeh et al, 2001) Skala
Dimensi
Fungsi fisik
Keterbatasan akibat masalah fisik Perasaan sakit/nyeri
Kesehatan Fisik
Kesehatan umum
Vitalitas
Fungsi sosial
Keterbatasan akibat masalah emosional
Kesehatan Mental
Pertanyaan 3.Aktivitas berat 4.Aktivitas sedang 5. Mengangkat/membawa belanjaan 6.Menaiki anak tangga beberapa lantai 7.Menaiki anak tangga satu lantai 8.Membungkuk, berlutut, atau jongkok 9.Berjalan lebih dari satu km 10.Berjalan beberapa ratus meter 11.Berjalan seratus meter 12.Mandi dan berpakaian sendiri 13.Mengurangi waktu dalam melakukan pekerjaan 14.Tidak dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sempurna 15.Hanya dapat melakukan pekerjaan/aktivitas tertentu 16.Sulit melaksanakan pekerjaan 21.Tingkatan rasa nyeri yang dirasakan 22.Rasa nyeri yang mengganggu 1.Kondisi kesehatan secara umum 36.Kesehatan baik luar biasa 34.Sama sehatnya seperti orang lain 33.Lebih mudah sakit 35.Kesehatan memburuk 23.Semangat 27.Energi 29.Lelah atau loyo 31.Capek 32.Seberapa lama keterbatasan fisik/emosi mengganggu aktifitas sosial 20. Seberapa besar keterbatasan fisik/emosi mengganggu aktifitas sosial 17.Mengurangi waktu dalam melakukan pekerjaan 18.Tidak dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sempurna 19.Tidak cermat dalam melakukan pekerjaan 24.Ragu-ragu 25.Tertekan 26.Tenteram 28.Kecewa atau sedih 30.Bahagia 2.Perubahan kondisi kesehatan
Kesehatan mental
Universitas Sumatera Utara
13
Perhatikan pada tabel 2.2. bahwa skala vitalitas dan kesehatan umum merupakan bagian yang timpang tindih dari kedua dimensi, yaitu dimensi kesehatan fisik dan dimensi kesehatan mental. Dan untuk pertanyaan nomor 2, yang merupakan evaluasi terhadap perubahan kesehatan selama satu tahun terakhir, tidak tergabung dalam skor, dimensi, maupun total skor dalam kuesioner SF-36 (Kalantar-Zadeh et al, 2001). Untuk memudahkan penggunaan dan agar lebih mudah dimengerti, pertanyaan-pertanyaan SF-36 diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, tanpa merubah makna aslinya. Beberapa pertanyaan diterjemahkan dan dimodifikasi ke dalam nilai perkiraan agar tidak membingungkan. Misalnya pertanyaan “Lifting/carrying groceries?” diterjemahkan membawa/ mengangkat belanjaan, mengangkat barang ringan 7-10 kg. “Walking several blocks” diterjemahkan menjadi 100 meter, dan lain-lain. SF-36 yang sudah diterjemahkan dan dimodifikasi ini disebut sebagai SF-36 Medan Modifikasi (Nasution, 2008). SF-36 Medan Modifikasi telah digunakan secara luas di indonesia untuk mengukur kualitas hidup terkait kesehatan. Selain itu validitasnya juga telah dibuktikan pada populasi umum dan beberapa grup pasien yang bervariasi (Yani, 2010; Lina, 2008; Nasution, 2008).
2.3.2
Cara Pengukuran Sistem penilaian SF-36, skala dinilai secara kuantitatif, masing-masing
skala terdiri dari 2-10 pertanyaan pilihan berganda, dengan skor antara 0-100, skor yang tinggi menunjukkan kualitas hidup yang baik terkait kondisi kesehatan pasien (Diaz-Buxo et al, McHorney et al dalam Kalantar-Zadeh et al, 2001). Skor 50±10 diartikan kualitas hidup menyerupai populasi normal (Yani, 2010).
Tabel 2.3. Skor Kuesioner SF-36 (RAND, 2014) No Pertanyaan
Kategori Respon
Skor
1, 2, 20, 22, 34, 36
1
100
2
75
3
50
Universitas Sumatera Utara
14
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19
21, 23, 26, 27, 30
24, 25, 28, 29, 31
32, 33, 35
4
25
5
0
1
0
2
50
3
100
1
0
2
100
1
100
2
80
3
60
4
40
5
20
6
0
1
0
2
20
3
40
4
60
5
80
6
100
1
0
2
25
3
50
4
75
5
100
Penilaian kuesioner SF-36 terdiri dari 2 langkah. Yang pertama, nilai-nilai numerik (kategori respon) diubah ke dalam skor yang terdapat dalam tabel 2.3. Perhatikan bahwa setiap pilihan jawaban mempunyai skor, sehingga skor yang tinggi menunjukkan keadaan kesehatan yang lebih baik. Setiap pilihan jawaban diberi nilai antara 0-100, skor tersebut mewakili persentase total skor yang dapat dicapai. Langkah kedua, tiap pertanyaan yang berada dalam skala yang sama akan dirata-rata kan untuk mendapatkan 8 nilai dari masing-masing skala. Kemudian
Universitas Sumatera Utara
15
nilai dari masing-masing skala tersebut akan dirata-rata kan berdasarkan tabel 2.2. untuk mendapatkan nilai dari 2 dimensi utama, yaitu dimensi kesehatan fisik dan dimensi kesehatan mental. Pertanyaan yang dibiarkan kosong/ data yang hilang tidak dimasukkan ketika menghitung nilai skala. Oleh karena itu, nilai skala merupakan rata-rata untuk semua pertanyaan dalam skala yang dijawab oleh responden (RAND, 2014).
Tabel 2.4. Pertanyaan yang mewakili 8 skala kuesioner SF-36 (RAND, 2014) Skala
Jumlah Pertanyaan
Nomor Pertanyaan
Fungsi fisik
10
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12
Keterbatasan akibat
4
13, 14, 15, 16
3
17, 18, 19
Vitalitas
4
23, 27, 29, 31
Kesehatan mental
5
24, 25, 26, 28, 30
Fungsi sosial
2
20, 32
Perasaan sakit/nyeri
2
21, 22
Kesehatan umum
5
1, 33, 34, 35, 36
masalah fisik Keterbatasan akibat masalah emosional
2.4. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis 2.4.1 Faktor yang Berhubungan dengan Prosedur Hemodialisis 1) Lama HD Dosis minimum durasi HD yang ditetapkan oleh KDOQI adalah 2,5 - 4,5 jam, dan dilakukan 3x seminggu (NKF, 2006). Akan tetapi untuk pengobatan awal, terutama ketika kadar blood urea nitrogen (BUN) sangat tinggi (mis: diatas 125 mg/dL), durasi dialisis dan kecepatan aliran darah harus dikurangi. URR harus ditargetkan ˂ 40%. Hal ini berarti menggunakan laju aliran darah hanya 250 mL/menit dengan durasi dialisis selama 2 jam. Durasi dialisis yang lebih lama pada keadaan akut dapat
Universitas Sumatera Utara
16
menyebabkan disequilibrium syndrome, yang dapat menyebabkan kejang atau koma selama/ setelah dialisis, hal ini diakibatkan pembuangan zat terlarut dalam darah yang terlalu cepat (Daugirdas et al, 2007). Setelah melewati terapi awal, pasien dapat dievaluasi kembali dan untuk durasi dialisis selanjutnya dapat ditingkatkan menjadi 3 jam, asalkan kadar BUN predialisis˂ 100 mg/dL. Durasi dialisis selanjutnya dapat dilakukan selama yang diperlukan, tetapi panjang pengobatan dialisis tunggal jarang melebihi 6 jam kecuali tujuan dialisis adalah pengobatan overdosis obat (Daugirdas et al, 2007). 2) Frekuensi HD Dibandingkan dengan durasi, frekuensi merupakan faktor penentu yang paling utama dari pembuangan zat terlarut dalam HD. Frekuensi HD yang direkomendasikan setidaknya harus dilakukan 3x dalam seminggu pada hampir semua pasien gagal ginjal. Pasien yang menjalani HD 2x seminggu, membutuhkan durasi pengobatan yang lebih lama untuk mendapatkan hasil yang efektif, biasanya minimal 6 jam tiap sesi pengobatan (The Renal Association, 2006). Frekuensi HD 2x seminggu tanpa disertai dengan peningkatan durasi pengobatan mungkin dapat dilakukan jika pasien mempunyai fungsi ginjal yang berada pada level yang signifikan, seperti GFR diatas 5 mL/menit, dengan syarat fungsi ginjal harus terus dipantau setidaknya setiap 3 bulan, dan frekuensi HD harus ditingkatkan jika fungsi ginjal menurun (The Renal Association, 2006). 3) Adekuasi Dialisis Adekuasi dialisis adalah kecukupan dosis HD yang direkomendasikan untuk mendapatkan hasil yang adekuat pada pasien gagal ginjal yang menjalani HD. Tujuan tercapainya adekuasi dialisis adalah untuk menilai efektifitas tindakan HD yang dilakukan (NKF, 2000). Indikator yang digunakan untuk menilai adekuasi dialisis adalah URR dan Kt/V (Amini et al, 2011). Kt/V adalah rasio bersihan urea dan waktu HD dengan volume distribusi urea dalam cairan tubuh pasien, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
17
URR adalah persentasi dari ureum yang dapat dibersihkan dalam sekali tindakan HD (Owen, 2000; Cronnin, 2001 dalam Nurcahyati, 2011). Berdasarkan pedoman KDOQI, target Kt/V yang ideal adalah≥ 1,2 dan URR ≥ 65% (NKF, 2006). Rumus perhitungan Kt/V (Daugirdas, 1993): Kt/V = −ln (R − 0,008 . t) + (4−3,5 . R) × UF/W
ln : Logaritma natural
R : Rasio BUN sebelum dan sesudah dialisis t
: Lama dialisis (dalam jam)
UF : Volume ultrafiltrasi (dalam liter) W : Berat badan setelah dialisis (dalam kg) Rumus perhitungan URR (Owen et al, 1993): URR = 100 × [1 – (Ct / C0)]
Ct : BUN setelah dialisis
C0 : BUN sebelum dialisis 2.4.2 Faktor yang Tidak Berhubungan dengan Prosedur Hemodialisis 1) Anemia Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai insufisiensi suplai sel darah merah untuk mengantarkan oksigen yang adekuat ke jaringan perifer (Greer et al, 2009). Ada tiga pengukuran konsentrasi yang dapat dilakukan pada whole blood untuk menetapkan adanya anemia, yaitu Hb, hematokrit dan konsentrasi sel darah merah. Berdasarkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), pasien PGK dikatakan anemia jika Hb ≤ 10 gr/dL dan Ht ≤ 30% (PERNEFRI, 2011). Menurunnya kadar Hb pada pasien dialisis dapat disebabkan oleh faktor kehilangan darah yang lebih banyak , seperti seringnya pengambilan
Universitas Sumatera Utara
18
sampel darah atau berkurangnya darah karena proses HD (Yendriwati, 2008). 2) Nutrisi Keadaan malnutrisi umum dijumpai pada pasien HD kronik dan berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih buruk ketika tingkat malnutrisi menjadi lebih parah (Laws, 2000). Banyak faktor yang dapat menyebabkan keadaan malnutrisi pada pasien HD, antara lain penurunan nafsu makan, diet yang tidak tepat, dosis dialisis yang rendah, defisit glukosa dan asam amino selama HD, asidosis, ataupun adanya penyakit komorbid (Stolic et al, 2010). Beberapa indikator yang sering digunakan dalam menilai status nutrisi yaitu : serum kreatinin, dan IMT (Pifer et al, 2002). Serum kreatinin merupakan hasil pemecahan kreatinin fosfat di dalam otot. Serum kreatinin diproduksi dengan laju konstan oleh tubuh, dan dikeluarkan oleh ginjal. Kadar kreatinin adalah indikator yang sensitif terhadap fungsi ginjal, akan tetapi juga dapat menilai massa otot. Kadar serum kreatinin yang normal pada orang dewasa adalah 0,6-1,2 mg/dL (Hopkins, 2005). IMT merupakan indikator yang sering digunakan dalam menilai status nutrisi. Pasien HD yang beresiko mengalami malnutrisi energi-protein akibat asupan makan yang kurang dapat dideteksi dengan pengukuran IMT. Kategori IMT menurut kriteria Asia Pasifik yaitu : berat badan kurang (IMT < 18,5), normal (IMT 18-22,9), berat badan berlebih (IMT ≥ 23) Rumus perhitungan IMT (Pifer et al, 2002) IMT =
𝐵𝐵𝐵𝐵
(𝑇𝑇𝑇𝑇)2
BB : Berat badan (dalam kg) TB : Tinggi badan (dalam m)
Universitas Sumatera Utara
19
3) Metabolisme mineral Beberapa indikator yang digunakan dalam menilai metabolisme mineral adalah serum kalsium, serum fosfat, dan kadar CaXP (Block et al, 2004). 50% kalsium dalam darah terikat dengan albumin dan dalam keadaan tidak aktif, sedangkan 50% lainnya yang disebut kalsium bebas/ terionisasi, secara metabolik aktif. Kalsium total adalah pengukuran dari keduanya, yaitu kalsium terikat dan bebas, dan biasanya digunakan dalam menilai penyakit ginjal atau paratiroid. Kadar kalsium total dalam batas normal pada orang dewasa adalah 8,2-10,5 mg/dL atau 2,05-2,54 mmol/L (Hopkins, 2005). Serum fosfat penting dalam metabolisme sel, pembentukan rigiditas membran sel, serta pembentukan tulang dan gigi. Kadarnya meningkat pada keadaan gagal ginjal, hyperparathyroidism, dan penyalahgunaan diuretik. Kadar
serum fosfat dalam batas normal pada orang dewasa
adalah 2,5-4,5 mg/dL atau 0,78-1,52 mmol/L (Hopkins, 2005). CaXP merupakan hasil perkalian antara serum kalsium dan serum fosfat. Umumnya pada pasien gagal ginjal dijumpai adanya peningkatan kadar CaXP. Kadar CaXP dalam batas normal adalah ≤ 55
mg2/dL2
(Hopkins, 2005).
Universitas Sumatera Utara