BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Gelombang dan Bunyi Pada bagian ini akan diberikan beberapa definisi dan pengertian dasar mengenai gelombang dan bunyi serta hal-hal yang berkaitan dengan teori ini.
2.1.1 Pengertian Gelombang Gelombang adalah suatu getaran, gangguan atau energi yang merambat. Dalam hal ini yang merambat adalah getarannya, bukan medium perantaranya. Satu gelombang terdiri dari satu lembah dan satu bukit (untuk gelombang transversal) atau satu renggangan dan satu rapatan (untuk gelombang longitudinal). Besaran-besaran yang digunakan untuk mendiskripsikan gelombang antaralain panjang gelombang (λ) adalah jarak antara dua puncak yang berurutan, frekuensi (ƒ) adalah banyaknya gelombang yang melewati suatu titik tiap satuan waktu, periode (T) adalah waktu yang diperlukan oleh gelombang melewati suatu titik, amplitudo (A) adalah simpangan maksimum dari titik setimbang, kecepatan gelombang (v) adalah kecepatan dimana puncak gelombang (atau bagian lain dari gelombang) bergerak. Kecepatan gelombang harus dibedakan dari kecepatan partikel pada medium itu sendiri. Pada waktu merambat gelombang membawa energi dari satu tempat ke tempat lain. Saat gelombang merambat melalui medium maka energi dipindahkan sebagai energi getaran antar partikel dalam medium tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2
Jenis-Jenis Gelombang Jenis-jenis gelombang dikelompokkan berdasarkan arah getar, amplitudo
dan fasenya, medium perantaranya dan frekuensi yang dipancarkannya. Berdasarkan arah getarnya gelombang dikelompokkan menjadi: a. Gelombang Transversal Gelombang transversal adalah gelombang yang arah getarnyategak lurus terhadap arah rambatannya. Satu gelombang terdiri dari satu lembah dan satu bukit seperti ditunjukkan pada gambar 2.1.
A T
Gambar 2.1 Gelombang transversal. (Sumber: http://fisikagelombang.blogspot.com/2010/02/gelombangtransversal_6154.html)
b. Gelombang Longitudinal Gelombang longitudinal adalah gelombang yang arah getarnyasejajar atau berimpit dengan arah rambatannya. Gelombang yang terjadi berupa rapatan dan renggangan seperti ditunjukkan pada gambar 2.2
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Gelombang longitudinal. (Sumber: http://fisikagelombang.blogspot.com/2010/02/gelombanglongitudinal.html)
2.1.3
Pengertian Bunyi Bunyi secara harafiah dapat diartikan sebagai sesuatu yang kita dengar.
Bunyi merupakan hasil getaran dari partikel-partikel yang berada di udara dan energi yang terkandung dalam bunyi dapat meningkat secara cepat dan dapat menempuh jarak yang sangat jauh. Defenisi sejenis juga dikemukakan oleh Bruel & Kjaer (1986) yang menyatakan bahwa bunyi diidentikkan sebagai pergerakan gelombang di udara yang terjadi bila sumber bunyi mengubah partikel terdekat dari posisi diam menjadi partikel yang bergerak. Secara lebih mendetail, Doelle (1972) menyatakan bahwa bunyi mempunyai dua defenisi, yaitu: 1.
Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastik seperti udara. Definisi ini dikenal sebagai bunyi objektif.
Universitas Sumatera Utara
2.
Secara fisiologis, bunyi adalah sensasi pendengaran yang disebabkan penyimpangan fisis yang digambarkan pada bagian atas. Hal ini disebut sebagai bunyi subjektif.
Secara singkat, Bunyi adalah suatu bentuk gelombang longitudinal yang merambat secara perapatan dan perenggangan terbentuk oleh partikel zat perantara serta ditimbulkan oleh sumber bunyi yang mengalami getaran. Rambatan gelombang bunyi disebabkan oleh lapisan perapatan dan peregangan partikel-partikel udara yang bergerak ke luar, yaitu karena penyimpangan tekanan. Hal serupa juga terjadi pada penyebaran gelombang air pada permukaan suatu kolam dari titik dimana batu dijatuhkan. Gelombang bunyi adalah gelombang yang dirambatkan sebagai gelombang mekanik longitudinal yang dapat menjalar dalam medium padat, cair dan gas. Medium gelombang bunyi ini adalah molekul yang membentuk bahan medium mekanik ini. Gelombang bunyi ini merupakan vibrasi/getaran molekul-molekul zat dan saling beradu satu sama lain namun demikian zat tersebut terkoordinasi menghasilkan gelombang serta mentransmisikan energi bahkan tidak pernah terjadi perpindahan partikel.
2.1.4
Sifat–Sifat Bunyi Bunyi mempunyai beberapa sifat, seperti frekuensi bunyi, kecepatan
perambatan, panjang gelombang, intensitas dan kecepatan partikel. 2.1.4.1 Frekuensi Frekuensi merupakan gejala fisis objektif yang dapat diukur oleh instrumeninstrumen akustik. Frekuensi adalah ukuran jumlah putaran ulang per peristiwa
Universitas Sumatera Utara
dalam selang waktu yang diberikan. Untuk memperhitungkan frekuensi, seseorang menetapkan jarak waktu, menghitung jumlah kejadian peristiwa, dan membagi hitungan ini dengan panjang jarak waktu. Hasil perhitungan ini dinyatakan dalam satuan hertz (Hz) yaitu nama pakar fisika Jerman Heinrich Rudolf Hertz yang menemukan fenomena ini pertama kali. Frekuensi yang dapat didengar oleh Manusia berkisar 20 sampai 20.000 Hz dan jangkauan frekuensi ini dapat mengalami penurunan pada batas atas rentang frekuensi sejalan dengan bertambahnya umur manusia. Jangkauan frekuensi audio manusia akan berbeda jika umur manusia juga berbeda. Besarnya frekuensi ditentukan dengan rumus:
................................................. (2.1) dimana:
= Frekuensi (Hz) = Waktu (detik)
Periode adalah banyaknya waktu per banyaknya getaran, sehingga periode berbanding terbalik dengan frekuensi. = dimana:
1 ............................................. (2.2) f
= Frekuensi (Hz) = periode (detik)
2.1.4.2 Kecepatan Perambatan Bunyi bergerak pada kecepatan berbeda-beda pada tiap media yang dilaluinya. Pada media gas udara, cepat rambat bunyi tergantung pada kerapatan, suhu, dan tekanan.
Universitas Sumatera Utara
√
............................................... (2.3)
atau dalam bentuk yang sederhana dapat ditulis: √ dimana:
c = Cepat rambat bunyi (m/s) γ = Rasio panas spesifik (untuk udara = 1,41) Pa = Tekanan atmosfir (Pascal) ρ = Kerapatan (Kg/m3) T = Suhu (K)
Pada media padat bergantung pada modulus elastisitas dan kerapatan, sedangkan pada media cair bergantung pada modulus bulk dan kerapatan. √ ........................................................ (2.4) dimana:
E = Modulus Elastisitas (Pascal) ρ = Kerapatan (Kg/m3)
2.1.4.3 Panjang Gelombang Panjang suatu gelombang bunyi dapat didefinisikan sebagai jarak antara dua muka gelombang berfase sama. Hubungan antara panjang gelombang, frekuensi, dan cepat rambat bunyi dapat ditulis sebagai berikut: ........................................................ (2.5) dimana:
λ = Panjang gelombang bunyi c = Cepat rambat bunyi (m/s) f = Frekuensi (Hz)
Universitas Sumatera Utara
2.1.4.4 Intensitas Bunyi Intensitas bunyi adalah aliran energi yang dibawa gelombang udara dalam suatu daerah per satuan luas. Intesitas bunyi pada tiap titik dari sumber dinyatakan dengan: ................................................... (2.6) dimana:
I = Intensitas bunyi (W/m2) W = Daya akustik (Watt) A = Luas area (m2)
Ambang batas pendengaran manusia, yaitu nilai minimum intensitas daya bunyi yang dapat dideteksi telinga manusia, adalah 10-6 W/cm2.
2.1.4.5 Kecepatan Partikel Radiasi bunyi yang dihasilkan suatu sumber bunyi akan mengelilingi udara sekitarnya. Radiasi bunyi ini akan mendorong patikel udara yang dekat dengan permukaan luar sumber bunyi. Hal ini akan menyebabkan bergeraknya partikelpartikel di sekitar radiasi bunyi yang disebut dengan kecepatan partikel. .............................................. (2.7) dimana:
= Kecepatan partikel (m/detik) p = Tekanan (Pa) ρ = Massa jenis bahan (Kg/m3) c = Kecepatan rambat gelombang (m/detik)
Universitas Sumatera Utara
2.2 Aluminium 2.2.1 Sejarah Aluminium Aluminium diambil dari bahasa Latin: alumen, alum. Orang-orang Yunani dan Romawi kuno menggunakan alum sebagai cairan penutup pori-pori dan bahan penajam proses pewarnaan. Pada tahun 1787, Lavoisier menebak bahwa unsur ini adalah Oksida logam yang belum ditemukan. Pada tahun 1761, de Morveau mengajukan nama alumine untuk basa alum. Pada tahun 1827, Wohler disebut sebagai ilmuwan yang berhasil mengisolasi logam ini. Pada tahun 1807, Davy memberikan proposal untuk menamakan logam ini Aluminum, walau pada akhirnya setuju untuk menggantinya dengan Aluminium. Nama yang terakhir ini sama dengan nama banyak unsur lainnya yang berakhir dengan ―ium‖.
2.2.2 Sifat-sifat Aluminium Semua sifat-sifat dasar aluminium, tentu saja, dipengaruhi oleh efek dari berbagai elemen aluminium paduan. Unsur-unsur paduan utama dalam pengecoran aluminium paduan dasar adalah tembaga, silikon, magnesium, seng, kromium, mangan, timah dan titanium. Aluminium dasar paduan mungkin secara umum akan ditandai sebagai sistem eutektik, mengandung bahan intermetalik atau unsur-unsur sebagai fase berlebih. Aluminium telah menjadi salah satu logam industri yang paling luas penggunaannya di dunia. Aluminium banyak digunakan di dalam semua sektor utama industri seperti angkutan, konstruksi, listrik, peti kemas dan kemasan, alat
Universitas Sumatera Utara
rumah tangga serta peralatan mekanis. Adapun sifat-sifat aluminium antara lain sebagai berikut: 1) Ringan. 2) Tahan terhadap korosi. 3) Kuat. 4) Mudah dibentuk. 5) Konduktor listrik. 6) Konduktor panas. 7) Memantulkan sinar dan panas. 8) Non magnetik. 9) Tidak beracun. 10) Memiliki ketangguhan yang baik. 11) Dapat diproses ulang. 12) Menarik.
2.2.3 Perlakuan Panas Aluminium Paduan Perlakuan panas pada aluminium paduan dilakukan dengan memanaskan sampai terjadi fase tunggal kemudian ditahan beberapa saat dan diteruskan dengan pendinginan cepat hingga tidak sempat berubah ke fase lain. Jika bahan tadi dibiarkan untuk jangka waktu tertentu maka terjadilah proses penuaan (aging). Perubahan akan terjadi berupa presipitasi (pengendapan) fase kedua yang dimulai dengan proses nukleasi dan timbulnya klaster atom yang menjadi awal dari presipitat. Presipitat ini dapat meningkatkan kekuatan dan kekerasannya. Proses ini merupakan proses age hardening yang disebut natural aging. Jika setelah
Universitas Sumatera Utara
dilakukan pendinginan cepat kemudian dipanaskan lagi hingga di bawah temperatur solvus (solvus line) kemudian ditahan dalam jangka waktu yang lama dan dilanjutkan dengan pendinginan lambat di udara disebut proses penuaan buatan (artificial aging). Diagram fasa perubahan mikrostruktur paduan Al-Cu dapat dilihat pada gambar 2.3
Gambar 2.3 Diagram fasa perubahan mikrostruktur paduan Al-Cu. (Sumber: William K. Dalton: 259) Proses dari pemanasan awal hingga pendinginan cepat disebut proses perlakuan pelarutan (solution treatment), dan proses sesudahnya disebut proses perlakuan pengendapan (precipitation treatment).
2.2.3.1 Mekanisme Pengerasan Untuk menjelaskan mekanisme terjadinya pengerasan, sebagai contoh diambil untuk diagram fase Al-Cu. Dari diagram tampak bahwa kelarutan Cu dalam Al menurun dengan menurunnya temperatur. Suatu paduan dengan 4 % Cu mulai membeku di titik 1 dengan membentuk dendrit larutan padat . Dan pada
Universitas Sumatera Utara
titik 2 seluruhnya sudah membeku menjadi larutan padat
dengan 4 % Cu. Pada
titik 3 kelarutan Cu dalam Al mencapai batas jenuhnya, bila temperaturnya diturunkan akan ada Cu yang keluar dari larutan padat
berupa CuAl2. Makin
rendah temperaturnya makin banyak Cu-Al yang keluar. Pada gambar struktur mikro Al-Cu tampak partikel CuAl tersebar didalam matriks . Dengan pemanasan kembali sampai diatas garis solvus (titik 3) semua Cu larut kembali di dalam
. Dengan pendingan cepat (quench) Cu tidak sempat
keluar dari . Pada suhu kamar struktur masih tetap berupa larutan padat
fase
tunggal Sifatnyapun masih belum berubah. Masih tetap lunak dan sedikit ulet. Dalam keadaan ini larutan dikatakan sebagai larutan yang lewat jenuh karena mengadung solute yang melampaui batas jenisnya untuk temperatur itu. Setelah beberapa saat larutan yang lewat jenuh ini akan mengalami perubahan kekerasan dan kekuatan. Menjadi lebih kuat dan keras, tetapi struktur mikro tidak tampak mengalami perubahan. Penguatan ini terjadi karena timbulnya partikel CuAl2 (fase berpresipitasi di dalam kristal
) yang
. Presipitat ini sangat kecil tidak tampak di
mikroskop (submicroscopic) dan akan menyebabkan terjadinya tegangan pada lattis kristal
di sekitar presipitat ini . Karena presipitat tersebar merata didalam
lattis kristal. Maka dapat dikatakan seluruh lattis menjadi tegang mengakibatkan kekuatan dan kekerasan menjadi lebih tinggi. Aging dapat dilakukan dengan membiarkan larutan lewat jenuh itu pada temperatur kamar selama beberapa waktu. Dinamakan natural aging atau dengan memanaskan kembali larutan lewat jenuh itu ke temperatur di bawah garis solvus dan dibiarkan pada temperatur tersebut selama beberapa saat. Dinamakan artficial
Universitas Sumatera Utara
aging Bila aging temperatur terlalu tinggi dan atau aging time terlalu panjang maka partikel yang terjadi akan terlalu besar (sudah mikroskopik) sehingga effek penguatannya akan menurun bahkan menghilang sama sekali, dan ini dinamakan over aged. Proses precipitation hardening atau hardening dapat dibagi menjadi beberapa tahap yaitu: 1. Solution treatment, yaitu memanaskan paduan hingga diatas solvus line. 2. Mendinginkan kembali dengan cepat (quenching) 3. Aging, yaitu menahan pada suatu temperatur tertentu (temperatur kamar atau temperatur dibawah solvus line) selang waktu tertentu. Paduan Aluminium lainnya yang dapat di perlakukan panas sebagaimana diagram fasa di bawah ini: 1. Paduan Al-Mg dengan kadar Mg kurang dari 17,1 % termasuk yang heat treatable karena jika dipanaskan di atas garis solvus mampu mencapai fasa tunggal. Diagram fasa paduan Al-Mg dapat dilihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Diagram fasa paduan Al-Mg. (Sumber: Hansen & Anderko,1958)
Universitas Sumatera Utara
2. Paduan Al-Si masuk kategori non heat tretable, tetapi untuk paduan Al-Si dengan kadar Si kurang dari 1,6 sebagaimana diagram fasa di bawah ini masih memungkinkan Al-Si mencapai fasa tunggal jika dipanaskan di atas garis solvus. Berarti memungkinkan untuk di heat treatment. Diagram fasa paduan Al-Si dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Diagram fasa paduan Al-Si. (Sumber: Hansen & Anderko,1958)
3. Paduan Al-Cu dengan kadar Cu kurang dari 5,65 % juga heat treatable. Diagram fasa paduan Al-Si dapat dilihat pada gambar 2.6.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6 Diagram fasa paduan Al-Cu. (Sumber: Hansen & Anderko,1958)
2.3 Magnesium 2.3.1 Sejarah Magnesium Senyawa-senyawa magnesium telah lama diketahui. Black telah mengenal magnesium sebagai elemen di tahun 1755. Davy berhasil mengisolasikannya di tahun 1808 dan Busy mempersiapkannya dalam bentuk yang koheren di tahun 1831. Magnesium merupakan elemen terbanyak kedelepan di kerak bumi.Ia tidak muncul tersendiri, tapi selalu ditemukan dalam jumlah deposit yang banyak dalam bentuk magnesite, dolomite dan mineral-mineral lainnya. Logam ini sekarang dihasilkan di AS dengan mengelektrolisis magnesium klorida yang terfusi dari air asin, sumur, dan air laut.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Sifat-Sifat Magnesium Magnesium merupakan logam yang ringan, putih keperak-perakan dan cukup kuat. Ia mudah ternoda di udara dan magnesium yang terbelah-belah secara halus dapat dengan mudah terbakar di udara dan mengeluarkan lidah api putih yang menakjubkan. Magnesium digunakan di fotografi, flares, pyrotechnics, termasuk incendiary bombs. Magnesium sepertiga lebih ringan dibanding aluminium dan dalam campuran logam digunakan sebagai bahan konstruksi pesawat dan missile. Logam ini memperbaiki karakter mekanik fabrikasi dan las aluminium ketika digunakan sebagai alloying agent. Magnesium digunakan dalam memproduksi grafit dalam cast iron, dan digunakan sebagai bahan tambahan conventional propellants. Magnesium juga digunakan sebagai agen pereduksi dalam produksi uranium murni dan logam-logam lain dari garam-garamnya. Hidroksida (milk of magnesia), klorida, sulfat (Epsom salts) dan sitrat digunakan dalam kedokteran. Magnesite digunakan untuk refractory, sebagai batu bata dan lapisan di tungkutungku pemanas.
2.4 Paduan Aluminium-Magnesium Aluminium lebih banyak dipakai sebagai paduan dari pada logam murni sebab tidak kehilangan sifat ringan dan sifat-sifat mekanisnya serta mampu cornya diperbaiki dengan menambah unsur-unsur lain. Unsur-unsur paduan yang tidak ditambahkan pada aluminium murni selain dapat menambah kekuatan mekaniknya juga dapat memberikan sifat-sifat baik lainnya seperti ketahanan
Universitas Sumatera Utara
korosi dan ketahanan aus. Diagram fasa Aluminium-Magnesium dapat dilihat pada gambar 2.7.
Gambar 2.7 Diagram fasa paduan Al-Mg, Temperatur vs Persentase Mg. (Sumber: Hansen & Anderko. Constitution of binary alloys.1958) Gambar 2.7 di atas memperlihatkan penambahan Magnesium hingga 2%, 4%, 6% akan cenderung menurunkan titik cair dari paduan Aluminium. Penambahan Mg 2% akan menurunkan titik cair paduan Aluminium menjadi 6500C, 4% menjadi 6400C dan 6% menjadi 6300C. Penambahan unsur Magnesium pada Aluminium untuk fase biner akan menghasilkan berbagai fase seperti Al () (0-17,1% Mg), Al2Mg2 (β) (36,1-37,8% Mg), R (39% Mg), Al12Mg17 (γ) (42-58,0% Mg), Mg (87,1-100% Mg). Pada unsur 2% Mg, 4% Mg dan 6% Mg fasa yang terbentuk adalah fasa Al (). Garis di atas menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
Aluminium memiliki titik cair pada suhu ±6600C. Pada saat suhu mencapai 6500C maka Aluminium akan memasuki fase Liquid. Nilai fasa paduan Aluminium-Magnesium untuk setiap komposisi dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Nilai Fasa Aluminium-Magnesium.
(Sumber:J.L Murray, 1998) Beberapa komposisi paduan aluminium-magnesium berdasarkan nomor seri yang telah ditetapkan ditunkukkan oleh tabel 2.2. Tabel 2.2 Batas komposisi paduan Aluminium-Magnesium (%) Alloy Si Fe Cu Mn Cr Zn Ti Al Mg 0.15– 2.2– 5052 0.25 0.40 0.10 0.10 0.10 Remainder 0.35 2.8 0.40– 0.05– 4.0– 5083 0.40 0.40 0.10 0.25 0.15 Remainder 1.0 0.25 4.9 0.20– 0.05– 3.5– 5086 0.40 0.50 0.10 0.25 0.15 Remainder 0.7 0.25 4.5 0.15– 3.10– 5154 0.25 0.40 0.10 0.10 0.20 0.20 Remainder 0.35 3.90 0.05– 0.06– 4.50– 5356 0.25 0.40 0.10 0.10 0.10 Remainder 0.20 0.20 5.50 0.50– 0.05– 2.4– 5454 0.25 0.40 0.10 0.25 0.20 Remainder 1.0 0.20 3.0 0.50– 0.05– 4.7– 5456 0.25 0.40 0.10 0.25 0.20 Remainder 1.0 0.20 5.5 2.6– 5754 0.40 0.40 0.10 0.50 0.30 0.20 0.15 Remainder 3.6 (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Aluminium_alloy)
Universitas Sumatera Utara
Keberadaan magnesium dapat mempengaruhi sifat akustik paduan karena akan menyebabkan menurunnya nilai impedansi akustik paduan tersebut. Dengan penurunan impedansi/ hambatan akustik tersebut maka propagasi gelombang bunyi lebih besar. Tabel 2.3 berikut menunjukkan perbedaan nilai impedansi akustik dari kedua material. Tabel 2.3 Acoustic properties aluminium dan magnesium. Density Acoustic Impedance 3 g/cm g/cm2-sec x105
Metals Aluminum
2.70
17.10
Magnesium
1.74
10.98
(Sumber:
http://www.ndted.org/GeneralResources/MaterialProperties/UT/ut_ matlprop_metals.htm)
2.5 Sifat Akustik Kata akustik berasal dari bahasa Yunani yaitu akoustikos, yang artinya segala sesuatu yang bersangkutan dengan pendengaran pada suatu kondisi ruang yang dapat mempengaruhi mutu bunyi. Fenomena absorpsi suara oleh suatu permukaan bahan ditunjukkan pada gambar 2.8.
Gambar 2.8 Fenomena absorpsi suara oleh suatu permukaan bahan. (Sumber : FTI ITB 2010)
Universitas Sumatera Utara
Fenomena suara yang terjadi akibat adanya berkas suara yang bertemu atau menumbuk bidang permukaan bahan, maka suara tersebut akan dipantulkan (reflected), diserap (absorb), dan diteruskan (transmitted) atau ditransmisikan oleh bahan tersebut. Medium gelombang bunyi dapat berupa zat padat, cair, ataupun gas. Frekuensi gelombang bunyi dapat diterima manusia berkisar antara 20 Hz sampai dengan 20 kHz, atau dinamakan sebagai jangkauan yang dapat didengar (audible range).
2.5.1 Koefisien Absorpsi Menurut Jailani et al. (2004) penyerapan suara (sound absorption) merupakan perubahan energi dari energi suara menjadi energi panas atau kalor. Kualitas dari bahan peredam suara ditunjukkan dengan harga α (koefisien penyerapan bahan terhadap bunyi), semakin besar α maka semakin baik digunakan sebagai peredam suara. Nilai α berkisar dari 0 sampai 1. Jika α bernilai 0, artinya tidak ada bunyi yang diserap sedangkan jika α bernilai 1, artinya 100% bunyi yang datang diserap oleh bahan. Besarnya energi suara yang dipantulkan, diserap, atau diteruskan bergantung pada jenis dan sifat dari bahan atau material tersebut. Pada umumnya bahan yang berpori (porous material) akan menyerap energi suara yang lebih besar dibandingkan dengan jenis bahan lainnya. Adanya pori-pori menyebabkan gelombang suara dapat masuk kedalam material tersebut. Energi suara yang diserap oleh bahan akan dikonversikan menjadi bentuk energi lainnya, pada umumnya diubah ke energi kalor.
Universitas Sumatera Utara
Perbandingan antara energi suara yang diserap oleh suatu bahan dengan energi suara yang datang pada permukaan bahan tersebut didefinisikan sebagai koefisien penyerap suara atau koefisien absorbsi (α).
Absorbed Energy Incident Energy
.................................. (2.8)
Terdapat dua metode untuk mengukur koefisien absorbsi suara, yaitu dengan tabung impedansi (impedance tube) yang dapat mengukur koefisien absorbsi suara normal, serta pengukuran dengan ruang dengung (reverberation room) yang dapat mengukur koefisien absorbsi suara sabine. Tabel 2.4 berikut merupakan nilai koefisien absorpsi dari beberapa material. Tabel 2.4. Koefisien penyerapan bunyi dari beberapa material Frekuensi (Hz) Material 125 250 500 1000 2000 Gypsum board (13 mm) 0.29 0.10 0.05 0.04 0.07 Kayu 0.15 0.11 0.10 0.07 0.06 Gelas 0.18 0.06 0.04 0.03 0.02 Tegel geocoustic (81 mm) 0.13 0.74 2.35 2.53 2.03 Beton yang dituang 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 Bata tidak dihaluskan 0.03 0.03 0.03 0.04 0.05 Steel deck (150 mm) 0.58 0.64 0.71 0.63 0.47 Sumber : Doelle, Leslie L, 1993.
4000 0.09 0.07 0.02 1.73 0.03 0.07 0.40
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai serap bunyi. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan bunyi pada material adalah:
1. Ukuran serat. Koizumi et al. (2002) melaporkan bahwa meningkatnya koefisien serap bunyi diikuti dengan menurunnya diameter serat. Ini disebabkan ukuran serat yang kecil akan lebih mudah untuk berpropagasi dibandingkan dengan serat yang lebih besar pada gelombang suara.
Universitas Sumatera Utara
2. Resistensi Aliran Udara. Salah satu kualitas yang sangat penting yang dapat mempengaruhi karakteristik dari material berserat adalah spsefik resistensi aliran udara per unit tebal material. Karakteristik impedansi dan propagasi konstan, yang mana menggambarkan sifat akustik material berpori.
3. Porositas (rongga pori) Jumlah, ukuran, dan tipe rongga pori adalah faktor yang penting ketika mempelajari mekanisme penyerapan suara pada material berpori. Untuk memungkinkan disipasi suara dengan gesekan, gelombang suara harus dimasukkan ke material dengan rongga (berpori). Ini berarti haru ada pori yang cukup pada permukaan material untuk dilewati oleh gelombang suara dan diredam. Porositas pada material berporos didefinisikan sebagai rasio volume berpori didalam material kepada jumlah total volume.
4. Ketebalan Beberapa studi yang berhubungan dengan penyerapan bunyi pada material berpori menghasilkan kesimpulan bahwa absorbs suara frekuensi rendah memiliki hubungan langsung dengan ketebalan. Sebuah studi oleh Ibrahim et al. (1978) menunjukkan meningkatnya penyerapan bunyi pada frekuensi rendah dengan meningkatnta ketebalan material. Namun, pada frekuensi tinggi ketebalan material tidak terlalu berpengaruh pada penyerapan bunyi.
Universitas Sumatera Utara
5. Densitas Densitas material sering dianggap menjadi faktor yang penting yang mengatur perilaku absorbs suara pada material.
6. Permukaan impedansi Nilai permukaan impedansi yang semakin tinggi akan menyebabkan meningkatnya jumlah refleksi bunyi pada permukaan sehingga kemampuan serap bunyinya berkurang.
2.5.2 Sound Transmission Loss Sound transmission loss adalah kemampuan suatu bahan untukmereduksi suara. Nilainya biasa disebut dengan decibel (dB). Semakin tingginilai sound transmission loss (TL), semakin bagus bahan tersebut dalam mereduksi suara (Bpanelcom 2009). Sound transmission class (STC) adalah kemampuan rata-rata transmission loss suatu bahan dalam mereduksi suara dari berbagai frekuensi. Semakin tinggi nilai STC, semakin bagus bahan tersebut dalam mereduksi suara (Bpanelcom 2009). Nilai STC ditetapkan berdasarkan baku mutu ASTM E 413 tentang Classification for Rating Sound Insulation yang dikeluarkan oleh American Society for Testing and Materials (ASTM).
2.6 Material Akustik Material akustik adalah material teknik yang fungsi utamanya adalah untuk menyerap suara/bising. Material akustik adalah suatu bahan yang dapat menyerap energi suara yang datang dari sumber suara. Pada dasarnya semua bahan dapat
Universitas Sumatera Utara
menyerap energi suara, namun besarnya energi yang diserap berbeda-beda untuk tiap bahan. Energi suara tersebut dikonversi menjadi energi panas, yang merupakan hasil dari friksi dan resistansi dari berbagai material untuk bergerak dan berdeformasi. Sama halnya dengan besar energi suara yang sangat kecil bila dilihat dalam satuan Watt, energi panas yang dihasilkan juga sangat kecil sehingga secara makrokopis tidak akan terlalu terasa perubahan temperatur pada bahan tersebut. Peredam suara merupakan suatu hal penting didalam desain akustik dan dapat diklasifikasikan menjadi 4 bagian yaitu: 1. Material berpori (porous material), seperti bahan akustik yang umumdigunakan, yaitu mineral wool, plester akustik, sama seperti karpet dan bahan gorden, yang dikarakterisasi dengan cara membuat rajutan yang saling mengait sehingga membentuk pori yang berpola. Pada saluran dan rongga yang sempit dan saling merekat inilah terjadi perubahan energi, dari energi suara menjadi energi vibrasi, kalor atau perubahan momentum. Daya penyerapan atau peredaman dari suatu jenis material adalah fungsi dari frekuensi. Penyerapan relatif rendah pada frekuensi
rendah
dan
meningkat
terhadap
ketebalan
material.
Absorpsivitas frekuensi rendah dapat ditingkatkan dengan cara melapisi material sehingga menambah ketebalannya. Mengecat plaster dan tile, secara varial akan menghasilkan efektivitas reduksi yang cukup besar. 2. Membran penyerap (panel absorber): lembar bahan solid (tidak porus) yang dipasang dengan lapisan udara dibagian belakangnya (air space backing). Bergetarnya panil ketika menerima energi suara serta transfer
Universitas Sumatera Utara
energi getaran tersebut ke lapisan udara menyebabkan terjadinya efek penyerapan suara. Sama halnya separti material berpori, yang berfungsi sebagai peredam
suara, yaitu merubah energi suara menjadi energi
vibrasi dan kalor. Penambahan porous absorber pada bagian ruang kosong antara ruang panil dan dinding akan lebih jauh meningkatkan efisiensi dari penyerapan frekuensi rendah. 3. Rongga penyerap (cavity resonator), rongga udara dengan volume tertentudapat dirancang berdasarkan efek resonator Helmholzt. Efek osilasi udara pada bagian leher (neck) yang terhubung dengan volume udara dalam rongga ketika menerima energi suara menghasilkan efek penyerapan suara, menyerap energi suara paling efisien pada pita frekuensi yang sempit di dekat sumber gaungnya. Peredam jenis ini biasanya dalam bentuk elemen tunggal, seperti blok beton standar dengan rongga yang ditempatkan didalamnya; bentuk lain terdiri dari panel yang berlubang-lubang dan kisi-kisi kayu dengan selimut absorbsi diantaranya. Selain memberikan nilai estetika arsitektur, sistem yang baru saja dijelaskan (bentuk kedua) memberikan absorbsi yang berguna untuk rentang frekuensi yang lebih lebar daripada kemungkinan yang diberikan oleh elemen tunggal berongga (struktur sandwich). 4. Penyerapan suara tiap benda diberikan oleh manusia, meja, kursi dan furniture. Furnitur kayu termasuk di dalamnya adalah kursi dan meja. Untuk kondisi dimana terdapat banyak orang dengan meja dan kursi (seperti dapat kita temukan di dalam ruang kelas dan ruang kuliah), akan lebih cocok jika digunakan peredaman per orang dan per benda dari
Universitas Sumatera Utara
furnitur yang diberikan daripada peredaman oleh manusia saja. Dengan menentukan jumlah dan distribusi peredam jenis ini, dapat dimungkinkan untuk merancang kelakuan waktu gaung terhadap frekuensi untuk memperoleh hampir semua lingkungan akustik yang diinginkan. Hal ini juga dapat memungkinkan untuk merancang sebuah ruangan dimana karakteristik gaungnya dapat diubah dengan cara menggeser atau merubah posisi panil dimana posisi permukaan berpengaruh terhadap sifat peredaman yang berbeda. Selama waktu gaung optimum bergantung terhadap fungsi ruangan, dengan cara ini dapat dimungkinkan untuk merancang
sebuah
ruangan
serba
guna
(multipurpose
rooms).
Bagaimanapun, cara seperti ini akan lebih efektif untuk menekan biaya dan memberikan solusi yang fleksibel, khususnya di dalam ruangan yang besar. Bahan yang mampu menyerap suara pada umumnya mempunyai struktur berpori atau berserat. Bahan-bahan akustik yang tergolong sebagai bahan penyerap suara antara lain adalah glass wool, rock wool, soft board, carpet, kain, busa, acoustic tiles dan lain-lain.
2.7 Tabung Impedansi Ada dua metode standar yang digunakan untuk mengukur koefisien serap bunyi untuk sampel berukuran kecil yaitu menggunakan metode rasio gelombang tegak (ISO 105432-1) dan metode transfer fungsi (ISO 105432-2). Kedua metode dirancang untuk pengukuran pada sampel kecil. Metode rasio gelombang tegak
Universitas Sumatera Utara
mapan, tapi lambat sehingga diganti dengan metode transfer fungsi karena kecepatan dan akurasinya dalam pengukuran.
2.7.1
Metode Pengukuran Koefisien Absorpsi Menggunakan Tabung Impedansi
2.7.1.1 Metode Perbandingan Gelombang Tegak (ISO 10534-1:1996) Metode ini berdasarkan pada fakta bahwa hanya ada gelombang datar yang datang dan dipantulkan sepanjang sumbu axis dalam tabung. Gelombang bunyi sinusoidal yang datang dibangkitkan oleh loudspeaker pada salah satu ujung tabung. Pada ujung lainnya dibatasi oleh lapisan material yang memiliki reflektifitas tinggi. Pengukuran dapat dilakukan dalam satu oktaf atau 1/3 oktaf frekuensi. Dengan menggunakan definisi dari rasio gelombang tegak: |
|
|
|
.............................................. (2.9)
Faktor refleksi dan koefisien serap bunyi didefinisikan oleh: | |
............................................... (2.10) | | ........................................... (2.11)
Tabung impedansi yang menggunakan metode ini diilustrasikan pada gambar 2.9.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9 Pandangan skematis metode rasio gelombang tegak. 2.7.1.2 Metode Transfer Fungsi (ISO 10534-2:1998) Metode ini menggunakan dua buah mikropon yaitu pada posisi x 1 dan x2. Tekanan bunyi pada posisi ini masing-masing adalah: .................................... (2.12) ................................. (2.13) Tabung impedansi yang menggunakan metode ini diilustrasikan pada gambar 2.10.
Gambar 2.10 Tabung Impedansi untuk pengukuran koefisien serap bunyi.
dimana:
A dan B adalah amplitudo tegangan (Volt) k adalah nomor gelombang (m-1) x1 adalah jarak antara sampel dan mikropon terjauh (m) x2 adalah jarak antara sampel dan mikropon terdekat (m)
sehingga transfer fungsi akustik kompleks anatara kedua mikropon ini yaitu:
...................................... (2.14) dan faktor refleksinya: ................................. (2.15) dimana:
Universitas Sumatera Utara
(jarak kedua mikropon)
maka koefisien serap bunyi dapat ditentukan melalui persamaan berikut: | | ........................................ (2.16)
2.7.2 Konstruksi Tabung Impedansi Untuk Metode Transfer Fungsi
(ISO
10543-2 : 1998) Permukaan tabung harus rata, tidak berpori-pori dan tidak berlubang (kecuali pada posisi mikropon yang akan dipasang). Dinding tabung harus kuat dan cukup tebal untuk mencegah vibrasi yang muncul akibat pemancaran sinyal bunyi. Ketebalan yang di rekomendasikan pada tabung impedansi yaitu 5% dari diameter tabung. Tabung harus cukup panjang untuk menjamin perkembangan gelombang bunyi yang terbentuk diantara sumber bunyi dan bahan uji. Mikropon di letakkan pada area gelombang bunyi dengan jarak minimum sebesar diameter tabung dari sumber bunyi. Batas atas frekuensi fu dapat di tentukan dari besar diameter tabung yang dipilih dengan kondisi berikut: d < 0,58 λu ....................................... (2.17) Batas bawah frekuensi ditentukan pada jarak antara mikropon s0 dengan kondisi berikut: s0 > 0,05 ∙ λ1 ..................................... (2.18) Sehingga batas atas frekuensi untuk s0 ditentukan dengan kondisi berikut:
Universitas Sumatera Utara
fu ∙ s0 < 0,45 c0 .................................... (2.19) Dimensi pada tabung impedansi dapat terlihat jelas pada gambar 2.11.
Gambar 2.11 Dimensi tabung impedansi. Jarak antara sumber bunyi dengan mikropon x dan jarak antara bahan uji dengan mikropon terdekat x2 ditentukan dengan kondisi berikut: x > 3 ∙ d ............................................... (2.20) x2 ≥ 2 ∙ d ............................................... (2.27) Maka panjang tabung impedansi untuk pengukuran koefisien serap bunyi yaitu: l = x2 + x + s0 ........................................... (2.28) Untuk pengukuran Transmission Loss (TL) digunakan downstream tube (tabung tanpa speaker) diujung tabung lainnya dengan ukuran jarak antar mikropon sesuai rancangan tabung pertama (upstream tube). Skematis perancangan tabung impedansi untuk pengukuran transmission loss ditunjukkan pada gambar 2.12.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.12 Skematis tabung impedansi untuk pengukuran transmission loss. Maka panjang tabung impedansi untuk pengukuran transmission loss yaitu: L =2 ∙ l .......................................... (2.29)
Universitas Sumatera Utara